Minggu, 06 Mei 2012

Prinsip Kesopanan


      Prinsip Kesopanan
Oleh I Putu Mas Dewantara


Istilah sopan santun atau kesantunan dapat menyesatkan kita. Istilah ini dapat saja bersifat relatif  karena apa yang dikatakan santun di masyarakat A dapat menjadi tidak santun B. ( Sumarsono, 2007)
      Dalam konteks kesantunan berbahasa , dikaitkan dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada pihak pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana hubungan yang harmoni antara penutur dan pendengar. Hubungan antara seseorang dengan orang lain akan berjalan  dengan baik, bahkan lebih erat karena pemakaian bahasa yang tepat dan memiliki kesopanan. Sebaliknya, hubungan akan berjalan tidak baik dan renggang karena pemakaian bahasa yang kurang tepat dan tidak memiliki sopan santun berbahasa. Maka dari pada  itu kesopanan berbahasa sangat penting dalam pragmatik
Tidak setiap orang dapat menyatakan maksudnya secara langsung atau terus terang. Hal ini terutama terjadi pada kasus penolakan, ajakan, namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada kasus peristiwa lain. Sesuai dengan budaya orang timur . Prinsip kesopanan dipegang teguh oleh masyarakat pemakai bahasa,baik penutur maupun petutur, untuk menghindari ketersinggungan lawan tutur.  Misalnya seseorang yang diajak temannya untuk mengadiri acara ulang tahun tetapi ia tidak ingin ikut tentunya ia tidak akan menjawab “ tidak mau,ah” melainkan dengan “ besok aku ada tes”. Hal ini terjadi karena penutur atau petutur menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang ingin dia ungkapkan dalam ujarannya dengan maksud agar tidak menyinggung perasaan.

Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang  bersifat tekstual, tetapi seringpula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal yang harus memperhitungkan orang lain. Dalam hubungan interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan.

      Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan ( menyatakan perasaan). Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran ( sesuatu yang bersifat objektif)
1.      Tuturan komisif : berjanji, menawarkan. Contoh
 Saya akan datang.
 Boleh saya bawakan?
 Saya akan setia
2.      Tuturan impositif (direktif) : menuruh, memerintah, memohon. Contoh
Apakah Anda bisa menolong saya.
3.      Tuturan ekspresif : menyatakan perasaan (emosi). Contoh
Gedung itu indah sekali.
Gadis itu cantik sekali.
4.      Tuturan asertif : menyatakan sesuatu (objektif). Contoh
Prof. Dr. Nyoman Sudiana, M.Pd, sebagai rektor Undiksha.
Menurut Leech ada 6 prinsip kesopanan

 1.Maksim kebijaksanaan /kedermawanan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?

2. Maksim kemurahhatian. Pusatnya orang lain. Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
Misalnya:
Permainanmu sangat bagus.

3. Maksim penerimaan. Ditujukan pada orang lain, bukan pada orang lain. Jenis maksim ini untuk menawarkan dan berjanji. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Bolehkah saya bantu?
Apakah Anda bersedia membawakan?
Mari saya antarkan!
Tolong saya diantarkan!

4. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A : Kau sangat pandai.
B : Ah tidak, biasa-biasa saja.

A : Mobilnya bagus!
B : Ah, begini saja kok bagus.



5.      Maksim kecocokan atau kesetujuan. Pusatnya pada orang lain. Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Misalnya :
A  : Bahasa Inggris sukar, ya?
B  : Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.

A  : Drama itu bagus, ya?
      B  : Ya, tetapi bloking pemainnya masih banyak kekurangan

6. Maksim kesimpatian. Pusatnya orang lain. Ditujukan untuk menyatakan asertif dan  
    Ekspresif.  Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk    
    memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.    
    Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan  
    ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak   
    berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

    Misalnya :
    A  : Saya lolos di UMPTN, Jon.
    B  : Selamat, ya.

    A  : Baru-baru ini dia telah meninggal.
    B  : Oh, saya turut berduka cita.


Teori Penyelamatan Muka
Dasar teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah gagasan tentang muka (wajah) dan rasionalitas, yang bersumber dari Erving Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan maksud penutur untuk mengurangi ancaman wajah yang dibawa oleh tindakan keterancaman wajah tertentu terhadap orang lain. Teori ini berdasarkan asumsi yang memandang kegiatan komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung dan sifat tertentu. Goffinan sendiri mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan muka itu merupakan pencerminan penghargaan atau penghormatan pada orang lain. Biasanya, seseorang penutur mempunyai dua muka, yakni :
1.      Muka negatif (negative face) yang mengacu pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2.      Muka positif (positive face) yang mengacu kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu merasa terancam mukanya dan karena itu patut diselamatkan.  Penyelamatan itu dengan cara menggunakan kesantunan melalui strategi tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan konsep dalam teater yaitu masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya sendiri, prilakunya menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan (1994, 2004), wajah positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa yang diasosiakan dengan dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negative mengacu pada keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Dan wajah negatif mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah positif disebut kesantunan positifDan kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah negative disebut kesantunan negatif.  Patut diingat bahwa pengertian  negatif  itu tidak berkonotasi buruk. Strategi bertutur berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang yang rasional. Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu muka positif dan muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur dalam bertutur maaf memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan negatif bila penutur mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.

Daftar Rujukan
Sumarsono. 2007. Buku AjarPragmatik. Singaraja : Undiksha
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar