Pengaruh Keeksplisitan
Penggunaan Konjungsi dan Istilah Terhadap Pemahaman
oleh I Putu Mas Dewantara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Psikolinguistik adalah
hibridisasi dari kajian psikologi dan linguistik. Menurut Harley
(dalam Dardjowidjojo, 2003:7) mendefinisikan psikolinguistik sebagai suatu studi tentang proses-proses mental dalam
pemakaian bahasa. Pendapat serupa
juga disampaikan Leverlt (dalam Mar’at, 2005: 1) yang mendifinisikan psikolinguistik
sebagai studi mengenai penggunaan bahasa dan pemerolehan bahasa oleh manusia. Dari
definisi tersebut, terligat ada dua sapek yang berbeda, yaitu pertama pemerolehan yang menyangkut bagaimana
seseorang, terutama anak-anak belajar bahasa dan kedua penggunaan yang artinya penggunaan dewasa oleh orang dewasa normal.
Levelt selanjutnya membagi psikolinguistik ke dalam tiga bidang utama, yaitu
psikolinguistik umum, psikolinguistik perkembangan, dan psikolinguistik
terapan.
Psikolinguistik umum
mengkaji mengenai bagaiman pengamatan atau apersepsi orang dewasa tentang
bahasa dan bagaiman ia memproduksi bahasa. selain itu, psikolinguistik umum
juga mengkaji proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang
menggunakan bahasa. Lain halnya dengan psikolinguistik perkembangan yang
mengkaji pemerolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik pemerolehan
bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua. Dalam psikolinguistik
perkembangan mengkaji persoalan-persoalan yang dialami seorang anak yang harus
belajar dua bahasa secara bersamaan atau bagaimana seorang anak memperoleh
bahasa pertamanya. Bidang yang ketiga dari psikolinguistik adalah
psikolinguistik terapan. Psikolinguistik terapan adalah aplikasi dari
teori-teori psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa
ataupun pada anak-anak.
Dalam psikolinguistik
terapan, dari empat keterampilan berbahasa,yaitu menyimak, berbicara,membaca
dan menulis yang menjadi perhatian besar adalah membaca dan menulis. Manusia
dapat menuangkan apa yang ada dalam pikirannya pada secarik kertas dan kemudian
disimpan untuk sehari, sebulan, setahun atau bahkan lebih dari itu. Bahan dalam
bentuk tulisan ini dimengerti oleh siapapun yang membacanya selama mereka
memahami bahasa yang sama. Kemampuan membaca berbeda halnya dengan kemampuan
berujar. Kemampuan membaca bukanlah suatu kemampuan yang kodrati. Banyak orang
di dunia ini yang tidak dapat membaca dan menulis. Dari data UNESCO tahun 2002
terlihat 20,3% dari seluruh penduduk dunia pada tahun 2002 masih buta huruf.
Hal ini tentu merupakan hal yang memperihatinkan. Besarnya angka buta huruf
tersebut disumbang oleh negara-negara berkembang. Oleh karena itu, sekarang ini
penuntasan buta huruf sedang gencar-gencarnya dilakuakan di negara-negara
berkembang.
Dalam masyarakat
moderen membaca (dan menulis) merupakan bagian yang tidak dapat dikesampingkan
karena tanpa kemampuan ini dunia kita hanya tertutup dan terbatas hanya pada
apa yang ada di sekitar kita. Membaca merupakan aktivitas yang sangat kompleks
yang melibatkan faktor fisik dan mental. Membaca menurut smith, Anderson,
Heibert, Scott, dan Wilkinson (dalam Sudiana, 2007: 7) mendefinisikan membaca
sebagai suatu proses pembentukan makna dari teks-teks tertulis. Dalam membaca,
orang sering mengalami kesulitan dalam memahami suatu wacana. Proses pemahaman
wacana ialah proses menemukan konfigurasi schemata yang menawarkan uraian
mamadai tentang bacaan yang bersangkutan. Pemahaman mengenai istilah yang
digunakan dalam bacaan juga memengaruhi pemahaman seseorang tentang wacana yang
dibaca. Selain itu, penggunaan konjungsi juga memengaruhi pemahaman seseoran
terhadap wacana.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan
yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimakah
pengaruh keeksplisitan penggunaan konjungsi terhadap pemahaman suatu teks?
2.
Bagaimanakah
pengaruh penggunaan istilah terhadap pemahaman suatu teks?
3.
Bagaimanakan
pengaruh penggunaan keeksplesitan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman
suatu teks?
4.
Bagaimanakah
kaitan antara konjungsi, istilah, dan pemahaman terhadap suatu teks?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat, dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskrisikan
pengaruh keeksplisitan penggunaan konjungsi terhadap pemahaman suatu teks.
2.
Mendeskrisikan
pengaruh penggunaan istilah terhadap pemahaman suatu teks.
3.
Mendeskrisikan
pengaruh penggunaan keeksplesitan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman
suatu teks.
4.
Mendeskrisikan
kaitan antara konjungsi, istilah, dan pemahaman terhadap suatu teks.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konjungsi
Konjungsi yang juga disebut kata sambung adalah kata
tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata,
frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (Hasan Alwi dkk, 2003: 296).
Berikut adalah beberapa contoh penggunaan konjungsi pada kata dengan kata,
frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa.
1) a. Toni dan Ali sedang belajar matematika
di kamar.
b. Hidup atau
mati kita bergantung pada upaya kita sendiri
2) a. Tim
ahli Indonesia dan utusan IMF
berunding lebih dari seminggu.
b. Masalah PHK serta penghentian gaji karyawan
menarik perhatian Menteri Sosial.
3) a. Farida sedang membaca dan adiknya sedang
bermain catur’
b. Kamu mau ikut atau
tinggal di rumah saja?
c. Meskipun
tidak setuju, dia tidak menghalang-halangi niat kami.
d. Mahasiswa ingin
berdialog, tetapi ide itu dianggap tidak praktis.
e. Saya mau pergi kalau
pekerjaan rumah saya selesai.
Jika dilihat dari posisinya, konjungsi dapat dirinci
menjadi dua macam, yaitu konjungsi intrakalimat dan konjungsi ekstrakalimat.
Konjungsi intrakalimat terdiri atas konjungsi antarkata, antarfrasa, dan
antarklausa seperti pada contoh di atas. Sedangkan konjungsi ekstrakalimat terdiri
atas konjungsi antarkalimat atau paragraf (Soedjito dalam
http://edukasi.blogspot.com). Dilihat dari perilaku sintaksisnya, konjungsi
dibagi menjadi empat kelompok: (1) konjugsi koordinatif, (2) konjungsi
korelatif, (3) konjungsi subordinatif. Di samping itu ada pula (4) konjungsi
antarkalimat, yang berfungsi pada tataran wacana (Hasan Alwi, 2003: 297).
1. Konjungsi Koordinatif
Konjungtor yang
menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya, atau memiliki status
yang sama. Berikut adalah beberapa konjungtor koordinatif.
dan penanda hubungan penambahan
serta penanda hubungan pendamping
atau penanda hubungan pemilihan
tetapi penanda hubungan perlawanan
melainkan penanda hubungan perlawanan
padahal penanda hubungan pertentangan
sedangkan penanda hubungan pertentangan
konjungtor
koordinatif agak berbeda dengan konjungtor lain karena konjungtor ini, di
samping menghubungkan klausa, juga dapat menghubungkan kata. Meskipun demikia,
frasa yang dihasilkan bukanlah frasa prepoposional.
Contoh:
a) Dia menangis dan istrinya pun tersedu-sedu.
b) Aku yang datang ke rumahmu atau kamu yang
datang ke rumahku?
c) Sebenarnya anak itu pandai, tetapi malas.
d) Dia pura-pura tidak tahu, padahal tahu banyak.
2. Konjungsi Korelatif
Konjungsi/konjungtor
korelatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa
yang memiliki status sintaksis sama. Konjungtor korelatif terdiri atas dua
bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang
dihubungkan. Berikut adalah beberapa konjungtor korelatif.
baik … maupun …
tidak hanya …, tetapi juga …
bukan hanya …, melainkan juga …
demikian … sehingga …
sedemikian rupa …sehingga …
jangankan …, …pun …
entah … entah …
3. Konjungsi Subordinatif
Konjungsi/konjungtor
subordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua klausa, atau lebih, dan
klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Salah satu dari klausa
itu merupakan anak kalimat.bjika dilihat dari perilaku sintaksis dan
semantiknya, konjungtor subordinatif dapat dibagi menjadi tiga belas kelompok.
Berikut adalah kelompok konjungtor subordinatif.
1) Konjungtor subordinatif waktu: sejak, semenjak,
sewaktu, ketika, tatkala, setelah, sesudah, hingga, sampai, dan lain
sebagainya.
2) Konjungtor subordinatif syarat: jika, kalau,
jikalau, asal(kan), bila, manakala.
3) Konjungtor subordinatif pengandaian: andaikan,
seandainya, umpamanya, sekiranya.
4) Konjungtor subordinatif tujuan: agar, supaya,
biar.
5) Konjungtor subordinatif konsesif: biarpun,
meski(pun), walau(pun), sekalipun, sungguhpun, kendati(pun).
6) Konjungsi subordinatif pembandingan:
seakan-akan, seolah-olah, seperti, laksana, ibarat, daripada, alih-alaih, dan
lain sebagainya.
7) Konjungtor subordinatif sebab: sebab, karena,
oleh karena, oleh sebab
8) Konjungtor subordinatif hasil: sehingga, sampai
(-sampai), maka(nya)
9) Konjungtor subordinatif alat: dengan, tanpa
10) Konjungtor subordinatif cara: dengan, tanpa
11) Konjungtor subordinatif komplementasi: bahwa
12) Konjungtor subordinatif atributif: yang
13) Konjungtor subordinatif perbandingan: sama …
dengan, lebih …dari(pada)
4. Konjungsi antarkalimat
Berbed dengan
ketiga konjungtor di atas, konjungtor antarkalimat menghubungkan satu kalimat
dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungtor semacam ini selalu
memulai kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis dengan huruf
kapital. Berikut adalah contoh konjungtor antarkalimat.
biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
sebaliknya
sebelum itu
2.1.1 Konjungsi
Eksplisit
Konjungsi
atau yang kita kenal dengan kata sambung adalah kata yang menghubungkan kata
dengan kata lain, menghubungkan bagian antarkalimat, atau antara kaliman dan
kalimat yang lain (Yasim dalam artikel yang berjudul Kadar Keintian Konjungsi “akan” dalam Kolom “Profil” Tabloit Bola Edisi
Jumat, 5 Desember 2008). Hubungan antara kata dengan kata, kalimat dengan
kalimat tersebut dapat berupa hubungan yang eksplisit jika menggunakan
konjungsi. Sebaliknya akan bersifat implisit jika tidak menggunakan kata sambung
tersebut (http://2033.blogspot.com).
Penggunaan
konjungsi sangatlah produktif dalam bahasa Indonesia. Salah satu konjungsi tersebut adalah “akan”.
Konjungsi “akan” termasuk bagian kaliamat. Kalimat yang menggunakan konjungsi
“akan” merupakan kalimat yang ekspisit. Konjungsi “akan” berfungsi menerangkan
kalimat tersebut secara tegas.
“Akan”
sebagai salah satu konjungsi eksplisit penggunaanya sangat banyak di
media-media cetak. Para wartawan sering menggunakan konjungsi ini untuk
memaknai sebuah kalimat bahwa peristiwa dalam kalimat tersebut “belum dan akan”
terjadi. Sehingga konjungsi ini banyak digunakan dalam berita-berita yang
berisi tentang argumentasi atau perkiraan. Berikut adalah contoh penggunaan
konjungsi eksplisit “akan” yang dikutif dari tabloid olah raga BOLA pada kolom
“Profil”.
(1) Rasanya menyenangkan sehingga saya ingin meraih
gelar itu lagi di waktu yang akan datang.
Pada
kalimat (1), konjungsi akan merupakan salah satu pembentuk averbia (kata
keterangan waktu sesudah sekarang). Untuk mengetahui apakah konjungsi “akan”
pada kalimat itu wajib atau tidak, kita dapat melakukan uji dengan melesapkan
konjungsi “akan” tersebut sehingga menjadi kalimat (2).
(2) Rasanya menyenangkan sehingga saya ingin meraih
gelar itu lagi di waktu yang datang.
Kalimat (2) secara gramatikal tidak berterima,
sebab tidak digunakan dalam bahasa Indonesia. Kalimat (2) salah karena konjungsi
“akan” dalam kalimat (1) wajib. Konjungsi “akan” tidak dapat dilesapkan karena
kadar keintiannya tinggi dalam membangun kalimat. Dari segi makna dan informasi
kalimat (2) tidak berubah, namun pada struktur perannya, keterangan waktu
menjadi tidak berterima. Sehingga kalimat (2) salah dan tidak berterima.
2.1.2
Konjungsi Implisit
Hubungan
antara kata dengan kata, antara kalimat dengan kalimat akan berseifat implisit
jika tidak menggunakan konjungsi. Konjungsi yang ada untuk menghubungkan baik
kata dengan kata atau kalimat dengan kalimat dilesapkan dalam pemakaiannya. Hal
ini dikarenakan hubungan antarunsur atau kadar keintian dari konjungsi tersebut
tidak wajib (obligatory), atau hanya
bersifat manasuka (optional). Berikut
adalah contoh penggunaan konjungsi yang bersifat implisit.
(1) Kalangan yang sirik pasti akan menyebut
Ronaldo tak layak menerima penghargaan itu.
Dengan menggunakan teknik lesap, kita akan
melihat kadar keintian dari konjungsi “akan” tersebut. konjungsi akan pada
kalimat (1) dilesapkan sehingga menjadi kalimat (2).
(2) Kalangan yang sirik pasti menyebut Ronaldo
tak layak menerima penghargaan itu.
Kalimat (2) tersebut secara
struktur gramatikal tidak berubah. Kalimat tersebut juga berterima dalam
penggunaan bahasa Indonesia. Ternyata pelesapan konjungsi “akan” tersebut tidak
mempengaruhi kalimat tersebut secara gramatikalnya. Kadar keintian konjungsi
“akan” pada kalimat tersebut tidak wajib, namun hanya bersifat optional.
2.2 Istilah
Pemahaman pembaca terhadap suatu teks sering dipengaruhi oleh diksi
(pilihan kata) yang digunakan dalam teks tersebut. Sering seorang pembaca merasa kesulitan untuk memehami suatu
wacana karena ketidakmengertiannya dengan kata-kata yang digunakan dalam teks.
Bahkan, pembaca sering salah menapsirkan makna suatu kata atau istilah yang
digunakan dalam teks. Jika kesalahan penapsiran tersebut tidak membawa dampak
yang global terhadap pemaknaan suatu teks, tentunya itu tidak akan menjadi
masalah. Akan tetapi, pemaknaan yang salah terhadap satu atau beberapa istilah
yang mengakibatkan gangguan pemahaman tentu akan membawa dampak yang sangat
merugiakan pembaca. Kesalahan menginterpretasikan suatu istilah bisa saja akan
mengakibatkan gangguan pemahaman terhadap suatu informasi baru yang akan
diperoleh.
Untuk
dapat memahami suatu istilah atau kata dalam sebuah wacana, seorang biasanya
menggunakan model membaca atas ke bawah
dan atau model bawah ke atas. Model
atas ke bawah yang sering juga disebut model berdasarkan konteks, mengasumsikan
bahwa informasi tentang konteks dapat secara langsung mempengaruhi caranya
suatu kata atau istilah dipersepsi dan diinterpretasikan. Informasi dari
konteks itu menyangkut beberapa hal. Pertama, adanya pengetahuan yang sifatnya
umum dan pengetahuan yang sifatnya khusus. Pengetahuan yang umum, misalnya,
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh siapapun – bahwa sepeda itu mempunyai
roda, bahwa api itu panas, bahwa harimau itu hewan liar dan galak, dsb. adalah
bagian dari pengetahuan umum. Pengetahuan khusus adalah pengetahuan yang
berkaitan dengan pengalaman pribadi masing-masing orang.
Kedua,
adanya pengetahuan mengenai kendala-kendala sintaktik maupun semantik pada
bahasa, baik bahasa pada umumnya atau bahasa yang ia kuasai. Kendala sintaktik
yang universal misalnya adanya larangan untuk memindahkan unsur dari satu anak
kalimat ke induk kalimat. Kendala sintaktik yang lokal adalah, misalnya,
keharusan untuk menghilangkan prefix meN-
pada kalimat pasif tipe pronomina. Ketiga, adanya pengetahuan mengenai
kendala-kendala atau konvensi otografik. Seseorang pembaca harus telah
mengetahui sebelumnya bahwa huruf q
itu selalu diikuti huruf u, bahwa
bagi orang Indonesia gugus konsonan di akhir kata itu tidak ada kecuali pada
beberapa kata pinjaman seperti konteks
dan kompleks.
Pada
model bawah ke atas yang juga
disebut sebagai model yang berdasarkan stimulus, adalah bahwa recognisi kata
tergantung terutama pada informasi yang ada pada kata itu, bukan pada
konteksnya. Di samping itu, recognisi terjadi secara diskrit, berheirarki, dan
bertahap. Informasi yang ada pada suatu tahaf dimanfaatkan untuk membangun
tahaf berikutnya. Karena itu, maka pada model ini ada tahap sensori, tahap
rekognisi, dan tahap interpretasi.
2.3 Pemahaman Wacana
Wacana
adalah satuan bahasa terlengkap (utuh) dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis (Tarigan
dalam Idat, 1994: 5). Pemahaman pembaca/pendengar baik wacana tulis maupun
wacana lisan dipengaryhi oleh banyak faktor, diantaranya hubungan
antarproposisi dalam wacana. Hubungan antarproposisi dalam wacana dapat
dipertimbangkan dari segi gramatikal dan dari segi semantik.
Hubungan
gramatikal wacana dapat dipertimbangkan dari analisis wacana secara
mikrostruktural (melalui unsur-unsur pendukung wacana) dan secara
makrostruktural (melibatkan pelatardepanan [foreground]
dan pelatarbelakangan [background]
dari wacana sebagai teks).
Unsur-unsur
gramatikal yang mendukung wacana dapat berupa:
1)
Unsur yang
berpungsi sebagai konjungsi
(penghubung) kalimat atau satuan yang lebih besar, seperti dengan demikian, maka, itu sebabnya, oleh karena itu, lagi pula,
kemudian setelah itu, ketika;
2)
Unsur
kosong (ø), unsur yang dilesapkan
mengulangi apa yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu (yang lain);
3)
Kesejajaran
antarbagian;
4)
Referensi,
baik endofora (anaphora dan katafora) maufun eksofora;
5)
Kohesi
leksikal: kohesi leksikal dapat terjadi melalui diksi (pilihan kata) yang
memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu. Kohesi
leksikal dapat berupa pengulangan, sinonimi dan hiponimi, serta kolokasi;
6)
Konjungsi:
konjungsi dapat berupa elaborasi
(ekspansi, destilasi) ataupun ekstensi
(perluasan, menerangkan).
Dilihat
dari hubungan logika semantik, hubungan antarproposisi dapat dikaitkan dengan
fungsi semantik konjungsi yang dapat berupa (1) ekspansi (perluasan), meliputi
elaborasi, penjelasan/penambahan; (2) proyeksi, berupa: ujaran dan gagasan.
Pemahaman terhadap wacana dipengaruhi oleh pengetahuan
tentang dunia. Boleh dikatakan bahwa pengetahuan yang kita muliki sebagai
pemakai suatu bahasa mengenai interaksi sosila melalui bahasa hanyalah sebagian
dari pengetahuan umum sosial budaya kita. Pengetahuan umum tentang dunia ini
menopang penafsiran kita, tidak hanya mengenai wacana, tetapi sebenarnya juga
mengenai segala segi pengelaman kita. Seperti diingatkan oleh De Beaugrande
(dalam Brown dan Yule, 1996: 233) “persoalan bagaimana orang-orang mengetahui
apa yang terjadi dalam teks adalah suatu kasus khusus persoalan bagaimana
orang-orang mengetahuiapa yang terjadi di dunia seluruhnya."
Tafsiran
wacana terutama didasrkan pada asas analogi yang sederhana dengan apa yang kita
alami pada masa lalu. Sebagai orang-orang dewasa, kita mungkin sekali memiliki latar
belakang pengalaman dan pengetahuan yang sangat banyak. Bagaimanakah kita
mengatur semua pengetahuan ini dan mengaktifkan sedikit-sedikit saja yang
terbatas bilamana diperlukan? Semua itu akan dapat dijawab jika kita terlebih
dahulu dapat memahami bagaimana hubungan pandangan tentang pemahaman wacana
melalui penggunaan ‘pengetahuan dunia’ ini dengan pandangan tentang penafsiran
harfiah melalui ‘kata-kata di atas kertas’.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam Bab III ini akan dipaparkan temuan dan pembahasan
secara berurutan, yaitu meliputi pembahasan mengenai penggunaan konjungsi,
istilah, pemahaman terhadap wacana, dan keterkaitan atau pengaruh keeksplisitan
penggunaan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman wacana.
3.1 Konjungsi
Berikut ini adalah teks yang berjudul Pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Sumber:
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud.
(hal: 49-50)
2. Pengetahuan Deklaratif dan
Pengetahuan Prosedural
Proposisi digunakan untuk menyajikan pengetahuan deklaratif, sedangkan pengetahuan prosedural disajikan oleh produksi.
Sebelum kita membahas produksi,
dalam bagian ini akan diuraikan lebih dahulu perbedaan antara pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Pengetahuan deklaratif menytakan
pengetahuan apa sesuatu itu,
sedangkan pengetahuan prosedural ialah pengetahuan bagaimana melakuakan sesuatu. Kita belajar apa itu definisi
segi-tiga, apa itu tanda atom, apa itu akar tunggang, apa itu komet, apa itu
robot, dsb. Selain itu kita juga belajar bagaiman memainkan seruling, bagaimana
membagi 7777 dengan 1111, bagaiman mengubah kata kerja menjadi kata benda,
bagaimana menyetarakan reaksi kimia, dsb. Seorang anak tahu bahwa ia tinggal di
Jl. Setiabudi nomor 213, tetapi ia dapat saja belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari sekolah. Hal ini hanya dapat
ditemukan dengan menyuruh dia pulang, dan melihat apakah ia sampai di rumah.
Pengetahuan
deklaratif dapat berbeda dari topoik dan ruang lingkup. Kita dapat tahu tentang
fakta: [Ibu Kota Republik Indonesia ialah Jakarta], [Gunung Tangkuban Perahu
terdapat di Jawa Barat]. Kita dapat tahu generalisasi : [semua ulat berubah
menjadi kupu-kupu], [semua asam mengubah kertas lakmus biru menjadi merah].
Kita juga dapat tahu kejadian-kejadian pribadi, misalnya : [Ibu tidak suka menonton
film],[nanda suka membaca buku cerita wayang]. Selain itu fakta-fakta dapat
disusun menjadi himpunan fakta-fakta, generalisasi-generalisasi dapat disusun
menjadi teori-teori, dan kejadian-kejadian pribadi dapat disusun menjadi
sejarah hidup. Jelaslah bahwa pengetahuan deklaratif banyak ragamnya.
Semua pengetahuan deklaratif itu
relative statis. Pengetahuan prosedural lebih dinamis. Bila pengetahuan
prosedural diaktifkan, hasilnya bukan suatu pemanggilan informasi, melainkan
suatu taransformasi informasi.
Misalnya, hasil dari mengerjakan soal 333/3 ialah 111. Informasi input [333/3]
telah diubah menjadi suatu output [111]
yang berbeda bentuknya dengan input. Contoh lain misalnya, hasil dari
suatu pengetahuan prosedural tentang menyetarakan suatu reaksi kimia:
N2 + 3H2 2NH3
Sebagai input ialah : N2 + H3 NH3
Sebagai output ialah: N2 + 3H2 2NH3
Kita melihat transpormasi informasi yang terjadi.
Informasi input berbeda dengan informasi output (ada angka 3 di muaka H2, dan
angka 2 dimuka NH3 pada output). Jadi pengetahuan prosedural diguanakan untuk
mentranspormasi informasi.
Perbedaan
lain antara pengetahuane deklaratif dan pengetahuan deklaratif prosedural ialah
dalam kecepatan mengaktifkannya. Bila pengetahuan prosedural sekali telah dipelajari dengan baik,
maka pengetahuan bekerja secara cepat dan otomatis. …….
Berikut adalah beberapa
kalimat yang menggunakan konjungsi secara eksplisit dan implisit.
(1) Proposisi digunakan untuk menyajikan
pengetahuan deklaratif, sedangkan pengetahuan prosedural disajikan oleh
produksi.
Pada
kalimat tersebut, konjungsi “sedangka” merupakan konjungsi koordinatif
perlawanan. Untuk mengetahui hubungan keintian konjungsi tersebut dengan
kalimat yang disusunnya dapat digunakan teknik pelesapan konjungsi “sedangkan”
tersebut sehingga menjadi kalimat (2) berikut.
(2) Proposisi digunakan untuk menyajikan pengetahuan
deklaratif, pengetahuan prosedural disajikan oleh produksi.
Penghilangan
konjungsi “sedangkan” pada kalimat tersebut mengganggu pemahaman dapat
mengganggu pemahaman kita. Pelesapan itu mengakibatkan penggabungan kalimat
tersebut menjadi tidak padu. Ini berarti konjungsi “sedangkan” dalam kalimat
tersebut bersifat wajib. Pada kalimat (3) berikut digunakan konjungsi
“sebelum”, “akan”, dan “antara….dan….”.
(3) Sebelum kita membahas produksi, dalam bagian
ini akan diuraikan lebih dahulu perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan prosedural.
Pelesapan
ketiga konjungsi tersebut mengakibatkan kalimat tersebut menjadi kalimat (4).
(4) Kita membahas produksi, dalam bagian ini diuraikan
lebih dahulu perbedaan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural.
Pelesapan
ketiga konjungsi itu mengakibatkan pemahaman kita terganggu. Sulit bagi kita
untuk memahami teks atau wacana yang konjungsinya dihilangkan.
(5) Seorang
anak tahu bahwa ia tinggal di Jl. Setiabudi nomor 213, tetapi ia dapat saja
belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari sekolah.
Pada
kalimat (5) tersebut digunakan konjungsi koordinatif perlawana “tetapi” secara
ekspisit. Pelesapan atau pengimplisitan konjungsi tersebut mengakibatkan
kalimat tersebut menjadi kalimat (6) berikut.
(6) Seorang anak tahu bahwa ia tinggal di Jl.
Setiabudi nomor 213, ia dapat saja belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari
sekolah.
Secara
gramatikal kalimat tersebut benar dan berterima dalam bahasa Indonesia. Hal ini
juga tidak mempengaruhi pemahaman kita terhadap kalimat bagian dari wacana
tersebut. Hal ini berarti konjungsi “tetapi” memiliki tingkat keintian yang
rendah bersifat tidak wajib dan manasuka (opsional).
(7) Pengetahuan prosedural itu lebih dinamis.
Kalimat
(7) tersebut, konjungsi “lebih” biasanya berbentuk “lebih...dari (pada)…” yang
merupakan penanda konjungsi subordinatif perbandingan. Pengimplisitan bagian
konjungsi yang lain ternyata tidak mempengaruhi atau tidak mengakibatkan
pemahaman kita menjadi terganggu. Ini berarti dalam kalimat tersebut, bagian
kunjungsi yang terimplisitkan (…dari(pada)) bersifat manasuka dan tidak wajib.
Walaupun bagian dari konjungsi tersebut diimpilisitkan, yaitu diimplisitkan
dengan pembandingnya, kita akan mengetahui bahwa yang menjadi bandingannya
adalah pengetahuan deklaratif. Pemahamannya akan sama dengan kalimat (8)
berikut.
(8) Pengetahuan prosedural itu lebih dinamis
daripada pengetahuan deklaratif.
Pada kalimat (9) dan (10) akan terlihat penggunaan
konjungsi “bila…maka ...” secara eksplisit dan secara implisit.
(9)
Bila
pengetahuan prosedural sekali dipelajari dengan baik, maka pengetahuan ini
bekerja secara cepat dan otomatis.
(10) Pengetahuan prosedural sekali dipelajari dengan
baik, pengetahuan ini bekerja secara cepat dan otomatis.
Dalam dua kalimat tersebut, terlihat bahwa pelesapan
konjungsi “bila.. maka … ” tidak menggangu pemahaman kita. Ini berarti
konjungsi “bila … maka … ” dalam kalimat tersebut bersipat tidak wajib dan
manasuka.
3.2 Istilah
Sumber Teks: Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud.
(hal: 33)
C. TEORI BELAJAR
SOSIAL
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori
belajar prilaku yang tradisional. Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura
(1969). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori
belajar prilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekatanan pada efek-efek dari
isyarat-isyarat pada prilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi
dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan
reinforsemen eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk
memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Melalui observasi tentang
dunia sosial kita, melalui interpretasi kognitif dari dunia itu, banyak sekali
informasi dan penampilan-penampilan keahlian yang komplek dapat dipelajari.
Dalam
pandangan belajar sosial “manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan
dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi,
fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbale balik
dalam determinan-determinan lingkungan” (banduru, 1977, h.11-12).
Teori
belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang, tidak random; lingkungan –lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui prilakunya. Suatu persepektif belajar sosial
menganalisis hubungan kontinu antara variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri
pribadi, dan prilaku terbuka dan tertutup seseorang. Persepektif itu
menyediakan interpretasi-interpretasi tentag bagaimana terjadinya belajar
sosial, dan bagaiman kita mengatur perilaku kita sendiri. Suatu pembahasan
tentang konsep-konsep utama dari teori belajar sosial akan diberikan dalam
bagian berikut. ….
Dalam wacana tersebut terdapat beberapa istilah yang
mengakibatkan penulis kesulitan untuk memahami wacana tersebut. Istilah-istilah
tersebut seperti proses mental internal,
reinforsemen eksternal, kognitif
internal, determinan pribadi, variable lingkungan. Penggunaan-penggunaan
istilah yang tanpa dilengkapi dengan penjelasan mengenai istilah yang dimaksud
tentu tidak dapat dipahami dengan mudah. Hal ini mengakibatkan kita hanya bisa
menduga-duga makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Tidak tertutup
kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengartikan kata-kata tersebut sehingga
kita memiliki pemahaman yang keliru mengenai wacana yang kita baca. Pemahaman
yang salah ini kemudian disimpan dalam memori jangka panjang yang akan
dipanggil sewaktu-waktu. Pengetahuan ini kemudian disebut skemata. skemata akan
digunakan saat kita menemui wacana yang sejenis. Pada saat itulah, skemata yang
keliru ini akan mempengaruhi pengetahuan yang baru kita peroleh sehingga
memungkinkan terjadi kekeliruan yang lebih basar. Berbeda halnya dengan wacana yang berjudul
“Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” berikut.
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
----
IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[1]
Pendahuluan
Pada prinsipnya
terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai
kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti
keyakinan yang tidak ilmiah.[2]
Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya
dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori
yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang
mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok
sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi
dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir,
nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu.
Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya
suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya
tergantung kepada isi ideologi tersebut.[3]
Arti ketiga, ideologi sebagai
keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu
sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara
logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan
moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam
wilayah ideologi.[4]
Dari tiga arti kata ideologi
tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti
netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok.
Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara
atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai
ideologi negara Republik Indonesia.
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi
sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan
ideologi terbuka.[5] Ideologi tertutup adalah
ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan
norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak
boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah
jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh
dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain.
Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi
berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan
dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu
ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan
prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat
konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang
untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup
menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi
tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit
yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya
pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya
dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus
dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti
bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari
ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari
pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi
sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan
hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a)
hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b)
ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid
bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus
hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama
kaum proletar.[6]
Tipe kedua adalah ideologi
terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan
penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu
dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang
berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat
ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan
sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat
dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat
ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Dalam wacana tersebut dipergunakan berbagai istilah dalam
ranah kenegaraan atau politik. Seperti kata (1) ideologi sebagai
kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti
keyakinan yang tidak ilmiah; (4) ideologi
terbuka; ideologi tertutup; (5) Ideologi Marxisme-Leninisme, dan lain-lain,
istilah-istilah tersebut dapat kita pahami karena setiap istilah dideskripsikan
kemudian. Mengenai ideologi sebagai suatu kesadaran palsu diterangkan terlebih
dahulu, barulah dilanjutkan dengan deskripsi macam-macam ideologi yang lain.
Selain istilah-istilah
tersebut, juga terdapat istilah seperti materialisme dialektis dan ateis,
materialisme historis, norma-norma rigid, dan apriori. Istilah-istilah
tersebutpun dapat dipahami karena telah diberikan penjelasan singkatnya. Baik
dijelaskan dengan deskripsi seperti deskrisi mengenai materialisme dialektis
dan ateis yang dideskripsikan sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme yaitu ajaran
dan paham tentang hakikat realitas alam. Materialisme historis dijelaskan
sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme ajaran makna sejarah. Kemudian norma-norma
rigid dijelaslak sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme mengenai bagaimana
masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup. Ataupun
dijelaskan dengan cara dipertentangkan dengan hal yang lain, seperti istilah apriori yang dijelaskan dengan
mempertentangkannya dengan istilah demokrasi.
Dari penjelasan dengan mempertentangkannya dengan istilah demokrasi tersebut dapat kita pahami makna kata apriori.
Pemahaman wacana juga
lebih mudah karena dalam wacana tersebut terdapat catatan-catatan kaki yang
mampu memberikan kita gambaran yang lebih luas mengenai istilah-istilah yang
ada. Seperti makna kata ideologi yang dikutifkan dari kamus oxford. Hal ini tentu akan dapat
menambah pemahaman kita terhadap wacana yang kita baca.
3.3 Pengaruh
Penggunaan Keeksplesitan Konjungsi dan Istilah Terhadap Pemahaman Suatu Teks
Dari hasil temuan dan pembahasan konjungsi dan istilah di
atas, terlihat bahwa keeksplisitan penggunaan konjungsi dapat mempermudah
pemahaman kita mengenai teks yang kita baca. Konjungsi eksplisit yang memiliki
tinggkat keintian yang kuat dan tidak bersifat manasuka tentu akan sangat membantu
pemahaman terhadap suatu wacana. Pelesapan konjungsi eksplisit pada wacana di
mana konjungsi dan bagian teks lain memiliki hubukan kerekatan atau keintian
yang kuat tentu akan mengakibatkan kesalahan gramatikal dan menyebabkan teks
menjadi sulit dipahami. Tidak tertutup kemungkinan muncul kebingungan dalam
memahami wacana tersebut. Membaca teks yang konjungsi wajibnya (memiliki
hubungan keintiannya kuat) menyebabkan kita sering mengkerutkan alis dalam
membacanya, bahkan kepala kita bisa terasa sakit jika membaca wacana-wacana
yang seperti itu. Hal ini dikarenakan otak memerlukan daya yang lebih besar
untuk mendekode transkripsi-transkripsi fonetik wacana tersebut menjadi
pemahaman yang utuh.
Penggunaan istilah juga akan mempengaruhi pemahaman kita
terhadap wacana. Istilah-istilah umum tentunya akan lebih mudah kita pahami
dibandingkan dengan istilah khusus yang berhubungan dengan bidang keilmuan
tertentu. Contohnya jika kita membaca artikel-artikel dunia kedokteran yang
penuh dengan istilah dunia kedokteran. Hal itu tentunya tidak akan menjadi
masalah jika yang membacanya adalah orang-orang kedokteran. Namun, jika yang
membacanya orang awam yang tidak mengikuti perkembangan dunia kedokteran, hal
ini akan mengakibatkan kesulitan dalam memahami teks tersebut. Lain halnya
dengan wacana yang berisikan istilah dan deskripsinya. Istilah yang dilengkapi
deskripsi tentunya tidak akan menyulitkan kita untuk memahami suatu wacana,
seperti pada wacana yang berjudul “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” di
atas. Dalam wacana tersebut terdapat beberapa istilah dalam bidang kenegaraan
dan atau politik. Namun, istilah-istilah tersebut dapat dipahami karena telah
dideskripsikan kemudian.
3.4 Kaitan
antara Konjungsi, Istilah, dan Pemahaman Terhadap Suatu Teks
Konjungsi, istilah, dan pemahaman wacana/teks
memiliki hubungan yang sangat erat. Penggunaan konjungsi secara implisit,
lebih-lebih konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang tinggi yang barsifat
wajib, tentu akan sangat mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana. Selama
konjungsi itu bersifat manasuka atau opsional tentu saja pelesapannya tidak
mempengaruhi mudah tidaknya kita memahami wacana. Begitu halnya dengan
pemakaian istilah. Istilah-istilah yang bersifat khusus (yang belum umum
digunakan) yang terdapat dalam suatu wacana akan menyulitkan kita dalam
memahami suatu wacana. Lain halnya dengan pemakaian istilah khusus yang
dilengkapi dengan deskrisi baik deskripsi dengan cara menjelaskannya maupun
deskripsi dengan membandingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang
lain tentu akan dapat kita pahami dengan lebih mudah.
Dapat kita bayangkan jika terdapat
sebuah wacana dengan pelesapan konjungsi eksplisit dan penggunaan
istilah-istilah khusus tanpa pemberian deskripsi. Hal ini tentu akan sangat
menyulitkan pembaca. Wacana-wacana seperti itulebih tepat dibaca setelah kita
memahami konsep-konsep dasar mengenai istilah-istilah yang ada dalam wacana
tersebut. Pengetahuan yang kita miliki sebelumnya adalah skemata untuk memahami
teks yang baru kita jumpai. Namun, perlu diingant, bahwa walaupun skemata
mengenai istilah tersebut sudah kita miliki, jika konjugsi wajibnya
diimplisitkan, tetap saja kita akan kesulitan memahami teks tersebut.
sebaliknya, jika konjungsi wajibnya telah dieksplisitkan namun kita tidak memiliki
skemata mengenai istilah-istilah yang ada, tentu akan sulit memahami teks
tersebut. Ini berarti antara penggunaan konjungsi dan istilah memiliki kaitan
yang besar terhadap pemahaman terhadap suatu teks atau wacana.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan pada Bab III tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
1) Konjungsi eksplisit akan memudahkan kita
memahami suatu wacana. Konjungsi yang dapat diimplisitkan dalam pemakaiannya
adalah konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang rendah, tidak wajib, dan
manasuka atau opsional.
2) Penggunaan istilah-istilah khusus tanpa
deskripsi yang memadai akan menyulitkan kita dalam memahami suatu wacana.
3) Pengaruh keekspisitan penggunaan konjungsi
tentu akan mempermudah kita dalam memahami suatu wacana. Begitu juga pemakaian
istilah yang dilengkapi deskripsi, tentu akan memudahkan dalam memahaminya.
4) Konjungsi, istilah, dan pemahaman wacana
memiliki hubungan yang sangat erat. Satu sama lain saling mempengaruhi. Pelesapan
konjungsi yang memiliki hubungan keintian kuat dan penggunaan istilah tanpa
deskripsi akan mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana.
4.2 Saran
Saran
yang dapat bagi para penyusun suatu teks atau wacana adalah penggunaan
konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang kuat agar dipergunakan secara
eksplisit agar mempermudah pembaca dalam memahami teks tersebut. Begitu juga
dengan penggunaan istilah agar diberikan
penjelasan agar membantu pembaca dalam memahaminya. Bagi pembaca, pembaca
hendaknya berhati-hati dalam membaca suatu wacana dan berusaha memahami
istilah-istilah yang ada dengan tepat. Jika terjadi ketidakmengertian,
hendaknya pembaca membuka kamus istilah atau kamus-kamus yang lainnya sehingga
tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Lebih-lebih jika kesalahan tersebut
terus berlanjut dan menjadi skemata. Hal ini tentu akan mempengaruhi pemahaman
kita terhadap wacana yang lain.
[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
[2] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta;
Kanisius, 1992), hal. 230.
[3] Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a
set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of
beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way
people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah “the
system of ideas and imagery through which people come to see the word and
define their needs and aspiration”, dan “a system of ideas, beliefs and
values that individuals and societies aspire toward.” Lihat, Martin Hewitt,
Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State,
(Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
[4] Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat
ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif
seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi
dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology
and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F.
Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
[5] Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi
dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk.
2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Bahasa.
Asshiddiqie,
Jimly. 2008. Ideologi, Pancasila, dan Konsitusi. http://edukasi.
Blogspot.com. Diakses 12 November 2009.
Brown, Gillian dan
George Yule. 1996. Analisis Wacana
(Discourse Analysis). Jakarta: Pt Garmedia Pustaka Utama.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik (Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Idat, T. Fatimah DJ.
1994. Wacana: Pemahaman dan hubungan
antarunsur. Jakarta: PT Eresco.
Soedjito, soedjito. 2009. Pemakaian Konjungsi yang Efektif.
http://edukasi. Blogspot.com Error! Hyperlink reference not valid..
Diakses tanggal 15 Desember 2009.
Sudiana, I Nyoman. 2007. Membaca. Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS).
http://2033.blogspot.com. Diakses 15 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar