Jumat, 04 Mei 2012

Bahasa dalam Karya Ilmiah

Bahasa dalam Karya Ilmiah
Oleh I Putu Mas Dewantara



1.  Pendahuluan
Manusia adalah makhluk individu dan mahluk sosial. Menurut Zainal Hasan dan Salladin (1996: 25) “sebagai mahluk sosial dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat”. Guna mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari masyarakat, setiap individu harus mampu memerankan dirinya di tengah masyarakat sesuai dengan statusnya.
Dalam mengaktualisasikan dirinya itulah manusia tidak bisa lepas dari peristiwa komunikasi. Untuk berkomunikasi manusia memerlukan suatu alat yang dapat mewakili  ide, gagasan, serta maksud yang ingin disampaikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugihastuti (2000) dan Sumarsono (2007) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi bahasa itu adalah sebagai alat untuk berkomunikasi antarwarga masyarakat itu.
Dalam setiap komunikasi yang terjadi, seorang pembicara atau penulis pastilah memilih salah satu dari sejumlah variasi pemakaian bahasa. Berbahasa di pasar antarpembeli, antara pembeli dan penjual, atau antarpenjual pasti berbeda dengan berbahasa di depan orang yang dihormati, antara atasan dan bawahan, antara pasien dan dokter, antara murid dan guru, dan sebagainya. Setiap situasi memungkinkan seseorang memilih variasi bahasa yang akan digunakannya. Faktor pembicara, pendengar, pokok pembicaraan, tempat, dan suasana pembicaraan berpengaruh pada seseorang dalam memilih variasi bahasa.
Apa yang dipaparkan di atas itu, secara tidak langsung membedakan bahasa ke dalam dua golongan, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Baik dalam bahasa lisan maupun tulis hendaknya selalu memakai bahasa yang baik dan benar, terlebih lagi dalam situasi yang formal. Bahasa lisan dalam situasi formal misalnya dalam pidato, sedangkan bahasa tulis yang formal itu biasanya digunakan dalam karya-karya ilmiah.
Seperti apa yang dipaparkan Sugihastuti (2000: 8) bahwa “tulisan ilmiah merupakan wujud buah pikiran penulis yang akan dikomunikasikan kepada pembaca. Bukan sembarang bahasa Indonesia tulis dapat dipakai untuk menulis karya ilmiah. Ada ragam bahasa Indonesia tersendiri yang pantas dipilih. Salah satu ragam bahasa itu ialah ragam bahasa baku”.
Penggunaan ragam baku dalam penulisan karya ilmiah tentu akan membawa sejumlah manfaat bagi penulis dan pembacanya. Salah satu manfaatnya adalah menghilangkan penafsiran ganda terhadap suatu bentuk bahasa, sehingga informasi yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca. Namun, dalam kenyataannya masih banyak terjadi kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh para peneliti dalam menulis karya ilmiah. Mustakim (1994: 4) menyatakan bahwa “bahasa adalah alat ekspresi diri yang akan menunjukan bagaimana arah pikiran, gagasan, perasaan, maupun pengalaman yang dimiliki penulis”.
Sugihastuti (2000) menemukan aneka macam kesalahan berbahasa dalam berbagai topik laporan penelitian. Kesalahan-kesalahan tersebut seperti kesalahan dalam memilih kata, ketidaksesuaian dengan EYD, sampai pada penggunaan kalimat yang tidak efektif. Oleh karena itu, para peneliti diharapkan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dalam dunia pendidikan, kemampuan berbahasa dalam penulisan karya ilmiah mendapat perhatian yang serius. Terlebih lagi di jurusan-jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Misalnya saja di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, pelatihan kemampuan berbahasa ini dapat dilihat dari adanya mata kuliah Penulisan Karya Ilmiah. Jadi, sudah selayaknyalah penulis sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat kesalahan itu tidak berlangsung terus-menerus. Suharto (dalam Sugihastuti, 2000) menekankan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam karya ilmiah perlu mendapat perhatian serius. Oleh karena itulah, penulis menyusun makalah tentang penggunaan bahasa dalam karya ilmiah. Ada beberapa masalah yang diangkat dalam makalah ini, di antaranya mengenai pengalimatan, bentuk dan pilihan kata, ejaan, dan catatan penting lainnya. Berdasarkan beberapa rumusan masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana pengkalimatan yang benar dalam menyusun sebuah karya ilmiah, bentuk dan pilihan kata yang tepat, ejaan yang benar sesuai dengan EYD dalam menyusun karya ilmiah, dan catatan penting lainnya. Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pembaca untuk dapat membuat suatu karya ilmiah yang sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.


2.  Pembahasan
Wendra (2009: 2) berpendapat bahwa “karya ilmiah adalah hasil atau produk manusia yang biasanya dalam bentuk tulisan (sekalipun tidak hanya itu) atas dasar pengetahuan, sikap, dan cara berpikir ilmiah”. Karya ilmiah sebagai wujud buah pikiran penulis yang akan dikomunikasikan kepada pembaca memerlukan sarana untuk mengomunikasikan buah pikiran tersebut. Sarana ini berupa bahasa Indonesia tulis. Akan tetapi, tidak sembarang bahasa Indonesia yang digunakan dalam menulis karya ilmiah. Lumintaintang (dalam Wendra, 2009: 100) mengemukakan bahwa ragam bahasa Indonesia yang digunakan sudah tentu adalah ragam yang digunakan sebagai kerangka acuan atau ragam standar (baku), yaitu bahasa tulis baku.
Ragam bahasa Indonesia baku digunakan dalam menulis karya ilmiah karena ragam ini paling tepat dimanfaatkan untuk menyampaikan suatu ilmu pengetahuan. Bahasa baku mempunyai nilai komunikatif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa yang tidak baku karena bahasa baku sudah mempunyai aturan-aturan tertentu, pola dan kaidah atau norma ejaan, istilah, dan tata bahasa pasti dan tentu pula (Sugihastuti, 2000). Di samping itu, juga karena karya ilmiah merupakan salah satu bentuk wacana resmi yang harus menggunakan ragam bahasa resmi (ragam bahasa Indonesia baku).
 Bahasa Indonesia baku tulis haruslah merangkum sekaligus: (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD); (2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia; dan (3) Kosakata dalam wujud Kamus Besar Bahasa Indonesia (IKIP Negeri Singaraja dalam Wendra, 2007). Di samping ketentuan tersebut, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahasa karya ilmiah adalah:
(1)      nada tulisan bersifat formal dan objektif serta memperlihatkan penalaran (reasoning) yang jernih;
(2)      gagasan eksplisit (tidak menggunakan majas/terhindar dari ikatan emosional), jelas, lugas, ekonomis, serta taat azas;
(3)      lazim menggunakan gambar, diagram, kurva, tabel, peta, daftar, dll;
(4)      mekanik penulisan mendapat perhatian, seperti rujukan, kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka;
(5)      teks lazimnya berbentuk paparan (exposition), pemerian (description), ada kalanya narasi (narration), atau argumentasi (argumentation).
Banyak aspek dan tataran kebahasaan yang harus dicermati dalam penggunaan bahasa dalam karya ilmiah. Berikut ini adalah beberapa aspek yang harus dicermati dalam penggunaan bahasa dalam karya ilmiah.

a)      Pengalimatan
Ciri ragam bahasa ilmiah adalah kecendekiaannya, yang ditandai oleh penalaran yang cermat dan teliti, di samping objektif. Kalimat yang satu dan kalimat yang lainnya memperlihatkan hubungan yang logis. Putrayasa (2007: 85) berpendapat bahwa penggunaan ragam bahasa yang cendekia oleh pembicara atau penulis dapat memberikan gambaran dalam otak pendengar atau pembaca. Ini berarti, tidak ada penafsiran tertentu terhadap suatu bentuk bahasa. Oleh karena itu, pengalimatan dalam penulisan karya ilmiah hendaknya memperhatikan tiga hal pokok, yaitu (1) jelas, (2) lugas, dan (3) komunikatif. 
Kejelasan kalimat dapat dicapai dengan mengeksplisitkan unsur-unsur kalimat seperti unsur yang berfungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan. Unsur-unsur yang membangun sebuah kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu unsur wajib dan unsur takwajib (unsur manasuka). Unsur wajib adalah unsur yang harus ada dalam sebuah kalimat (yaitu unsur subjek dan predikat), sedangkan unsur takwajib atau unsur manasuka adalah unsur yang boleh ada dan boleh tidak ada (Putrayasa, 2007: 47). Adanya unsur subjek dan predikat dalam sebuah kalimat telah memenuhi persyaratan tata bahasa baku.
Kelugasan berkaitan dengan makna. Kelugasan makna tecermin dalam tafsiran isi tulisan yang tidak ganda. Dengan kata lain, hanya ada satu tafsiran yang sama antara pembaca dan penulis. Hindari pemakaian pengulangan kata karena kelugasan juga berkaitan dengan ekonomi bahasa. Seorang penulis sudah seharusnya mampu memilih kata mana yang diperlukan hadir dan kata-kata mana yang dihilangkan tanpa mengubah makna pesan atau informasi yang ingin disampaikan.
Komunikatif berkaitan dengan pemahaman pembaca terhadap karya tulis. Sebuah wacana disebut komunikatif jika disajikan secara logis dan sistematis. Hubungan kelogisan itu ditandai oleh hubungan antarbagian di dalam kalimat, antarkalimat di dalam alinea, dan antaralinea di dalam wacana, yang antara lain, memperlihatkan hubungan sebab akibat, hubungan kesejajaran.
Terkait dengan penjelasan di atas, perhatikan contoh berikut ini.
(1)   Kepada seluruh siswa sebagai subjek penelitian peneliti wawancarai secara sistematis.
(2)   Pada akhir kegiatan siklus ini, seluruh siswa baru diberikan angket untuk mengetahui respon mereka terhadap teknik pembelejaran yang diterapkan. (Eka Prasada Nina Putri, 2006: 18)
(3)   Tanaman ketela pohon menghendaki iklim panas lembab dengan ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut. (Ketut Srinanta, 1997: 64)
Kalimat (1) yang di antara kata “kepada”, subjek penelitian menjadi kabur. Kaliamat (2) menimbulkan tafsiran ganda karena kata “baru” bisa mengacu pada siswa, bisa juga mengacu pada pemberian angket. Kalimat (3) salah karena kalimat tersebut tidak logis. Kata “mennghendaki” tidak tepat digunakan karena ketela pohon tidak memiliki kehendak. Untuk itu, perbaikan bisa dilakukan sebagai berikut.
(1)   Seluruh siswa sebagai subjek penelitian, peneliti wawancarai secara sistematis.
(2)   Pada akhir kegiatan siklus ini, seluruh siswa kemudian diberikan angket untuk mengetahui respon mereka terhadap teknik pembelejaran yang diterapkan.
(3)   Tanaman ketela pohon tumbuh dengan baik di daerah iklim panas lembab dengan ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut.
Dengan cara demikian, kejelasan struktur, kelugasan makna, dan kekomunikatifan dapat tercapai.

b)      Bentuk dan Pilihan Kata
Akhir-akhir ini ketidaktaatazasan melanda sistem pembentukan kata bahasa Indonesia. Ketidaktaatazasan itu juga menjadi perintang utama di dalam meningkatkan mutu norma bahasa Indonesia baku. Misalnya, kata-kata yang berhuruf awal k, p, t, dan s diperlakukan tidak luluh jika mendapat awalan me- dan pe- nasal.
Contoh:


Tidak baku
Baku
me-
mengkombinasikan
mengombinasikan

mengkonfirmasikan
mengonfirmasikan



pe-
penterjemahan
penerjemahan

penseleksian
penyeleksian

Sebaliknya, kata-kata yang berhuruf l, r, dan c yang seharusnya tidak mendapat nasal, diberi nasal ketika mendapat awalan me- dan pe-.
Contoh:


Tidak baku
Baku
me-
menglipur
melipur

mengrusak
merusak



pe-
penglipur
pelipur

pengrusak
perusak

Sebaiknya, unsur serapan yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berhuruf awal berupa gugus konsonan, sesuai dengan kaidah Pedoman Umum Pembentukan Istilah, tidak mengalami penyisipan huruf e misalnya, prodaction menjadi produksi, bukan peroduksi sehingga jika mendapat awalan me- dan pe- nasal tidak terjadi peluluhan. Demikian pula halnya dengan gugus konsonan yang dimulai dengan kl, kr, tr, str, seperti pada kata-kata klasifikasi, kritik, traktor, dan struktur. Kata-kata tersebut tidak menjadi kelasifikasi, keritik, teraktor, dan seteruktur.
Contoh :

Tidak baku
Baku
me-
memperoduksi
memproduksi

mengeritik
mengkritik

menteraktor
mentraktor



pe-
pengkeritik
pengkritik

peneraktor
pentraktor

Dalam hal pilihan kata (diksi), penulis hendaknya mampu menciptakan keserasian di dalam konteks dan menghindarkan pemakaian unsur bahasa (1) yang tidak baku, (2) yang mubazir, (3) yang berupa majas/idiom, (4) prokem dan slang, dan (5) yang artifisial.
Berikut contoh-contoh yang perlu dicermati.

Tidak baku
Baku
presen
persen
prosentase
persentase
robah
ubah
berobah
berubah
dirubah
diubah
aktifitas
aktivitas
metoda
metode
analisa
analisis
hipotesa
hipotesis

Sugihastuti (2000: 57) menyatakan bahwa “kata-kata yang sering salah ditulis oleh peneliti adalah kata-kata berimbuhan, gabungan kata, kata ulang, kata depan, partikel, pemenggalan kata, singkatan, dan akronim. Kata dasar, kata turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata ganti –ku, kau-, -mu, dan –nya, kata depan di, ke, dari, kata si dan sang, partikel, singkatan, dan akronim, serta angka dan lambang bilangan perlu juga diperhatikan. Kesalahan-kesalahan yang menyangkut hal itu muncul dalam aneka rupa. Semua ini sudah ada aturannya. Sesuai dengan kaidah dalam bahasa Indonesia, gabungan kata, atau yang lazim disebut dengan kata majemuk, unsur-unsurnya terpisah. Akan tetapi, jika gabungan kata itu mendapatkan awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya:
tanggung jawab                                  pertanggungjawaban
Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata itu hanya mendapatkan awalan atau akhiran, yang ditulis serangkai hanya awalan atau akhiran tersebut dengan unsur yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Misalnya:
adu pandang                                       beradu pandang
Gabungan kata yang sering salah tulis seperti, Inter-, non-, pasca-, dan unsur terkait yang lain bukan merupakan unsur bebas, melainkan merupakan unsur terikat yang hanya dapat berdiri jika bergabung dengan unsur lain. sejalan dengan kaidah, gabungan kata yang salah satu unsurnya berupa unsur terikat penulisannya dirangkaikan. Misalnya, interseksi, nonaktif, pascaperang, asusila, adikuasa, antarkota, awahama, audiometer, bilingual, bilabial, biokimia, debirokrasi, ekstrakulikuler, inframerah, dan lain sebagainya.
Dalam penulisan unsur terikat perlu dipahami bahwa unsur terikat tertentu apabila dirangkaikan dengan unsur lain yang berhurup kapital harus diberi tanda hubung di antara kedua unsur tersebut. Misalnya: non-Indonesia dan lain sebagainya.
Kata ulang tidak ditulis dengan angka dua. Kata atau bagian kata yang diulang ditulis kembali secara lengkap dan menyertakan tanda hubung di antara unsur yang diulang. Kata ulang yang mengalami perubahan fonem pun unsur yang diulang ditulis kembali secara lengkap dan disertai dengan tanda penghubung di antara keduanya. Gabungan kata atau kata majemuk jika akan diulang, tidak perlu seluruh unsurnya ditulis ulang. Hal ini, karena jika seluruh unsurnya ditulis ulang, kita akan menghadapi masalah yang cukup rumit, terutama apabila kita ingin mengulang gabungan kata yang bentuknya cukup panjang.
Dalam penulisan laporan penelitian sering salah menuliskan singkatan dan akronim. Istilah singkatan berbeda dengan akronim. Singkatan adalah kependekan yang berupa hurup atau gabungan hurup, baik dilafalkan hurup demi hurup, maupun dilafalkan dengan mengikuti bentuk lengkapnya. Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan hurup awal dan suku kata yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa. Perihal penulisan singkatan dan akronim, pedoman EYD layak diacu.



c)      Tataran Ejaan
Menurut Lumintaintang (dalam Wendra, 2009: 104), kekeliruan tertinggi penerapan kaidah EYD, menurut hasil kajian di Pusat Bahasa, terletak pada pemakaian tanda koma dan penulisan huruf  kapital.
Contoh :
Apabila semua langkah ini positif pemahaman yang baru terbentuk akan disimpan dalam ingatan.
Perbaikannya yaitu mestinya terdapat koma di antara anak kalimat dan induk kalimat.
Apabila semua langkah ini positif, pemahaman yang baru terbentuk akan disimpan dalam ingatan.

Contoh lainnya tampak pada pemakaian ungkapan kata penghubung antarkalimat berikut.
Penulisan Tidak baku
Penulisan baku
…Namun…
…Namun,…
…Meskipun demikian…
…Meskipun demikian,…
…Walaupun demikian…
…Walaupun demikian,…
…Oleh karena itu…
…Oleh karena itu,…
…Dengan demikian…
…Dengan demikian,…
…Jadi…
…Jadi,…
…Selain itu…
…Selain itu,…
…Di samping itu…
…Di samping itu,…
…Akan tetapi…
…Akan tetapi,…
…Bahkan…
…Bahkan,…
…Sebagai akibatnya…
…Sebagai akibatnya,…
…Untuk itu…
…Untuk itu,…

Dalam bahasa Indonesia, ada pula sejumlah kata (di antaranya kata penghubung intrakalimat) yang didahului tanda koma (Pamusuk Eneste, 1995: 41). Kata-kata itu didaftarkan berikut ini.
…, padahal …
…, sedangkan …
…, seperti …
…, tetapi …
…, yaitu/yakni …
Ada pula sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang tidak didahului tanda koma, tetapi dalam kenyataannya sering disangka didahului koma. Mengapa demikian? Karena sebelum “Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan” diberlakukan (1972) kata-kata itu selalu didahului koma. Akan tetapi, menurut “Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan” kata-kata itu tidak didahului koma. Kata-kata itu adalah sebagai berikut.
… bahwa …
… karena …
…. maka …
… sehingga …
Selain kaidah penggunaan tanda baca koma, dari segi tataran ejaan, para peneliti juga sering mengalami kesalahan dalam penerapan kaidah penulisan huruf kapital. Beberapa contoh kesalahan tersebut adalah sebagaimana ditemukan oleh Sugihastuti (2000). Contoh-contoh tersebut di antaranya adalah seperti berikut.
1.      Penelitian direncanakan pelaksanaannya di kota-kota propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
·            Kata propinsi seharusnya ditulis Propinsi karena huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
2.      Pendekatan Politik dalam migrasi internasional lebih didasarkan atas kebijakan pemerintah atau negara yang berdimensi demografis serta memiliki implikasi terhadap terhadap tujuan….
·            Penggunaan huruf kapital pada kata politik tidak tepat. Seharusnya, kata tersebut ditulis dengan diawali huruf kecil.
3.      Daerah Tingkat I Jawa Timur meliputi pulau Jawa bagian timur, pulau Madura, pulau Bawean, dan pulau-pulau kecil yang lain dengan luas daratan keseluruhan sebesar….
·            Penggunaan huruf /p/ pada kata pulau yang dicetak miring tidak tepat. Seharusnya, kata pulau tersebut ditulis dengan diawali huruf kapital karena huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.

d)      Catatan Penting yang Lain
Penulisan penjabaran rincian bisa dilakukan dengan dua cara:
(a)    Pendekatan horizontal
Contoh:
Untuk menaikkan pendapatan negara, pemerintah telah memberlakukan (1) semua keputusan tentang perpajakan, (2) peraturan tentang pendapatan resmi daerah, dan (3) undang-undang pembrantasan korupsi.
Catatan: dibelakang kata memberlakukan tidak terdapat tanda titik dua (:)
(b)   Penderetan vertikal
Contoh:
Untuk menaikkan pendapatan negara, pemerintah telah memberlakukan:
(1)       semua keputusan tentang perpajakan,
(2)       peraturan tentang pendapatan resmi daerah, dan
(3)       undang-undang pembrantasan korupsi.
Catatan: di belakang kata memberlakukan terdapat tanda titik dua (:), dan penulisan tiga rinciannya diawali dengan hurup kecil karena ketiganya menjadi bagian sebuah kalimat.
Penulisan penjabaran rincian yang “salah kaprah”
Sering ditemukan penulis yang membuat/menyusun penjabaran rincian yang tergolong salah kaprah. Yang salah kaprah tidak perlu diikuti.
Contoh:
Secara garis besar kegagalan tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(1)       Pendidikan yang masih tergolong rendah
(2)       Pendapatan keluarga yang pas-pasan
(3)       Pimpinan wilayah yang kurang sadar lingkungan
Catatan: Kesalahan yang terdapat pada contoh di atas ialah:
a.       di belakang kata berikut digunakan tanda titik dua (:), padahal kalimat tesebut tergolong kalimat yang sudah selesai. Jadi yang harus digunakan tanda titik (.)
b.      penggunaan titik dua menandakan bahwa kalimat yang disusun belum selesai; karena dianggap belum selesai, seharusnya ketiga rinciannya diawali dengan hurup kecil.
Kalimat yang salah kaprah tersebut bisa diperbaiki dengan salah satu di antara dua cara berikut.
Cara pertama: secara garis besar kegagalan tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
(1)   Pendidikan yang masih tergolong rendah
(2)   Pendapatan keluarga yang pas-pasan
(3)   Pimpinan wilayah yang kurang sadar lingkungan
Catatan: Di belakang kata berikut ada tanda titik (.), bukan tanda titik dua (:).

Cara kedua: Secara garis besar kegagalan tersebut disebabkan oleh:
(1) pendidikan yang masih tergolong rendah
(2) pendapatan keluarga yang pas-pasan
(3) pimpinan wilayah yang kurang sadar lingkungan

(c)    Hal-hal Umum yang Harus Dihindari
(1)   Tidak diperkenankan menyisakan ruang kosong pada akhir halaman, kecuali halaman yang mengakhiri bab.
(2)   Tidak dibenarkan penulisan judul pasal atau subjudul pada akhir halaman.

3.  Penutup
a)      Simpulan
            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, di antaranya.
a.       Ragam bahasa yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah adalah bahasa ragam baku yaitu bahasa tulis baku. Bahasa karangan ilmiah harus menggunakan bahasa Indonesia baku tulis yang merangkum sekaligus unsur berikut. (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, (2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,  dan (3) Kosakata dalam wujud Kamus Besar Bahasa Indonsesia.
b.      Pengalimatan dalam penulisan karya ilmiah hendaknya memerhatikan tiga hal pokok, yaitu (1) jelas, (2) lugas, dan (3) komunikatif.
c.       Bentuk dan pilihan kata dalam penulisan karya ilmiah hendaknya taat asas, serta penggunaan ejaan yang terdapat dalam penulisan karya ilmiah harus tepat.
b)      Saran
Melihat banyaknya kesalahan berbahasa yang terjadi dalam penulisan karya ilmiah, kemampuan penggunaan bahasa tulis baku hendaknya perlu ditingkatkan dengan pelatihan-pelatihan secara berkala. Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah hendaknya memerhatikan pengalimatan, ejaan, bentuk dan pilihan kata, serta hal-hal penting lainnya.

DAFTAR RUJUKAN
Eneste, Pamusuk. 1995. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Umum.

Hasan, Zaini dan Salladin. 1996. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Dekdikbud.

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran berbahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nina Putri, Eka Prasada. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team-Achievement Division (STAD) dalam Pembelajaran Biologi Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas II SMP Negeri 4 Singaraja (Laporan Penelitian). Singaraja: Undiksha.

Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: PT Refika Aditama.

Srinanta, Ketut. 1997. Pengaruh Pengambilan Setek Ketela Pohon pada Daerah Batang yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Akarnya (Skipsi). Singaraja: Undiksha.

Sugihastuti. 2000. Bahasa Laporan penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono. 2007. (Buku Ajar) Pragmatik. Singaraja: Undiksha.

Wendra, I Wayan. 2009. (Buku Ajar) Penulisan Karya Ilmiah. Singaraja: Undiksha. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar