Jumat, 04 Mei 2012


Pengaruh Keeksplisitan Penggunaan Konjungsi dan Istilah Terhadap Pemahaman
oleh I Putu Mas Dewantara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Psikolinguistik adalah hibridisasi dari kajian psikologi dan linguistik. Menurut Harley (dalam Dardjowidjojo, 2003:7) mendefinisikan psikolinguistik sebagai suatu studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa. Pendapat serupa juga disampaikan Leverlt (dalam Mar’at, 2005: 1) yang mendifinisikan psikolinguistik sebagai studi mengenai penggunaan bahasa dan pemerolehan bahasa oleh manusia. Dari definisi tersebut, terligat ada dua sapek yang berbeda, yaitu pertama pemerolehan yang menyangkut bagaimana seseorang, terutama anak-anak belajar bahasa dan kedua penggunaan yang artinya penggunaan dewasa oleh orang dewasa normal. Levelt selanjutnya membagi psikolinguistik ke dalam tiga bidang utama, yaitu psikolinguistik umum, psikolinguistik perkembangan, dan psikolinguistik terapan.
            Psikolinguistik umum mengkaji mengenai bagaiman pengamatan atau apersepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaiman ia memproduksi bahasa. selain itu, psikolinguistik umum juga mengkaji proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang menggunakan bahasa. Lain halnya dengan psikolinguistik perkembangan yang mengkaji pemerolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua. Dalam psikolinguistik perkembangan mengkaji persoalan-persoalan yang dialami seorang anak yang harus belajar dua bahasa secara bersamaan atau bagaimana seorang anak memperoleh bahasa pertamanya. Bidang yang ketiga dari psikolinguistik adalah psikolinguistik terapan. Psikolinguistik terapan adalah aplikasi dari teori-teori psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa ataupun pada anak-anak.
            Dalam psikolinguistik terapan, dari empat keterampilan berbahasa,yaitu menyimak, berbicara,membaca dan menulis yang menjadi perhatian besar adalah membaca dan menulis. Manusia dapat menuangkan apa yang ada dalam pikirannya pada secarik kertas dan kemudian disimpan untuk sehari, sebulan, setahun atau bahkan lebih dari itu. Bahan dalam bentuk tulisan ini dimengerti oleh siapapun yang membacanya selama mereka memahami bahasa yang sama. Kemampuan membaca berbeda halnya dengan kemampuan berujar. Kemampuan membaca bukanlah suatu kemampuan yang kodrati. Banyak orang di dunia ini yang tidak dapat membaca dan menulis. Dari data UNESCO tahun 2002 terlihat 20,3% dari seluruh penduduk dunia pada tahun 2002 masih buta huruf. Hal ini tentu merupakan hal yang memperihatinkan. Besarnya angka buta huruf tersebut disumbang oleh negara-negara berkembang. Oleh karena itu, sekarang ini penuntasan buta huruf sedang gencar-gencarnya dilakuakan di negara-negara berkembang.
            Dalam masyarakat moderen membaca (dan menulis) merupakan bagian yang tidak dapat dikesampingkan karena tanpa kemampuan ini dunia kita hanya tertutup dan terbatas hanya pada apa yang ada di sekitar kita. Membaca merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang melibatkan faktor fisik dan mental. Membaca menurut smith, Anderson, Heibert, Scott, dan Wilkinson (dalam Sudiana, 2007: 7) mendefinisikan membaca sebagai suatu proses pembentukan makna dari teks-teks tertulis. Dalam membaca, orang sering mengalami kesulitan dalam memahami suatu wacana. Proses pemahaman wacana ialah proses menemukan konfigurasi schemata yang menawarkan uraian mamadai tentang bacaan yang bersangkutan. Pemahaman mengenai istilah yang digunakan dalam bacaan juga memengaruhi pemahaman seseorang tentang wacana yang dibaca. Selain itu, penggunaan konjungsi juga memengaruhi pemahaman seseoran terhadap wacana.          

1.2  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.      Bagaimakah pengaruh keeksplisitan penggunaan konjungsi terhadap pemahaman suatu teks?
2.      Bagaimanakah pengaruh penggunaan istilah terhadap pemahaman suatu teks?
3.      Bagaimanakan pengaruh penggunaan keeksplesitan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman suatu teks?
4.      Bagaimanakah kaitan antara konjungsi, istilah, dan pemahaman terhadap suatu teks?


1.3  Tujuan
            Sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat, dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskrisikan pengaruh keeksplisitan penggunaan konjungsi terhadap pemahaman suatu teks.
2.      Mendeskrisikan pengaruh penggunaan istilah terhadap pemahaman suatu teks.
3.      Mendeskrisikan pengaruh penggunaan keeksplesitan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman suatu teks.
4.      Mendeskrisikan kaitan antara konjungsi, istilah, dan pemahaman terhadap suatu teks.


  
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konjungsi
            Konjungsi yang juga disebut kata sambung adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (Hasan Alwi dkk, 2003: 296). Berikut adalah beberapa contoh penggunaan konjungsi pada kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa.
1)      a. Toni dan Ali sedang belajar matematika di kamar.
b. Hidup atau mati kita bergantung pada upaya kita sendiri
2)      a. Tim ahli Indonesia dan utusan IMF berunding lebih dari seminggu.
b. Masalah PHK serta penghentian gaji karyawan menarik perhatian Menteri Sosial.
3)      a. Farida sedang membaca dan adiknya sedang bermain catur’
b. Kamu mau ikut atau tinggal di rumah saja?
c. Meskipun tidak setuju, dia tidak menghalang-halangi niat kami.
d. Mahasiswa ingin berdialog, tetapi ide itu dianggap tidak praktis.
e. Saya mau pergi kalau pekerjaan rumah saya selesai.

            Jika dilihat dari posisinya, konjungsi dapat dirinci menjadi dua macam, yaitu konjungsi intrakalimat dan konjungsi ekstrakalimat. Konjungsi intrakalimat terdiri atas konjungsi antarkata, antarfrasa, dan antarklausa seperti pada contoh di atas. Sedangkan konjungsi ekstrakalimat terdiri atas konjungsi antarkalimat atau paragraf (Soedjito dalam http://edukasi.blogspot.com). Dilihat dari perilaku sintaksisnya, konjungsi dibagi menjadi empat kelompok: (1) konjugsi koordinatif, (2) konjungsi korelatif, (3) konjungsi subordinatif. Di samping itu ada pula (4) konjungsi antarkalimat, yang berfungsi pada tataran wacana (Hasan Alwi, 2003: 297).
1.    Konjungsi Koordinatif
Konjungtor yang menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya, atau memiliki status yang sama. Berikut adalah beberapa konjungtor koordinatif.
dan                    penanda hubungan penambahan
serta                  penanda hubungan pendamping
atau                   penanda hubungan pemilihan
tetapi                 penanda hubungan perlawanan
melainkan          penanda hubungan perlawanan
padahal             penanda hubungan pertentangan
sedangkan         penanda hubungan pertentangan
konjungtor koordinatif agak berbeda dengan konjungtor lain karena konjungtor ini, di samping menghubungkan klausa, juga dapat menghubungkan kata. Meskipun demikia, frasa yang dihasilkan bukanlah frasa prepoposional.
Contoh:
a)      Dia menangis dan istrinya pun tersedu-sedu.
b)      Aku yang datang ke rumahmu atau kamu yang datang ke rumahku?
c)      Sebenarnya anak itu pandai, tetapi malas.
d)     Dia pura-pura tidak tahu, padahal tahu banyak.

2.    Konjungsi Korelatif
Konjungsi/konjungtor korelatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaksis sama. Konjungtor korelatif terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan. Berikut adalah beberapa konjungtor korelatif.
baik … maupun …
tidak hanya …, tetapi juga …
bukan hanya …, melainkan juga …
demikian … sehingga …
sedemikian rupa …sehingga …
jangankan …, …pun …
entah … entah …

3.    Konjungsi Subordinatif
Konjungsi/konjungtor subordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua klausa, atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Salah satu dari klausa itu merupakan anak kalimat.bjika dilihat dari perilaku sintaksis dan semantiknya, konjungtor subordinatif dapat dibagi menjadi tiga belas kelompok. Berikut adalah kelompok konjungtor subordinatif.
1)      Konjungtor subordinatif waktu: sejak, semenjak, sewaktu, ketika, tatkala, setelah, sesudah, hingga, sampai, dan lain sebagainya.
2)      Konjungtor subordinatif syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala.
3)      Konjungtor subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya.
4)      Konjungtor subordinatif tujuan: agar, supaya, biar.
5)      Konjungtor subordinatif konsesif: biarpun, meski(pun), walau(pun), sekalipun, sungguhpun, kendati(pun).
6)      Konjungsi subordinatif pembandingan: seakan-akan, seolah-olah, seperti, laksana, ibarat, daripada, alih-alaih, dan lain sebagainya.
7)      Konjungtor subordinatif sebab: sebab, karena, oleh karena, oleh sebab
8)      Konjungtor subordinatif hasil: sehingga, sampai (-sampai), maka(nya)
9)      Konjungtor subordinatif alat: dengan, tanpa
10)  Konjungtor subordinatif cara: dengan, tanpa
11)  Konjungtor subordinatif komplementasi: bahwa
12)  Konjungtor subordinatif atributif: yang
13)  Konjungtor subordinatif perbandingan: sama … dengan, lebih …dari(pada)

4.    Konjungsi antarkalimat
Berbed dengan ketiga konjungtor di atas, konjungtor antarkalimat menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungtor semacam ini selalu memulai kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital. Berikut adalah contoh konjungtor antarkalimat.
biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
sebaliknya
sebelum itu
2.1.1 Konjungsi Eksplisit
Konjungsi atau yang kita kenal dengan kata sambung adalah kata yang menghubungkan kata dengan kata lain, menghubungkan bagian antarkalimat, atau antara kaliman dan kalimat yang lain (Yasim dalam artikel yang berjudul Kadar Keintian Konjungsi “akan” dalam Kolom “Profil” Tabloit Bola Edisi Jumat, 5 Desember 2008). Hubungan antara kata dengan kata, kalimat dengan kalimat tersebut dapat berupa hubungan yang eksplisit jika menggunakan konjungsi. Sebaliknya akan bersifat implisit jika tidak menggunakan kata sambung tersebut (http://2033.blogspot.com).
Penggunaan konjungsi sangatlah produktif dalam bahasa Indonesia.  Salah satu konjungsi tersebut adalah “akan”. Konjungsi “akan” termasuk bagian kaliamat. Kalimat yang menggunakan konjungsi “akan” merupakan kalimat yang ekspisit. Konjungsi “akan” berfungsi menerangkan kalimat tersebut secara tegas.
“Akan” sebagai salah satu konjungsi eksplisit penggunaanya sangat banyak di media-media cetak. Para wartawan sering menggunakan konjungsi ini untuk memaknai sebuah kalimat bahwa peristiwa dalam kalimat tersebut “belum dan akan” terjadi. Sehingga konjungsi ini banyak digunakan dalam berita-berita yang berisi tentang argumentasi atau perkiraan. Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi eksplisit “akan” yang dikutif dari tabloid olah raga BOLA pada kolom “Profil”.
(1)   Rasanya menyenangkan sehingga saya ingin meraih gelar itu lagi di waktu yang akan datang.
Pada kalimat (1), konjungsi akan merupakan salah satu pembentuk averbia (kata keterangan waktu sesudah sekarang). Untuk mengetahui apakah konjungsi “akan” pada kalimat itu wajib atau tidak, kita dapat melakukan uji dengan melesapkan konjungsi “akan” tersebut sehingga menjadi kalimat (2).
(2)   Rasanya menyenangkan sehingga saya ingin meraih gelar itu lagi di waktu yang datang.
Kalimat (2) secara gramatikal tidak berterima, sebab tidak digunakan dalam bahasa Indonesia. Kalimat (2) salah karena konjungsi “akan” dalam kalimat (1) wajib. Konjungsi “akan” tidak dapat dilesapkan karena kadar keintiannya tinggi dalam membangun kalimat. Dari segi makna dan informasi kalimat (2) tidak berubah, namun pada struktur perannya, keterangan waktu menjadi tidak berterima. Sehingga kalimat (2) salah dan tidak berterima.
2.1.2 Konjungsi Implisit
Hubungan antara kata dengan kata, antara kalimat dengan kalimat akan berseifat implisit jika tidak menggunakan konjungsi. Konjungsi yang ada untuk menghubungkan baik kata dengan kata atau kalimat dengan kalimat dilesapkan dalam pemakaiannya. Hal ini dikarenakan hubungan antarunsur atau kadar keintian dari konjungsi tersebut tidak wajib (obligatory), atau hanya bersifat manasuka (optional). Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi yang bersifat implisit.
(1)  Kalangan yang sirik pasti akan menyebut Ronaldo tak layak menerima penghargaan itu.
Dengan menggunakan teknik lesap, kita akan melihat kadar keintian dari konjungsi “akan” tersebut. konjungsi akan pada kalimat (1) dilesapkan sehingga menjadi kalimat (2).
(2) Kalangan yang sirik pasti menyebut Ronaldo tak layak menerima penghargaan itu.
Kalimat (2) tersebut secara struktur gramatikal tidak berubah. Kalimat tersebut juga berterima dalam penggunaan bahasa Indonesia. Ternyata pelesapan konjungsi “akan” tersebut tidak mempengaruhi kalimat tersebut secara gramatikalnya. Kadar keintian konjungsi “akan” pada kalimat tersebut tidak wajib, namun hanya bersifat optional.

2.2 Istilah
            Pemahaman pembaca terhadap suatu teks sering dipengaruhi oleh diksi (pilihan kata) yang digunakan dalam teks tersebut. Sering seorang pembaca merasa kesulitan untuk memehami suatu wacana karena ketidakmengertiannya dengan kata-kata yang digunakan dalam teks. Bahkan, pembaca sering salah menapsirkan makna suatu kata atau istilah yang digunakan dalam teks. Jika kesalahan penapsiran tersebut tidak membawa dampak yang global terhadap pemaknaan suatu teks, tentunya itu tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, pemaknaan yang salah terhadap satu atau beberapa istilah yang mengakibatkan gangguan pemahaman tentu akan membawa dampak yang sangat merugiakan pembaca. Kesalahan menginterpretasikan suatu istilah bisa saja akan mengakibatkan gangguan pemahaman terhadap suatu informasi baru yang akan diperoleh.
            Untuk dapat memahami suatu istilah atau kata dalam sebuah wacana, seorang biasanya menggunakan model membaca atas ke bawah dan atau model bawah ke atas. Model atas ke bawah yang sering juga disebut model berdasarkan konteks, mengasumsikan bahwa informasi tentang konteks dapat secara langsung mempengaruhi caranya suatu kata atau istilah dipersepsi dan diinterpretasikan. Informasi dari konteks itu menyangkut beberapa hal. Pertama, adanya pengetahuan yang sifatnya umum dan pengetahuan yang sifatnya khusus. Pengetahuan yang umum, misalnya, adalah pengetahuan yang dimiliki oleh siapapun – bahwa sepeda itu mempunyai roda, bahwa api itu panas, bahwa harimau itu hewan liar dan galak, dsb. adalah bagian dari pengetahuan umum. Pengetahuan khusus adalah pengetahuan yang berkaitan dengan pengalaman pribadi masing-masing orang.
            Kedua, adanya pengetahuan mengenai kendala-kendala sintaktik maupun semantik pada bahasa, baik bahasa pada umumnya atau bahasa yang ia kuasai. Kendala sintaktik yang universal misalnya adanya larangan untuk memindahkan unsur dari satu anak kalimat ke induk kalimat. Kendala sintaktik yang lokal adalah, misalnya, keharusan untuk menghilangkan prefix meN- pada kalimat pasif tipe pronomina. Ketiga, adanya pengetahuan mengenai kendala-kendala atau konvensi otografik. Seseorang pembaca harus telah mengetahui sebelumnya bahwa huruf q itu selalu diikuti huruf u, bahwa bagi orang Indonesia gugus konsonan di akhir kata itu tidak ada kecuali pada beberapa kata pinjaman seperti konteks dan kompleks.
            Pada model bawah ke atas yang juga disebut sebagai model yang berdasarkan stimulus, adalah bahwa recognisi kata tergantung terutama pada informasi yang ada pada kata itu, bukan pada konteksnya. Di samping itu, recognisi terjadi secara diskrit, berheirarki, dan bertahap. Informasi yang ada pada suatu tahaf dimanfaatkan untuk membangun tahaf berikutnya. Karena itu, maka pada model ini ada tahap sensori, tahap rekognisi, dan tahap interpretasi.

2.3 Pemahaman Wacana
            Wacana adalah satuan bahasa terlengkap (utuh) dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis (Tarigan dalam Idat, 1994: 5). Pemahaman pembaca/pendengar baik wacana tulis maupun wacana lisan dipengaryhi oleh banyak faktor, diantaranya hubungan antarproposisi dalam wacana. Hubungan antarproposisi dalam wacana dapat dipertimbangkan dari segi gramatikal dan dari segi semantik.
            Hubungan gramatikal wacana dapat dipertimbangkan dari analisis wacana secara mikrostruktural (melalui unsur-unsur pendukung wacana) dan secara makrostruktural (melibatkan pelatardepanan [foreground] dan pelatarbelakangan [background] dari wacana sebagai teks).
            Unsur-unsur gramatikal yang mendukung wacana dapat berupa:
1)      Unsur yang berpungsi sebagai konjungsi (penghubung) kalimat atau satuan yang lebih besar, seperti dengan demikian, maka, itu sebabnya, oleh karena itu, lagi pula, kemudian setelah itu, ketika;
2)      Unsur kosong (ø), unsur yang dilesapkan mengulangi apa yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu (yang lain);
3)      Kesejajaran antarbagian;
4)      Referensi, baik endofora (anaphora dan katafora) maufun eksofora;
5)      Kohesi leksikal: kohesi leksikal dapat terjadi melalui diksi (pilihan kata) yang memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu. Kohesi leksikal dapat berupa pengulangan, sinonimi dan hiponimi, serta kolokasi;
6)      Konjungsi: konjungsi dapat berupa elaborasi (ekspansi, destilasi) ataupun ekstensi (perluasan, menerangkan).
            Dilihat dari hubungan logika semantik, hubungan antarproposisi dapat dikaitkan dengan fungsi semantik konjungsi yang dapat berupa (1) ekspansi (perluasan), meliputi elaborasi, penjelasan/penambahan; (2) proyeksi, berupa: ujaran dan gagasan.
            Pemahaman terhadap wacana dipengaruhi oleh pengetahuan tentang dunia. Boleh dikatakan bahwa pengetahuan yang kita muliki sebagai pemakai suatu bahasa mengenai interaksi sosila melalui bahasa hanyalah sebagian dari pengetahuan umum sosial budaya kita. Pengetahuan umum tentang dunia ini menopang penafsiran kita, tidak hanya mengenai wacana, tetapi sebenarnya juga mengenai segala segi pengelaman kita. Seperti diingatkan oleh De Beaugrande (dalam Brown dan Yule, 1996: 233) “persoalan bagaimana orang-orang mengetahui apa yang terjadi dalam teks adalah suatu kasus khusus persoalan bagaimana orang-orang mengetahuiapa yang terjadi di dunia seluruhnya."
Tafsiran wacana terutama didasrkan pada asas analogi yang sederhana dengan apa yang kita alami pada masa lalu. Sebagai orang-orang dewasa, kita mungkin sekali memiliki latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang sangat banyak. Bagaimanakah kita mengatur semua pengetahuan ini dan mengaktifkan sedikit-sedikit saja yang terbatas bilamana diperlukan? Semua itu akan dapat dijawab jika kita terlebih dahulu dapat memahami bagaimana hubungan pandangan tentang pemahaman wacana melalui penggunaan ‘pengetahuan dunia’ ini dengan pandangan tentang penafsiran harfiah melalui ‘kata-kata di atas kertas’.



BAB III
PEMBAHASAN

            Dalam Bab III ini akan dipaparkan temuan dan pembahasan secara berurutan, yaitu meliputi pembahasan mengenai penggunaan konjungsi, istilah, pemahaman terhadap wacana, dan keterkaitan atau pengaruh keeksplisitan penggunaan konjungsi dan istilah terhadap pemahaman wacana.
3.1 Konjungsi
            Berikut ini adalah teks yang berjudul Pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Sumber: Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud. (hal: 49-50)
2. Pengetahuan Deklaratif dan Pengetahuan Prosedural
Proposisi digunakan untuk menyajikan pengetahuan deklaratif, sedangkan pengetahuan prosedural disajikan oleh produksi.
Sebelum kita membahas produksi, dalam bagian ini akan diuraikan lebih dahulu perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Pengetahuan deklaratif menytakan pengetahuan apa sesuatu itu, sedangkan pengetahuan prosedural ialah pengetahuan bagaimana melakuakan sesuatu. Kita belajar apa itu definisi segi-tiga, apa itu tanda atom, apa itu akar tunggang, apa itu komet, apa itu robot, dsb. Selain itu kita juga belajar bagaiman memainkan seruling, bagaimana membagi 7777 dengan 1111, bagaiman mengubah kata kerja menjadi kata benda, bagaimana menyetarakan reaksi kimia, dsb. Seorang anak tahu bahwa ia tinggal di Jl. Setiabudi nomor 213, tetapi ia dapat saja belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari sekolah. Hal ini hanya dapat ditemukan dengan menyuruh dia pulang, dan melihat apakah ia sampai di rumah.
                        Pengetahuan deklaratif dapat berbeda dari topoik dan ruang lingkup. Kita dapat tahu tentang fakta: [Ibu Kota Republik Indonesia ialah Jakarta], [Gunung Tangkuban Perahu terdapat di Jawa Barat]. Kita dapat tahu generalisasi : [semua ulat berubah menjadi kupu-kupu], [semua asam mengubah kertas lakmus biru menjadi merah]. Kita juga dapat tahu kejadian-kejadian pribadi, misalnya : [Ibu tidak suka menonton film],[nanda suka membaca buku cerita wayang]. Selain itu fakta-fakta dapat disusun menjadi himpunan fakta-fakta, generalisasi-generalisasi dapat disusun menjadi teori-teori, dan kejadian-kejadian pribadi dapat disusun menjadi sejarah hidup. Jelaslah bahwa pengetahuan deklaratif banyak ragamnya.
                        Semua pengetahuan deklaratif itu relative statis. Pengetahuan prosedural lebih dinamis. Bila pengetahuan prosedural diaktifkan, hasilnya bukan suatu pemanggilan informasi, melainkan suatu taransformasi informasi. Misalnya, hasil dari mengerjakan soal 333/3 ialah 111. Informasi input [333/3] telah diubah menjadi suatu output [111]  yang berbeda bentuknya dengan input. Contoh lain misalnya, hasil dari suatu pengetahuan prosedural tentang menyetarakan suatu reaksi kimia:

                                                        N2 + 3H2                 2NH3
Sebagai input ialah :          N2 + H3         NH3
Sebagai output ialah:        N2 + 3H2         2NH3

Kita melihat transpormasi informasi yang terjadi. Informasi input berbeda dengan informasi output (ada angka 3 di muaka H2, dan angka 2 dimuka NH3 pada output). Jadi pengetahuan prosedural diguanakan untuk mentranspormasi informasi.
                        Perbedaan lain antara pengetahuane deklaratif dan pengetahuan deklaratif prosedural ialah dalam kecepatan mengaktifkannya. Bila pengetahuan prosedural sekali telah dipelajari dengan baik, maka pengetahuan bekerja secara cepat dan otomatis. …….



Berikut adalah beberapa kalimat yang menggunakan konjungsi secara eksplisit dan implisit.
(1)   Proposisi digunakan untuk menyajikan pengetahuan deklaratif, sedangkan pengetahuan prosedural disajikan oleh produksi.
Pada kalimat tersebut, konjungsi “sedangka” merupakan konjungsi koordinatif perlawanan. Untuk mengetahui hubungan keintian konjungsi tersebut dengan kalimat yang disusunnya dapat digunakan teknik pelesapan konjungsi “sedangkan” tersebut sehingga menjadi kalimat (2) berikut.
(2)   Proposisi digunakan untuk menyajikan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural disajikan oleh produksi.
Penghilangan konjungsi “sedangkan” pada kalimat tersebut mengganggu pemahaman dapat mengganggu pemahaman kita. Pelesapan itu mengakibatkan penggabungan kalimat tersebut menjadi tidak padu. Ini berarti konjungsi “sedangkan” dalam kalimat tersebut bersifat wajib. Pada kalimat (3) berikut digunakan konjungsi “sebelum”, “akan”, dan “antara….dan….”.
(3)   Sebelum kita membahas produksi, dalam bagian ini akan diuraikan lebih dahulu perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Pelesapan ketiga konjungsi tersebut mengakibatkan kalimat tersebut menjadi kalimat (4).
(4)   Kita membahas produksi, dalam bagian ini diuraikan lebih dahulu perbedaan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural.
Pelesapan ketiga konjungsi itu mengakibatkan pemahaman kita terganggu. Sulit bagi kita untuk memahami teks atau wacana yang konjungsinya dihilangkan.
(5)    Seorang anak tahu bahwa ia tinggal di Jl. Setiabudi nomor 213, tetapi ia dapat saja belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari sekolah.
Pada kalimat (5) tersebut digunakan konjungsi koordinatif perlawana “tetapi” secara ekspisit. Pelesapan atau pengimplisitan konjungsi tersebut mengakibatkan kalimat tersebut menjadi kalimat (6) berikut.
(6)   Seorang anak tahu bahwa ia tinggal di Jl. Setiabudi nomor 213, ia dapat saja belum tahu bagaimana pulang ke rumahnya dari sekolah.
Secara gramatikal kalimat tersebut benar dan berterima dalam bahasa Indonesia. Hal ini juga tidak mempengaruhi pemahaman kita terhadap kalimat bagian dari wacana tersebut. Hal ini berarti konjungsi “tetapi” memiliki tingkat keintian yang rendah bersifat tidak wajib dan manasuka (opsional).
(7)   Pengetahuan prosedural itu lebih dinamis.
Kalimat (7) tersebut, konjungsi “lebih” biasanya berbentuk “lebih...dari (pada)…” yang merupakan penanda konjungsi subordinatif perbandingan. Pengimplisitan bagian konjungsi yang lain ternyata tidak mempengaruhi atau tidak mengakibatkan pemahaman kita menjadi terganggu. Ini berarti dalam kalimat tersebut, bagian kunjungsi yang terimplisitkan (…dari(pada)) bersifat manasuka dan tidak wajib. Walaupun bagian dari konjungsi tersebut diimpilisitkan, yaitu diimplisitkan dengan pembandingnya, kita akan mengetahui bahwa yang menjadi bandingannya adalah pengetahuan deklaratif. Pemahamannya akan sama dengan kalimat (8) berikut.
(8)   Pengetahuan prosedural itu lebih dinamis daripada pengetahuan deklaratif.
            Pada kalimat (9) dan (10) akan terlihat penggunaan konjungsi “bila…maka ...” secara eksplisit dan secara implisit.
(9)        Bila pengetahuan prosedural sekali dipelajari dengan baik, maka pengetahuan ini bekerja secara cepat dan otomatis.
(10)    Pengetahuan prosedural sekali dipelajari dengan baik, pengetahuan ini bekerja secara cepat dan otomatis.
            Dalam dua kalimat tersebut, terlihat bahwa pelesapan konjungsi “bila.. maka … ” tidak menggangu pemahaman kita. Ini berarti konjungsi “bila … maka … ” dalam kalimat tersebut bersipat tidak wajib dan manasuka.

3.2 Istilah
Sumber Teks: Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud. (hal: 33)

C. TEORI BELAJAR SOSIAL
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar prilaku yang tradisional. Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar prilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekatanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada prilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforsemen eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Melalui observasi tentang dunia sosial kita, melalui interpretasi kognitif dari dunia itu, banyak sekali informasi dan penampilan-penampilan keahlian yang komplek dapat dipelajari.
                        Dalam pandangan belajar sosial “manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbale balik dalam determinan-determinan lingkungan” (banduru, 1977, h.11-12).
                        Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan –lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui prilakunya. Suatu persepektif belajar sosial menganalisis hubungan kontinu antara variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan prilaku terbuka dan tertutup seseorang. Persepektif itu menyediakan interpretasi-interpretasi tentag bagaimana terjadinya belajar sosial, dan bagaiman kita mengatur perilaku kita sendiri. Suatu pembahasan tentang konsep-konsep utama dari teori belajar sosial akan diberikan dalam bagian berikut. ….



            Dalam wacana tersebut terdapat beberapa istilah yang mengakibatkan penulis kesulitan untuk memahami wacana tersebut. Istilah-istilah tersebut seperti proses mental internal, reinforsemen eksternal, kognitif internal, determinan pribadi, variable lingkungan. Penggunaan-penggunaan istilah yang tanpa dilengkapi dengan penjelasan mengenai istilah yang dimaksud tentu tidak dapat dipahami dengan mudah. Hal ini mengakibatkan kita hanya bisa menduga-duga makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengartikan kata-kata tersebut sehingga kita memiliki pemahaman yang keliru mengenai wacana yang kita baca. Pemahaman yang salah ini kemudian disimpan dalam memori jangka panjang yang akan dipanggil sewaktu-waktu. Pengetahuan ini kemudian disebut skemata. skemata akan digunakan saat kita menemui wacana yang sejenis. Pada saat itulah, skemata yang keliru ini akan mempengaruhi pengetahuan yang baru kita peroleh sehingga memungkinkan terjadi kekeliruan yang lebih basar.  Berbeda halnya dengan wacana yang berjudul “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” berikut.


  

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
----

IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[1]


Pendahuluan
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.[2] Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[3]
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[4]
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[5] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[6]
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

            Dalam wacana tersebut dipergunakan berbagai istilah dalam ranah kenegaraan atau politik. Seperti kata (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah; (4) ideologi terbuka; ideologi tertutup; (5) Ideologi Marxisme-Leninisme, dan lain-lain, istilah-istilah tersebut dapat kita pahami karena setiap istilah dideskripsikan kemudian. Mengenai ideologi sebagai suatu kesadaran palsu diterangkan terlebih dahulu, barulah dilanjutkan dengan deskripsi macam-macam ideologi yang lain.
            Selain istilah-istilah tersebut, juga terdapat istilah seperti materialisme dialektis dan ateis, materialisme historis, norma-norma rigid, dan apriori. Istilah-istilah tersebutpun dapat dipahami karena telah diberikan penjelasan singkatnya. Baik dijelaskan dengan deskripsi seperti deskrisi mengenai materialisme dialektis dan ateis yang dideskripsikan sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme yaitu ajaran dan paham tentang hakikat realitas alam. Materialisme historis dijelaskan sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme ajaran makna sejarah. Kemudian norma-norma rigid dijelaslak sebagai Ideologi Marxisme-Leninisme mengenai bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup. Ataupun dijelaskan dengan cara dipertentangkan dengan hal yang lain, seperti istilah apriori yang dijelaskan dengan mempertentangkannya dengan istilah demokrasi. Dari penjelasan dengan mempertentangkannya dengan istilah demokrasi tersebut dapat kita pahami makna kata apriori.
            Pemahaman wacana juga lebih mudah karena dalam wacana tersebut terdapat catatan-catatan kaki yang mampu memberikan kita gambaran yang lebih luas mengenai istilah-istilah yang ada. Seperti makna kata ideologi yang dikutifkan dari kamus oxford. Hal ini tentu akan dapat menambah pemahaman kita terhadap wacana yang kita baca.

3.3  Pengaruh Penggunaan Keeksplesitan Konjungsi dan Istilah Terhadap Pemahaman Suatu Teks
            Dari hasil temuan dan pembahasan konjungsi dan istilah di atas, terlihat bahwa keeksplisitan penggunaan konjungsi dapat mempermudah pemahaman kita mengenai teks yang kita baca. Konjungsi eksplisit yang memiliki tinggkat keintian yang kuat dan tidak bersifat manasuka tentu akan sangat membantu pemahaman terhadap suatu wacana. Pelesapan konjungsi eksplisit pada wacana di mana konjungsi dan bagian teks lain memiliki hubukan kerekatan atau keintian yang kuat tentu akan mengakibatkan kesalahan gramatikal dan menyebabkan teks menjadi sulit dipahami. Tidak tertutup kemungkinan muncul kebingungan dalam memahami wacana tersebut. Membaca teks yang konjungsi wajibnya (memiliki hubungan keintiannya kuat) menyebabkan kita sering mengkerutkan alis dalam membacanya, bahkan kepala kita bisa terasa sakit jika membaca wacana-wacana yang seperti itu. Hal ini dikarenakan otak memerlukan daya yang lebih besar untuk mendekode transkripsi-transkripsi fonetik wacana tersebut menjadi pemahaman yang utuh.
            Penggunaan istilah juga akan mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana. Istilah-istilah umum tentunya akan lebih mudah kita pahami dibandingkan dengan istilah khusus yang berhubungan dengan bidang keilmuan tertentu. Contohnya jika kita membaca artikel-artikel dunia kedokteran yang penuh dengan istilah dunia kedokteran. Hal itu tentunya tidak akan menjadi masalah jika yang membacanya adalah orang-orang kedokteran. Namun, jika yang membacanya orang awam yang tidak mengikuti perkembangan dunia kedokteran, hal ini akan mengakibatkan kesulitan dalam memahami teks tersebut. Lain halnya dengan wacana yang berisikan istilah dan deskripsinya. Istilah yang dilengkapi deskripsi tentunya tidak akan menyulitkan kita untuk memahami suatu wacana, seperti pada wacana yang berjudul “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” di atas. Dalam wacana tersebut terdapat beberapa istilah dalam bidang kenegaraan dan atau politik. Namun, istilah-istilah tersebut dapat dipahami karena telah dideskripsikan kemudian.

3.4  Kaitan antara Konjungsi, Istilah, dan Pemahaman Terhadap Suatu Teks
            Konjungsi, istilah, dan pemahaman wacana/teks memiliki hubungan yang sangat erat. Penggunaan konjungsi secara implisit, lebih-lebih konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang tinggi yang barsifat wajib, tentu akan sangat mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana. Selama konjungsi itu bersifat manasuka atau opsional tentu saja pelesapannya tidak mempengaruhi mudah tidaknya kita memahami wacana. Begitu halnya dengan pemakaian istilah. Istilah-istilah yang bersifat khusus (yang belum umum digunakan) yang terdapat dalam suatu wacana akan menyulitkan kita dalam memahami suatu wacana. Lain halnya dengan pemakaian istilah khusus yang dilengkapi dengan deskrisi baik deskripsi dengan cara menjelaskannya maupun deskripsi dengan membandingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain tentu akan dapat kita pahami dengan lebih mudah.
            Dapat kita bayangkan jika terdapat sebuah wacana dengan pelesapan konjungsi eksplisit dan penggunaan istilah-istilah khusus tanpa pemberian deskripsi. Hal ini tentu akan sangat menyulitkan pembaca. Wacana-wacana seperti itulebih tepat dibaca setelah kita memahami konsep-konsep dasar mengenai istilah-istilah yang ada dalam wacana tersebut. Pengetahuan yang kita miliki sebelumnya adalah skemata untuk memahami teks yang baru kita jumpai. Namun, perlu diingant, bahwa walaupun skemata mengenai istilah tersebut sudah kita miliki, jika konjugsi wajibnya diimplisitkan, tetap saja kita akan kesulitan memahami teks tersebut. sebaliknya, jika konjungsi wajibnya telah dieksplisitkan namun kita tidak memiliki skemata mengenai istilah-istilah yang ada, tentu akan sulit memahami teks tersebut. Ini berarti antara penggunaan konjungsi dan istilah memiliki kaitan yang besar terhadap pemahaman terhadap suatu teks atau wacana.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Dari hasil pembahasan pada Bab III tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1)      Konjungsi eksplisit akan memudahkan kita memahami suatu wacana. Konjungsi yang dapat diimplisitkan dalam pemakaiannya adalah konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang rendah, tidak wajib, dan manasuka atau opsional.
2)      Penggunaan istilah-istilah khusus tanpa deskripsi yang memadai akan menyulitkan kita dalam memahami suatu wacana.
3)      Pengaruh keekspisitan penggunaan konjungsi tentu akan mempermudah kita dalam memahami suatu wacana. Begitu juga pemakaian istilah yang dilengkapi deskripsi, tentu akan memudahkan dalam memahaminya.
4)      Konjungsi, istilah, dan pemahaman wacana memiliki hubungan yang sangat erat. Satu sama lain saling mempengaruhi. Pelesapan konjungsi yang memiliki hubungan keintian kuat dan penggunaan istilah tanpa deskripsi akan mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana.

4.2  Saran
Saran yang dapat bagi para penyusun suatu teks atau wacana adalah penggunaan konjungsi yang memiliki hubungan keintian yang kuat agar dipergunakan secara eksplisit agar mempermudah pembaca dalam memahami teks tersebut. Begitu juga dengan  penggunaan istilah agar diberikan penjelasan agar membantu pembaca dalam memahaminya. Bagi pembaca, pembaca hendaknya berhati-hati dalam membaca suatu wacana dan berusaha memahami istilah-istilah yang ada dengan tepat. Jika terjadi ketidakmengertian, hendaknya pembaca membuka kamus istilah atau kamus-kamus yang lainnya sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Lebih-lebih jika kesalahan tersebut terus berlanjut dan menjadi skemata. Hal ini tentu akan mempengaruhi pemahaman kita terhadap wacana yang lain.


[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
[2] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
[3] Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah “the system of ideas and imagery through which people come to see the word and define their needs and aspiration”, dan “a system of ideas, beliefs and values that individuals and societies aspire toward.” Lihat, Martin Hewitt, Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
[4] Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
[5] Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Bahasa.

Asshiddiqie,  Jimly. 2008. Ideologi, Pancasila, dan Konsitusi. http://edukasi. Blogspot.com. Diakses 12 November 2009.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana (Discourse Analysis). Jakarta: Pt Garmedia Pustaka Utama.

Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dedikbud.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik (Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Idat, T. Fatimah DJ. 1994. Wacana: Pemahaman dan hubungan antarunsur. Jakarta: PT Eresco.

Soedjito, soedjito. 2009. Pemakaian Konjungsi yang Efektif. http://edukasi. Blogspot.com Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses tanggal 15 Desember 2009.

Sudiana, I Nyoman. 2007. Membaca. Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS).

http://2033.blogspot.com. Diakses 15 Desember 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar