Bahasa dalam Karya Ilmiah
Oleh I Putu Mas Dewantara
1. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk individu dan
mahluk sosial. Menurut Zainal
Hasan dan Salladin (1996: 25) “sebagai mahluk sosial dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak dapat
melepaskan diri dari masyarakat”. Guna mengaktualisasikan diri sebagai bagian
dari masyarakat, setiap individu harus mampu memerankan dirinya di tengah masyarakat
sesuai dengan statusnya.
Dalam mengaktualisasikan dirinya itulah
manusia tidak bisa lepas dari peristiwa komunikasi. Untuk berkomunikasi manusia
memerlukan suatu alat yang dapat mewakili
ide, gagasan, serta maksud yang ingin disampaikan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Sugihastuti (2000) dan Sumarsono (2007) yang menyatakan bahwa
salah satu fungsi bahasa itu adalah sebagai alat untuk berkomunikasi antarwarga
masyarakat itu.
Dalam setiap komunikasi yang terjadi,
seorang pembicara atau penulis pastilah memilih salah satu dari sejumlah
variasi pemakaian bahasa. Berbahasa di pasar antarpembeli, antara pembeli dan
penjual, atau antarpenjual pasti berbeda dengan berbahasa di depan orang yang
dihormati, antara atasan dan bawahan, antara pasien dan dokter, antara murid
dan guru, dan sebagainya. Setiap situasi memungkinkan seseorang memilih variasi
bahasa yang akan digunakannya. Faktor pembicara, pendengar, pokok pembicaraan,
tempat, dan suasana pembicaraan berpengaruh pada seseorang dalam memilih
variasi bahasa.
Apa yang dipaparkan di atas itu, secara
tidak langsung membedakan bahasa ke dalam dua golongan, yaitu bahasa lisan dan
bahasa tulis. Baik dalam bahasa lisan maupun tulis hendaknya selalu memakai
bahasa yang baik dan benar, terlebih lagi dalam situasi yang formal. Bahasa
lisan dalam situasi formal misalnya dalam pidato, sedangkan bahasa tulis yang
formal itu biasanya digunakan dalam karya-karya ilmiah.
Seperti apa yang dipaparkan Sugihastuti
(2000: 8) bahwa “tulisan ilmiah merupakan wujud buah pikiran penulis yang akan
dikomunikasikan kepada pembaca. Bukan sembarang bahasa Indonesia tulis dapat
dipakai untuk menulis karya ilmiah. Ada ragam bahasa Indonesia tersendiri yang
pantas dipilih. Salah satu ragam bahasa itu ialah ragam bahasa baku”.
Penggunaan ragam baku dalam penulisan
karya ilmiah tentu akan membawa sejumlah manfaat bagi penulis dan pembacanya.
Salah satu manfaatnya adalah menghilangkan penafsiran ganda terhadap suatu
bentuk bahasa, sehingga informasi yang disampaikan penulis dapat dipahami
pembaca. Namun, dalam kenyataannya masih banyak terjadi kesalahan berbahasa
yang dilakukan oleh para peneliti dalam menulis karya ilmiah. Mustakim (1994:
4) menyatakan bahwa “bahasa adalah alat ekspresi diri yang akan menunjukan
bagaimana arah pikiran, gagasan, perasaan, maupun pengalaman yang dimiliki
penulis”.
Sugihastuti (2000) menemukan aneka macam
kesalahan berbahasa dalam berbagai topik laporan penelitian.
Kesalahan-kesalahan tersebut seperti kesalahan dalam memilih kata,
ketidaksesuaian dengan EYD, sampai pada penggunaan kalimat yang tidak efektif.
Oleh karena itu, para peneliti diharapkan memiliki kemampuan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Dalam dunia pendidikan, kemampuan
berbahasa dalam penulisan karya ilmiah mendapat perhatian yang serius. Terlebih
lagi di jurusan-jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Misalnya saja di Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, pelatihan kemampuan berbahasa
ini dapat dilihat dari adanya mata kuliah Penulisan Karya Ilmiah. Jadi, sudah
selayaknyalah penulis sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat kesalahan itu tidak
berlangsung terus-menerus. Suharto (dalam Sugihastuti, 2000) menekankan bahwa
penggunaan bahasa Indonesia dalam karya ilmiah perlu mendapat perhatian serius.
Oleh karena itulah, penulis menyusun makalah tentang penggunaan bahasa dalam
karya ilmiah. Ada beberapa masalah yang diangkat dalam makalah ini, di
antaranya mengenai pengalimatan, bentuk dan pilihan kata, ejaan, dan catatan
penting lainnya. Berdasarkan beberapa rumusan masalah tersebut maka tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana pengkalimatan yang benar dalam
menyusun sebuah karya ilmiah, bentuk dan pilihan kata yang tepat, ejaan yang
benar sesuai dengan EYD dalam menyusun karya ilmiah, dan catatan penting
lainnya. Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap dapat memberikan
kontribusi yang besar bagi pembaca untuk dapat membuat suatu karya ilmiah yang
sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.
2. Pembahasan
Wendra (2009: 2) berpendapat bahwa
“karya ilmiah adalah hasil atau produk manusia yang biasanya dalam bentuk
tulisan (sekalipun tidak hanya itu) atas dasar pengetahuan, sikap, dan cara
berpikir ilmiah”. Karya ilmiah sebagai wujud buah pikiran penulis yang akan
dikomunikasikan kepada pembaca memerlukan sarana untuk mengomunikasikan buah
pikiran tersebut. Sarana ini berupa bahasa Indonesia tulis. Akan tetapi, tidak
sembarang bahasa Indonesia yang digunakan dalam menulis karya ilmiah. Lumintaintang (dalam Wendra, 2009: 100)
mengemukakan bahwa ragam bahasa Indonesia yang digunakan sudah tentu adalah
ragam yang digunakan sebagai kerangka acuan atau ragam standar (baku), yaitu
bahasa tulis baku.
Ragam bahasa
Indonesia baku digunakan dalam menulis karya ilmiah karena ragam ini paling
tepat dimanfaatkan untuk menyampaikan suatu ilmu pengetahuan. Bahasa baku
mempunyai nilai komunikatif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa
yang tidak baku karena bahasa baku sudah mempunyai aturan-aturan tertentu, pola
dan kaidah atau norma ejaan, istilah, dan tata bahasa pasti dan tentu pula
(Sugihastuti, 2000). Di samping itu, juga karena karya ilmiah merupakan salah
satu bentuk wacana resmi yang harus menggunakan ragam bahasa resmi (ragam
bahasa Indonesia baku).
Bahasa Indonesia baku tulis haruslah merangkum
sekaligus: (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD);
(2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia; dan (3) Kosakata dalam wujud Kamus Besar
Bahasa Indonesia (IKIP Negeri Singaraja dalam Wendra, 2007). Di samping
ketentuan tersebut, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahasa karya
ilmiah adalah:
(1) nada tulisan bersifat formal dan objektif serta
memperlihatkan penalaran (reasoning) yang jernih;
(2) gagasan eksplisit (tidak menggunakan
majas/terhindar dari ikatan emosional), jelas, lugas, ekonomis, serta taat
azas;
(3) lazim menggunakan gambar, diagram, kurva,
tabel, peta, daftar, dll;
(4) mekanik penulisan mendapat perhatian, seperti
rujukan, kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka;
(5) teks lazimnya berbentuk paparan (exposition),
pemerian (description), ada kalanya narasi (narration), atau
argumentasi (argumentation).
Banyak aspek dan
tataran kebahasaan yang harus dicermati dalam penggunaan bahasa dalam karya
ilmiah. Berikut ini adalah beberapa aspek yang harus dicermati dalam penggunaan
bahasa dalam karya ilmiah.
a) Pengalimatan
Ciri ragam
bahasa ilmiah adalah kecendekiaannya, yang ditandai oleh penalaran yang cermat dan teliti, di
samping objektif. Kalimat yang satu dan kalimat yang lainnya memperlihatkan
hubungan yang logis. Putrayasa (2007: 85) berpendapat bahwa penggunaan ragam
bahasa yang cendekia oleh pembicara atau penulis dapat memberikan gambaran dalam otak
pendengar atau pembaca. Ini berarti, tidak ada penafsiran tertentu terhadap
suatu bentuk bahasa. Oleh karena itu, pengalimatan dalam penulisan karya ilmiah
hendaknya memperhatikan tiga hal pokok, yaitu (1) jelas, (2) lugas, dan (3)
komunikatif.
Kejelasan
kalimat dapat dicapai dengan mengeksplisitkan unsur-unsur kalimat seperti unsur
yang berfungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan. Unsur-unsur yang
membangun sebuah kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu unsur wajib dan
unsur takwajib (unsur manasuka). Unsur wajib adalah unsur yang harus ada dalam
sebuah kalimat (yaitu unsur subjek dan predikat), sedangkan unsur takwajib atau
unsur manasuka adalah unsur yang boleh ada dan boleh tidak ada (Putrayasa,
2007: 47). Adanya unsur subjek dan predikat dalam sebuah kalimat telah memenuhi
persyaratan tata bahasa baku.
Kelugasan berkaitan
dengan makna. Kelugasan makna tecermin dalam tafsiran isi tulisan yang tidak
ganda. Dengan kata lain, hanya ada satu tafsiran yang sama antara pembaca dan
penulis. Hindari pemakaian pengulangan kata karena kelugasan juga berkaitan
dengan ekonomi bahasa. Seorang penulis sudah seharusnya mampu memilih kata mana
yang diperlukan hadir dan kata-kata mana yang dihilangkan tanpa mengubah makna
pesan atau informasi yang ingin disampaikan.
Komunikatif
berkaitan dengan pemahaman pembaca terhadap karya tulis. Sebuah wacana disebut
komunikatif jika disajikan secara logis dan sistematis. Hubungan kelogisan itu
ditandai oleh hubungan antarbagian di dalam kalimat, antarkalimat di dalam
alinea, dan antaralinea di dalam wacana, yang antara lain, memperlihatkan hubungan
sebab akibat, hubungan kesejajaran.
Terkait dengan penjelasan di atas,
perhatikan contoh berikut ini.
(1) Kepada seluruh siswa sebagai subjek penelitian
peneliti wawancarai secara sistematis.
(2) Pada akhir kegiatan siklus ini, seluruh siswa baru diberikan angket
untuk mengetahui respon mereka terhadap teknik pembelejaran yang diterapkan. (Eka
Prasada Nina Putri, 2006: 18)
(3) Tanaman ketela pohon menghendaki iklim
panas lembab dengan ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut. (Ketut
Srinanta, 1997: 64)
Kalimat (1) yang
di antara kata “kepada”, subjek penelitian menjadi
kabur. Kaliamat (2) menimbulkan tafsiran ganda karena kata “baru” bisa mengacu
pada siswa, bisa juga mengacu pada pemberian angket. Kalimat (3) salah karena
kalimat tersebut tidak logis. Kata “mennghendaki” tidak tepat digunakan karena
ketela pohon tidak memiliki kehendak. Untuk itu, perbaikan bisa dilakukan
sebagai berikut.
(1) Seluruh siswa sebagai subjek penelitian,
peneliti wawancarai secara sistematis.
(2) Pada akhir kegiatan siklus ini, seluruh siswa kemudian diberikan angket
untuk mengetahui respon mereka terhadap teknik pembelejaran yang diterapkan.
(3) Tanaman ketela pohon tumbuh dengan baik di
daerah iklim panas lembab dengan ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut.
Dengan cara
demikian, kejelasan struktur, kelugasan makna, dan kekomunikatifan dapat
tercapai.
b)
Bentuk dan
Pilihan Kata
Akhir-akhir ini
ketidaktaatazasan melanda sistem pembentukan kata bahasa Indonesia.
Ketidaktaatazasan itu juga menjadi perintang utama di dalam meningkatkan mutu
norma bahasa Indonesia baku. Misalnya, kata-kata yang berhuruf awal k, p, t,
dan s diperlakukan tidak luluh jika mendapat awalan me- dan pe-
nasal.
Contoh:
Tidak baku
|
Baku
|
|
me-
|
mengkombinasikan
|
mengombinasikan
|
mengkonfirmasikan
|
mengonfirmasikan
|
|
pe-
|
penterjemahan
|
penerjemahan
|
penseleksian
|
penyeleksian
|
Sebaliknya,
kata-kata yang berhuruf l, r, dan c yang seharusnya tidak
mendapat nasal, diberi nasal ketika mendapat awalan me- dan pe-.
Contoh:
Tidak baku
|
Baku
|
|
me-
|
menglipur
|
melipur
|
mengrusak
|
merusak
|
|
pe-
|
penglipur
|
pelipur
|
pengrusak
|
perusak
|
Sebaiknya, unsur
serapan yang
berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berhuruf awal berupa gugus konsonan,
sesuai dengan kaidah Pedoman Umum Pembentukan Istilah, tidak mengalami
penyisipan huruf e misalnya, prodaction menjadi produksi,
bukan peroduksi sehingga jika mendapat awalan me- dan pe- nasal
tidak terjadi peluluhan. Demikian pula halnya dengan gugus konsonan yang
dimulai dengan kl, kr, tr, str, seperti pada kata-kata klasifikasi,
kritik, traktor, dan struktur. Kata-kata tersebut tidak menjadi kelasifikasi,
keritik, teraktor, dan seteruktur.
Contoh :
Tidak baku
|
Baku
|
|
me-
|
memperoduksi
|
memproduksi
|
mengeritik
|
mengkritik
|
|
menteraktor
|
mentraktor
|
|
pe-
|
pengkeritik
|
pengkritik
|
peneraktor
|
pentraktor
|
Dalam hal
pilihan kata (diksi), penulis hendaknya mampu menciptakan keserasian di dalam
konteks dan menghindarkan pemakaian unsur bahasa (1) yang tidak baku, (2) yang
mubazir, (3) yang berupa majas/idiom, (4) prokem dan slang, dan (5) yang artifisial.
Berikut contoh-contoh yang perlu
dicermati.
Tidak baku
|
Baku
|
presen
|
persen
|
prosentase
|
persentase
|
robah
|
ubah
|
berobah
|
berubah
|
dirubah
|
diubah
|
aktifitas
|
aktivitas
|
metoda
|
metode
|
analisa
|
analisis
|
hipotesa
|
hipotesis
|
Sugihastuti (2000: 57) menyatakan bahwa
“kata-kata yang sering salah ditulis oleh peneliti adalah kata-kata berimbuhan,
gabungan kata, kata ulang, kata depan, partikel, pemenggalan kata, singkatan,
dan akronim. Kata dasar, kata turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata ganti –ku,
kau-, -mu, dan –nya, kata depan di, ke, dari, kata si dan
sang, partikel, singkatan, dan akronim, serta angka dan lambang bilangan
perlu juga diperhatikan. Kesalahan-kesalahan yang menyangkut hal itu muncul
dalam aneka rupa. Semua ini sudah ada aturannya. Sesuai dengan kaidah dalam
bahasa Indonesia, gabungan kata, atau yang lazim disebut dengan kata majemuk,
unsur-unsurnya terpisah. Akan tetapi, jika gabungan kata itu mendapatkan awalan
dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya:
tanggung jawab pertanggungjawaban
Jika bentuk dasar yang berupa gabungan
kata itu hanya mendapatkan awalan atau akhiran, yang ditulis serangkai hanya
awalan atau akhiran tersebut dengan unsur yang langsung mengikuti atau
mendahuluinya. Misalnya:
adu pandang beradu
pandang
Gabungan kata yang sering salah tulis
seperti, Inter-, non-, pasca-, dan unsur terkait yang lain
bukan merupakan unsur bebas, melainkan merupakan unsur terikat yang hanya dapat
berdiri jika bergabung dengan unsur lain. sejalan dengan kaidah, gabungan kata
yang salah satu unsurnya berupa unsur terikat penulisannya dirangkaikan.
Misalnya, interseksi, nonaktif, pascaperang, asusila, adikuasa, antarkota,
awahama, audiometer, bilingual, bilabial, biokimia, debirokrasi,
ekstrakulikuler, inframerah, dan lain sebagainya.
Dalam penulisan unsur terikat perlu
dipahami bahwa unsur terikat tertentu apabila dirangkaikan dengan unsur lain
yang berhurup kapital harus diberi tanda hubung di antara kedua unsur tersebut.
Misalnya: non-Indonesia dan lain sebagainya.
Kata ulang tidak ditulis dengan angka
dua. Kata atau bagian kata yang diulang ditulis kembali secara lengkap dan
menyertakan tanda hubung di antara unsur yang diulang. Kata ulang yang
mengalami perubahan fonem pun unsur yang diulang ditulis kembali secara lengkap
dan disertai dengan tanda penghubung di antara keduanya. Gabungan kata atau
kata majemuk jika akan diulang, tidak perlu seluruh unsurnya ditulis ulang. Hal
ini, karena jika seluruh unsurnya ditulis ulang, kita akan menghadapi masalah
yang cukup rumit, terutama apabila kita ingin mengulang gabungan kata yang
bentuknya cukup panjang.
Dalam penulisan laporan penelitian
sering salah menuliskan singkatan dan akronim. Istilah singkatan berbeda dengan
akronim. Singkatan adalah kependekan yang berupa hurup atau gabungan hurup,
baik dilafalkan hurup demi hurup, maupun dilafalkan dengan mengikuti bentuk
lengkapnya. Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan hurup awal dan suku
kata yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa. Perihal penulisan
singkatan dan akronim, pedoman EYD layak diacu.
c)
Tataran
Ejaan
Menurut Lumintaintang
(dalam Wendra, 2009: 104), kekeliruan tertinggi penerapan kaidah EYD, menurut
hasil kajian di Pusat Bahasa, terletak pada pemakaian tanda koma dan penulisan
huruf kapital.
Contoh :
Apabila semua langkah ini positif
pemahaman yang baru terbentuk akan disimpan dalam ingatan.
Perbaikannya yaitu mestinya
terdapat koma di antara anak kalimat dan induk kalimat.
Apabila semua langkah ini positif,
pemahaman yang baru terbentuk akan disimpan dalam ingatan.
Contoh lainnya tampak pada
pemakaian ungkapan kata penghubung antarkalimat berikut.
Penulisan Tidak baku
|
Penulisan baku
|
…Namun…
|
…Namun,…
|
…Meskipun demikian…
|
…Meskipun demikian,…
|
…Walaupun demikian…
|
…Walaupun demikian,…
|
…Oleh karena itu…
|
…Oleh karena itu,…
|
…Dengan demikian…
|
…Dengan demikian,…
|
…Jadi…
|
…Jadi,…
|
…Selain itu…
|
…Selain itu,…
|
…Di samping itu…
|
…Di samping itu,…
|
…Akan tetapi…
|
…Akan tetapi,…
|
…Bahkan…
|
…Bahkan,…
|
…Sebagai akibatnya…
|
…Sebagai akibatnya,…
|
…Untuk itu…
|
…Untuk itu,…
|
Dalam bahasa
Indonesia, ada pula sejumlah kata (di antaranya kata penghubung intrakalimat)
yang didahului tanda koma (Pamusuk Eneste, 1995: 41). Kata-kata itu didaftarkan
berikut ini.
…, padahal …
…, sedangkan …
…, seperti …
…, tetapi …
…, yaitu/yakni …
Ada pula
sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang tidak didahului tanda koma, tetapi
dalam kenyataannya sering disangka didahului koma. Mengapa demikian? Karena
sebelum “Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan” diberlakukan (1972)
kata-kata itu selalu didahului koma. Akan tetapi, menurut “Ejaan Bahasa
Indonesia yang disempurnakan” kata-kata itu tidak didahului koma. Kata-kata itu
adalah sebagai berikut.
… bahwa …
… karena …
…. maka …
… sehingga …
Selain kaidah
penggunaan tanda baca koma, dari segi tataran ejaan, para peneliti juga sering
mengalami kesalahan dalam penerapan kaidah penulisan huruf kapital. Beberapa
contoh kesalahan tersebut adalah sebagaimana ditemukan oleh Sugihastuti (2000).
Contoh-contoh tersebut di antaranya adalah seperti berikut.
1. Penelitian direncanakan pelaksanaannya di
kota-kota propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
·
Kata propinsi
seharusnya ditulis Propinsi karena huruf kapital dipakai sebagai huruf
pertama nama geografi.
2. Pendekatan Politik dalam migrasi
internasional lebih didasarkan atas kebijakan pemerintah atau negara yang
berdimensi demografis serta memiliki implikasi terhadap terhadap tujuan….
·
Penggunaan
huruf kapital pada kata politik tidak tepat. Seharusnya, kata tersebut
ditulis dengan diawali huruf kecil.
3. Daerah Tingkat I Jawa Timur meliputi pulau
Jawa bagian timur, pulau Madura, pulau Bawean, dan pulau-pulau
kecil yang lain dengan luas daratan keseluruhan sebesar….
·
Penggunaan
huruf /p/ pada kata pulau yang dicetak miring tidak tepat. Seharusnya,
kata pulau tersebut ditulis dengan diawali huruf kapital karena huruf
kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
d)
Catatan
Penting yang Lain
Penulisan penjabaran rincian bisa dilakukan dengan dua cara:
(a) Pendekatan horizontal
Contoh:
Untuk menaikkan pendapatan negara,
pemerintah telah memberlakukan (1) semua keputusan tentang perpajakan, (2)
peraturan tentang pendapatan resmi daerah, dan (3) undang-undang pembrantasan
korupsi.
Catatan: dibelakang kata
memberlakukan tidak terdapat tanda titik dua (:)
(b) Penderetan vertikal
Contoh:
Untuk menaikkan pendapatan negara,
pemerintah telah memberlakukan:
(1) semua keputusan tentang perpajakan,
(2) peraturan tentang pendapatan resmi daerah, dan
(3) undang-undang pembrantasan korupsi.
Catatan: di belakang kata memberlakukan terdapat tanda
titik dua (:), dan penulisan tiga rinciannya diawali dengan hurup kecil karena
ketiganya menjadi bagian sebuah kalimat.
Penulisan penjabaran rincian yang
“salah kaprah”
Sering ditemukan penulis yang
membuat/menyusun penjabaran rincian yang tergolong salah kaprah. Yang salah
kaprah tidak perlu diikuti.
Contoh:
Secara garis besar kegagalan
tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(1) Pendidikan yang masih tergolong rendah
(2) Pendapatan keluarga yang pas-pasan
(3) Pimpinan wilayah yang kurang sadar lingkungan
Catatan: Kesalahan yang terdapat pada
contoh di atas ialah:
a. di belakang kata berikut digunakan tanda titik
dua (:), padahal kalimat tesebut tergolong kalimat yang sudah selesai. Jadi
yang harus digunakan tanda titik (.)
b. penggunaan titik dua menandakan bahwa kalimat
yang disusun belum selesai; karena dianggap belum selesai, seharusnya ketiga
rinciannya diawali dengan hurup kecil.
Kalimat yang salah kaprah tersebut
bisa diperbaiki dengan salah satu di antara dua cara berikut.
Cara pertama: secara garis besar
kegagalan tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
(1) Pendidikan yang masih tergolong rendah
(2) Pendapatan keluarga yang pas-pasan
(3) Pimpinan wilayah yang kurang sadar lingkungan
Catatan: Di belakang kata berikut
ada tanda titik (.), bukan tanda titik dua (:).
Cara kedua: Secara garis besar
kegagalan tersebut disebabkan oleh:
(1) pendidikan yang masih tergolong
rendah
(2) pendapatan keluarga yang
pas-pasan
(3) pimpinan wilayah yang kurang
sadar lingkungan
(c) Hal-hal Umum yang Harus Dihindari
(1) Tidak diperkenankan menyisakan ruang kosong
pada akhir halaman, kecuali halaman yang mengakhiri bab.
(2) Tidak dibenarkan penulisan judul pasal atau
subjudul pada akhir halaman.
3. Penutup
a)
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan beberapa hal, di antaranya.
a.
Ragam bahasa yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah adalah bahasa ragam baku yaitu bahasa tulis baku. Bahasa
karangan ilmiah harus menggunakan bahasa Indonesia baku tulis yang merangkum
sekaligus unsur berikut. (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan, (2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan (3) Kosakata dalam wujud Kamus Besar
Bahasa Indonsesia.
b.
Pengalimatan dalam penulisan karya
ilmiah hendaknya memerhatikan tiga hal pokok, yaitu (1) jelas, (2) lugas, dan
(3) komunikatif.
c.
Bentuk dan pilihan kata dalam
penulisan karya ilmiah hendaknya taat asas, serta penggunaan ejaan yang
terdapat dalam penulisan karya ilmiah harus tepat.
b)
Saran
Melihat banyaknya kesalahan berbahasa yang terjadi dalam
penulisan karya ilmiah, kemampuan penggunaan bahasa tulis baku hendaknya perlu
ditingkatkan dengan pelatihan-pelatihan secara berkala. Penggunaan bahasa dalam
karya ilmiah hendaknya memerhatikan pengalimatan, ejaan, bentuk dan pilihan
kata, serta hal-hal penting lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Eneste, Pamusuk. 1995. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta:
Pt Gramedia Pustaka Umum.
Hasan, Zaini dan Salladin. 1996. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta:
Dekdikbud.
Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah
Kemahiran berbahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nina Putri, Eka Prasada. 2006. Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Team-Achievement Division (STAD) dalam
Pembelajaran Biologi Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas II
SMP Negeri 4 Singaraja (Laporan Penelitian). Singaraja: Undiksha.
Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat efektif (Diksi, Struktur, dan
Logika). Bandung: PT Refika Aditama.
Srinanta, Ketut. 1997. Pengaruh Pengambilan Setek
Ketela Pohon pada Daerah Batang yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Akarnya (Skipsi).
Singaraja: Undiksha.
Sugihastuti. 2000. Bahasa Laporan penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumarsono. 2007. (Buku Ajar) Pragmatik. Singaraja: Undiksha.
Wendra, I Wayan. 2009. (Buku Ajar) Penulisan Karya Ilmiah. Singaraja:
Undiksha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar