Minggu, 06 Mei 2012

Prinsip Kesopanan


      Prinsip Kesopanan
Oleh I Putu Mas Dewantara


Istilah sopan santun atau kesantunan dapat menyesatkan kita. Istilah ini dapat saja bersifat relatif  karena apa yang dikatakan santun di masyarakat A dapat menjadi tidak santun B. ( Sumarsono, 2007)
      Dalam konteks kesantunan berbahasa , dikaitkan dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada pihak pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana hubungan yang harmoni antara penutur dan pendengar. Hubungan antara seseorang dengan orang lain akan berjalan  dengan baik, bahkan lebih erat karena pemakaian bahasa yang tepat dan memiliki kesopanan. Sebaliknya, hubungan akan berjalan tidak baik dan renggang karena pemakaian bahasa yang kurang tepat dan tidak memiliki sopan santun berbahasa. Maka dari pada  itu kesopanan berbahasa sangat penting dalam pragmatik
Tidak setiap orang dapat menyatakan maksudnya secara langsung atau terus terang. Hal ini terutama terjadi pada kasus penolakan, ajakan, namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada kasus peristiwa lain. Sesuai dengan budaya orang timur . Prinsip kesopanan dipegang teguh oleh masyarakat pemakai bahasa,baik penutur maupun petutur, untuk menghindari ketersinggungan lawan tutur.  Misalnya seseorang yang diajak temannya untuk mengadiri acara ulang tahun tetapi ia tidak ingin ikut tentunya ia tidak akan menjawab “ tidak mau,ah” melainkan dengan “ besok aku ada tes”. Hal ini terjadi karena penutur atau petutur menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang ingin dia ungkapkan dalam ujarannya dengan maksud agar tidak menyinggung perasaan.

Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang  bersifat tekstual, tetapi seringpula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal yang harus memperhitungkan orang lain. Dalam hubungan interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan.

      Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan ( menyatakan perasaan). Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran ( sesuatu yang bersifat objektif)
1.      Tuturan komisif : berjanji, menawarkan. Contoh
 Saya akan datang.
 Boleh saya bawakan?
 Saya akan setia
2.      Tuturan impositif (direktif) : menuruh, memerintah, memohon. Contoh
Apakah Anda bisa menolong saya.
3.      Tuturan ekspresif : menyatakan perasaan (emosi). Contoh
Gedung itu indah sekali.
Gadis itu cantik sekali.
4.      Tuturan asertif : menyatakan sesuatu (objektif). Contoh
Prof. Dr. Nyoman Sudiana, M.Pd, sebagai rektor Undiksha.
Menurut Leech ada 6 prinsip kesopanan

 1.Maksim kebijaksanaan /kedermawanan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?

2. Maksim kemurahhatian. Pusatnya orang lain. Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
Misalnya:
Permainanmu sangat bagus.

3. Maksim penerimaan. Ditujukan pada orang lain, bukan pada orang lain. Jenis maksim ini untuk menawarkan dan berjanji. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Bolehkah saya bantu?
Apakah Anda bersedia membawakan?
Mari saya antarkan!
Tolong saya diantarkan!

4. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A : Kau sangat pandai.
B : Ah tidak, biasa-biasa saja.

A : Mobilnya bagus!
B : Ah, begini saja kok bagus.



5.      Maksim kecocokan atau kesetujuan. Pusatnya pada orang lain. Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Misalnya :
A  : Bahasa Inggris sukar, ya?
B  : Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.

A  : Drama itu bagus, ya?
      B  : Ya, tetapi bloking pemainnya masih banyak kekurangan

6. Maksim kesimpatian. Pusatnya orang lain. Ditujukan untuk menyatakan asertif dan  
    Ekspresif.  Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk    
    memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.    
    Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan  
    ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak   
    berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

    Misalnya :
    A  : Saya lolos di UMPTN, Jon.
    B  : Selamat, ya.

    A  : Baru-baru ini dia telah meninggal.
    B  : Oh, saya turut berduka cita.


Teori Penyelamatan Muka
Dasar teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah gagasan tentang muka (wajah) dan rasionalitas, yang bersumber dari Erving Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan maksud penutur untuk mengurangi ancaman wajah yang dibawa oleh tindakan keterancaman wajah tertentu terhadap orang lain. Teori ini berdasarkan asumsi yang memandang kegiatan komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung dan sifat tertentu. Goffinan sendiri mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan muka itu merupakan pencerminan penghargaan atau penghormatan pada orang lain. Biasanya, seseorang penutur mempunyai dua muka, yakni :
1.      Muka negatif (negative face) yang mengacu pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2.      Muka positif (positive face) yang mengacu kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu merasa terancam mukanya dan karena itu patut diselamatkan.  Penyelamatan itu dengan cara menggunakan kesantunan melalui strategi tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan konsep dalam teater yaitu masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya sendiri, prilakunya menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan (1994, 2004), wajah positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa yang diasosiakan dengan dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negative mengacu pada keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Dan wajah negatif mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah positif disebut kesantunan positifDan kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah negative disebut kesantunan negatif.  Patut diingat bahwa pengertian  negatif  itu tidak berkonotasi buruk. Strategi bertutur berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang yang rasional. Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu muka positif dan muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur dalam bertutur maaf memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan negatif bila penutur mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.

Daftar Rujukan
Sumarsono. 2007. Buku AjarPragmatik. Singaraja : Undiksha
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Konteks dan Situasi Tutur

Konteks dan Situasi Tutur
Oleh I Putu Mas Dewantara


Situasi Tutur dan Peristiwa Tutur sebagai Konteks Pengunaan Tindak Tutur
Konteks Tutur
Konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya tentang dunia.  Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya) dan kepercayaan terhadap penutur atau sebaliknya (Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks ini mempengaruhi interpretasi pendengar terhadap ujaran (wacana).

Konteks sebagai Pengetahuan
Schiffrin (1994:365) menjelaskan bahwa teori tindak tutur  dan pragmatik memandang konteks dalam kaitannya dengan pengetahuan, apa yang dapat diasumsikan  oleh para Pn dan para Mt untuk mengetahui sesuatu  misalnya, tentang lembaga-lembaga sosial, keinginan dan kebutuhan orang lain, sifat  rasionalitas manusia,  dan bagaimana pengetahuan itu dapat memberikan panduan dalam penggunaan   bahasa dan interpretasi terhadap tuturan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut menetapkan kondisi-kondisi tekstual maupun kontekstual  yang mendasari penggunaan bahasa, namun tujuan utama teori tindak tutur adalah untuk karakterisasi  pengetahuan kita tentang kaidah-kaidah tersebut. Artinya, pengetahuan yang abstrak tentang teks dan konteks akan memberikan panduan untuk mengidentifikasi berbagai tipe tindak tutur yang berbeda pada tingkat umum maupun dalam tingkat yang khusus.
            Konteks bagi para ahli teori tindak tutur diartikan sebagai  jenis khusus latar belakang pengetahuan yang disebut “kaidah-kaidah konstitutif”, yakni, pe-ngetahuan tentang kondisi-kondisi  yang  diperlukan oleh Pn dan Mt untuk memahami sebuah tuturan yang selalu dipandang sebagai sesuatu yang khusus namun berbeda dengan tuturan yang lain (Shiffrin, 1994: 367). Konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh Pn dan Mt yang memungkinkan Mt untuk memperhitungkan implikasi (yang tersirat di dalam) tuturan untuk memaknai arti tuturan Pn. Hal ini didasari adanya prinsip kerja sama yang menunjukkan bahwa Pn dan Mt sudah saling mengetahui. Untuk memahami keberadaan suatu tuturan, Mt harus mencuri data yang berupa makna konvensional kata-kata yang digunakan beserta referensinya, prinsip kerja sama dan maksim-maksimnya, konteks linguistik, hal-hal yang berkaitan dengan latar pengetahuan, dan kenyataan adanya kesamaan dari keempat macam bentuk partisipan sehingga keduanya dapat saling mengerti (Grice, 1975:50).
            Konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar  tentang dunia.  Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumnya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya), dan kepercayaan terhadap penutur dan pendengar (Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks mempengaruhi interpretasi penutur dan pendengar terhadap ujaran (wacana).

 Konteks sebagai Suatu Situasi Interaksi Sosial
Konteks di sini cenderung dimaksudkan sebagai sesuatu yang riil, bukan sebagi sesuatu yang ada dalam pikiran atau pengetahuan. Duranti (1997) menjelaskan bahwa  bahasa dan konteks  saling mendukung satu sama lain. Bahasa membutuhkan konteks  dalam pemakaiannya. Begitu pun sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di dalamnya terdapat tindak bahasa  sehingga bahasa tidak hanya berfungsi dalam interaksi-interaksi yang diciptakan, tetapi bahasa juga membentuk dan menyediakan interaksi-interaksi yang sedang terjadi sebagai konteks.
Seorang pakar sosioliguistik, Cooley (dalam Shiffrin, 1994) berpandangan bahwa jika seseorang mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang riil, maka konsekuensinya situasi harus riil juga. Salah satu ciri utama pendekatan sosiolinguitik interaksional adalah bahwa ia dapat memberikan susunan pandangan tentang interaksi sosial dan situasi sosial, termasuk di dalamnya kerangka kerja partisipasi yang dibangun dari interaksi yang situasional (Eko Rusminto, 2005:85). Oleh karena itu, konteks-konteks kognitif yang dibahas oleh para ahli sosiolinguistik interaksional (Goffman, 1974; Tannen, 1979) juga memiliki landasan sosial, pengetahuan tentang keadaan-keadaan sosial atau harapan-harapan tentang perbuatan sosial. Seperti yang dilakukan Goffman dalam salah satu penelitian sosiologisnya yang memfokuskan perhatian  pada tatanan interaksi yang mendasari berbagai kesempatan sosial, situasi sosial, dan pertemuan sosial.
  Ada dua peran penting konteks di dalam tindak tutur. Pertama, sebagai pengetahuan abstrak yang mendasari bentuk tindak tutur. Kedua, suatu bentuk lingkungan sosial di mana tuturan-tuturan dapat dihasilkan dan diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371). Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992: 16:62) membagi konteks situasi menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana, (2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana. Medan wacana menunjuk pada sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung. Medan wacana menunjuk kepada orang yang mengambil bagian dalam peristiwa tutur, sedangkan sarana tutur menunjuk kepada bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.
  Oleh karena itu, bahasa hanya memiliki makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Makna sebuah ujaran diinterpretasikan melalui sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks yang akan menentukan makna sebuah ujaran berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Pilihan bahasa seseorang dapat berubah dari ragam baku menjadi ragam tidak baku atau sebaliknya jika situasi yang melatarinya berubah. Perubahan bentuk bahasa yang digunakan dalam interaksi dipengaruhi oleh berubahnya konteks situasi akibat pengetahuan Pn akan keneradaan Mt.
            Berdasarkan uraian tersebut, peranan konteks sebagai situasi dan pengetahuan memiliki peran tertentu. Konteks sebagai situasi sangat berperan  bagi Pn dan Mt untuk memahami situasi sosial budaya  sebagai pengetahuan sehingga karakteristik wujud tutur, prinsip penyampaian tutur, dan pemroduksian tutur mempunyai peranan dalam mengidentifikasi ekspresi tutur .

Situasi Tutur
Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang berkaitan langsung dengan peristiwa komunikasi, maka pragmatik tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Dengan menggunakan analisis pragmatis, maksud atau tujuan dari sebuah peristiwa tutur dapat diidentifikasikan dengan mengamati situasi tutur yang menyertainya. Rustono (1999:26) menyatakan bahwa situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Hal tersebut berkaitan dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi merupakan penyebab terjadinya tuturan. Sebuah peristiwa tutur dapat terjadi karena adanya situasi yang mendorong terjadinya peristiwa tutur tersebut. Situasi tutur sangat penting dalam kajian pragmatik, karena dengan adanya situasi tutur, maksud dari sebuah tuturan dapat diidentifikasikan dan dipahami oleh mitra tuturnya. Sebuah tuturan dapat digunakan dengan tujuan untuk menyampaikan beberapa maksud atau sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi yang melingkupi tuturan tersebut. Keanekaragaman maksud yang mungkin disampaikan oleh penutur dalam sebuah peristiwa tutur, Leech (1993) mengungkapkan sejumlah aspek yang harus dipertimbangkan, aspek tersebut antara lain penutur dan mitra tutur, konteks, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk aktivitas dan tuturan sebagai produk tindakan verbal.
Misal A adalah pembantu rumah tangga pada keluarga B yang mempunyai kedudukan baik di pemerintahan daerah; keduanya orang Jawa dan berbahasa asli bahasa Jawa. Karena itu mereka selalu memakai bahasa Jawa. Sesuai dengan “kaidah sosial” masyarakat tutur Jawa, karena A ialah pembantu, dan B majikan, maka A harus selalu menggunakan ragam bahasa Jawa yang halus, ragam tinggi, yang disebut krama, atau lebih tinggi lagi krama inngil, jika dia berbicara dengan B, sebaliknya B menggunakan ragam rendah, ngoko, jika berbicara dengan A. Jika menerima tamu teman sekantor, misalnya bawahannya, di rumah, maka dan tamunya menggunakan bahasa Indonesia. bahasa Indonesia juga di pakai ketika B “berdiskusi” tentang matematika dengan anak-anaknya, sedangkan di meja makan mereka biasanya menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. B juga menggunakan bahasa Indonesia dengan anak-anaknya, tentang apa saja, jika B sedang menemui tamunya tadi. Jadi, bahasa atau ragam bahasa apa yang dipakai oleh B bergantung kepada siapa penuturnya (pembantu, anak, tamu), atau topik pembicaraannya (tentang apa saja, tentang matematika), atau siapa yang ikut mendengarkan percakapan (B dan anak di depan tamu). Contoh tuturan tersebut terjadi dalam suatu situasi tutur (penerimaan tamu).
Leech (1983) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. aspek-aspek itu adalah:

1.   Penutur dan Lawan Tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dsb.
Penutur adalah orang yang bertutur, sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan penutur. Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya sehingga terwujud interaksi dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup penulis dan pembaca apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain aspek usia, latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut mempengaruhi daya tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut. Berikut adalah contoh dalam percakapan.
(1) KONTEKS : ANDI BERTANYA KEPADA TATANG MENGENAI HASIL 

PERTANDINGAN SEPAK BOLA INDONESIA MELAWAN
KOREA SELATAN
Andi : “Hai, Tang, kemarin lihat bolanya gak, gimana Indonesia
menang nggak?”
Tatang : “Wah, kacau Ndi. Indonesia kalah 0-1.”
Andi dalam tuturan tersebut berlaku sebagai penutur sedangkan Tatang sebagai orang yang diajak bicara oleh Andi sebagai mitra tutur yang mendengarkan tuturan Andi, disamping itu Tatang dalam peristiwa tutur tersebut juga berperan sebagai penutur, yaitu dengan mengungkapkan jawaban atas pertanyaan Andi yang menanyakan hasil pertandingan sepak bola AFC, Indonesia melawan Korea Selatan yang dimenangkan oleh Korea Selatan 1-0.

2.   Konteks Tuturan
Konteks tuturan linguistic adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks tuturan mencakupi aspek fisik ataulatar social yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubunagn dengan suatu kejadian disebut konteks. Pada hakikatnya konteks dalam pragmatic merupakan semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama antara penutur dengan mitra tuturnya.
(2) KONTEKS : RINTAN BERTEMU DENGAN RIZAL SAAT MENUNGGU ANGKUTAN
Rizal : “Hai, Rintan !, mau kemana nih, kok sendirian aja?”
Rintan : ”Eh, Rizal, mau kuliah. Biasanya juga sendirian.”(agak malu)
Konteks yang ditampilkan dalam peristiwa tutur yang terjadi antara Rintan dan Rizal tersebut adalah Rizal bertanya kepada Rintan sedangkan koteks ditunjukkan pada raut wajah Rintan yang agak malu menjawab pertanyaan Rizal.

3.   Tujuan Tuturan
Bentuk- bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama.  Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan tersebut, bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud dan sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.
(3) KONTEKS : ADI DATANG BERKUNJUNG KE RUMAH BU NORI UNTUK MEMINJAM BUKU CATATAN
Adi      : “Kemarin aku gak sempat nyatet kuliahnya Pak Tomo nih.”
Bu Nori : “Nah, kamu pasti mau pinjam buku catatanku lagi kan?”
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut dapat diungkapkan bahwa penutur dalam
hal ini Adi memiliki tujuan dalam menuturkan tuturan “Kemarin aku gak
sempat nyatet kuliahnya Pak Arifin nih.” Tujuan dari tuturan tersebut adalah
bahwa Adi bermaksud meminjam buku catatan Bu Nori, karena kemarin dia
tidak sempat mencatat materi kuliah yang disampaikan Pak Arifin.

4.   Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. .
Tuturan sebagai tindakan atau aktivitas memiliki maksud bahwa tindak tutur merupakan sebuah tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan atau aktivitas karena dalam peristiwa tutur, tuturan dapat menimbulkan efek sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh tangan atau bagian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau mengekspresikan tindakan.
(4) KONTEKS : SEORANG IBU BERKATA KEPADA ANAKNYA
Ibu : “Wah, terasnya kotor sekali ya?.”
Anak : (segera mengambil sapu dan menyapu teras tersebut)
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut tuturan yang dilakukan oleh Ibu merupakan tindakan menyuruh atau mendorong Anak untuk membersihkan  teras yang terlihat kotor. Tuturan tersebut menimbulkan efek pada mitra tutur yang mendengarkan tuturan tersebut seperti halnya didorong atau dipukul dengan menggunakan tangan. Dalam perilaku yang dilakukan oleh anak yang segera mengambil sapu dan menyapu teras merupakan efek dari ucapan Ibu tersebut.

5.      Tuturan sebagai bentuk tindak verbal
Tuturan merupakan hasil dari suatu tindakan. Tindakan manusia ada dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan tersebut merupakan produk tindak verbal yang merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai produk tindakan verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan mitra tutur, seperti yang tampak pada tuturan berikut.
(5) KONTEKS : SEORANG IBU BERPESAN PADA ANAKNYA
Ibu : ”Ris, nanti kalau ada tamu bilang Ibu sedang arisan ya!”
Risa : “Iya, Bu.”
Tuturan tersebut merupakan hasil dari tindakan verbal bertutur kepada mitra tuturnya, dalam hal ini Risa yang diberi pesan Ibunya, bahwa kalau ada tamu Risa harus mengatakan bahwa Ibunya sedang arisan. Kelima aspek situasi tutur tersebut tentu tidak terlepas dari unsur waktu dan tempat di mana tuturan tersebut diproduksi, karena tuturan yang sama apabila diucapkan pada waktu dan tempat berbeda, tentu memiliki maksud yang berbeda pula. Sehingga unsur waktu dan tempat tidak dapat dipisahkan dari situasi tutur

2.1.3 Peristiwa Tutur
Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud dengan peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat berbicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Menurut Suwito (1991:35- 36) keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala komponen serta peranan komponen itu di dalam peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (speech event). Komponen tutur tersebut di atas dalam rumusan lain tidak berbeda dengan yang diutarakan oleh Fishman (dalam Chaer dan Agustina 2004:49), yang disebut sebagai pokok pembicaraan dalam bidang Sosiolinguistik, yaitu “who speak (siapa yang berbicara), what language (bahasa apa yang digunakan), to whom (kepada siapa), when (kapan), and what end (apa tujuannya).” Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina 2004:48) dan Baylon (2002:279) menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur memiliki delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. 8 komponen itu adalah :
S (= Setting and scene)
P (= Participants)
E (= Ends : purpose and goal)
A (= Act sequences)
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (= Norms of interaction and interpretatiori)
G (= Genres)
Sebelumnya Hymes (dalam Sumarsono dan Partana 2002:326-335) menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur itu memiliki 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Bentuk Pesan (Message Form)
Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur, di samping isi pesan. Bentuk pesan menyangkut cara bagaimana sesuatu itu (topik) dikatakan atau diberitakan.

2. Isi Pesan (Message Content)
Bentuk pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik. Untuk membedakan bentuk pesan dan isi pesan, kita sebaiknya melihat contoh kalimat langsung dan tak langsung. Kalau seseorang berujar, “Dia berdoa agar Tuhan melindungi keluarganya”. Orang itu hanya melaporkan isi pesan saja. Kalau orang itu mengatakan, “Dia berdoa,Tuhan lindungilah keluarga saya!” Orang itu melaporkan isi pesan, yaitu tentang dia yang berdoa, dan sekaligus mengutip bentuk pesan yaitu bagian kalimat Tuhan lindungilah keluarga saya. Isi pesannya adalah apa doanya itu. Bentuk pesannya adalah bagaimana ia berdoa.

3. Latar (Setting)
Latar mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik.

4. Suasana (Scene)
Berbeda dengan latar, suasana mengacu kepada latar psikologis atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis usaha tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dalam latar yang sama mungkin mengubah suasana, misalnya dari formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.

5. Penutur ( Speaker, Sender)
Adalah pihak yang menyampaikan tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.

6. Pengirim ( Addressor )
Adalah pihak yang mengirimkan tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.

7. Pendengar ( Hearer, Receiver, Audience )
Adalah pihak yang menerima tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.

8. Penerima ( Addresse )
Adalah pihak yang menerima tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.

9. Maksud-Hasil (Purpose-Outcome)
Mengacu pada hasil yang diharapkan dengan cara menggunakan ragam bahasa yang tertentu.

10. Maksud-Tujuan (Purpose-Goal)
Sulit membedakan komponen ini dengan komponen ke-9. Keduanya adalah aspek maksud, yang membedakan justru istilah "outcome"dan "goal”. Hymes menyebut keduanya menjadi "end", mencakup tujuan dalam angan dan sebagai hasil.

ll.Kunci (Key)
Kunci mengacu kepada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan.

12. Saluran (Channel)
Saluran mengacu kepada medium penyampaian tutur : lisan, tertulis, telegram, telepon. Dalam hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral) misalnya dipakai untuk bernyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tutur. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan untuk telepon. Ragam tulis telegram berbeda dengan ragam tulis surat.

13. Bentuk Tutur (Form of Speech)
Hymes mengemukakan bentuk tutur lebih mengarah kepada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek dan varietas yang dipakai secara luas. Bersama dengan saluran bentuk bahasa membentuk komponen instrumentalitas.

14. Norma Interaksi (Norm of Interaction)
Norma interaksi mengacu kepada perilaku khas dan sopan santun tutur yang berlaku dalam masyarakat tutur yang bersangkutan. Misalnya orang boleh menyela atau dilarang menyela dalam percakapan, suara normal tidak boleh dipakai dalam misa di Gereja atau sembahyang di Masjid, giliran berbicara terbatas waktunya.

15. Norma Interpretasi (Norm of Interpretation)
Norma interpretasi mengacu kepada cara (misal : dalam pertuturan, antara penutur dan lawan tutur saling bertatap muka, duduk lebih berdekatan, mata membelalak dan suara keras ) dan saat yang tepat dalam bertutur (misal : mengajukan permohonan, meminta).

16. Genre
Yang dimaksud dengan genre adalah kategori-kategori seperti narasi, pepatah, puisi.

Menurut penelitian psikolinguistik, ingatan manusia itu paling baik bekerja untuk klasifikasi berjumlah tujuh, plus minus dua (jadi bisa 5, bisa 9). Berdasarkan hal tersebut Hymes mencoba menyingkat 16 komponen tutur dengan cara mengelompokkan dua, tiga komponen yang berdekatan menjadi satu istilah. Tiap istilah ini lalu digabungkan, disusun menjadi akronim dalam bahasa Inggris
SPEAKING:
S (= Setting and scene),= Mencakup latar dan suasana  hasil gabungan dari 3,4
P (= Participants)=Mencakup penutur dan pendengar, hasil gabungan dari 5,6,7,8
E (= Ends : purpose and goal),=Mencakup maksud dan hasil hasil gabungan dari 9,10
A (= Act sequences),=Mencakup bentuk pesan dan isi kunci  hasil gabungan dari 1,2
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities),=mencakup saluran dan bentuk tutur hasil gabungan dari 12,13
N (= Norms of interaction and interpretation), hasil gabungan dari 14,15
G (= Genres)

Menurut Hymes (dalam Sumarsono dan Partana 2002:334) dalam
bahasa Prancis SPEAKING dikenal dengan sebutan PARLANT, dengan
penggolongan yang agak berbeda, yaitu :
P : Participant, hasil gabungan dari 5,6,7,8
A : Actes, hasil gabungan dari 1,2
R : Raison, hasil gabungan dari 9,10
L : Locale, hasil gabungan dari 3,4
A : Agents , hasil gabungan dari 12,13
N : Normes, hasil gabungan dari 14,15
T : Types, 16

Dari beberapa pendapat tentang peristiwa tutur di atas, dalam penelitian ini digunakan teori yang dikemukakan oleh Hymes, yaitu SPEAKING untuk menganalisis data. Teori ini dipilih karena teori tersebut lebih rinci. Berikut uraian dari tiap-tiap komponen secara lebih rinci:

1. Setting and scene.
Di sini setting dan scene berkenaan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung.
Contoh:
- Selamat malam, kata pangeran kecil asal saja.
- Selamat malam, jawab si ular.
- Aku mendarat di planet mana? Tanya pangeran kecil.
- Bumi, di Afrika, jawab si ular.
- Ah!...Jadi, tak ada manusia di bumi?
- Ini gurun pasir. Tak ada manusia di gurun pasir.
Bumi ini luas, kata si ular.
Dari petikan tuturan di atas, terlihat bahwa peristiwa tutur tersebut terjadi pada malam hari di planet bumi di gurun pasir Afrika.

2. Participants
Participant adalah pihak- pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa penutur dan mitra tutur, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan.
Contoh:
- Tolong...gambarkan biri-biri untukku!
- Apa!
- Gambarkan biri-biri untukku...
Dari petikan tuturan di atas terlihat bahwa peristiwa tutur tersebut
terdiri dari dua orang yaitu penutur dan mitra tutur.

3. Ends
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Maksud dan tujuan pertuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur.
Contoh:
- Tolong...gambarkan biri-biri untukku...
Dari petikan tuturan (Tolong...gambarkan biri-biri untukku!). Memperlihatkan bahwa maksud dan tujuannya adalah meminta mitra tutur untuk
menggambarkan biri-biri.



4. Act sequence
Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata- kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
Contoh:
- Tolong...gambarkan biri-biri untukku...
Dalam pertuturan di atas digunakan bentuk ujaran imperatif (bersifat memerintah), yaitu: (Tolong...gambarkan biri-biri untukku!).

5. Key
Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek. Hal ini dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Contoh:
Dia mengamatinya dengan teliti. Kemudian dia berkata:
- Tidak! Biri-biri ini sudah sakit parah. Gambarkan yang lain.
Dan aku menggambar ....
Pada pertuturan di atas tidak secara langsung terlihat nada, cara dan semangat tetapi pada ilustrasi petikan tuturan di atas  terlihat bahwa peristiwa tutur tersebut dilakukan dengan teliti.

6. Instrumentalities
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, yaitu jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
Contoh:
- Tolong...gambarkan biri-biri untukku!
- Apa!
- Gambarkan biri-biri untukku...
Pada pertuturan di atas tidak ditemukan penggunaan bahasa melalui tulisan, telepon, telegram. Semuanya menggunakan jalur lisan langsung.

7. Norm of Interaction and Interpretation
Norm of interaction interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi, yaitu apakah antara penutur dan mitra tutur mematuhi atau melanggar aturan dalam berinteraksi.
Contoh:
− Itu persis seperti yang kuinginkan! Menurutmu apakah biri-biri
ini akan membutuhkan banyak rumput?
− Kenapa?
− Karena di tempat asalku segalanya serba kecil.
− Ini pasti cukup. Aku telah memberimu seekor biri-biri yang
sangat kecil.
Dalam pertuturan di atas antara penutur dan mitra tutur tidak melanggar aturan dalam berinteraksi, karena tidak ditemukan pemotongan pembicaraan.

8. Genre
Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, yaitu narasi, puisi, pepatah. Berikut diuraikan tetang narasi, puisi, dan pepatah. Dari sudut pandang etnografi komunikasi, menganalisis tutur berarti menganalisis tutur menjadi genre-genre