Jumat, 04 Mei 2012


PSIKOLINGUISTIK SOSIAL
(kajian mengenai nilai pemikiran dalam tuturan
 di Desa Yeh Kuning)
oleh I Putu Mas Dewantara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. sistem pada definisi ini merujuk pada adanya elemen-elemen beserta hubungan satu sama lainnya yang akhirnya membentuk suatu konstituen yang sifatnya hierarkhis. Dalam bidang fonologi, misalnya, elemen-elemen ini adalah bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa yang bersangkutan. Elemen bunyi itu tentunya berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain. Dalam bahasa Inggris, misalnya, banyak bunyi yang juga ada dalam bahasa kita, tetapi ada beberapa bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa kita. Bunyi bahasa Inggris /ð/ seperti pada kata then, tidak ada dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, bahasa Inggris tidak memiliki bunyi /ә/ seperti pada kata Sunda peuyem.
Sistem dalam bahasa adalah sistem yang terdiri dari simbol-simbol. simbol-simbol adalah kata-kata seperti air, kursi, hijau, dan sebagainya. Mengingat bahasa adalah lisan, maka simbol-simbolnya pun juga simbol-simbol lisan. simbol-simbol ini bersifat arbitrer, yakni tidak ada keterkaitan antara simbol-simbol ini dengan benda, keadaan, atau peristiwa yang diwakilinya. Tidak ada alasan mengapa benda yang digunakan untuk duduk disebut kursi, begitu pula keadaan yang tidak sehat disebut sakit.
Bahasa itu tidak pernah netral, maksudnya di dalam bahasa itu tercermin pemikiran, nilai dan budaya penutur bahasa tersebut. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melalui bahasa yang diujarkan, kita dapat mengetahui karakteristik ataupun pemikiran seseorang. Menurut Halliday yang dikutip oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995: 20), bahasa dilihat dari sudut penutur berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya, si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Seseorang sebagai anggota suatu masyarakat menggunakan perasaannya dalam bertuturan. Melalui tuturan-tuturan tersebut kita dapat mengetahui keadaan, sikap, ataupun nilai yang dimiliki oleh penutur. Baik itu pribadi maupun kelompok (masyarakat suatu daerah). Untuk mengetahui nilai-nilai yang dimiliki suatu masyarakat guyub tutur dalam hubungannya dengan psikologi, linguistik, dan sosial inilah dirasa perlu untuk melakukan suatu pengamatan mengenai Psikolinguistik Sosial. Kajian mengenai psikolinguistik sosial ini akan dipusatkan ke salah satu desa di kecamatan Jembrana (dahulu kecamatan Negara), Kabupaten Jembrana, yaitu tepatnya di Desa Yeh Kuning. Desa ini adalah desa tempat lahir penulis.

1.2    Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang penulisan laporan ini, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah:
1.2.1        Bagaimana nilai pemikiran; kejiwaan; kekerabatan dalam tuturan-tuturan masyarakat di Desa Yeh Kuning menurut kajian psikolinguistik sosial?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui nilai pemikiran; kejiwaan; kekerabatan dalam tuturan-tuturan masyarakat di Desa Yeh Kuning menurut kajian psikolinguistik sosial.

1.4    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.4.1    Bagi Mahasiswa
Sebagai mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia perlu mengetahui secara nyata (melalui penelitian) bagaimana pemerolehan bahasa itu terjadi. Hal ini bertujuan agar mahasiswa tidak hanya mengetahui teori saja, tanpa pernah mengamati langsung.
1.4.2    Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pemikiran (jiwa) dan nilai yang dimiliki suatu masyarakat atau guyub tutur yang tercermin dalam tuturan sehari-hari. Dengan adanya gambaran mengenai pemikiran-pemikiran tersebut, nantinya diharapkan masyarakat sebagai penerus kebudayaan mau mempertahankan nilai-nilai yang ada.
1.5    Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah:
1.5.1Metode Observasi
Metode observasi adalah suatu metode di mana penulis mengamati langsung tuturan-tuturan yang ada di masyarakat, kemudian langsung penulis deskripsikan nilai pemikiran yang ada dalam tuturan tersebut.
1.5.2Metode Wawancara
Dengan metode wawancara ini, penulis mewancarai beberapa orang untuk mengetahui tuturan-tuturan atau nilai-nilai yang ada di masyarakat.
1.5.3    Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah suatu metode dengan menggunakan buku-buku referensi yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Linguistik, Psikologi, Sosial dan Psikolinguistik Sosial
      Mengenai linguistik, psikolinguistik, social, dan psikolinguistik sosial akan dijelaskan satu-per satu sebagai berikut.
1.      Linguistik
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Pakar linguistik disebut linguis.Bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Oleh karena itu,kita bisa lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan linguistik itu adalah sebagai berikut.
Pertama, menurut objek kajiannya linguistik di bagi dua yaitu linguistik mikro dan makro. Kajian linguistik mikro adalah struktur internalbahasa itu sendiri, mencakup struktur fonologi, morfologi sintaksis, dan leksikon. Sedangkan kajian lingustik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi.
Kedua, menurut tujuan kajiannya linguistik dapat di bedakan atas dua bidang besar yaitu linguistik teoretis dan linguistik terapan. Kajian teoretis hanya di tujukan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka. Sedangkan kajian terapan di tujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalaam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, terjemahan, penyusunan kamus, dan sebagainya.
Ketiga, adanya disubut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah, mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Sedangkan sejarah
2.      Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. Kata psyche berarti jiwa, roh, atau sukma sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi, psikologi secara harfiah berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih membahas atau mengkaji sisi-sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Mengapa ? karena jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat di amati secara empiris, padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi. Walaupun besar kemungkinan gerak gerik lahir seseorang belum tentu menggambarkan keadaan jiwa sebenarnya, namun, secara tradisioanal psikologi lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari prilaku manusia.
Para ahli psikologi belakangan ini juga cenderung untuk menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mencoba mengkaji proses akal manusia dan segala menifestasinya yang mengatur prilaku manusia itu, tujuan pengkajian akal ini adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol prilaku manusia.
3.      Sosial
Sosiologi mempelajari antara lain stuktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara kongkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti keluarga, clan (subsuku), suku, bangsa. Di dalam masyarakat juga ada semacam lapisan, seperti lapisan pengusaha dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta yang berjenjang juga dipelajari sosiologi.
4.      Psikolinguistik Sosial
Subdisiplin psikolinguistik ini berkenaan dengan aspek-aspek sosial bahasa. Bagi suatu masyarakat-bahasa, bahasa itu bukan hanya merupakan suatu gejala dan identitas sosial saja, tetapi juga merupakan suatu ikatan batin dan nurani yang sukar ditinggalkan.

2.2 Nilai dan Moral
            Untuk dapat memahami nilai tuturan dari persepektif psikolinguistik sosial, maka dirasa perlu terlebih dahulu untuk memahami konsep tentang nilai dan moral. Hal itu akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
1. Nilai
      Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif  spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan, meskipun menempatkan konteks social sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individu yang dikenal dengan istilah “roh subjektif”.
      Nilai merupakan sesuatu yang diyakini  keberadaanya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok social membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai.
  1. Moral
      Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam prilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai social budaya dimana individu sebagai anggota sosisal. Moral merupakan tatanan prilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu, kelompok, atau masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang.

2.3 Hubungan Bahasa, Berpikir dan Berbudaya
Berbahasa dalam arti komunikasi dimulai dengan membuat enkode sematik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara kemudian dilanjutkan dengan pembuatan enkode fonologi. Dilanjutkan dengan penyusunan dekode fonologi,dekode gramatikal dan dekode semantik pada pihak pendengar.Beberapa pendapat yang di kemukakan oleh sejumlah pakar yakni tentang beberapa teori :
1. Teori Wilhelm von Humboldt
Beliau menekankan bahwa pemikiran manusia tidak bisa lepas dari bahasa. Maksudnya pandangan hidup dan budaya manusia ditentukan oleh bahasa manusia itu sendiri.Anggota-anggota masyarakat itu tidak bisa menyimpang dari lagi dari garis-garis yang ditentukan bahasanya itu.Kalau seseorang ingin mengubah pandangan hidupnya maka dia harus belajar dulu satu bahasa lain.Mengenai bahasa itu sendiri Humboldt berpendapat bahwa bahasa itu dibagi menjadi dua bagian yaitu bunyi-bunyian dan pikiran-pikiran yang belum terbentuk.Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh innerform.Jadi bahasa menurut Humboldt adalah sintesa dari bunyi(lautform) dan pikiran(deenform)
2. Teori Sapir - Whorf
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat Asia Tenggara adalah sama karena bahasanya memiliki struktur yang sama.Sedankan pandangan bangsa Cina, Amerika Latin dan Eropa adalah berlainan karena struktur bahasanya berlainan.Whorf juga mengatakan bahwa bahasa menuntun pola berpikir kita contohnya : pada kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola kalimat yang sama dengan kalimat see that house. Dalam kalimat see that hause kita memang dapat melihat sebuah rumah tapi pada kalimat see that wave kita sebenarnya melihat sekumpulan ombak, bukan sebuah ombak(karena tidak ada ombak hanya satu).Ini adalah bukti bahwa pikiran kita dikungkung oleh bahasa kita
3. Teori Jean Piaget
Menurut Piaget pikiranlah yang membentuk bahasa tanpa pikiran bahasa tidak ada. Piaget yang mengembangkan teori perkembangan kognisi menyatakan jika seorang anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda dengan cara-cara yang berlainan sebelum anak itu dapat menggolongkan benda-benda itu dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.

Selain teori-teori tersebut masih banyak teori lain mengenai hubungan bahasa, berpikir, dan berbudaya. Seperti teori Vygotsky, teori Noan Comsky, dan teori dari ahli lainnya. Namun penulis merasa ketiga teori di atas mampu memberi gambaran mengenai bagaimana hubungan bahasa, pikiran (kejiwaan), dan kebudayaan (sosial) dalam penelitian tuturan psikolinguistik sosial ini.


BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

            Dalam Bab III ini akan disajikan tuturan-tuturan yang penulis temukan di masyarakat, yaitu di Desa Yeh Kuning, Kecamatan Jembrana (dahulu Kecamatan Negara), Kabupaten Jembrana. Temuan-temuan yang berupa tuturan-tuturan tersebut akan dibahas satu per satu. Untuk menghilangkap interprtasi yang berbeda tentang nilai dan pemikiran atau unsur kejiwaan dalam suatu tuturan, maka dalam tuturan yang penulis temukan, penulis sertai dengan konteks tuturan saat tuturan tersebut terjadi.
3.1 Nilai Pemikiran; Kejiwaan Tuturan berdasarkan Kajian Psikolinguistik Sosial
1. Saat seseorang merundingkan suatu hal, yang sering terdengar adalah ucapan seperti ini “keneh-kenehan malu sakonden kajalanin” ‘pikir-pikir dahulu sebelum dikerjakan’. Makna dari ucapan itu sebenarnya merujuk ke nilai bagia sekala lan niskala, yaitu pertimbangkanlah segala sesuatu itu dengan matang, karena sesuatu itu pasti ada baik dan buruknya. Jika baik yang akan dirasa lebih banyak, maka kerjakanlah. Tetapi apabila buruknya lebih banyak, jangan memaksakan diri, karena hidup tidak akan terasa bahagia. Secara kejiwaan, ujaran tersebut memiliki makna bahwa orang haruslah mimikirkan baik-buruk suatu perbuatan. Hal ini seperti hukum karma phala, yaitu apa yang dikerjakan akan sesuai dengan apa yang diterima. Baik itu phala yang diterima langsung semasih hidup ataupun phala yang akan diterima dikelak kemudian hari.
2.  Bermain judi, baik dalam bentuk bermain kartu maupun sabung ayam pada saat hari raya Galungan atau Kuningan seakan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat. Walaupun pihak berwajib sedang gencar-gencarnya menyuarakan larangan berjudi, praktek semacam ini masih tetap berlangsung. Pada saat hari raya, sebelum bapak keluar rumah, ibu akan bertanya Beli, jam kuda buin kijep ka pura? ‘Beli (suami), jam berapa sebantar ke pura?’. Maksud dari pertanyaan itu sebenarnya tidaklah hanya sekedar bertanya jam pergi ke pura, tetapi juga mengingatkan bahwa jangan ikut bermain judi, lebih baik kita menggunakan waktu ini untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan melalui bersembahyang di pura. Pertanyaan tersebut juga sebenarnya adalah pembatas waktu bapak pergi ke luar rumah, sehingga bapak akan berpikir kalau ia ikut bermain judi tentu bisa melupakan waktu dan menyebabkan orang-orang di rumah resah dan tidak jadi bersembahyang ke pura. Dengan demikian, bapak pun tidak akan bermain judi. Muatan pemikiran yang disampaikan oleh ibu tersebut berkaitan erat dengan kejiwaan yang ingin mendekatkan diri dengan Tuhan. Jadi ucapan yang dipengaruhi oleh faktor kejiwaan tersebut difungsikan sebagai kontrol sosial agar menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan.
3.  Di Banjar Beratan, Desa Yeh Kuning terdapat sebuah pohon besar yang disebut pohon kepuh. Oleh masyarakat desa, pohon ini dipercaya ada penunggunya, maka tidak heran jika kita melihat kalau pohon ini dilingkari kain poleng. Suatu hari, ada salah seorang yang berasal dari daerah pegunungan meminta tolong kepada salah satu aparat desa untuk mengantar mencari babakan punyan kepuh ‘kulit dari pohon kepuh’ yang akan digunakan untuk membuat boreh ‘lulur’ guna mengobati orang sakit. Sebelum berangkat mencari, aparat desa itu bertanya ba ngaba canang? ‘sudah membawa canang?’. Dari ujaran tersebut, tersirat makna bahwa di setiap tempat atau jengkal tanah di Bali ada penguasanya, ada kepercayaan bahwa mengambil kulit pohon sama dengan mengambil kulit dari penunggu pohon tersebut. Ini berarti kita akan melukainya. Oleh karena itu, sudah seyogyanyalah kita meminta izin terlebih dahulu sebelum meminta atau mencari sesuatu. Ada suatu nilai kearifan yang dapat kita lihat di sini, bahwa dengan mensakralkan pohon akan membuat orang tidak sembarangan menebang pohon. Ini juga menunjukan bagaimana usaha manusia untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan mahluk lain yang tidak dapat dilihat secara kasat mata dan juga menjaga keharmonisan dengan alam. Adanya stimulus yang berupa kepercayaan terhadap kekuatan sesuatu selain Tuhan akan mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat, sehingga timbul suatu pemikiran bahwa hidup itu tidak boleh saling mengganggu. Pemikiran seperti itulah yang melahirkan respon berupa tuturan ba ngaba canang?

4.  Masih berhubungan dengan dunia niskala, yaitu ketika seseorang ingin buang air kecil di suatu tempat, maka teman yang diajaknya pasti akan menyuruh untuk mengatakan nyelang galah tiang ngenceh deriki ‘pinjam tempatnya, saya buang air di sini”. Makna dari ujaran itu adalah adanya keyakinan bahwa tempat itu ada yang mendiami, dan layaknya seorang tamu yang akan menggunakan tempatnya maka kita harus mengucapkan permisi dan memohon ijin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
5. “Jani ada nak Jumatan, adèng-adèng ngaba motor” ‘Sekarang ada orang Jumatan, hati-hati bawa motor’. Ujaran seperti itu dapat didengar sewaktu seseorang hendak pergi ke Desa Perancak. Pesan itu disampaikan karena jalan ke Desa Perancak melalui Desa Air Kuning yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini berari terdapat suatu pemikiran di masyarakat bahwa kita yang hidup berdampingan dengan agama lain, hendaknya selalu hidup tenggang rasa dan saling menghargai kepercayaan satu sama lain. Ada nilai saling hormat-menghormati dalam ujaran tersebut.
6. Saat ada seorang tetangga yang sedang sakit dan saat itu ada yang sedang menghidupkan tipe dengan suara yang agak keras. Maka ada yang berkata ada nak gelem.” ‘ada orang sakit’. Walaupun hanya perkataan seperti itu, orang yang diajak bicara (petutur) akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh lawan bicaranya. Dalam tuturan itu tersirat makna bahwa kita harus bisa menghargai orang lain, terlebih orang yang sedang sakit.
7. Cara menghargai keberadaan orang lain terkadang sangat mudah. Hanya saja orang sering enggan melakukannya. Tersenyum adalah salah satu caranya. Dengan tersenyum dengan siapapun itu menunjukan suatu sikap keakraban dan saling menghormati. Tidak heran jika sering terdengar tuturan “Sing ada rugin makenyeman ngajak anak lén” ‘tidak ada ruginya tersenyum kepada orang lain’. Tuturan ini mengandung petuah bahwa dengan senyum saja, kita sudah dapat menciptakan kedekatan dengan orang lain.
8. Nilai pemikiran ngajinin idup ‘menghargai kehidupan’ juga ada di dalam masyarakat. Untuk dapat merealisasikan nilai ini, harus tumbuh suatu pandangan yang positif tentang kehidupan. Nilai ngajinin idup dapat kita lihat pada tuturan-tuturan berikut:
a)      Orang yang sudah berusia lanjut sering berpesan kepada para pemuda bahwa hidup sebagai manusia sangat mulia, karena memiliki kesempatan menebus kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Biarpun hidup itu sulit, jangan pernah mengeluh, jalanilah hidup sebagaimana mestinya. Jika dibandingkan dengan kehidupan dahulu, saat ia masih makan nasi yang bercampur jagung, ketela pohon, dan juga tidak pernah makan nasi, tentu kehidupan ini sekarang jauh lebih baik. Jadi jangan kecewa dengan kehidupan. Orang tua itu akan merealisasikan maksudnya itu dengan ujaran “Mai bareng-bareng sembahyang, nyèn nawang Widhi masueca” ‘Ayo bersama-sama berdoa, siapa tahu Tuhan memberikan anugrah’.
b)      Nilai ngajinin idup ini juga berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Hal ini tampak dalam tuturan seseorang ketika ada tetangga yang menjual tanahnya dengan tujuan yang tidak jelas (mungkin hanya habis di meja judi). Bapak akan bertanya “apa lakar kabaang cucuné mani?” ‘apa yang akan diberikan untuk cucu nanti?’ Makna dari pertanyaan itu adalah seseorang dalam hidup ini tidak semestinya hanya memikirkan dirinya sendiri.
c)      Ngajinin idup juga dapat dilakukan dengan selalu berusaha untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Misalnya saja ketika seorang anak kecil menangkap capung dan kemudian mengikat bagian ekornya dengan benang untuk diterbangkan lalu ditarik kembali layaknya bermain layangan, ibunya berkata Dek, jani Dek ngètoan capung, mani Dek kètoan masé di neraka ‘ Dek, sekarang Dek membuat capung seperti itu, nanti Dek dibegitukan juga di neraka’. Makna dari ujaran itu adalah apapun yang kita lakukan pada hidup ini, maka itulah hasil yang akan didapat nanti pada saat meninggal. Kita harus bisa menghargai makluk lain seperti kita menghargai dan menyayangi diri kita sendiri. Dengan berbuat seperti itu, berarti kita telah menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita.
Pemikiran-pemikiran yang ada di masyarakat, khususnya di Desa Yeh Kuning, yang tercermin dari tuturan-tuturan dalam percakapan sehari-hari, bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun ada nilai yang tertanam di dalamnya. Bahasa dalam wujud tuturan tersebut secara psikolinguistik sosial merupakan suatu ikatan batin dan naluri yang sulit ditinggalkan. Masyarakat sepakat untuk menghormati nilai-nilai yang ada tersebut. Perlu diingat bahwa pemikiran itu ada karena adanya pengaruh sosial yang kemudian direalisasikan dalam bentuk bahasa yang diujarkan.
Salah satu contoh pemikiran lagi yang mungkin akan dapat memperjelas tuturan-tururan yang telah dikemukakan di atas adalah tuturan Yen nanem padi, padi ané lakar kaalap, yen nanem kacang, kacang ané lakar kaalap” ‘Kalau menanam padi, padi yang dipanen, kalau menanam kacang, kacang yang dipanen. Tuturan tersebut bermakna bahwa apa yang kita kerjakan, maka itulah hasil yang akan kita peroleh. Melakukan sesuatu yang baik, maka kebaikan yang akan kita dapatkan nantinya, dan sebaliknya, melakukan suatu tindakan yang buruk, maka keburukanlah yang akan kita dapatkan nantinya. Ujaran ini terealisasikan karena adanya pemikiran mengenai karma phala. Konsep tentang karma phala ini kemudian mempengaruhi pikiran dan kejiwaan seseorang. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat seseorang akan selalu berusaha untuk menjalankan perbuatan baik.
Dilihat dari segi nilai pemikiran, maka dapat dikatakan nilai yang ada di masyarakat Desa Yeh Kuning adalah nilai idup terepti ‘hidup bahagia’. Nilai ini didukung oleh nilai-nilai lain seperti nilai menghargai hidup, saling menghargai, dan juaga karma phala.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Setelah melakukan pembahasan pada Bab III, hal-hal tersebut dapat disimpulkan adalah bahwa nilai yang ada di suatu daerah, khususnya di Desa Yeh Kuning, dipengaruhi oleh kejiwaan dan pemikiran masyarakat tersebut. Kejiwaan dan pemikiran tersebutlah yang diwujudnyatakan dalam bentuk bahasa yang dituturkan. Bahasa tersebut kemudian akan memberi efek berupa pengaruh ke pada anggota masyarakat lainnya. Sehingga tercipta suatu ikatan batin dan naluri antaranggota dalam suatu masyarakat.
Nilai pemikiran yang terdapat di suatu daerah bisa saja berbeda dengan daerah yang lain. Hal ini tergantung dari pemikiran dan kejiwaan masyarakat penutur bahasa tersebut. Contohnya saja di Desa Yeh Kuning yang memiliki pandangan pemikiran idup terepti yang didukung oleh nilai-nilai lain seperti nilai saling menghargai, nilai menghargai hidup, dan juga nilai karma phala.

4.2 Saran
Dalam memahami suatu nilai pemikiran yang terdapat dalam masyarakat, kita perlu melakukan pengamatan yang dapat dipusatkan di suatu daerah. Nilai tutur yang dikaji dari sudut psikolinguistik sosial yang ada di suatu daerah hendaknya jangan dipertentangkan dengan nilai-nilai pemikiran di daerah lain. Hal ini mengingat adanya perbedaan atau karakteristik antara daerah yang satu dan daerah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad, dan Asrori, Muhammad. 2004. Piskologi Remaja (perkembangan peserta didik). Jakarta: PT Bumi Aksa.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik (kajian teori). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik (suatu pengantar). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda (Lembaga Studi Agama, Budaya dan perdamaian).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar