PRAGMATIK SEBAGAI BAGIAN
ILMU BAHASA
Oleh I Putu Mas Dewantara
1 Sejarah Perkembangan Pragmatik
Pada awalnya,
pragmatik diperkenalkan oleh Charles Morris (1938). Pragmatik dikembangkannya
berdasarkan pemikiran para filsuf atau pemikir, yaitu John Lock dan Charles
Peirce) tentang semiotik, yaitu ilmu tentang tanda (sign) atau lambang (symbol).
Tanda atau
lambang ada yang berupa bahasa (linguistik) dan ada yang bukan berupa bahasa
(nonlinguistik). Tanda nonlinguistik , seperti tanda berupa lampu di perempatan
jalan melambangkan “perintah” untuk berhati-hati, berhenti, dan
berjalan. Lambang lain dapat berupa foto, burung garuda, dan sebagainya. Bahasa
juga merupakan lambang. Bahasa sebagai lambang dapat berupa bunyi. Bunyi
/kursi/ melambangkan benda yang pada umumnya digunakan sebagai tempat duduk.
Morris menafsirkan lambang bunyi itu sebagai kata. Kata itu berhubungan dengan
kata lain, yang dipelajari dalam sintaksis; kata itu juga berhubungan dengan
objek yang diacu (benda, peristiwa, atau keadaan) atau makna, yang dipelajari dalam semantik
(semantik kata, semantik frasa, dan semantik kalimat); dan hubungan antar kata
itu bisa mempunyai maksud yang bervariasi dalam penggunaannya dalam suatu
interaksi, adakalanya tidak persis sama dengan arti kata yang membangun kalimat
itu, yang dipelajari dalam pragmatik. Misalnya, kursi saya putih, yang secara
semantik bermakna kursi milik saya berwarna putih. Digunakan ketika seorang
penutur berujar kepada seorang tetangganya tentang warna kursi. Ujaran itu
mungkin dimaksudkan untuk memberitahukan kepada tetangganya bahwa warna kursinya
berbeda dengan warna kursi (yang tidak putih) milik tetangganya itu.
Dengan
demikian menurut Morris semiotika bahasa dapat dibedakan atas: (1) sintaksis,
(2) semantik, dan (3) pragmatik. Namun pada masa-masa awal kemunculannya,
pragmatik tidak mendapat perhatian dari berbagai ahli yang berkecimpung dalam
kajian ilmu bahasa. Masalahnya para ahli bahasa lebih tertarik dengan kajian
masalah bahasa yang lebih konkret, yaitu struktur bahasa atau wujud formalnya,
terlepas dari makna dan konteks. Para linguis yang lebih menitik beratkan
pandangannya terhadap struktur bahasa dikenal dengan aliran struktural.
Sejalan
dengan hal itu, maka sejarah perkembangan pragmatik dapat ditelusuri dari
keberadaan kajian bahasa secara struktural, yaitu berawal dari kajian linguistik pada tahun 1933 yang ditandai terbitnya buku
berjudul Linguitic karangan Leonard Bloomfield. Buku ini dikenal sebagai beraliran
struktural. Aliran ini memandang bahasa sebagai sistem bunyi dan berstruktur.
Pada saat awal ini, yang dikaji dalam linguistik struktural adalah hal-hal yang
bersifat konkret, yaitu fonologi (fonetik dan fonemik) dan morfologi. Sementara
itu, sintaksis belum dipelajari karena dianggap abstrak, yaitu hubungan antar
kata yang sering dirumuskan bahwa sintaksis dibangun dengan rumusan FB +FK. Sintaksis sebagai bagian
gramatika (tata bahasa) berupa kaidah-kaidah dan semantik yang mempelajari
makna tidak diperhatikan karena bersifat abstrak. Hal ini sejalan dengan
pandangan psikologi behaviour yang hanya menyukai hal dapat diamati oleh
pancaindera. Kemudian, muncul pandangan Chomsky (1957) yang terkenal dengan
tata bahasa transformasi generatif yang beralilaran kognitif-matematik, yaitu
pandangan yang mengatakan bahwa bahasa merupakan kegiatan mental. Ia membedakan
antara kompeten dan performasi. Kompeten
adalah kemampuan menguasai kaidah gramatika khususnya kalimat
yang berada dalam benak dan
performasi adalah aktualisasi atau wujud dari kompetensi itu. Seorang
anak yang mempelajari bahasa ibunya karena mempelajari struktur kalimat
(FB+FK). Dengan menguasai struktur tersebut, dia bisa menciptakan kalimat tak
terbatas. Karena ia menekankan pada struktur bahasa dalam kajiannya, maka
kajian ala Chomsky juga digolongkan dalam aliran struktural. Kompetensi dan
performasi sejajar dengan bahasa dan tutur dalam pandangan Ulmann (1974). Dalam
hal ini bahasa (langguage) adalah
kesan bunyi yang tersimpan dalam benak dan aktualisasinya dalam bentuk
tutur (speech). Pandangan Chomsky ini mendapat sambutan luar biasa dari
para ahli bahasa sehingga mulai menggeser teori linguistik yang dikembangkan
selama ini (bukan berarti meninggalkan).
Penelitian
linguistik pada masa Chomsky masih terbatas pada kompetensi (yang berada dalam
benak dan abstrak), menyisihkan penampilan (nyata dan konkret dalam tutur) yang
berarti kurang memperhatikan pragmatik (yaitu bagaimana bahasa itu digunakan)
dan semantik (Soemarsono,1988). Sejalan dengan perkembangan teori Chomsky
tersebut, timbul kesadaran bahwa gramatika itu harus mencakup makna. Para
pemuka teori tata bahasa sekitar tahun 1960, seperti ketika J. Katz memasukkan
semantik atau perihal ilmu makna ke dalam kajian linguistik, masalah makna
mulai mendapat tempat dan segera diperhitungkan di dalam dunia linguistik.
Dalam perkembangannya hingga kini terus mendapat tempat dalam kajian linguistik
dan para pengikut Chomsky juga menyertakan makna dalam kajiannya.
Pandangan
Chomsky yang mengatakan bahwa penguasaan kaidah bahasa akan dengan sendirinya
mengantarkan orang menguasai bahasa, ditentang oleh Hymes (1961) dalam bukunya
berjudul On Communicatif Competence, bahwa untuk bisa menggunakan bahasa
sesorang tidak cukup menguasai kaidah bahasa, tetapi juga menguasai kaidah
penggunaannya dalam berkomunikasi dalam kehidupan nyata (alami), yang
disebutnya dengan istilah kompetensi komunikatif. Hymes
(1971) mengatakan bahwa dari berbagai fakta, seorang anak normal memperoleh
pengetahuan kalimat, tidak hanya berupa kegra-matikalan tetapi juga
kepantasannya. Seorang anak memperoleh suatu repertoir atau keragaman
tindak tutur sekaligus untuk mengevaluasi tindak tutur dan yang lain. Ini
adalah kompetensi yang integral dengan etika dan nilai mengenai bahasa dan integral dengan
kompetensi untuk menginterelasi bahasa dengan kode-kode komunikasi yang lain.
Dengan begitu, perhatian terhadap dimensi sosial tidak tebatas kepada pengaruh
faktor sosial yang substractive. Pemakaian bahasa dalam kehidupan sosial
adalah suatu aspek positif, produktif; ada aturan-aturan bagi penggunaannya
tanpa mengabaikan ketentuan-ketentuan gramatika. Hymes (dalam Brumfit
dan Johnson, 1983:8) juga menjelaskan bahwa dimensi
sosiokultural tidak dapat dipisahkan dari kompetensi; kreativitas bahasa
(sebagaimana disampaikan Chomsky) merupakan ciri kompetensi, sejauh manusia
juga melakukan pemerolehan sosiokultural melalui perkembangan kognitifnya,
kreativitas bukan saja merupakan ciri performansi (performance). Oleh
karena itu, benar yang dikatakan oleh Azies dan Alwasilah (2000:26)
bahwa dalam konsep kemampuan komunikatif Dell Hymes, termasuk secara implisit
kemampuan linguistik Chomsky karena kompetensi yang disampaikan Hymes itu
merujuk kepada pengetahuan kaidah-kaidah gramatika, kosa kata, dan semantik,
serta kaidah bicara yang menyangkut pola-pola perilaku sosiolinguistik
masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Hymes
(dalam Nababan, 1993:63) mengatakan bahwa kompetensi komunikatif adalah
pengguasaan bahasa yang diperoleh secara naluri yang dipunyai seorang penutur
asli untuk memahami dan menggunakan bahasa secara wajar dalam proses
berkomunikasi dengan orang lain dalam konteks sosial budaya. Hymes (1966a)
(dalam Ibrahim, 1994:26) yang menjelaskan bahwa kompetensai komunikatif
melibatkan pengetahuan tentang apa yang akan dikatakan kepada siapa, dan
bagaimana menyatakannya secara benar dalam situasi tertentu, tidak hanya
melibatkan kode bahasa. Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan
sosial dan kebudayaan yang dimiliki Pn untuk membantu mereka menggunakan dan
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
Kritik Hymes itulah yang nantinya yang menjadi
salah satu faktor awal munculnya sosiolinguistik dan pragmatik. Menanggapi hal
ini, chomky sendiri mengatakan bahwa tata bahasa sebagai “kemampuan mental”
harus berdiri berbeda dengan penbggunaan bahasa (language use)
(Leech,1981). Jadi teori Chomsky itu merupakan teori kompetensi, bukan teori
pragmatik.
Kiblat
linguistik mulai berubah pada tahun 1970 (Purwo,1989), yang dipengaruhi oleh
pemikir seperti John Langsaw Austin (1962), H.P. Grace (1964), dan John R.
Searle (1969), yang banyak berbicara tentang bahasa dan filsafat bahasa. Mereka
mengemukakan dan mengembangkan teori tindak tutur (speech act) menjadi
awal melihat fungsi bahasa (linguistik
function) dan penggunaan bahasa (language use). Kajian yang tadinya
bersifat formal menjadi kajian yang fungsional. Tuturan itu yang digunakan dalam
berkomunikasi menyatakan tindakan. Karena menyatakan tindakan, tuturan itu
disebut tindak tutur yang mempunyai fungsi atau maksud dan tujuan tertentu.
Untuk menungkap tidak tutur beserta
fungsinya diperlukan pemahaman makna dan maksud tuturan dalam konteks
interaksi. Itulah hakikat pragmatik itu, yaitu studi kebahasaan yang
mempelajari makna dalam situasi tutur atau situasi penggunaan bahasa. Karena
itu dalam kajian pragmatik sulit dilepaskan dengan kajian tindak tutur.
Secara
resmi kelahiran pragmatik ditandai oleh lahirnya sebuah jurnal pragmatik Jurnal
of Pragmatics 1977. Terbentuk pula organisasi yang menangani pragmatik, dan
kemudian, 1987, ada konferensi yang membahas artikel-artikel pragmatik
(Sumarsono, 1988). Ada yang mengatakan bahwa kajian pragmatik muncul sebagai
reaksi kajian linguistik yang dilakukan Chomsky. Menurut J. Verschueren (1987)
kajian pragmatik masih terpecah. Saat ini kajian pragmatik disepakati mengkaji
empat kajian pokok, yakni deiksis, praanggapan, implikatur, dan tindak tutur.
Dengan
diterimanya pragmatik sebagai ilmu tersendiri, maka sosok pragmatik yang
diperkenalkan oleh Charles Morris (1938) mulai berkembang dan diakui sebagai
bagian ilmu bahasa. Sosok linguistik sebagai ilmu bahasa yang meneliti
seluk-beluk bahasa natural manusia, menjangkau bagian-bagian eksternal bahasa,
tidak hanya terbatas pada bagia-bagian internal. Dalam perkembangan tersebut,
linguistik mempunyai beberapa cabang, yaitu: (1) fonologi, (2) morfologi, (3)
sintaksis, dan (4) pragmatik. Leech (1983) menyatakan bahwa fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik merupakan bagian dari tata bahasa atau
gramatika, sedangkan pragmatik merupakan bagian dari pemakaian dan penggunaan
atau gramatika itu dalam aktivitas komunikasi sesungguhnya (language use).
Selanjunya, ia menjelaskan bahwa pragmatik berintegrasi dengan tata bahasa atau
gramatika yang meliputi fonologi dan sintaksis melalui sosok semantik atau ilmu
makna.Gambar interaksi cabang-cabang linguistik yang tergolong dalam gramatika
dengan pragmatik menurut Leech (1983) sebagai berikut.
|
|
||||
(Leech, 1983: 12)
|
|||
2 Paradigma
Linguistik dalam Kajian Pragmatik
2. 1
Paradigma Linguistik dalam Kajian Bahasa
Ada dua pendekatan,
paradigma, teori dasar, asumsi, pandangan
dalam kajian bahasa yang menjadi titik tolak kajian bahasa. Kedua
pendekatan itulah yang pada dasarnya melahirkan berbagai disiplin ilmu yang
mengkaji bahasa. Karena itu, paradigma
tersebut perlu dipahami untuk dapat memahami secara benar hakikat pragmatik
tersebut.
1) Pendekatan formal atau
Pendekatan Struktural
Pendekatan
struktural memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terpisah dari
faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat sistemis dan sistematis.
Artinya, bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik yang dikombinasikan oleh
kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan
seperti yang digunakan masyarakat (Ibrahim, 1999). Berdasarkan asumsi tersebut,
deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa, yakni
unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan kaidah-kaidah bahasa
atau struktur bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas sebagai pendekatan
struktural. Hal ini terungkap pada
pendapat yang menyatakan
prinsip yang dianut pandangan
struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat kaidah (Zuchdi dan
Budiasih, 1997:33).
Berdasarkan
pandangan formal, bahasa dipandang sebagai sistem tertutup artinya bahasa
mempunyai sistem berupa unsur-unsur dan kaidah-kaidah yang relatif tetap dalam
penggunaannya; sifat bahasa homogen, yaitu mempunyai kesamaan antara satu
dengan lainnya; fokus deskripsi pada struktur bahasa, yaitu struktur fonologi,
morfologi, sintaksis, kosa kata, makna, dan sebagainya; data berupa bahasa
verbal dan unit analisis adalah kalimat;
pendekatan atau teori dasar berupa pandangan formal dengan unit teori yang cenderung
berdiri sendiri (unidisipliner) berupa fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, leksikologi, atau wacana (secara formal).
Analisis atau
kajian bahasa berdasarkan linguistik struktural yang tergolong dalam pandangan
formal dilakukan terhadap aspek kebahasaan dan struktur atau kaidah-kaidahnya
sesuai dengan teori yang dikembangkan para ahli pada masing-masing tataran yang
ada. Misalnya, kajian struktur fonologi suatu bahasa menggunakan teori
fonologi. Data dapat berupa bahasa verbal berupa bunyi bahasa yang
diambil dari kosakata dalam kalimat. Dari data tersebut, dapat dianalisis semua
bunyi, fonem, variasi fonem dan jenis-jenisnya. Kajian struktur morfologi suatu
bahasa menggunakan teori morfologi. Data dapat berupa bahasa verbal
berupa morfem dan kata yang diambil dari kosakata dalam kalimat. Dari
data tersebut, dapat dianalisis semua morfem dan kata dari berbagai segi.
Kajian struktur sintaksis atau kalimat suatu bahasa menggunakan teori
sintaksis. Data dapat berupa bahasa verbal berupa kalimat. Dari data
tersebut, dapat dianalisis semua kalimat dari berbagai segi, dan seterusnya.
Sebagai
contoh, analisis kalimat secara struktural dapat disampaikan sebagai berikut. Tempat
itu agak jauh dari kota, pemandangannya indah, dan hawanya sejuk. Dari segi strukturnya tergolong kalimat
majemuk rapatan sama subjek. Dari segi maknanya, tergolong kalimat berita, dan
seterusnya. Dalam pandangan struktural, kalimat, seperti: Ali dikejar bola
dipandang sebagai kalimat yang salah dan cenderung ditata ke dalam struktur
dengan pola yang benar.
2) Pendekatan Fungsional
Pendekatan
fungsional memandang bahasa sebagai sistem terbuka. Bahasa tidak bisa lepas
dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, ciri
demografi, dan sebagainya. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial merupakan sentral
dalam analisisnya berdasarkan pandangan bahwa dalam fungsinya sebagai alat
berkomunikasi bahasa juga menunjukkan identitas sosial, bahkan budaya
pemakainya (Ibrahim, 1999). Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan
bahwa pendekatan fungsional pada prinsipnya mendasarkan pemeriannya pemakaian
bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat pada kerangka dan latar (situasi,
tempat, waktu) interaksi berbeda dan norma sosial budaya masyarakat. Hasilnya
memperlihatkan adanya berbagai variasi dan fungsi bahasa sesuai dengan latar interaksi dan
norma sosial norma budaya masyarakat. Pendekatan fungsional merupakan
pendekatan yang digunakan antara lain dalam sosiolinguistik dan pragmatik.
Berdasarkan
pandangan fungsional, bahasa dipandang sebagai sistem terbuka artinya bahasa
mempunyai sistem yang dapat berubah; sifat bahasa heterogen, yaitu bervariasi,
berbeda penggunaannya bergantung konteksnya, seperti penutur dan lawan tutur,
tujuan, tempat, dan waktunya; fokus deskripsi pada fungsi bahasa, yaitu maksud
dan tujuan penggunaan bahasa sebagai
alat komunikasi; data berupa bahasa verbal
dan nonverbal dengan unit analisis wacana atau peristiwa tutur;
pendekatan atau teori dasar berupa pandangan fungsional dengan unit teori-teori
yang cenderung eklektik (multidisipliner) berupa sosiolinguistik,
pragmatik, analisis wacana yang dikaitkan dengan semantik, psikolinguistik,
bahkan dengan disiplin ilmu yang tergolong dalam linguistik struktural.
Analisis atau
kajian bahasa pandangan fungsional dilakukan terhadap penggunaan bahasa berupa
tuturan dalam penggunaan bahasa secara alami. Dalam hal ini, kajian penggunaan
bahasa dapat dilakukan terhadap pilihan bahasa, pola dalam bertutur, penutur
yang fasih, situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur, komponen tindak dan
peristiwa tutur, fungsi tutur, dan sebagainya.
3. Paradigma Linguistik
dalam Kajian Pragmatik
Kajian
pragmatik beranjak dari pendekatan terhadap bahasa, yaitu fungsional. Karena
pragmatik pada prinsipnya mendasarkan pemeriannya pada pemakaian bahasa yang
sebenarnya dalam masyarakat pada kerangka dan latar (situasi, tempat, waktu)
interaksi berbeda. Hasilnya dapat memperlihatkan adanya berbagai variasi fungsi
dan dampak penggunaan bahasa sesuai dengan dinamika perubahan latar interaksi
dan dalam perkembangannya cenderung mengaitkannya dengan bentuk dan strategi
penggunaan bahasa serta norma sosial
norma budaya masyarakat.
Kajian
penggunaan bahasa dalam suatu interaksi menggunakan teori pragmatik dapat
dikaitkan dengan linguistik struktural sosiolinguistik, psikolinguistik, dan
sebagainya. Data dapat berupa bahasa verbal (tuturan) dan nonverbal yang
menyertainya (konteks: situasi, faktor sosial, waktu, tempat, dan sebagainya).
Unit data berupa tuturan dalam wacana atau peristiwa tutur berupa rentetan
tuturan dalam wacana tulis atau percakapan.
Dari data tersebut, dapat dianalisis antara lain tindak tutur yang
meliputi penggunaan bentuk beserta penanda formalnya, fungsi berupa maksud dan
tujuan tuturan, strategi penyampaian tuturan (tindak tutur) seperti strategi langsung atau tidak
langsung.
Sebagai
contoh, analisis penggunaan bahasa berupa tuturan secara pragmatik dapat
disampaikan sebagai berikut. Misalnya: Ayo, tempat itu agak jauh dari kota,
pemandangannya indah, dan hawanya sejuk!.
Tuturan penutur (Pn) tersebut dinyatakan dengan bentuk kalimat
deklaratif atau berita yang berfungsi atau bermaksud mengajak mitra tutur (Mt)
untuk bertamasya ke luar kota untuk (dengan tujuan) menikmati keindahan dan
kesejukan alam. Untuk menyatakan maksud dan tujuan tersebut, Pn menggunakan
strategi langsung.
bli tu, apa emailnya bli tu?
BalasHapus