PSIKOLINGUISTIK SOSIAL
(kajian mengenai nilai pemikiran dalam
tuturan
di
Desa Yeh Kuning)
oleh I Putu Mas Dewantara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer
yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesamanya. sistem pada definisi ini merujuk pada adanya
elemen-elemen beserta hubungan satu sama lainnya yang akhirnya membentuk suatu
konstituen yang sifatnya hierarkhis. Dalam bidang fonologi, misalnya,
elemen-elemen ini adalah bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa yang
bersangkutan. Elemen bunyi itu tentunya berbeda dari satu bahasa ke bahasa
lain. Dalam bahasa Inggris, misalnya, banyak bunyi yang juga ada dalam bahasa
kita, tetapi ada beberapa bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa kita. Bunyi
bahasa Inggris /ð/ seperti pada kata then, tidak ada dalam bahasa
Indonesia. Sebaliknya, bahasa Inggris tidak memiliki bunyi /ә/ seperti pada
kata Sunda peuyem.
Sistem dalam bahasa adalah sistem yang terdiri dari simbol-simbol.
simbol-simbol adalah kata-kata seperti air, kursi, hijau, dan sebagainya.
Mengingat bahasa adalah lisan, maka simbol-simbolnya pun juga simbol-simbol
lisan. simbol-simbol ini bersifat arbitrer, yakni tidak ada keterkaitan antara
simbol-simbol ini dengan benda, keadaan, atau peristiwa yang diwakilinya. Tidak
ada alasan mengapa benda yang digunakan untuk duduk disebut kursi,
begitu pula keadaan yang tidak sehat disebut sakit.
Bahasa itu tidak pernah netral, maksudnya di
dalam bahasa itu tercermin pemikiran, nilai dan budaya penutur bahasa tersebut.
Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melalui bahasa yang
diujarkan, kita dapat mengetahui karakteristik ataupun pemikiran seseorang. Menurut
Halliday yang dikutip oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995: 20), bahasa
dilihat dari sudut penutur berfungsi personal atau pribadi.
Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya, si
penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga
memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Seseorang sebagai
anggota suatu masyarakat menggunakan perasaannya dalam bertuturan. Melalui
tuturan-tuturan tersebut kita dapat mengetahui keadaan, sikap, ataupun nilai
yang dimiliki oleh penutur. Baik itu pribadi maupun kelompok (masyarakat suatu
daerah). Untuk mengetahui nilai-nilai yang dimiliki suatu masyarakat guyub
tutur dalam hubungannya dengan psikologi, linguistik, dan sosial inilah dirasa
perlu untuk melakukan suatu pengamatan mengenai Psikolinguistik Sosial. Kajian
mengenai psikolinguistik sosial ini akan dipusatkan ke salah satu desa di
kecamatan Jembrana (dahulu kecamatan Negara), Kabupaten Jembrana, yaitu
tepatnya di Desa Yeh Kuning. Desa ini adalah desa tempat lahir penulis.
1.2
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang penulisan laporan ini,
maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah:
1.2.1
Bagaimana nilai pemikiran; kejiwaan; kekerabatan dalam
tuturan-tuturan masyarakat di Desa Yeh Kuning menurut kajian psikolinguistik
sosial?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk
mengetahui nilai pemikiran; kejiwaan; kekerabatan dalam tuturan-tuturan
masyarakat di Desa Yeh Kuning menurut kajian psikolinguistik sosial.
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1.4.1
Bagi Mahasiswa
Sebagai mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia perlu mengetahui secara nyata (melalui penelitian) bagaimana
pemerolehan bahasa itu terjadi. Hal ini bertujuan agar mahasiswa tidak hanya
mengetahui teori saja, tanpa pernah mengamati langsung.
1.4.2
Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan gambaran mengenai pemikiran (jiwa) dan nilai yang dimiliki suatu
masyarakat atau guyub tutur yang tercermin dalam tuturan sehari-hari. Dengan
adanya gambaran mengenai pemikiran-pemikiran tersebut, nantinya diharapkan
masyarakat sebagai penerus kebudayaan mau mempertahankan nilai-nilai yang ada.
1.5
Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan
laporan ini adalah:
1.5.1Metode Observasi
Metode observasi adalah suatu metode di mana penulis mengamati langsung
tuturan-tuturan yang ada di masyarakat, kemudian langsung penulis deskripsikan
nilai pemikiran yang ada dalam tuturan tersebut.
1.5.2Metode Wawancara
Dengan metode wawancara ini, penulis mewancarai beberapa orang untuk
mengetahui tuturan-tuturan atau nilai-nilai yang ada di masyarakat.
1.5.3
Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah suatu metode dengan menggunakan buku-buku
referensi yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Linguistik,
Psikologi, Sosial dan Psikolinguistik Sosial
Mengenai linguistik,
psikolinguistik, social, dan psikolinguistik sosial akan dijelaskan satu-per
satu sebagai berikut.
1.
Linguistik
Secara umum
linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Pakar linguistik disebut linguis.Bahasa itu sendiri
merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Oleh
karena itu,kita bisa lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat
berdasarkan berbagai kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan
linguistik itu adalah sebagai berikut.
Pertama,
menurut objek kajiannya linguistik di bagi dua yaitu linguistik mikro dan makro.
Kajian linguistik mikro adalah struktur internalbahasa itu sendiri, mencakup
struktur fonologi, morfologi sintaksis, dan leksikon. Sedangkan kajian
lingustik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar
bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi.
Kedua,
menurut tujuan kajiannya linguistik dapat di bedakan atas dua bidang besar
yaitu linguistik teoretis dan linguistik terapan. Kajian teoretis hanya di
tujukan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka. Sedangkan
kajian terapan di tujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalaam
kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, terjemahan, penyusunan
kamus, dan sebagainya.
Ketiga,
adanya disubut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah,
mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik
dengan diperbandingkan maupun tidak. Sedangkan sejarah
2.
Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari
bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. Kata psyche berarti jiwa,
roh, atau sukma sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi, psikologi secara
harfiah berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih
membahas atau mengkaji sisi-sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Mengapa ?
karena jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat di amati secara empiris,
padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi.
Walaupun besar kemungkinan gerak gerik lahir seseorang belum tentu
menggambarkan keadaan jiwa sebenarnya, namun, secara tradisioanal psikologi
lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari prilaku
manusia.
Para ahli psikologi belakangan ini juga cenderung
untuk menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mencoba mengkaji proses akal
manusia dan segala menifestasinya yang mengatur prilaku manusia itu, tujuan
pengkajian akal ini adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol
prilaku manusia.
3.
Sosial
Sosiologi mempelajari antara lain stuktur sosial,
organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat, tingkah laku
masyarakat. Secara kongkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam
masyarakat, seperti keluarga, clan (subsuku), suku, bangsa. Di dalam
masyarakat juga ada semacam lapisan, seperti lapisan pengusaha dan lapisan
rakyat jelata, atau kasta-kasta yang berjenjang juga dipelajari sosiologi.
4.
Psikolinguistik Sosial
Subdisiplin psikolinguistik ini berkenaan dengan aspek-aspek sosial bahasa. Bagi
suatu masyarakat-bahasa, bahasa itu bukan hanya merupakan suatu gejala dan
identitas sosial saja, tetapi juga merupakan suatu ikatan batin dan nurani yang
sukar ditinggalkan.
2.2 Nilai dan
Moral
Untuk
dapat memahami nilai tuturan dari persepektif psikolinguistik sosial, maka
dirasa perlu terlebih dahulu untuk memahami konsep tentang nilai dan moral. Hal
itu akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
1. Nilai
Menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh
individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial
tertentu. Dalam perspektif spranger,
kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan
kesejarahan, meskipun menempatkan konteks social sebagai dimensi nilai dalam
kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individu yang
dikenal dengan istilah “roh subjektif”.
Nilai
merupakan sesuatu yang diyakini
keberadaanya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan
sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok social membuat keputusan
mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai.
- Moral
Moral
pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam prilaku yang
harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku
individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral
merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai
social budaya dimana individu sebagai anggota sosisal. Moral merupakan tatanan
prilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam
hubungannya dengan individu, kelompok, atau masyarakat. Moralitas merupakan
pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang.
2.3 Hubungan
Bahasa, Berpikir dan Berbudaya
Berbahasa dalam arti komunikasi dimulai dengan membuat
enkode sematik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara kemudian
dilanjutkan dengan pembuatan enkode fonologi. Dilanjutkan dengan penyusunan
dekode fonologi,dekode gramatikal dan dekode semantik pada pihak
pendengar.Beberapa pendapat yang di kemukakan oleh sejumlah pakar yakni tentang
beberapa teori :
1. Teori Wilhelm von Humboldt
Beliau menekankan bahwa pemikiran manusia tidak bisa
lepas dari bahasa. Maksudnya pandangan hidup dan budaya manusia ditentukan oleh
bahasa manusia itu sendiri.Anggota-anggota masyarakat itu tidak bisa menyimpang
dari lagi dari garis-garis yang ditentukan bahasanya itu.Kalau seseorang ingin
mengubah pandangan hidupnya maka dia harus belajar dulu satu bahasa
lain.Mengenai bahasa itu sendiri Humboldt berpendapat bahwa bahasa itu dibagi
menjadi dua bagian yaitu bunyi-bunyian dan pikiran-pikiran yang belum
terbentuk.Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh
innerform.Jadi bahasa menurut Humboldt adalah sintesa dari bunyi(lautform) dan
pikiran(deenform)
2. Teori Sapir - Whorf
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf dapat dikatakan
bahwa kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat Asia Tenggara adalah sama
karena bahasanya memiliki struktur yang sama.Sedankan pandangan bangsa Cina,
Amerika Latin dan Eropa adalah berlainan karena struktur bahasanya
berlainan.Whorf juga mengatakan bahwa bahasa menuntun pola berpikir kita
contohnya : pada kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai
pola kalimat yang sama dengan kalimat see that house. Dalam kalimat see
that hause kita memang dapat melihat sebuah rumah tapi pada kalimat see
that wave kita sebenarnya melihat sekumpulan ombak, bukan sebuah ombak(karena
tidak ada ombak hanya satu).Ini adalah bukti bahwa pikiran kita dikungkung oleh
bahasa kita
3. Teori Jean Piaget
Menurut Piaget pikiranlah yang membentuk bahasa tanpa
pikiran bahasa tidak ada. Piaget yang mengembangkan teori perkembangan
kognisi menyatakan jika seorang anak dapat menggolongkan sekumpulan
benda-benda dengan cara-cara yang berlainan sebelum anak itu dapat
menggolongkan benda-benda itu dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan
benda-benda tersebut maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi
sebelum dia dapat berbahasa.
Selain teori-teori tersebut masih banyak teori lain
mengenai hubungan bahasa, berpikir, dan berbudaya. Seperti teori Vygotsky,
teori Noan Comsky, dan teori dari ahli lainnya. Namun penulis merasa ketiga
teori di atas mampu memberi gambaran mengenai bagaimana hubungan bahasa,
pikiran (kejiwaan), dan kebudayaan (sosial) dalam penelitian tuturan
psikolinguistik sosial ini.
BAB
III
TEMUAN
DAN PEMBAHASAN
Dalam Bab III ini akan disajikan
tuturan-tuturan yang penulis temukan di masyarakat, yaitu di Desa Yeh Kuning,
Kecamatan Jembrana (dahulu Kecamatan Negara), Kabupaten Jembrana. Temuan-temuan
yang berupa tuturan-tuturan tersebut akan dibahas satu per satu. Untuk
menghilangkap interprtasi yang berbeda tentang nilai dan pemikiran atau unsur
kejiwaan dalam suatu tuturan, maka dalam tuturan yang penulis temukan, penulis
sertai dengan konteks tuturan saat tuturan tersebut terjadi.
3.1 Nilai Pemikiran; Kejiwaan Tuturan berdasarkan
Kajian Psikolinguistik Sosial
1. Saat seseorang merundingkan suatu hal, yang sering terdengar adalah
ucapan seperti ini “keneh-kenehan malu sakonden kajalanin”
‘pikir-pikir dahulu sebelum dikerjakan’. Makna dari ucapan itu sebenarnya
merujuk ke nilai bagia sekala lan niskala, yaitu pertimbangkanlah segala
sesuatu itu dengan matang, karena sesuatu itu pasti ada baik dan buruknya. Jika
baik yang akan dirasa lebih banyak, maka kerjakanlah. Tetapi apabila buruknya
lebih banyak, jangan memaksakan diri, karena hidup tidak akan terasa bahagia.
Secara kejiwaan, ujaran tersebut memiliki makna bahwa orang haruslah mimikirkan
baik-buruk suatu perbuatan. Hal ini seperti hukum karma phala, yaitu apa
yang dikerjakan akan sesuai dengan apa yang diterima. Baik itu phala yang
diterima langsung semasih hidup ataupun phala yang akan diterima dikelak
kemudian hari.
2. Bermain
judi, baik dalam bentuk bermain kartu maupun sabung ayam pada saat hari raya
Galungan atau Kuningan seakan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat. Walaupun
pihak berwajib sedang gencar-gencarnya menyuarakan larangan berjudi, praktek
semacam ini masih tetap berlangsung. Pada saat hari raya, sebelum bapak keluar
rumah, ibu akan bertanya “Beli, jam kuda buin kijep ka pura?”
‘Beli (suami), jam berapa sebantar ke pura?’. Maksud dari pertanyaan itu sebenarnya
tidaklah hanya sekedar bertanya jam pergi ke pura, tetapi juga mengingatkan
bahwa jangan ikut bermain judi, lebih baik kita menggunakan waktu ini untuk
lebih mendekatkan diri dengan Tuhan melalui bersembahyang di pura. Pertanyaan
tersebut juga sebenarnya adalah pembatas waktu bapak pergi ke luar rumah,
sehingga bapak akan berpikir kalau ia ikut bermain judi tentu bisa melupakan
waktu dan menyebabkan orang-orang di rumah resah dan tidak jadi bersembahyang
ke pura. Dengan demikian, bapak pun tidak akan bermain judi. Muatan pemikiran
yang disampaikan oleh ibu tersebut berkaitan erat dengan kejiwaan yang ingin
mendekatkan diri dengan Tuhan. Jadi ucapan yang dipengaruhi oleh faktor
kejiwaan tersebut difungsikan sebagai kontrol sosial agar menjauhi
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan.
3. Di Banjar Beratan,
Desa Yeh Kuning terdapat sebuah pohon besar yang disebut pohon kepuh. Oleh masyarakat desa, pohon ini dipercaya
ada penunggunya, maka tidak heran jika kita melihat kalau pohon ini dilingkari
kain poleng. Suatu hari, ada salah seorang yang berasal dari daerah
pegunungan meminta tolong kepada salah satu aparat desa untuk mengantar mencari
babakan punyan kepuh ‘kulit dari pohon kepuh’ yang akan digunakan untuk
membuat boreh ‘lulur’ guna mengobati orang sakit. Sebelum
berangkat mencari, aparat desa itu bertanya “ba ngaba canang?”
‘sudah membawa canang?’. Dari ujaran tersebut, tersirat makna bahwa di setiap
tempat atau jengkal tanah di Bali ada penguasanya, ada kepercayaan bahwa
mengambil kulit pohon sama dengan mengambil kulit dari penunggu pohon tersebut.
Ini berarti kita akan melukainya. Oleh karena itu, sudah seyogyanyalah kita
meminta izin terlebih dahulu sebelum meminta atau mencari sesuatu. Ada suatu
nilai kearifan yang dapat kita lihat di sini, bahwa dengan mensakralkan pohon
akan membuat orang tidak sembarangan menebang pohon. Ini juga menunjukan
bagaimana usaha manusia untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan mahluk lain
yang tidak dapat dilihat secara kasat mata dan juga menjaga keharmonisan dengan
alam. Adanya stimulus yang berupa kepercayaan terhadap kekuatan sesuatu selain
Tuhan akan mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat, sehingga timbul suatu
pemikiran bahwa hidup itu tidak boleh saling mengganggu. Pemikiran seperti
itulah yang melahirkan respon berupa tuturan “ba ngaba canang?”
4. Masih
berhubungan dengan dunia niskala, yaitu ketika seseorang ingin buang air kecil
di suatu tempat, maka teman yang diajaknya pasti akan menyuruh untuk mengatakan
“nyelang galah tiang ngenceh deriki” ‘pinjam tempatnya, saya
buang air di sini”. Makna dari ujaran itu adalah adanya keyakinan bahwa tempat
itu ada yang mendiami, dan layaknya seorang tamu yang akan menggunakan
tempatnya maka kita harus mengucapkan permisi dan memohon ijin agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
5. “Jani ada nak Jumatan, adèng-adèng ngaba motor” ‘Sekarang
ada orang Jumatan, hati-hati bawa motor’. Ujaran seperti itu dapat didengar
sewaktu seseorang hendak pergi ke Desa Perancak. Pesan itu disampaikan karena
jalan ke Desa Perancak melalui Desa Air Kuning yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Ini berari terdapat suatu pemikiran di masyarakat bahwa kita
yang hidup berdampingan dengan agama lain, hendaknya selalu hidup tenggang rasa
dan saling menghargai kepercayaan satu sama lain. Ada nilai saling
hormat-menghormati dalam ujaran tersebut.
6. Saat ada seorang tetangga yang sedang sakit dan saat itu ada yang
sedang menghidupkan tipe dengan suara yang agak keras. Maka ada yang berkata “ ada nak gelem.”
‘ada orang sakit’. Walaupun hanya perkataan seperti itu, orang yang diajak
bicara (petutur) akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh lawan bicaranya. Dalam
tuturan itu tersirat makna bahwa kita harus bisa menghargai orang lain,
terlebih orang yang sedang sakit.
7. Cara menghargai keberadaan
orang lain terkadang sangat mudah. Hanya saja orang sering enggan melakukannya.
Tersenyum adalah salah satu caranya. Dengan tersenyum dengan siapapun itu
menunjukan suatu sikap keakraban dan saling menghormati. Tidak heran jika
sering terdengar tuturan “Sing ada rugin makenyeman ngajak anak lén”
‘tidak ada ruginya tersenyum kepada orang lain’. Tuturan ini mengandung
petuah bahwa dengan senyum saja, kita sudah dapat menciptakan kedekatan dengan
orang lain.
8. Nilai pemikiran ngajinin
idup ‘menghargai kehidupan’ juga ada di dalam masyarakat. Untuk
dapat merealisasikan nilai ini, harus tumbuh suatu pandangan yang positif
tentang kehidupan. Nilai ngajinin idup dapat kita lihat pada
tuturan-tuturan berikut:
a) Orang yang sudah berusia lanjut sering
berpesan kepada para pemuda bahwa hidup sebagai manusia sangat mulia, karena
memiliki kesempatan menebus kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Biarpun hidup
itu sulit, jangan pernah mengeluh, jalanilah hidup sebagaimana mestinya. Jika
dibandingkan dengan kehidupan dahulu, saat ia masih makan nasi yang bercampur
jagung, ketela pohon, dan juga tidak pernah makan nasi, tentu kehidupan ini
sekarang jauh lebih baik. Jadi jangan kecewa dengan kehidupan. Orang tua itu
akan merealisasikan maksudnya itu dengan ujaran “Mai bareng-bareng
sembahyang, nyèn nawang Widhi masueca” ‘Ayo bersama-sama berdoa,
siapa tahu Tuhan memberikan anugrah’.
b) Nilai ngajinin idup ini juga
berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Hal ini tampak dalam tuturan seseorang
ketika ada tetangga yang menjual tanahnya dengan tujuan yang tidak jelas
(mungkin hanya habis di meja judi). Bapak akan bertanya “apa lakar
kabaang cucuné mani?” ‘apa yang akan diberikan untuk cucu nanti?’ Makna
dari pertanyaan itu adalah seseorang dalam hidup ini tidak semestinya hanya
memikirkan dirinya sendiri.
c) Ngajinin idup juga dapat dilakukan dengan selalu berusaha untuk
berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Misalnya saja
ketika seorang anak kecil menangkap capung dan kemudian mengikat bagian ekornya
dengan benang untuk diterbangkan lalu ditarik kembali layaknya bermain
layangan, ibunya berkata “Dek, jani Dek ngètoan capung, mani Dek kètoan
masé di neraka” ‘ Dek, sekarang Dek membuat capung seperti itu, nanti
Dek dibegitukan juga di neraka’. Makna dari ujaran itu adalah apapun yang kita
lakukan pada hidup ini, maka itulah hasil yang akan didapat nanti pada saat
meninggal. Kita harus bisa menghargai makluk lain seperti kita menghargai dan
menyayangi diri kita sendiri. Dengan berbuat seperti itu, berarti kita telah
menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita.
Pemikiran-pemikiran yang ada
di masyarakat, khususnya di Desa Yeh Kuning, yang tercermin dari
tuturan-tuturan dalam percakapan sehari-hari, bukan hanya berfungsi sebagai
alat komunikasi. Namun ada nilai yang tertanam di dalamnya. Bahasa dalam wujud
tuturan tersebut secara psikolinguistik sosial merupakan suatu ikatan batin dan
naluri yang sulit ditinggalkan. Masyarakat sepakat untuk menghormati
nilai-nilai yang ada tersebut. Perlu diingat bahwa pemikiran itu ada karena
adanya pengaruh sosial yang kemudian direalisasikan dalam bentuk bahasa yang
diujarkan.
Salah satu contoh pemikiran
lagi yang mungkin akan dapat memperjelas tuturan-tururan yang telah dikemukakan
di atas adalah tuturan “Yen nanem padi, padi ané lakar kaalap, yen
nanem kacang, kacang ané lakar kaalap” ‘Kalau menanam padi, padi
yang dipanen, kalau menanam kacang, kacang yang dipanen. Tuturan
tersebut bermakna bahwa apa yang kita kerjakan, maka itulah hasil yang akan
kita peroleh. Melakukan sesuatu yang baik, maka kebaikan yang akan kita
dapatkan nantinya, dan sebaliknya, melakukan suatu tindakan yang buruk, maka
keburukanlah yang akan kita dapatkan nantinya. Ujaran ini terealisasikan karena
adanya pemikiran mengenai karma phala. Konsep tentang karma phala ini
kemudian mempengaruhi pikiran dan kejiwaan seseorang. Sehingga dalam kehidupan
bermasyarakat seseorang akan selalu berusaha untuk menjalankan perbuatan baik.
Dilihat dari segi nilai pemikiran, maka dapat dikatakan nilai yang ada di
masyarakat Desa Yeh Kuning adalah nilai idup terepti ‘hidup
bahagia’. Nilai ini didukung oleh nilai-nilai lain seperti nilai menghargai
hidup, saling menghargai, dan juaga karma phala.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Setelah
melakukan pembahasan pada Bab III, hal-hal tersebut dapat disimpulkan adalah
bahwa nilai yang ada di suatu daerah, khususnya di Desa Yeh Kuning, dipengaruhi
oleh kejiwaan dan pemikiran masyarakat tersebut. Kejiwaan dan pemikiran
tersebutlah yang diwujudnyatakan dalam bentuk bahasa yang dituturkan. Bahasa
tersebut kemudian akan memberi efek berupa pengaruh ke pada anggota masyarakat
lainnya. Sehingga tercipta suatu ikatan batin dan naluri antaranggota dalam
suatu masyarakat.
Nilai pemikiran yang terdapat
di suatu daerah bisa saja berbeda dengan daerah yang lain. Hal ini tergantung
dari pemikiran dan kejiwaan masyarakat penutur bahasa tersebut. Contohnya saja
di Desa Yeh Kuning yang memiliki pandangan pemikiran idup terepti yang
didukung oleh nilai-nilai lain seperti nilai saling menghargai, nilai
menghargai hidup, dan juga nilai karma phala.
4.2 Saran
Dalam memahami suatu nilai pemikiran yang terdapat
dalam masyarakat, kita perlu melakukan pengamatan yang dapat dipusatkan di
suatu daerah. Nilai tutur yang dikaji dari sudut psikolinguistik sosial yang
ada di suatu daerah hendaknya jangan dipertentangkan dengan nilai-nilai
pemikiran di daerah lain. Hal ini mengingat adanya perbedaan atau karakteristik
antara daerah yang satu dan daerah yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohammad,
dan Asrori, Muhammad. 2004. Piskologi Remaja (perkembangan peserta didik).
Jakarta: PT Bumi Aksa.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik (kajian
teori). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul,
dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik (suatu pengantar). Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Sumarsono.
2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda (Lembaga Studi Agama, Budaya
dan perdamaian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar