TINDAK
TUTUR
Oleh I Putu Mas Dewantara
1.
Pendahuluan
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk
berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya
melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui
pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya
dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto,
1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan,
baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat
berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan
bersifat formal.
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni
sarana linguistik dan pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan
bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan
kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana
linguistik lebih sering dihadapi oleh pebelajar bahasa Indonesia pemula,
sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pebelajar tingkat
menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Fadilah (2001) tentang
kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pebelajar Bahasa Indonesia untuk
Penutur Asing (BIPA).
Dari semua isu dalam teori
umum penggunaan bahasa, teori tindak
tutur merupakan isu yang paling luas menarik minat. Para psikolog, mengemukakan
bahwa pemerolehan konsep-konsep yang melandasi tindak tutur merupakan prasyarat
bagi pemerolehan bahasa pada umumnya; para filosof melihat potensi teori ini
untuk diterapkan, antara lain, pada ajaran etika; sementara para linguis
melihat pentingnya teori tindak tutur sebagai sesuatu yang dapat diterapkan
untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam sintaksis, semantik, dan pebelajaran
bahasa kedua. Menurut Soemarmo (1998), awal mula kajian ini terdapat pada karya
L. Wittgenstein, “Tractatus Logico
Philosophicus” (1921) yang menyatakan bahwa konsep yang dianut pada masa
itu (awal abad ke-20, sebelum Perang Dunia II) ialah suatu ujaran hanya
mempunyai makna jika kita dapat menemukan kebenarannya. Menurut Levinson
(1985:227), manakala sebuah kalimat tidak dapat diverifikasi, yaitu diuji
benar-salahnya, maka kalimat itu tidak bermakna (meaningless). Konsep yang demikian itulah yang dinilai
Wittgenstein tidak layak. Menurut Levinson, Wittgenstein kemudian secara aktif
mengemukakan slogan “meaning in use” (makna
dalam penggunaan). Inilah cikal bakal lahirnya kajian terhadap tindak tutur.
2.
Hakikat Tindak Tutur
Teori tindak tutur
diawali oleh Wittgenstein, penganut positivisme logika. Ia menyatakan bahwa
makna bahasa adalah penggunaan bahasa itu, bahwa ujaran hanya mempunyai makna
jika dapat ditemukan kebenarannya. Pendapat Wittgenstein dibantah oleh Austin
dengan bukti ihwal kalimat performatif yang tidak membutuhkan pembuktian
benar-salah, berbeda dengan kalimat konstatif. Austin mengungkapkan bahwa
bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran
konstatif dan ujaran performatif (lihat Wijana 1996 halaman 23 s.d. 24).
Pembedaan ujaran yang dikemukakan Austin ini kemudian diganti oleh
pengklasifikasian rangkap tiga terhadap tindak-tindak, yakni dalam bertutur
seseorang melakukan tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Yule (2006:82)
mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut
tindak tutur. Menurut Austin, sebagaimana dikutip Soemarmo, mengucapkan sesuatu
adalah melakukan sesuatu. Inilah tindak tutur. Bahasa dapat digunakan untuk
membuat kejadian.
Mendukung pendapat
Austin, Searle (dalam Wijana, 1996:17) Yule (2006:83), dan Cummings (2007:9) mengemukakan
bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Dalam pemakaiannya,
tindak tutur terikat pada konteks. Dengan kata lain, situasi tutur dan
peristiwa tutur memengaruhi pemakaian tindak tutur. Contohnya, dalam sebuah
pesta perkawinan (situasi tutur) ada seseorang yang memberi sambutan (peristiwa
tutur); dalam sambutan tersebut si pemberi sambutan melontarkan sindiran,
pujian, nasihat, dan sebagainya (tindak tutur). Jadi, tindak tutur tidak lepas
dari konteks yang lebih luas.
3.
Fungsi Tindak Tutur
Fungsi tindak
tutur berkenaan dengan antisintaksisme, yakni
pandangan yang tidak mau berbicara tentang sintaksis murni, steril, melainkan
mengaitkan unsur bahasa ini dengan sesuatu di luar bahasa. Dalam hal ini ialah
konteks yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kalimat dan ujaran. Fungsi tindak
tutur berkenaan dengan fungsi bahasa dan penggunaan bahasa dalam komunikasi
(dalam konteks wilayah tutur).
Dalam
mengkaji fungsi tindak tutur terkait kepentingan pragmatik, kita harus memahami
fungsi tutur. Ada banyak pakar yang menyampaikan fungsi tutur. Salah tiganya
adalah David A. Wilkins, J.A. van Ek, dan Mary Finnochiaro. Fungsi tutur yang
disampaikan David A. Wilkins terdiri atas delapan fungsi. Pertama, modalitas (menyatakan tingkat kepastian, kebutuhan,
keyakinan, kemauan, kewajiban, dan toleransi). Kedua, disiplin moral dan evaluasi (pertimbangan, persetujuan,
ketidaksetujuan). Ketiga, suasi
(persuasi, rekomendasi, prediksi atau perkiraan). Keempat, argumen atau alasan (berkaitan dengan pertukaran informasi
dan pandangan: kesempatan, ketidaksempatan, penolakan, jaminan). Kelima, pemikiran rasional. Keenam, emosi personal (positif,
negatif). Ketujuh, hubungan emosional
(penyampaian salam, ucapan selamat, keakraban, permusuhan, dan sebagainya). Kedelapan, hubungan antarpribadi (sopan
snatun dan status: tingkat formalitas dan ketidakformalan).
van
Ek (1980) menyatakan enam fungsi tutur. Pertama,
mencari informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, mengoreksi, bertanya).
Kedua, mengungkapkan dan menemukan
sikap intelektual (mengemukakan dan meminta persetujuan dan ketidaksetujuan,
menerima atau menolak tawaran atau undangan, dan sebagainya). Ketiga, mengungkapkan dan menemukan
sikap emosional (senang dan tidak senang, kejutan, harapan, dan keinginan, dan
sebagainya). Keempat, mengungkapkan
dan menemukan sikap moral (meminta maaf, mengizinkan dan tidak mengizinkan,
mengungkapkan kepantasan dan ketidakpantasan, dan sebagainya). Kelima, suasi (menyuruh melakukan
sesuatu): menyarankan serangkaian tindakan, menasehati, memperingatkan. Keenam, sosialisasi (hubungan sosial
antarpribadi): menyampaikan salam, memberikan perhatian, mengajak bersulang,
dan sebagainya.
Finnochiro
(1979) menyatakan lima fungsi tutur. Pertama,
personal atau pribadi (mengemukakan gagasan, pikiran atau perasaan): cinta,
kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, kejutan, rasa lapar, haus, dan
sebagainya. Kedua, antarpribadi (memungkinkan
kita membangun dan mempertahankan hubungan sosial dan hubungan kerja yang
diharapkan bersama): salam (bertemu dan berpisah), memperkenalkan seseorang
kepada yang lain, meminta maaf, dan sebagainya. Ketiga, direktif (mengarahkan, memberi pedoman; berusaha
memengaruhi orang lain): mengajukan permohonan, meminta tolong, memperingatkan,
minta petunjuk. Keempat, rujukan atau
referensial (membicarakan atau melaporkan tentang sesuatu, benda, tindakan,
peristiwa, atau orang; berbicara tentang bahasa atau fungsi metabahasa):
mengidentifikasi barang atau orang di dalam kelas, meminta mendeskripsikan atau
memerikan orang atau barang; membandingkan atau mempertentangkan, dan
sebagainya. Kelima, imajinatif: mendiskusikan puisi, novel, cerita pendek, dan
sebagainya; mengembangkan gagasan yang berasal dari orang lain atau dari
bacaan; menciptakan rima, puisi, dan sebagainya; menyelesaikan masalah atau
materi.
Dalam
konteks pengimplementasian fungsi tutur secara pragmatis, ada tiga jenis tindakan
yang dapat diwujudkan seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
3.1
Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak
tutur untuk menyatakan sesuatu. Sebagai contoh adalah kalimat (01), (02), dan
wacana (03) berikut:
(01)
Platypus adalah mamalia yang bisa
berenang.
(02)
Kaki laba-laba berjumlah delapan.
(03)
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha adakan
Seminar Nasional dengan tema Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Tampil sebagai
pemakalah utama dalam seminar tersebut Dr. Nurhadi, M.Pd. dari Universitas
Negeri Malang, Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro, M.Pd. dari Universitas Negeri
Yogyakarta, dan Maryanto, M.Hum dari Pusat Bahasa Jakarta. Sebagai pesertanya
antara lain guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia se-Bali, mahasiswa
pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, mahasiswa Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, dan staf Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kalimat (01) dan (02) diutarakan
penutur semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk
melakukan sesuatu, apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang
diutarakan adalah informasi tentang binatang bernama Platypus dan berapa jumlah
kaki laba-laba. Sebagaimana halnya kalimat (01) dan (02), wacana (03) pun
cenderung diutarakan untuk menginformasikan sesuatu, yakni kegiatan yang
diselenggarakan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha,
pembicara utama yang ditampilkan, dan peserta kegiatan itu. Dalam hal ini
memang tidak tertutup kemungkinan terdapat daya ilokusi dan perlokusi dalam
wacana (03). Akan tetapi, kadar daya lokusinya jauh lebih dominan dan menonjol.
Bila diamati secara
saksama konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.
Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri
atas dua unsur, yakni subjek dan predikat. Lebih jauh, tindak lokusi adalah
tindak tutur yang relatif paling mudah diidentifikasikan karena
pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks
tuturan yang tercakup dalam situasi. Jadi, ditinjau dari perspektif pragmatik,
tindak lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu penting peranannya untuk
memahami tindak tutur.
3.2
Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi
adalah tindak tutur yang berfungsi atau dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Kalimat (04) s.d. (07) di bawah cenderung tidak hanya digunakan untuk
menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya
dipertimbangkan secara saksama.
(04) Saya tidak dapat datang
(05) Ada anjing gila
(06) Ujian sudah dekat
(07) Rambutmu sudah panjang
Kalimat
(04) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan
ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi meminta
maaf. Informasi ketidakhadiran penutur
dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan atau
tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (05) tidak hanya berfungsi membawa
informs, melainkan juga memberi peringatan. Bila ditujukan kepada pencuri,
tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (06), bila
diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi member
peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila diucapkan oleh
seorang ayah kepada anaknya, kalimat (06) mungkin dimaksudkan untuk menasehati
agar lawan tutur tidak hanya bepergian menghabiskan waktu secara sia-sia.
Kalimat (07) bila diucapkan oleh oleh seorang laki-laki kepada pacarnya mungkin
berfungsi menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Sebaliknya, bila diucapkan
oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada
suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintah agar si lelaki
memotong rambutnya.
Becermin
pada uraian di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi
karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur,
kapan, dan di mana tindak tutur terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak
ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
3.3
Tindak Perlokusi
Sebuah
tuturan yang diutarakan seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau efek
bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja
atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya
dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tutur disebut tindak perlokusi. Untuk lebih
jelasnya perhatikan kalimat (08) s.d. (10) di bawah ini.
(08) Ibunya galak.
(09) Kemarin saya mengikuti lomba
memancing belut.
(10) Televisinya 20 inchi.
Bila kalimat (08)
diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan kerja kelompok, maka
ilokusinya secara tidak langsung menginformasikan bahwa rumah orang yang
dibicarakan tidak nyaman digunakan atau dipilih sebagai tempat berkumpul
mengerjakan tugas. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan yakni agar
ketua perkumpulan berpikir memilih rumah orang lain sebagai tempat mengerjakan
tugas kelompok. Bila kalimat (09) diutarakan oleh seorang siswa yang tidak
dapat mengikuti ulangan kepada gurunya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi
untuk memohon maaf sekaligus permakluman. Perlokusi atau efek yang diharapkan
adalah guru dapat memakluminya dan memberikan ulangan susulan. Bila kalimat
(10) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan diselenggarakan
siaran langsung Piala Dunia, kalimat ini tidak hanya mengandung lokusi, tetapi
juga ilokusi yang berupa ajakan menonton di tempat temannya karena ia memiliki
televisi 20 inchi, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui ajakannya.
4.
Jenis Tindak Tutur dalam Buku Dasar-dasar Pragmatik Karangan Dr. I Dewa Putu
Wijana, SU., MA.
Agar
kita memahami jenis-jenis tindak tutur ada baiknya terlebih dahulu diamati
tuturan (11) s.d. (14) di bawah ini.
(11) Rambutmu sudah panjang.
(12) Potonglah rambutmu itu!
(13) Radionya kurang keras.
(14) Radionya keras sekali.
Tuturan (11) dapat
mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi menyatakan informasi secara
langsung karena modusnya adalah kalimat berita (deklaratif). Akan tetapi, bila
tuturan (11) diutarakan oleh seorang ibu kepada anak laki-laklinya, kalimat
(11) mungkin merupakan pengungkapan secara tidak langsung dari kalimat (12).
Dikatakan secara tidak langsung karena maksud memerintah diutarakan dengan
kalimat berita.
Tuturan (13) dapat
mengandung arti yang sebenarnya atau arti literal bila penutur memang tidak
dapat mendengar radio yang dibunyikan dengan volume suara yang sangat kecil.
Akan tetapi, bila (13) diutarakan oleh seseorang yang merasa terganggu
konsentrasi belajarnya agar lawan tuturnya mematikan radio yang terlalu keras
didengarnya itu, tuturan (13) ini memiliki makna yang lain sekali dengan makna
literalnya. Dalam hal ini, (13) merupakan pengungkapan nonliteral dari (14).
Dari uraian di atas
tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur
tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
4.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak
Tutur Tidak Langsung
Secara
formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita
(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu,
kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan
perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Bila kalimat difungsikan secara
konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat bertanya untuk bertanya, dan
kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, tindak
tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung. Jenis tindak tutur ini dijelaskan
pada (15) s.d. (17) berikut ini:
(15) Yuni memiliki lima ekor kucing.
(16) Di manakah letak Pulau Bali?
(17) Ambilkan baju saya!
Di
samping itu, untuk berbicara secara spontan, perintah dapat diutarakan dengan
kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa
dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuk tindak tutur tidak
langsung. Untuk ini dapat disimak kalimat (18) dan (19) di bawah ini:
(18) Ada makanan di almari
(19) Di mana sapunya?
Kalimat (18), bila diucapkan kepada
seorang teman yang membutuhkan makanan, dimaksudkan untuk memerintah atau
mempersilakan lawan tutur mengambil makanan yang ada di almari yang dimaksud,
bukan sekadar menginformasikan bahwa di almari ada makanan. Demikian pula
tuturan (19) bila diutarakan oleh seorang ibu kepada seorang anak, tidak
semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga
secara tidak langsung memerintah sang anak mengambil sapu itu. Untuk uraian ini
simaklah wacana (20) dan (21) sebagai perluasan kon teks (18) dan (19).
(20) +
“Di, perutku kok lapar, ya.”
-
“Ada makanan di almari.”
+
“Baik, kuambil semua, ya?”
(21) Ibu :
“Di mana sapunya, Dik?”
Anak : “Sebentar, Bu, akan
saya ambilkan.”
Kesertamertaan tindakan (-) dalam (20)
dan (21) karena ia mengetahui bahwa tuturan yang diutarakan oleh lawan tuturnya
bukanlah sekadar menginformasikan sesuatu, tetapi menyuruh orang yang diajak
berbicara.
Tuturan
yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab secara
langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di
dalamnya. Tuturan (22) dan (23)
(22) Saya kemarin tidak dapat hadir.
(23) Jam berapa sekarang?
(24)
+ “Saya kemarin tidak dapat hadir.”
- “Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan.”
(25)
+ “Jam berapa sekarang?”
- “Jam 12 malam, Bu.”
(26)
- “Saya kemarin tidak dapat hadir.”
+ “Ya, tidak apa-apa.”
(27)
+ “Jam berapa sekarang?”
- “Ya, Bu, sekarang saya pamit.”
Dari
uraian di atas skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya dengan
kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.
MODUS
|
TINDAK
TUTUR
|
|
LANGSUNG
|
TIDAK
LANGSUNG
|
|
Berita
|
Memberitakan
|
Menyuruh
|
Tanya
|
Bertanya
|
Menyuruh, Menolak
|
Perintah
|
Memerintah
|
Menolak
|
4.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak
Tutur Tidak Literal
Tindak
tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata
yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan kalimat (28) s.d. (31)
berikut.
(28) Penyanyi itu suaranya bagus.
(29) Suaramu bagus, (tapi tak usah
nyanyi saja).
(30) Radionya keraskan! Aku ingin
mencatat lagu itu.
(31) Radionya kurang keras. Tolong
keraskan lagi. Aku mau belajar.
Kalimat (28) bila diutarakan untuk
maksud memuji atau mengagumi kemerduan suara penyanyi yang dibicarakan,
merupakan tindak tutur literal, sedangkan (29), karena penutur memaksudkan
bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah nyanyi saja,
merupakan tindak tutur tidak literal. Demikian pula karena penutur benar-benar
menginginkan lawan tutur untuk mengeraskan (membesarkan) volume radio untuk
dapat secara lebih mudah mencatat lagu yang diperdengarkannya, tindak tutur
kalimat (30) adalah tindak tutur literal. Sebaliknya, karena penutur sebenarnya
menginginkan lawan tutur mematikan radionya, tindak tutur dalam (31) adalah
tindak tutur tidak literal.
5.
Interaksi Berbagai Jenis Tindak Tutur
Bila
tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan dengan tindak tutur
literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur- tindak
tutur berikut ini:
1)
Tindak Tutur Langsung Literal
2)
Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
3)
Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
4)
Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak
Literal
5.1 Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak
tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan
dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan
dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu
dengan kalimat Tanya, dan sebagainya. Untuk uraian ini dapat diperhatikan
kalimat (32) s.d. (34) berikut:
(32) Orang itu sangat pandai.
(33) Buka mulutmu!
(34) Jam berapa sekarang?
Tuturan (32), (33), dan (34) merupakan
tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk
memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan
tutur membuka mulut, dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud
memberitakan diutarakan dengan kalimat berita (32), maksud memerintah dengan
kalimat perintah (33), dan maksud bertanya dengan kalimat tanya (34).
5.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak
tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata
yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur
ini maksud memerintah diutarakan bukan dengan kalimat perintah, melainkan
dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Untuk lebih jelasnya, dapat disimak
kalimat (35) dan (36) di bawah ini:
(35) Lantainya kotor.
(36) Di mana handuknya?
Dalam konteks seorang ibu rumah tangga
berbicara dengan pembantunya pada (35), tuturan ini tidak hanya berupa
informasi. Di dalamnya terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara
tidak langsung dengan kalimat berita. Makna kata-kata yang menyusun (35) sama
dengan maksud yang dikandungnya. Demikian pula dalam konteks seorang suami
bertutur dengan istrinya pada (36). Maksud memerintah untuk mengambilkan handuk
dalam konteks kalimat (36) disampaikan secara tidak langsung dengan kalimat
tanya dan makna-makna kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandung.
Untuk memperjelas maksud memerintah (35) dan (36) di atas, perluasannya dalam
konteks (37) dan (38) diharapkan dapat membantu:
(37) +
“Lantainya kotor.”
-
“Baik, saya akan menyapu sekarang, Bu.”
(38) +
“Di mana handuknya?”
-
“Sebentar, saya ambilkan.”
Adalah sangat janggal bila dalam konteks
seperti (37) dan (38) seorang pembantu dan istri menjawab seperti (39) dan (40)
berikut:
(39) +
“Lantainya kotor.”
-
“Memang kotor sekali ya, Bu.”
(40) +
“Di mana handuknya?”
-
“Di almari.”
Tentu jawaban (-) dalam (39) dan (40)
akan mengagetkan sang majikan yang sedang jengkel melihat lantai rumahnya kotor
dan mengejutkan sang suami yang lupa membawa handuk dan telanjur basah dan
telanjang di kamar mandi.
5.3 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak
tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus
kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah
diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat
berita. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan (41) dan (42) di bawah ini:
(41) Suaramu bagus, kok.
(42) Kalau makan biar kelihatan sopan,
buka saja mulutmu!
Dengan tindak tutur langsung tidak
literal penutur dalam (41) memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus.
Dalam konteks kalimat (42) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam
hal ini anaknya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat
sopan. Data (41) dan (42) menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur
bukanlah apa yang dikatakan yang penting, tetapi bagaimana cara
mengatakannyalah yang penting.
Hal
lain yang perlu diketahui dalam pembahasan 3.3 adalah bahwa kalimat tanya tidak
dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
5.4 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak
Literal
Tindak
tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan
modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak
diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang
majikan dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (43). Demikian
pula untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume
radionya, penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (44) dan
(45) berikut:
(43) Lantainya bersih sekali.
(44) Radionya terlalu pelan, tidak
kedengaran.
(45) Apakah radio yang pelan seperti itu
dapat kaudengar?
6. Klasifikasi
Tindak Tutur dalam Buku Karangan George Yule
Sistem kualifikasi umum
mencantumakn 5 jenis fungsi umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur; deklarasi,
representatif, ekspresif, direktif, dan konsumtif.
Deklarasi ialah
jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Seperti contoh dalam
(46) menggambarkan, penutur harus memiliki institusional khusus, dalam konteks
khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat.
(46) a. Priest : I
now pronounce you husband and wife.
(Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri)
b.
Refree : You’re out!
(Anda keluar!)
c. Jury Foreman: we find the defendant guilty.
(Kami menyatakan terdakwa besalah)
Pada waktu menggukan deklarasi penutur mengubah
dunia dengan kata-kata.
Representatif ialah
tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan
suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian, seperti yang
digambarkan dalam (47), merupakan contoh
dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh para penutur yang mengambarkannya.
(47) a. The earth is flat.
(Bumi itu
datar)
b. Chomsky didn’t write about peanuts.
(Chomsky tidak
menulis tentang kacang)
c. It was a warm sunny day.
(Suatu hari
cerah yang hangat)
Pada waktu menggunakan sebuah representatif,
penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).
Ekspresif ialah
jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak
tutur ini mencerminkan pertanyaan-pertanyaan psikologis dan dapat berupa
pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, dan kebencian, kesenangan, atau
kesengsaraan. Seperti yang digambarkan dalam (48), tindak tutur itu itu mungkin
disebabkan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman
penutur.
(48) a. I’m really sorry.
(Sungguh, saya
minta maaf)
b. Congratulation!
(Selamat!)
c. Oh, yes, great, mmmm…ssahh)
(Oh, yah,
mmmm…aahh)
Pada waktu mengggunakan ekspresif penutur
menyesuakan kata-kata dengan dunia (perasaannya)
Direktif adalah
jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain
melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan
penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian
saran, seperti digambarkan dalam (49), dan bentuknya dapat berupa kalimat
positif dan negatif.
(49) a. Gimme a cup of coffee. Make it black.
(Berilah aku
secangkir kopi. Buatkan kopi yang pahit.)
b. Could you lend me a pen, please?
(Dapatkah Anda
meminjami saya sebuah pena?)
c. Don’t touch that!
(Jangan menyentuh
itu!)
Pada waktu menggunakan direktif penutur
berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengaran)
Komisif ialah
jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengingatkan dirinya
terhadap tindakan-tindakan yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa
saja yang dimaksud oleh penutur. Tindak tutur ini dapan berupa janji, ancaman,
penolakan ikrar, seperti yang ditunjukkan dalam (50), dan dapat ditampilkan
sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok.
(50) a. I’ll be back.
(Saya akan
kembali)
b. I’m going to get it right next time.
(Saya akan
membetulkannya lain kali)
c. We will not do that.
(Kami tidak akan
melakukan itu)
Pada waktu menggunakan komisif, penutur
berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur)
Kelima fungsi umum tindak
tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum dalam tabel di bawah ini:
Tipe
tindak tutur
|
Arah
penyesuaian
|
P =
Penutur
X =
situasi
|
Deklarasi
|
Kata mengubah dunia
|
P menyebabkan X
|
Representatif
|
Kata disesuaikan denga dunia
|
P meyakini X
|
Ekspresif
|
Kata disesuaikan dengan dunia
|
P merasakan X
|
Direktif
|
Dunia disesuaikan dengan kata
|
P menginginkan X
|
Komisif
|
Dunia disesuaikan dengan kata
|
P memaksudkan X
|
Lima fungsi umum tindak tutur
(mengikuti Searle 1979)
6.1 Tindak
Tutur Langsung dan Tak Langsung
Pendekatan yang berbeda
terhadap pemilahan tipe-tipe tindak tutur ini dapat dibuat berdasarkan
strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum
tindak tutur yang diberikan dalam bahasa Inggris (51), dengan mudah dapat
diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk struktural (deklaratif, interogatif,
imperatif) dan tiga fungsi komunikasi umum (pernyataan, pertanyaan, perintah/
permohonan)
(51) a. You wear a seat belt. (Declarative)
(Anda mengenakan
sabuk pengaman)
b. Do you wear a seat belt? (interrogative)
(Apakah Anda
mengenakan sabuk pengaman?)
c. Wear a set belt! (imperative)
(Kenakan sabuk
pengaman!)
Apabila ada hubungan langsung
antara struktur dan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur langsung. Dan
apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dan fungsi, maka terdapat
suatu tindak tutur tidak langsung. Jadi bentik deklaratif yang digunakan untuk
membuat suatu pernyataan disebut tindak tutur langsung, sedangkan untuk
deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan merupakan tindak tutur
tak langsung. Seperti yang digambarkan dalam (52), tuturan dalam (52a) adalah
bentuk deklaratif. Jika tuturan ini digunakan utnuk membuat suatu pernyataan,
seperti yang diparafrasakan dalam (52b.), tuturan ini berfungsi sebagai tindak
tutur langsung. Jika tuturan ini digunakan untuk memparafrasakan dalam (52c.),
tuturan ini berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.
(52) a. It’s cold outside.
(Di luar dingin)
b. I hereby tell you about the weather.
(Dengan ini saya mengatakan kepada Anda
tenang cuaca)
c. I hereby request of you that you close the door.
(Dengan ini saya memohon Anda agar Anda
menutup pintu)
Struktur yang berbeda dapat
digunakan utnuk menyempurnakan fungsi yang sama, seperti dalam (53), dimana
penutur menginginkan orang yang dituju agar tidak berdiri di depan TV. Fungsi
dasar dari seluruh tuturan dalam (53) ialah perintah/ permohonan, tetapi hanya
struktur impresid di dalam (53b.) yang mewakili tindak tutur. Struktur interogatif
dalam (53b.) tidak hanya dipakai dalam bentuk pertanyaan, karena struktur
interogatif ini adalah suatu tindak tutur langsung. Struktur deklaratif dalam
(53c.) dan (53d.) juga permohonan tidak langsung.
(53) a. Move out of the way!
(Ke luarlah dari
jalan)
b. Do you have to stand in front of the TV?
(Haruskah Anda
berdiri di depan TV?)
c. You’re standing in front of the TV.
(Anda berdiri di
depan TV)
d. You’d make a better door than a window.
(Anda sebaiknya
membuat pintu yang lebih baik dari pada jendela)
Salah satu tipe yang paling
umum dari tindak tutur tidak langsung dalam bahasa Inggris, seperti yang
ditunjukkan dalam (54), memiliki bentuk interogatif, tetapi secara khusus tidak
dipakai untuk menanyakan suatu pertanyaan (karena tidak hanya mengharapkan
suatu jawaban, akan tetapi tidak mengharapkan suatu tindakan). Contoh dalam (54)
biasanya dipahami sebagai bentuk permohonan.
(54) a. Could you pass the salt?
(Bisakah Anda
mengambil garam itu?
b. Would you open this?
(Maukah Anda
membuka ini?
Sebenarnya dalam bahasa
Inggris, ada pola khusus yang digunakan untuk menanyakan suatu pertanyaan
tentang kemampuan yang diasumsikan oleh pendengar (‘Can you?’,’Could you?’ Dapatkah Anda?) atau kemungkinan di
masa yang akan datang dengan beranggapan utnukb melakukan sesuatu (‘Will
you?’,’Would you?’ Maukah anda?)
biasanya dianggap sebagai suatu permohonan untuk melakukan sesuatu secara
nyata.
Tindak tutur tidak langsung
biasanya diasosiasikan dengan lebih sopan dalam bahasa Inggris dari pada tindak
tutur langsung. Untuk mengetahui mengapa demikian, kita harus melihat gambaran yang lebih besar dari sekedar
suatu tuturan tunggal yang menunjukkan suatu tindak tutur tunggal.
Bertutur = menggunakan bahasa
à tuturan tulis dan tuturan
lisan. Tuturan lisan berbeda dengan tuturan tulis. Pada hakikatnya, tuturan
ialah realitas bahasa. Tuturan berbeda dengan kalimat. Tuturan selalu berkaitan
dengan konteks.
Daftar
Pustaka
Cummings,
Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah
Perspektif Multidisipliner (penerjemah Eti Setiawati, dkk.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fadilah. 2001. Tinjauan
Kesalahan Berpragmatik Pebelajar BIPA sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan
Komunikatif Berwacana Secara Tertulis di Bandung International School.
Skripsi S-1 Universitas Pendidikan Indonesia.
(lihat di internet)
Subyakto, S.U. – Nababan. 1992.
Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Wijana,
Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Yule,
George. 2006. Pragmatik (penerjemah
Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar