Prinsip Kerja Sama (Cooperative
Principles)
Oleh I Putu Mas Dewantara
Berbahasa
adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain,
kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam
berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah
yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual tersebut.
Di
dalam komunikasi yang wajar agaknya diasumsikan bahwa seorang penutur
mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengomunikasikan sesuatu kepada
lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak
dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu
relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise),
dan selalu pada persoalan (stright foward), sehingga tidak menghabiskan
waktu lawan bicaranya. Misalnya, orang akan menggunakan bentuk tuturan Tolong!
dan Dapatkah Anda menolong saya? untuk situasi dan keperluan yang
berbeda. Di dalam keadaan darurat, orang akan cenderung menggunakan bentuk
ujaran yang pertama, sedangkan orang memohon bantuan orang lain di dalam
situasi yang tidak begitu mendesak, ia akan cenderung menggunakan ujaran yang
kedua. Akan sangat aneh apabila seseorang yang akan tenggelam di kolam renang,
misalnya meminta bantuan dengan menggunakan ujaran yang kedua. Sebaliknya, seseorang
yang memohon bantuan tidak selayaknya mengucapkan ujaran yang pertama dengan
volume suara dan intonasi yang sama dengan orang yang akan tenggelam. Bila terjadi
penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh
penuturnya, bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak
melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas,
dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan
pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.
Teori
kedua Grice, yang merupakan pengembangan konsep implikatur, adalah teori yang
secara mendasar mengenai bagaimana orang menggunakan bahasa. Menurut
Grice, ada sederet asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan.
Tampaknya, asumsi-asumsi ini berasal dari pertimbangan-pertimbangan rasional
yang mendasar dan mungkin dirumuskan sebagai pedoman untuk penggunaan bahasa
yang efisien dan efektif di dalam percakapan ke arah tujuan-tujuan kerja sama
(kooperatif). Dalam hal ini, Grice mengidentifikasi adanya empat pedoman yang
merupakan kaidah percakapan (maxim of conversation) atau prinsip-prinsip
umum yang mendasari penggunaan bahasa yang kooperatif-efisien, yang juga
mengungkapkan suatu prinsip kerja sama atau prinsip kooperatif (co-operative
principles) yang umum. Prinsip-prinsip kooperatif itu berbunyi sebagai
berikut.
Make your contribution such
as is required, at the stage in which it occurs, by the accepted purpose or
direction of the talk exchange in which you are engaged.
(Berikanlah sumbangan Anda
sebagaimana dikehendaki atau dibutuhkan pada saat terjadinya percakapan, dengan
berpegang kepada tujuan yang disepakati atau arah percakapan yang melibatkan
Anda).
Grice
mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama tersebut,
setiap penutur harus mematuhi 4 maksim atau kaidah percakapan sebagai berikut.
A. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Berupayalah agar sumbangan
Anda itu adalah suatu sumbangan yang benar, khususnya:
(i) jangan mengatakan sesuatu yang
Anda yakini salah;
(ii) jangan mengatakan sesuatu yang
tidak didukung oleh bukti yang memadai.
Maksim
ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya.
Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang
memadai. Contohnya dapat dilihat pada wacana di bawah ini.
Anak : “Ayah, bolehkah aku memanjat pohon mangga
itu?”
Ayah : “Jangan. Pohon itu tinggi. Nanti kamu
jatuh.”
Tampak
jelas bahwa sang ayah melarang anaknya memanjat pohon mangga karena pohon
mangga itu tinggi dan sang ayah khawatir bila nanti sang anak memanjat pohon
tersebut, sang anak akan terjatuh.
Pelanggaran
maksim kualitas tampak pada wacana berikut.
Anak : “Ayah, bolehkah aku memanjat pohon mangga
itu?”
Ayah : “Oh, panjatlah, anakku sayang. Panjat yang
tinggi ya.
Dan jangan turun lagi. Nanti Ayah berikan
kamu belaian sayang.”
Wacana
tersebut jelas melanggar maksim kualitas. Ayah seolah-olah memberi izin kepada
anak untuk memanjat pohon mangga. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim
kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap pertanyaan si anak. Dengan
jawaban seperti itu, si anak yang memiliki kompetensi komunikatif kemudian
secara serta merta mencari jawaban mengapa si ayah membuat pernyataan yang
salah; mengapa si ayah mengutarakan pernyataannya dengan nada yang berbeda. Si
anak pun mengetahui si ayah marah dan melarangnya untuk naik ke pohon mangga.
Anak pun mengetahui bahwa bila ia tetap memanjat maka ia akan dipukul oleh si
ayah.
B. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
(i) Berikanlah sumbangan
seinformatif mungkin sebagaimana diperlukan untuk tujuan percakapan yang sedang
berlangsung.
(ii) Jangan memberikan sumbangan
informasi lebih dari yang diperlukan.
Maksim
ini menghendaki setiap peserta tuturan memberikan kontribusi yang secukupnya
atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Contoh:
(1) Anjing saya dikebiri.
(2) Anjing saya yang jantan dan memiliki
penis dikebiri.
Wacana
(1) di atas dengan jelas memberikan informasi yang ringkas dan tidak menyimpang
dari nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu sudah tahu kalau anjing
jantanlah yang dikebiri dan anjing jantanlah yang memiliki organ reproduksi
seksual berupa penis. Wacana (2) tampak berlebihan dan justru menerangkan
hal-hal yang sudah jelas, sehingga wacana tersebut bisa dikatakan melanggar
maksim kuantitas.
C. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)
Buatlah
kontribusi Anda relevan.
Maksim
ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan wacana berikut.
Pak
Deni : “Jam berapa sekarang, Bu?”
Ibu
Qana’ah : “Anak-anak baru selesai
Shalat Dhuha, Pak.”
Dalam
hal ini, Pak Deni bertanya tentang waktu pada saat ia berujar yaitu sekarang,
dan jawaban Ibu Qana’ah mengacu kepada waktu ketika Pak Deni bertanya. Hanya
saja, jawaban Ibu Qana’ah itu meskipun relevan, merupakan jawaban parsial,
bukan jawaban yang penuh dan pasti. Ibu Qana’ah tidak menjawab pukul 10 atau
10.15 WITA, melainkan sekadar ancar-ancar waktu saja. Pak Deni dapat memahami
dan menyimpulkan bahwa Ibu Qana’ah bermaksud menyampaikan bahwa waktu itu
setidak-tidaknya adalah waktu setelah para siswa selesai melaksanakan Shalat
Dhuha.
D. Maksim Cara (Maxim of Manner)
Berbicaralah sejelas-jelasnya, dan khususnya:
(i) hindari kekaburan;
(ii) hindari kegandaan makna;
(iii) berbicaralah secara ringkas;
(iv) berbicaralah secara runtut.
Maksim
ini mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak
kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta dalam urutan yang runtut.
Contoh:
Nia : “Mau ke mana kamu?”
Uthie : “Akika mawar belalang tasya.”
Nia : “Aku ikut!”
Dalam
wacana di atas, secara sepintas, jawaban Uthie tidak berhubungan, namun bila
dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban Uthie atas
pertanyaan Nia tersebut mengimplikasikan bahwa ia akan pergi membeli tas (Akika
mawar belalang tasya = aku mau beli tas). Uthie baru saja meminta uang
kepada Ayahnya dan pada saat wacana tersebut terjadi, Ayahnya ada di sana dan
Uthie tidak ingin Ayahnya tahu kalau ia akan membeli tas. Antara Nia dan Uthie
masih memiliki kemampuan kooperatif yang baik karena memiliki skemata yang sama
terhadap bahasa gaul. Pelanggaran maksim ini tampak pada contoh berikut.
Oxto : “Kijang Bapak saya sudah disita.”
Odit : “Kijang memang hewan yang dilindungi.”
Pada
wacana di atas, bila konteks pemakaiannya diamati, kata kijang bisa
ditafsirkan taksa, yaitu “hewan yang bernama kijang” atau “mobil yang bermerk
Kijang”. Dalam pragmatik, konsep ketaksaan tidak dikenal. Dengan maksim ini,
seorang penutur juga diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan
bicaranya secara taksa berdasarkan konteks-konteks pemakaiannya. Hal ini
didasari prinsip bahwa ketaksaan tidak akan muncul apabila kerja sama
antarpeserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama
terhadap kriteria-kriteria pragmatik dengan konsep situasi tuturnya.
Kritik terhadap Prinsip Kerja Sama (Cooperative
Principles)
Kritik Holmes
Prinsip
kerja sama (PK) itu rupanya berdasarkan pikiran bahwa percakapan pada dasarnya
adalah pertukaran informasi dari penutur dengan petutur, dan agar pertukaran efektif
dan efisien maka diperlukan “nasihat-nasihat” dalam PK tersebut. Holmes (dalam
Sumarsono, 2010) memberikan kritik bahwa tujuan komunikasi tidak selalu untuk
menyampaikan informasi, atau komunikasi yang berfungsi referensial (bersifat
mengacu), melainkan juga bersifat afektif, yang merujuk kepada mempertahankan
hubungan sosial. Fungsi afektif ini oleh Leech disebut phatic communion
(hubungan fatik), dan dalam bahasa Indonesia disebut komunikasi fatik yang
mengacu kepada hubungan interpersonal.
Kritik Brown dan Levinson
Demi
menjaga hubungan sosial itu pula kita harus bersopan santun dalam percakapan.
Masing-masing harus menjaga perasaan atau menjaga wajah atau muka.
Contoh-contoh tentang implikatur dapat dianggap sebagai tindak ketidakpatuhan
terhadap PK. Dalam pragmatik dikatakan bahwa ada pesan yang tersirat yang
disebut implikatur; pesan itu tidak terujarkan tetapi ikut dikomunikasikan. Ini
kemudian memunculkan apa yang dikenal sebagai Pandangan Penyelamatan Muka (Face
Saving) atau dapat disebut Teori Wajah (Face Theory)
2.2.3 Kritik Lain
Gunarwan
(dalam Sumarsono, 2010:145) memberikan tambahan kritik dari pakar lain. Gazdar
meminta agar keempat maksim Grice tersebut dirumuskan kembali sebagai landasan
penarikan implikatur. Menurutnya, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur
khusus dan implikatur umum. Implikatur khusus ada bukan semata-mata
karena kata-kata yang hadir dalam ujaran itu, melainkan karena adanya konteks
ujaran yang mengandung makna tersirat. Horn berpendapat, empat maksim Grice itu
dapat diperas menjadi dua, yaitu maksim kuantitas dan maksim hubungan (relevansi),
yang masing-masing disebut Prinsip K dan Prinsip R. Prinsip K
“mewajibkan” penutur untuk berujar sebanyak mungkin (sesuai dengan yang
diperlukan). Prinsip R “mengharuskan” penutur untuk berujar tidak lebih
dari yang seharusnya. Akhirnya, ada kritik dari Sperber dan Wilson yang
berpendapat bahwa dari empat maksim Grice, yang terpenting adalah maksim
relevansi, tiga yang lain agaknya berlebihan. Maksim ini seharusnya dijadikan
prinsip relevansi dan disebut sebagai Teori Relevansi (TR). TR
dimaksudkan bukan sebagai pelengkap PK Grice, melainkan sebagai penggantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar