Minggu, 06 Mei 2012

Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principles)


Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principles)
Oleh I Putu Mas Dewantara

            Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual tersebut.
            Di dalam komunikasi yang wajar agaknya diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (stright foward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misalnya, orang akan menggunakan bentuk tuturan Tolong! dan Dapatkah Anda menolong saya? untuk situasi dan keperluan yang berbeda. Di dalam keadaan darurat, orang akan cenderung menggunakan bentuk ujaran yang pertama, sedangkan orang memohon bantuan orang lain di dalam situasi yang tidak begitu mendesak, ia akan cenderung menggunakan ujaran yang kedua. Akan sangat aneh apabila seseorang yang akan tenggelam di kolam renang, misalnya meminta bantuan dengan menggunakan ujaran yang kedua. Sebaliknya, seseorang yang memohon bantuan tidak selayaknya mengucapkan ujaran yang pertama dengan volume suara dan intonasi yang sama dengan orang yang akan tenggelam. Bila terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya, bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas, dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.
            Teori kedua Grice, yang merupakan pengembangan konsep implikatur, adalah teori yang secara mendasar mengenai bagaimana orang menggunakan bahasa. Menurut Grice, ada sederet asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan. Tampaknya, asumsi-asumsi ini berasal dari pertimbangan-pertimbangan rasional yang mendasar dan mungkin dirumuskan sebagai pedoman untuk penggunaan bahasa yang efisien dan efektif di dalam percakapan ke arah tujuan-tujuan kerja sama (kooperatif). Dalam hal ini, Grice mengidentifikasi adanya empat pedoman yang merupakan kaidah percakapan (maxim of conversation) atau prinsip-prinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang kooperatif-efisien, yang juga mengungkapkan suatu prinsip kerja sama atau prinsip kooperatif (co-operative principles) yang umum. Prinsip-prinsip kooperatif itu berbunyi sebagai berikut.

Make your contribution such as is required, at the stage in which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged.
(Berikanlah sumbangan Anda sebagaimana dikehendaki atau dibutuhkan pada saat terjadinya percakapan, dengan berpegang kepada tujuan yang disepakati atau arah percakapan yang melibatkan Anda).

            Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama tersebut, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim atau kaidah percakapan sebagai berikut.

A. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Berupayalah agar sumbangan Anda itu adalah suatu sumbangan yang benar, khususnya:
(i)   jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini salah;
(ii)  jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung oleh bukti yang memadai.
            Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Contohnya dapat dilihat pada wacana di bawah ini.

            Anak    : “Ayah, bolehkah aku memanjat pohon mangga itu?”
            Ayah    : “Jangan. Pohon itu tinggi. Nanti kamu jatuh.”

            Tampak jelas bahwa sang ayah melarang anaknya memanjat pohon mangga karena pohon mangga itu tinggi dan sang ayah khawatir bila nanti sang anak memanjat pohon tersebut, sang anak akan terjatuh.
            Pelanggaran maksim kualitas tampak pada wacana berikut.

            Anak    : “Ayah, bolehkah aku memanjat pohon mangga itu?”
            Ayah    : “Oh, panjatlah, anakku sayang. Panjat yang tinggi ya.
                            Dan jangan turun lagi. Nanti Ayah berikan kamu belaian sayang.”

            Wacana tersebut jelas melanggar maksim kualitas. Ayah seolah-olah memberi izin kepada anak untuk memanjat pohon mangga. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap pertanyaan si anak. Dengan jawaban seperti itu, si anak yang memiliki kompetensi komunikatif kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa si ayah membuat pernyataan yang salah; mengapa si ayah mengutarakan pernyataannya dengan nada yang berbeda. Si anak pun mengetahui si ayah marah dan melarangnya untuk naik ke pohon mangga. Anak pun mengetahui bahwa bila ia tetap memanjat maka ia akan dipukul oleh si ayah.

B. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
(i)   Berikanlah sumbangan seinformatif mungkin sebagaimana diperlukan untuk tujuan percakapan yang sedang berlangsung.
(ii)  Jangan memberikan sumbangan informasi lebih dari yang diperlukan.
            Maksim ini menghendaki setiap peserta tuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Contoh:

            (1)        Anjing saya dikebiri.
            (2)        Anjing saya yang jantan dan memiliki penis dikebiri.

            Wacana (1) di atas dengan jelas memberikan informasi yang ringkas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu sudah tahu kalau anjing jantanlah yang dikebiri dan anjing jantanlah yang memiliki organ reproduksi seksual berupa penis. Wacana (2) tampak berlebihan dan justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas, sehingga wacana tersebut bisa dikatakan melanggar maksim kuantitas.

C. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)
            Buatlah kontribusi Anda relevan.
            Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan wacana berikut.

            Pak Deni         : “Jam berapa sekarang, Bu?”
            Ibu Qana’ah    : “Anak-anak baru selesai Shalat Dhuha, Pak.”
           
            Dalam hal ini, Pak Deni bertanya tentang waktu pada saat ia berujar yaitu sekarang, dan jawaban Ibu Qana’ah mengacu kepada waktu ketika Pak Deni bertanya. Hanya saja, jawaban Ibu Qana’ah itu meskipun relevan, merupakan jawaban parsial, bukan jawaban yang penuh dan pasti. Ibu Qana’ah tidak menjawab pukul 10 atau 10.15 WITA, melainkan sekadar ancar-ancar waktu saja. Pak Deni dapat memahami dan menyimpulkan bahwa Ibu Qana’ah bermaksud menyampaikan bahwa waktu itu setidak-tidaknya adalah waktu setelah para siswa selesai melaksanakan Shalat Dhuha.

D. Maksim Cara (Maxim of Manner)
Berbicaralah sejelas-jelasnya, dan khususnya:
(i)   hindari kekaburan;
(ii)  hindari kegandaan makna;
(iii) berbicaralah secara ringkas;
(iv) berbicaralah secara runtut.
            Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta dalam urutan yang runtut.
Contoh:

            Nia      : “Mau ke mana kamu?”
            Uthie   : “Akika mawar belalang tasya.”
            Nia      : “Aku ikut!”
            Dalam wacana di atas, secara sepintas, jawaban Uthie tidak berhubungan, namun bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban Uthie atas pertanyaan Nia tersebut mengimplikasikan bahwa ia akan pergi membeli tas (Akika mawar belalang tasya = aku mau beli tas). Uthie baru saja meminta uang kepada Ayahnya dan pada saat wacana tersebut terjadi, Ayahnya ada di sana dan Uthie tidak ingin Ayahnya tahu kalau ia akan membeli tas. Antara Nia dan Uthie masih memiliki kemampuan kooperatif yang baik karena memiliki skemata yang sama terhadap bahasa gaul. Pelanggaran maksim ini tampak pada contoh berikut.

            Oxto    : “Kijang Bapak saya sudah disita.”
            Odit     : “Kijang memang hewan yang dilindungi.”

            Pada wacana di atas, bila konteks pemakaiannya diamati, kata kijang bisa ditafsirkan taksa, yaitu “hewan yang bernama kijang” atau “mobil yang bermerk Kijang”. Dalam pragmatik, konsep ketaksaan tidak dikenal. Dengan maksim ini, seorang penutur juga diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara taksa berdasarkan konteks-konteks pemakaiannya. Hal ini didasari prinsip bahwa ketaksaan tidak akan muncul apabila kerja sama antarpeserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik dengan konsep situasi tuturnya.

Kritik terhadap Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principles)
Kritik Holmes
            Prinsip kerja sama (PK) itu rupanya berdasarkan pikiran bahwa percakapan pada dasarnya adalah pertukaran informasi dari penutur dengan petutur, dan agar pertukaran efektif dan efisien maka diperlukan “nasihat-nasihat” dalam PK tersebut. Holmes (dalam Sumarsono, 2010) memberikan kritik bahwa tujuan komunikasi tidak selalu untuk menyampaikan informasi, atau komunikasi yang berfungsi referensial (bersifat mengacu), melainkan juga bersifat afektif, yang merujuk kepada mempertahankan hubungan sosial. Fungsi afektif ini oleh Leech disebut phatic communion (hubungan fatik), dan dalam bahasa Indonesia disebut komunikasi fatik yang mengacu kepada hubungan interpersonal.


Kritik Brown dan Levinson
            Demi menjaga hubungan sosial itu pula kita harus bersopan santun dalam percakapan. Masing-masing harus menjaga perasaan atau menjaga wajah atau muka. Contoh-contoh tentang implikatur dapat dianggap sebagai tindak ketidakpatuhan terhadap PK. Dalam pragmatik dikatakan bahwa ada pesan yang tersirat yang disebut implikatur; pesan itu tidak terujarkan tetapi ikut dikomunikasikan. Ini kemudian memunculkan apa yang dikenal sebagai Pandangan Penyelamatan Muka (Face Saving) atau dapat disebut Teori Wajah (Face Theory)

2.2.3 Kritik Lain
            Gunarwan (dalam Sumarsono, 2010:145) memberikan tambahan kritik dari pakar lain. Gazdar meminta agar keempat maksim Grice tersebut dirumuskan kembali sebagai landasan penarikan implikatur. Menurutnya, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Implikatur khusus ada bukan semata-mata karena kata-kata yang hadir dalam ujaran itu, melainkan karena adanya konteks ujaran yang mengandung makna tersirat. Horn berpendapat, empat maksim Grice itu dapat diperas menjadi dua, yaitu maksim kuantitas dan maksim hubungan (relevansi), yang masing-masing disebut Prinsip K dan Prinsip R. Prinsip K “mewajibkan” penutur untuk berujar sebanyak mungkin (sesuai dengan yang diperlukan). Prinsip R “mengharuskan” penutur untuk berujar tidak lebih dari yang seharusnya. Akhirnya, ada kritik dari Sperber dan Wilson yang berpendapat bahwa dari empat maksim Grice, yang terpenting adalah maksim relevansi, tiga yang lain agaknya berlebihan. Maksim ini seharusnya dijadikan prinsip relevansi dan disebut sebagai Teori Relevansi (TR). TR dimaksudkan bukan sebagai pelengkap PK Grice, melainkan sebagai penggantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar