Prinsip Kesopanan
Oleh I Putu Mas Dewantara
Istilah
sopan santun atau kesantunan dapat menyesatkan kita. Istilah ini dapat saja
bersifat relatif karena apa yang
dikatakan santun di masyarakat A dapat menjadi tidak santun B. ( Sumarsono,
2007)
Dalam
konteks kesantunan berbahasa , dikaitkan dengan penggunaan bahasa sehari-hari
yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada pihak
pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana hubungan yang harmoni
antara penutur dan pendengar. Hubungan antara seseorang dengan orang lain akan
berjalan dengan baik, bahkan lebih erat
karena pemakaian bahasa yang tepat dan memiliki kesopanan. Sebaliknya, hubungan
akan berjalan tidak baik dan renggang karena pemakaian bahasa yang kurang tepat
dan tidak memiliki sopan santun berbahasa. Maka dari pada itu kesopanan berbahasa sangat penting dalam
pragmatik
Tidak
setiap orang dapat menyatakan maksudnya secara langsung atau terus terang. Hal
ini terutama terjadi pada kasus penolakan, ajakan, namun tidak menutup
kemungkinan terjadi pada kasus peristiwa lain. Sesuai dengan budaya orang timur
. Prinsip kesopanan dipegang teguh oleh masyarakat pemakai bahasa,baik penutur
maupun petutur, untuk menghindari ketersinggungan lawan tutur. Misalnya seseorang yang diajak temannya untuk
mengadiri acara ulang tahun tetapi ia tidak ingin ikut tentunya ia tidak akan
menjawab “ tidak mau,ah” melainkan dengan “ besok aku ada tes”. Hal ini terjadi
karena penutur atau petutur menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang ingin
dia ungkapkan dalam ujarannya dengan maksud agar tidak menyinggung perasaan.
Prinsip kesopanan
memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim
kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim
kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua
peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri
sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana,
1996)
Berbicara tidak
selamanya berkaitan dengan masalah yang
bersifat tekstual, tetapi seringpula berhubungan dengan persoalan yang
bersifat interpersonal yang harus memperhitungkan orang lain. Dalam hubungan
interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan.
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan ( menyatakan perasaan). Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran ( sesuatu yang bersifat objektif)
1.
Tuturan komisif : berjanji, menawarkan.
Contoh
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia
2.
Tuturan impositif (direktif) : menuruh,
memerintah, memohon. Contoh
Apakah
Anda bisa menolong saya.
3.
Tuturan ekspresif : menyatakan perasaan
(emosi). Contoh
Gedung
itu indah sekali.
Gadis
itu cantik sekali.
4.
Tuturan asertif : menyatakan sesuatu
(objektif). Contoh
Prof.
Dr. Nyoman Sudiana, M.Pd, sebagai rektor Undiksha.
Menurut
Leech ada 6 prinsip kesopanan
1.Maksim kebijaksanaan /kedermawanan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?
2. Maksim kemurahhatian. Pusatnya orang lain. Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
Misalnya:
Permainanmu sangat bagus.
3. Maksim penerimaan. Ditujukan pada orang lain, bukan pada orang lain. Jenis maksim ini untuk menawarkan dan berjanji. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Bolehkah saya bantu?
Apakah Anda bersedia membawakan?
Mari saya antarkan!
Tolong saya diantarkan!
4. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A
: Kau sangat pandai.
B
: Ah tidak, biasa-biasa saja.
A
: Mobilnya bagus!
B
: Ah, begini saja kok bagus.
5. Maksim
kecocokan atau kesetujuan. Pusatnya pada orang lain. Ditujukan untuk menyatakan
pendapat dan ekspresif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan
tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan
ketidakcocokan di antara mereka.
Misalnya
:
A : Bahasa Inggris sukar, ya?
B : Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu
sukar dipelajari.
A : Drama itu bagus, ya?
B : Ya, tetapi bloking pemainnya masih
banyak kekurangan
6. Maksim kesimpatian. Pusatnya orang lain. Ditujukan untuk menyatakan asertif dan
Ekspresif. Maksim kesimpatian
mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan
tuturnya.
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan
ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah
penutur layak
berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Misalnya :
A : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B : Selamat, ya.
A : Baru-baru ini dia telah
meninggal.
B : Oh, saya turut berduka cita.
Teori Penyelamatan Muka
Dasar teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah
gagasan tentang muka (wajah) dan rasionalitas, yang bersumber dari Erving
Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan maksud penutur untuk mengurangi ancaman
wajah yang dibawa oleh tindakan keterancaman wajah tertentu terhadap orang
lain. Teori ini berdasarkan asumsi yang memandang kegiatan komunikasi sebagai
kegiatan rasional yang mengandung dan sifat tertentu. Goffinan sendiri
mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan muka itu merupakan pencerminan
penghargaan atau penghormatan pada orang lain. Biasanya, seseorang penutur
mempunyai dua muka, yakni :
1. Muka
negatif (negative face) yang mengacu
pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2. Muka
positif (positive face) yang mengacu
kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu merasa terancam
mukanya dan karena itu patut diselamatkan.
Penyelamatan itu dengan cara menggunakan kesantunan melalui strategi
tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan konsep dalam teater yaitu
masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya sendiri, prilakunya
menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan (1994, 2004), wajah
positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa yang diasosiakan dengan
dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negative mengacu pada keinginan
seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Dan wajah negatif
mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain.
Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah positif disebut kesantunan
positif.
Dan kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah negative disebut
kesantunan negatif. Patut diingat bahwa pengertian negatif itu tidak berkonotasi buruk. Strategi bertutur
berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang yang rasional.
Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu muka positif dan
muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur dalam bertutur maaf
memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan negatif bila penutur
mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.
Daftar
Rujukan
Sumarsono. 2007. Buku
AjarPragmatik. Singaraja : Undiksha
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar