Minggu, 06 Mei 2012

TINDAK TUTUR


TINDAK TUTUR
Oleh I Putu Mas Dewantara

1. Pendahuluan
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal.
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pebelajar bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pebelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pebelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).
Dari semua isu dalam teori umum  penggunaan bahasa, teori tindak tutur merupakan isu yang paling luas menarik minat. Para psikolog, mengemukakan bahwa pemerolehan konsep-konsep yang melandasi tindak tutur merupakan prasyarat bagi pemerolehan bahasa pada umumnya; para filosof melihat potensi teori ini untuk diterapkan, antara lain, pada ajaran etika; sementara para linguis melihat pentingnya teori tindak tutur sebagai sesuatu yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam sintaksis, semantik, dan pebelajaran bahasa kedua. Menurut Soemarmo (1998), awal mula kajian ini terdapat pada karya L. Wittgenstein, “Tractatus Logico Philosophicus” (1921) yang menyatakan bahwa konsep yang dianut pada masa itu (awal abad ke-20, sebelum Perang Dunia II) ialah suatu ujaran hanya mempunyai makna jika kita dapat menemukan kebenarannya. Menurut Levinson (1985:227), manakala sebuah kalimat tidak dapat diverifikasi, yaitu diuji benar-salahnya, maka kalimat itu tidak bermakna (meaningless). Konsep yang demikian itulah yang dinilai Wittgenstein tidak layak. Menurut Levinson, Wittgenstein kemudian secara aktif mengemukakan slogan “meaning in use” (makna dalam penggunaan). Inilah cikal bakal lahirnya kajian terhadap tindak tutur.

2. Hakikat Tindak Tutur
Teori tindak tutur diawali oleh Wittgenstein, penganut positivisme logika. Ia menyatakan bahwa makna bahasa adalah penggunaan bahasa itu, bahwa ujaran hanya mempunyai makna jika dapat ditemukan kebenarannya. Pendapat Wittgenstein dibantah oleh Austin dengan bukti ihwal kalimat performatif yang tidak membutuhkan pembuktian benar-salah, berbeda dengan kalimat konstatif. Austin mengungkapkan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif (lihat Wijana 1996 halaman 23 s.d. 24). Pembedaan ujaran yang dikemukakan Austin ini kemudian diganti oleh pengklasifikasian rangkap tiga terhadap tindak-tindak, yakni dalam bertutur seseorang melakukan tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Yule (2006:82) mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur. Menurut Austin, sebagaimana dikutip Soemarmo, mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Inilah tindak tutur. Bahasa dapat digunakan untuk membuat kejadian.
Mendukung pendapat Austin, Searle (dalam Wijana, 1996:17) Yule (2006:83), dan Cummings (2007:9) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Dalam pemakaiannya, tindak tutur terikat pada konteks. Dengan kata lain, situasi tutur dan peristiwa tutur memengaruhi pemakaian tindak tutur. Contohnya, dalam sebuah pesta perkawinan (situasi tutur) ada seseorang yang memberi sambutan (peristiwa tutur); dalam sambutan tersebut si pemberi sambutan melontarkan sindiran, pujian, nasihat, dan sebagainya (tindak tutur). Jadi, tindak tutur tidak lepas dari konteks yang lebih luas.
           
3. Fungsi Tindak Tutur
            Fungsi tindak tutur berkenaan dengan antisintaksisme, yakni pandangan yang tidak mau berbicara tentang sintaksis murni, steril, melainkan mengaitkan unsur bahasa ini dengan sesuatu di luar bahasa. Dalam hal ini ialah konteks yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kalimat dan ujaran. Fungsi tindak tutur berkenaan dengan fungsi bahasa dan penggunaan bahasa dalam komunikasi (dalam konteks wilayah tutur).
            Dalam mengkaji fungsi tindak tutur terkait kepentingan pragmatik, kita harus memahami fungsi tutur. Ada banyak pakar yang menyampaikan fungsi tutur. Salah tiganya adalah David A. Wilkins, J.A. van Ek, dan Mary Finnochiaro. Fungsi tutur yang disampaikan David A. Wilkins terdiri atas delapan fungsi. Pertama, modalitas (menyatakan tingkat kepastian, kebutuhan, keyakinan, kemauan, kewajiban, dan toleransi). Kedua, disiplin moral dan evaluasi (pertimbangan, persetujuan, ketidaksetujuan). Ketiga, suasi (persuasi, rekomendasi, prediksi atau perkiraan). Keempat, argumen atau alasan (berkaitan dengan pertukaran informasi dan pandangan: kesempatan, ketidaksempatan, penolakan, jaminan). Kelima, pemikiran rasional. Keenam, emosi personal (positif, negatif). Ketujuh, hubungan emosional (penyampaian salam, ucapan selamat, keakraban, permusuhan, dan sebagainya). Kedelapan, hubungan antarpribadi (sopan snatun dan status: tingkat formalitas dan ketidakformalan).
            van Ek (1980) menyatakan enam fungsi tutur. Pertama, mencari informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, mengoreksi, bertanya). Kedua, mengungkapkan dan menemukan sikap intelektual (mengemukakan dan meminta persetujuan dan ketidaksetujuan, menerima atau menolak tawaran atau undangan, dan sebagainya). Ketiga, mengungkapkan dan menemukan sikap emosional (senang dan tidak senang, kejutan, harapan, dan keinginan, dan sebagainya). Keempat, mengungkapkan dan menemukan sikap moral (meminta maaf, mengizinkan dan tidak mengizinkan, mengungkapkan kepantasan dan ketidakpantasan, dan sebagainya). Kelima, suasi (menyuruh melakukan sesuatu): menyarankan serangkaian tindakan, menasehati, memperingatkan. Keenam, sosialisasi (hubungan sosial antarpribadi): menyampaikan salam, memberikan perhatian, mengajak bersulang, dan sebagainya.    
            Finnochiro (1979) menyatakan lima fungsi tutur. Pertama, personal atau pribadi (mengemukakan gagasan, pikiran atau perasaan): cinta, kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, kejutan, rasa lapar, haus, dan sebagainya. Kedua, antarpribadi (memungkinkan kita membangun dan mempertahankan hubungan sosial dan hubungan kerja yang diharapkan bersama): salam (bertemu dan berpisah), memperkenalkan seseorang kepada yang lain, meminta maaf, dan sebagainya. Ketiga, direktif (mengarahkan, memberi pedoman; berusaha memengaruhi orang lain): mengajukan permohonan, meminta tolong, memperingatkan, minta petunjuk. Keempat, rujukan atau referensial (membicarakan atau melaporkan tentang sesuatu, benda, tindakan, peristiwa, atau orang; berbicara tentang bahasa atau fungsi metabahasa): mengidentifikasi barang atau orang di dalam kelas, meminta mendeskripsikan atau memerikan orang atau barang; membandingkan atau mempertentangkan, dan sebagainya. Kelima, imajinatif: mendiskusikan puisi, novel, cerita pendek, dan sebagainya; mengembangkan gagasan yang berasal dari orang lain atau dari bacaan; menciptakan rima, puisi, dan sebagainya; menyelesaikan masalah atau materi.
            Dalam konteks pengimplementasian fungsi tutur secara pragmatis, ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

3.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Sebagai contoh adalah kalimat (01), (02), dan wacana (03) berikut:
(01)      Platypus adalah mamalia yang bisa berenang.
(02)      Kaki laba-laba berjumlah delapan.
(03)      Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha adakan Seminar Nasional dengan tema Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Tampil sebagai pemakalah utama dalam seminar tersebut Dr. Nurhadi, M.Pd. dari Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro, M.Pd. dari Universitas Negeri Yogyakarta, dan Maryanto, M.Hum dari Pusat Bahasa Jakarta. Sebagai pesertanya antara lain guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia se-Bali, mahasiswa pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan staf Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Kalimat (01) dan (02) diutarakan penutur semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan adalah informasi tentang binatang bernama Platypus dan berapa jumlah kaki laba-laba. Sebagaimana halnya kalimat (01) dan (02), wacana (03) pun cenderung diutarakan untuk menginformasikan sesuatu, yakni kegiatan yang diselenggarakan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, pembicara utama yang ditampilkan, dan peserta kegiatan itu. Dalam hal ini memang tidak tertutup kemungkinan terdapat daya ilokusi dan perlokusi dalam wacana (03). Akan tetapi, kadar daya lokusinya jauh lebih dominan dan menonjol.
Bila diamati secara saksama konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek dan predikat. Lebih jauh, tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi. Jadi, ditinjau dari perspektif pragmatik, tindak lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu penting peranannya untuk memahami tindak tutur.
3.2 Tindak Ilokusi
            Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi atau dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Kalimat (04) s.d. (07) di bawah cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara saksama.
(04) Saya tidak dapat datang
(05) Ada anjing gila
(06) Ujian sudah dekat
(07) Rambutmu sudah panjang
            Kalimat (04) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi meminta maaf. Informasi ketidakhadiran penutur  dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan atau tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (05) tidak hanya berfungsi membawa informs, melainkan juga memberi peringatan. Bila ditujukan kepada pencuri, tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (06), bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi member peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat (06) mungkin dimaksudkan untuk menasehati agar lawan tutur tidak hanya bepergian menghabiskan waktu secara sia-sia. Kalimat (07) bila diucapkan oleh oleh seorang laki-laki kepada pacarnya mungkin berfungsi menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Sebaliknya, bila diucapkan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintah agar si lelaki memotong rambutnya.
            Becermin pada uraian di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan, dan di mana tindak tutur terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.

3.3 Tindak Perlokusi
            Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tutur disebut tindak perlokusi. Untuk lebih jelasnya perhatikan kalimat (08) s.d. (10) di bawah ini.

(08) Ibunya galak.
(09) Kemarin saya mengikuti lomba memancing belut.
(10) Televisinya 20 inchi.
Bila kalimat (08) diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan kerja kelompok, maka ilokusinya secara tidak langsung menginformasikan bahwa rumah orang yang dibicarakan tidak nyaman digunakan atau dipilih sebagai tempat berkumpul mengerjakan tugas. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan yakni agar ketua perkumpulan berpikir memilih rumah orang lain sebagai tempat mengerjakan tugas kelompok. Bila kalimat (09) diutarakan oleh seorang siswa yang tidak dapat mengikuti ulangan kepada gurunya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf sekaligus permakluman. Perlokusi atau efek yang diharapkan adalah guru dapat memakluminya dan memberikan ulangan susulan. Bila kalimat (10) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan diselenggarakan siaran langsung Piala Dunia, kalimat ini tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan menonton di tempat temannya karena ia memiliki televisi 20 inchi, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui ajakannya.

4. Jenis Tindak Tutur dalam Buku Dasar-dasar Pragmatik Karangan Dr. I Dewa Putu
    Wijana, SU., MA.
            Agar kita memahami jenis-jenis tindak tutur ada baiknya terlebih dahulu diamati tuturan (11) s.d. (14) di bawah ini.
(11) Rambutmu sudah panjang.
(12) Potonglah rambutmu itu!
(13) Radionya kurang keras.
(14) Radionya keras sekali.
Tuturan (11) dapat mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi menyatakan informasi secara langsung karena modusnya adalah kalimat berita (deklaratif). Akan tetapi, bila tuturan (11) diutarakan oleh seorang ibu kepada anak laki-laklinya, kalimat (11) mungkin merupakan pengungkapan secara tidak langsung dari kalimat (12). Dikatakan secara tidak langsung karena maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita.
Tuturan (13) dapat mengandung arti yang sebenarnya atau arti literal bila penutur memang tidak dapat mendengar radio yang dibunyikan dengan volume suara yang sangat kecil. Akan tetapi, bila (13) diutarakan oleh seseorang yang merasa terganggu konsentrasi belajarnya agar lawan tuturnya mematikan radio yang terlalu keras didengarnya itu, tuturan (13) ini memiliki makna yang lain sekali dengan makna literalnya. Dalam hal ini, (13) merupakan pengungkapan nonliteral dari (14).
Dari uraian di atas tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.

4.1  Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Bila kalimat difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat bertanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung. Jenis tindak tutur ini dijelaskan pada  (15) s.d. (17) berikut ini:

(15) Yuni memiliki lima ekor kucing.
(16) Di manakah letak Pulau Bali?
(17) Ambilkan baju saya!

            Di samping itu, untuk berbicara secara spontan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuk tindak tutur tidak langsung. Untuk ini dapat disimak kalimat (18) dan (19) di bawah ini:

(18) Ada makanan di almari
(19) Di mana sapunya?
Kalimat (18), bila diucapkan kepada seorang teman yang membutuhkan makanan, dimaksudkan untuk memerintah atau mempersilakan lawan tutur mengambil makanan yang ada di almari yang dimaksud, bukan sekadar menginformasikan bahwa di almari ada makanan. Demikian pula tuturan (19) bila diutarakan oleh seorang ibu kepada seorang anak, tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang anak mengambil sapu itu. Untuk uraian ini simaklah wacana (20) dan (21) sebagai perluasan kon teks (18) dan (19).
(20)      + “Di, perutku kok lapar, ya.”
            - “Ada makanan di almari.”
            + “Baik, kuambil semua, ya?”
(21) Ibu           : “Di mana sapunya, Dik?”
       Anak        : “Sebentar, Bu, akan saya ambilkan.”
Kesertamertaan tindakan (-) dalam (20) dan (21) karena ia mengetahui bahwa tuturan yang diutarakan oleh lawan tuturnya bukanlah sekadar menginformasikan sesuatu, tetapi menyuruh orang yang diajak berbicara.
            Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya. Tuturan (22) dan (23)

(22) Saya kemarin tidak dapat hadir.
(23) Jam berapa sekarang?
(24)  + “Saya kemarin tidak dapat hadir.”
         - “Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan.”
(25)  + “Jam berapa sekarang?”
         - “Jam 12 malam, Bu.”
(26)  - “Saya kemarin tidak dapat hadir.”
        + “Ya, tidak apa-apa.”
(27)  + “Jam berapa sekarang?”
         - “Ya, Bu, sekarang saya pamit.”

            Dari uraian di atas skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya dengan kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.

MODUS
TINDAK TUTUR
LANGSUNG
TIDAK LANGSUNG
Berita
Memberitakan
Menyuruh
Tanya
Bertanya
Menyuruh, Menolak
Perintah
Memerintah
Menolak


4.2  Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan kalimat (28) s.d. (31) berikut.
(28) Penyanyi itu suaranya bagus.
(29) Suaramu bagus, (tapi tak usah nyanyi saja).
(30) Radionya keraskan! Aku ingin mencatat lagu itu.
(31) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau belajar.

Kalimat (28) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi kemerduan suara penyanyi yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal, sedangkan (29), karena penutur memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah nyanyi saja, merupakan tindak tutur tidak literal. Demikian pula karena penutur benar-benar menginginkan lawan tutur untuk mengeraskan (membesarkan) volume radio untuk dapat secara lebih mudah mencatat lagu yang diperdengarkannya, tindak tutur kalimat (30) adalah tindak tutur literal. Sebaliknya, karena penutur sebenarnya menginginkan lawan tutur mematikan radionya, tindak tutur dalam (31) adalah tindak tutur tidak literal. 

5. Interaksi Berbagai Jenis Tindak Tutur
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur- tindak tutur berikut ini:
1)        Tindak Tutur Langsung Literal
2)        Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
3)        Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
4)        Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

5.1  Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat Tanya, dan sebagainya. Untuk uraian ini dapat diperhatikan kalimat (32) s.d. (34) berikut:
(32) Orang itu sangat pandai.
(33) Buka mulutmu!
(34) Jam berapa sekarang?

Tuturan (32), (33), dan (34) merupakan tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan tutur membuka mulut, dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan diutarakan dengan kalimat berita (32), maksud memerintah dengan kalimat perintah (33), dan maksud bertanya dengan kalimat tanya (34).

5.2    Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan bukan dengan kalimat perintah, melainkan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Untuk lebih jelasnya, dapat disimak kalimat (35) dan (36) di bawah ini:
(35) Lantainya kotor.
(36) Di mana handuknya?

Dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya pada (35), tuturan ini tidak hanya berupa informasi. Di dalamnya terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita. Makna kata-kata yang menyusun (35) sama dengan maksud yang dikandungnya. Demikian pula dalam konteks seorang suami bertutur dengan istrinya pada (36). Maksud memerintah untuk mengambilkan handuk dalam konteks kalimat (36) disampaikan secara tidak langsung dengan kalimat tanya dan makna-makna kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandung. Untuk memperjelas maksud memerintah (35) dan (36) di atas, perluasannya dalam konteks (37) dan (38) diharapkan dapat membantu:

(37)      + “Lantainya kotor.”
            - “Baik, saya akan menyapu sekarang, Bu.”
(38)      + “Di mana handuknya?”
            - “Sebentar, saya ambilkan.”

Adalah sangat janggal bila dalam konteks seperti (37) dan (38) seorang pembantu dan istri menjawab seperti (39) dan (40) berikut:

(39)      + “Lantainya kotor.”
            - “Memang kotor sekali ya, Bu.”
(40)      + “Di mana handuknya?”
            - “Di almari.”

Tentu jawaban (-) dalam (39) dan (40) akan mengagetkan sang majikan yang sedang jengkel melihat lantai rumahnya kotor dan mengejutkan sang suami yang lupa membawa handuk dan telanjur basah dan telanjang di kamar mandi.
  
5.3    Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan (41) dan (42) di bawah ini:

(41) Suaramu bagus, kok.
(42) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!

Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam (41) memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Dalam konteks kalimat (42) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini anaknya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan. Data (41) dan (42) menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang penting, tetapi bagaimana cara mengatakannyalah yang penting.
            Hal lain yang perlu diketahui dalam pembahasan 3.3 adalah bahwa kalimat tanya tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.

5.4    Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (43). Demikian pula untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume radionya, penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (44) dan (45) berikut:

(43) Lantainya bersih sekali.
(44) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran.
(45) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kaudengar?

6. Klasifikasi Tindak Tutur dalam Buku Karangan George Yule
Sistem kualifikasi umum mencantumakn 5 jenis fungsi umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur; deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan konsumtif.
Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Seperti contoh dalam (46) menggambarkan, penutur harus memiliki institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat.
(46)      a. Priest           : I now pronounce you husband and wife.
                                      (Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri)
            b. Refree         : You’re out!
                                     (Anda keluar!)
            c. Jury Foreman: we find the defendant guilty.
                                     (Kami menyatakan terdakwa besalah)
Pada waktu menggukan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.
Representatif ialah tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian, seperti yang digambarkan dalam (47), merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh para penutur yang mengambarkannya.
(47)      a. The earth is flat.
                 (Bumi itu datar)
            b. Chomsky didn’t write about peanuts.
                (Chomsky tidak menulis tentang kacang)
            c. It was a warm sunny day.
                (Suatu hari cerah yang hangat)
Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).
Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pertanyaan-pertanyaan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, dan kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Seperti yang digambarkan dalam (48), tindak tutur itu itu mungkin disebabkan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.
(48)      a. I’m really sorry.
               (Sungguh, saya minta maaf)
            b. Congratulation!
              (Selamat!)
            c. Oh, yes, great, mmmm…ssahh)
              (Oh, yah, mmmm…aahh)
Pada waktu mengggunakan ekspresif penutur menyesuakan kata-kata dengan dunia (perasaannya)
Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, seperti digambarkan dalam (49), dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.
(49)      a. Gimme a cup of coffee. Make it black.
              (Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi yang pahit.)
            b. Could you lend me a pen, please?
              (Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena?)
            c. Don’t touch that!
              (Jangan menyentuh itu!)
Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengaran)
Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengingatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksud oleh penutur. Tindak tutur ini dapan berupa janji, ancaman, penolakan ikrar, seperti yang ditunjukkan dalam (50), dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok.
(50)      a. I’ll be back.
              (Saya akan kembali)
            b. I’m going to get it right next time.
              (Saya akan membetulkannya lain kali)
            c. We will not do that.
              (Kami tidak akan melakukan itu)
Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur)
Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum dalam tabel di bawah ini:
Tipe tindak tutur
Arah penyesuaian
P = Penutur
X = situasi
Deklarasi
Kata mengubah dunia
P menyebabkan X
Representatif
Kata disesuaikan denga dunia
P meyakini X
Ekspresif
Kata disesuaikan dengan dunia
P merasakan X
Direktif
Dunia disesuaikan dengan kata
P menginginkan X
Komisif
Dunia disesuaikan dengan kata
P memaksudkan X
            Lima fungsi umum tindak tutur (mengikuti Searle 1979)

6.1 Tindak Tutur Langsung dan Tak Langsung
Pendekatan yang berbeda terhadap pemilahan tipe-tipe tindak tutur ini dapat dibuat berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum tindak tutur yang diberikan dalam bahasa Inggris (51), dengan mudah dapat diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk struktural (deklaratif, interogatif, imperatif) dan tiga fungsi komunikasi umum (pernyataan, pertanyaan, perintah/ permohonan)
(51)      a. You wear a seat belt. (Declarative)
              (Anda mengenakan sabuk pengaman)
            b. Do you wear a seat belt? (interrogative)
              (Apakah Anda mengenakan sabuk pengaman?)
            c. Wear a set belt! (imperative)
              (Kenakan sabuk pengaman!)
Apabila ada hubungan langsung antara struktur dan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur langsung. Dan apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur tidak langsung. Jadi bentik deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan disebut tindak tutur langsung, sedangkan untuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan merupakan tindak tutur tak langsung. Seperti yang digambarkan dalam (52), tuturan dalam (52a) adalah bentuk deklaratif. Jika tuturan ini digunakan utnuk membuat suatu pernyataan, seperti yang diparafrasakan dalam (52b.), tuturan ini berfungsi sebagai tindak tutur langsung. Jika tuturan ini digunakan untuk memparafrasakan dalam (52c.), tuturan ini berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.
(52)      a. It’s cold outside.
              (Di luar dingin)
            b. I hereby tell you about the weather.
              (Dengan ini saya mengatakan kepada Anda tenang cuaca)
            c. I hereby request of you that you close the door.
              (Dengan ini saya memohon Anda agar Anda menutup pintu)
Struktur yang berbeda dapat digunakan utnuk menyempurnakan fungsi yang sama, seperti dalam (53), dimana penutur menginginkan orang yang dituju agar tidak berdiri di depan TV. Fungsi dasar dari seluruh tuturan dalam (53) ialah perintah/ permohonan, tetapi hanya struktur impresid di dalam (53b.) yang mewakili tindak tutur. Struktur interogatif dalam (53b.) tidak hanya dipakai dalam bentuk pertanyaan, karena struktur interogatif ini adalah suatu tindak tutur langsung. Struktur deklaratif dalam (53c.) dan (53d.) juga permohonan tidak langsung.
(53)      a. Move out of the way!
              (Ke luarlah dari jalan)
            b. Do you have to stand in front of the TV?
              (Haruskah Anda berdiri di depan TV?)
            c. You’re standing in front of the TV.
              (Anda berdiri di depan TV)
            d. You’d make a better door than a window.
              (Anda sebaiknya membuat pintu yang lebih baik dari pada jendela)
Salah satu tipe yang paling umum dari tindak tutur tidak langsung dalam bahasa Inggris, seperti yang ditunjukkan dalam (54), memiliki bentuk interogatif, tetapi secara khusus tidak dipakai untuk menanyakan suatu pertanyaan (karena tidak hanya mengharapkan suatu jawaban, akan tetapi tidak mengharapkan suatu tindakan). Contoh dalam (54) biasanya dipahami sebagai bentuk permohonan.
(54)      a. Could you pass the salt?
              (Bisakah Anda mengambil garam itu?
            b. Would you open this?
              (Maukah Anda membuka ini?
Sebenarnya dalam bahasa Inggris, ada pola khusus yang digunakan untuk menanyakan suatu pertanyaan tentang kemampuan yang diasumsikan oleh pendengar (‘Can you?’,’Could you?’ Dapatkah Anda?) atau kemungkinan di masa yang akan datang dengan beranggapan utnukb melakukan sesuatu (‘Will you?’,’Would you?’ Maukah anda?) biasanya dianggap sebagai suatu permohonan untuk melakukan sesuatu secara nyata.
Tindak tutur tidak langsung biasanya diasosiasikan dengan lebih sopan dalam bahasa Inggris dari pada tindak tutur langsung. Untuk mengetahui mengapa demikian, kita harus melihat gambaran yang lebih besar dari sekedar suatu tuturan tunggal yang menunjukkan suatu tindak tutur tunggal.
Bertutur = menggunakan bahasa à tuturan tulis dan tuturan lisan. Tuturan lisan berbeda dengan tuturan tulis. Pada hakikatnya, tuturan ialah realitas bahasa. Tuturan berbeda dengan kalimat. Tuturan selalu berkaitan dengan konteks.

Daftar Pustaka
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner (penerjemah Eti Setiawati, dkk.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fadilah. 2001. Tinjauan Kesalahan Berpragmatik Pebelajar BIPA sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Komunikatif Berwacana Secara Tertulis di Bandung International School. Skripsi S-1 Universitas Pendidikan Indonesia. (lihat di internet)
Subyakto, S.U. – Nababan. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Yule, George. 2006. Pragmatik (penerjemah Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar