Senin, 16 April 2012

Hakikat Wacana


Hakikat Wacana
Oleh I Putu Mas Dewantara


            Para ahli bahasa umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi (Fatimah Djajasudarma, 1994:2). Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai hakikat wacana berdasarkan tiga paradigma tentang analisis wacana, yaitu paradigma/pandangan formal (menonjolkan struktur), paradigma fungsional (menonjolkan penggunaan dalam konteks) dan paradigma formal dan fungsional (dialektik).  Terlebih dahulu marilah kita tinjau pengertian “wacana” secara umum dan membandingkannya dengan pengertian “teks” yang sering dianggap sama sekaligus dianggap berbeda oleh ahli-ahli bahasa.
            Ada beberapa pengertian tentang wacana. Hasan Alwi (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11), menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang beraturan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Sementara itu, Harimurti Kridalaksana (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana itu direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
            Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap (2009:12), wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan bersifat otonom, dapat berdiri sendiri. Berkat dukungan situasi komunikasinya, ia dapat dipahami, meskipun tidak merupakan suatu kalimat yang lengkap. Dengan demikian, pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal ini mempengaruhi makna wacana. Pada umumnya, wacana tersusun dari suatu struktur yang jelas. Wacana tidak mempunyai bentuk yang pasti, dapat terdiri dari satu kata saja, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga dapat terdiri dari beberapa buku bahkan juga satu bidang ilmu, misalnya wacana sastra, wacana politik, dan lain-lain.
Contoh:
            Meskipun hanya terdiri dari satu kata, tulisan toilet di pintu, sudah dapat dikatakan sebagai wacana, karena dengan bantuan pengujarannya (situasi komunikasinya), kata itu sudah komunikatif. Sudah membawakan pesan yang jelas. Demikian pula kata Masuk dan Keluar di atas sebuah pintu, sudah dapat dikatakan wacana.

            Itulah beberapa pendapat yang mewarnai pengertian “wacana”. Sekarang, marilah kita beralih ke pengertian “teks” yang berkaitan erat dengan pengertian “wacana”. Dalam obrolan sehari-hari, “teks” dan “wacana” dipahami secara terbatas, di satu sisi merujuk pada sesuatu yang tertulis (teks), sedangkan di sisi lain pada segala hal yang dituturkan (wacana), meskipun pemahaman ini sedikit dipertentangkan dalam literatur ilmiah (Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009). Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Gilian Brown dan George Yule (1996:6) bahwa teks adalah realisasi wacana, mereka mengangap teks sebagai rekaman verbal suatu tindak komunikasi. Terlepas dari pemahaman tersebut, kata “teks” sering dipandang sebagai tulisan yang panjang. Kata “teks” menghadirkan bayangan tentang buku, surat, atau surat kabar.
            Menurut Halliday dan Hasan  dalam bukunya Cohesion in English (dalam http://baikoeni.multiply.com/journal/item/135), sebuah teks terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Yang terbaik adalah memandang teks bukan sebagai satuan bentuk, melainkan sebagai satuan makna. Jadi teks memiliki hubungan dengan klausa atau kalimat bukan karena ukurannya, melainkan karena teks biasanya direalisasikan dalam bentuk kalimat. Kemudian, kedua ahli ini menyatakan bahwa panjang teks bisa seberapa saja. Karena teks bukan satuan heirarki gramatikal, maka teks tidak terikat pada kalimat sebagai satuannya dan bisa saja merupakan satuan yang lebih kecil.
            Sementara itu, di bukunya yang lain, yaitu Bahasa, Konteks dan Teks terjemahan Barori Tou, Halliday dan Hasan menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melakukan tugas-tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar.
            Kedua kutipan dari karya Halliday dan Hasan tersebut bila diperhatikan lebih seksama, kedua kutipan tersebut memiliki makna yang berbeda. Yang pertama beranggapan bahwa teks bisa lebih singkat dari kalimat. Sedangkat kutipan kedua menyatakan bahwa teks merupakan satuan yang lebih besar dari kalimat. Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap (2009:16), pengertian teks lebih sempit dari wacana karena teks dapat saja tidak memiliki kesatuan makna. Misalnya potongan artikel, dapat disebut teks, tetapi belum dapat disebut wacana. Marilah kita perhatikan contoh berikut.
a)      Dilarang berjualan di sini (di papan pengumuman)
b)      Wah, indah benar lukisan yang dibuat olehnya (dalam dialog)
c)      Awas ada anjing galak (tulisan di atas pintu pagar)
d)     Bunga itu kukirimkan padanya (dalam sebuah novel)

Di sini tampak bahwa semuanya (a,b,c, dan d) bisa disebut teks, tetapi hanya (a) dan (c) saja yang bisa disebut wacana, karena (b) dan (d) tidak menunjukkan satuan makna yang jelas. Bila diperhatikan, “nya” dalam kalimat (b) dan “ku” dan “nya” dalam kalimat (d) tidak memberi makna sepenuhnya. Meskipun demikian, ternyata banyak ahli yang menyamakan saja pengertian teks dan wacana. Seperti juga Halliday dan Hasan, de beaugrande dan Dressler juga menyamakan antara teks dan wacana.

1. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Formal
            Pandangan formal/formalis sama dengan istilah pandangan/paradigma strukturalis dari Hymes dan a priori grammar dari Hopper (Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009: 24). Definisi wacana klasik yang diturunkan dari asumsi kaum formalis adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa”. Mey (dalam Imron Rosidi, 2009) mengatakan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulis (Samsuri dalam Imron Rosidi, 2009). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah tata bahasa sebagai suatu sumberdaya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah itu ketika memang diperlakukan.
Tarigan (dalam Arifin) menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap, terbesar, dan tertinggi; diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan pada; lisan dan tulisan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dengan demikian pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang lengkap. Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea). Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan formal.
Pendapat Tarigan senada dengan pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa Wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki tatabahasa merupakan satuan tatabahasa tertinggi atau terbesar. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan hakikat wacana menurut pandangan formalis adalah:
1.    Satuan bahasa
2.    Terlengkap / terbsesar / tertinggi
3.    Mengatasi ayat / klausa
4.    Teratur / tersusun rapi / rasa koherensi (kepaduan)
5.    Rasa kohesi (kepautan)
6.    Lisan / tulisan

2.  Hakikat Wacana Berdasarkan pandangan fungsional
            Sebuah definisi yang berasal dari paradigma fungsionalis memandang wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan fungsional, yaitu peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Richard, 1995:3). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
            Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa sesuai dengan pandangan fungsionalisme pada umumnya: wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi tertentu yang diwujudkan. Hal itu tampak pada pendapat Searle (1969), Leech (1995), Sperber dan Wilson (1998) (dalam Arifin, 1998:30), dan Dardjowidjojo (2003) yang menyebutkan bahwa percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Meskipun keteraturan formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi fungsionalis tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan tersebut berfokus pada cara pola-pola pembicaraan ditata untuk digunakan dalam tujuan konteks tertentu dan / atau bagaimana pola-pola tersebut muncul dari penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan pada fungsi cenderung menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih pada humanistik untuk mereplikasi: meniru atau menggandakan tujuan atau kehendak para aktor sendiri (Schiffrin, 2007:41). Dengan demikian, ancangan-ancangan itu lebih mengandalkan pada cara ujaran disituasikan dalam konteks daripada karakteristik gramatikal dari ujaran sebagai kalimat.
     Pendekatan fungsional kurang baik dokumentasinya, bahkan usaha untuk memberi perangkat label yang umum pada fungsi-fungsi utama bahasa tidak  memudahkan analisis. Fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi yang berfungsi secara interaksional (Gillian Brown dan George Yule, 1996 : 1).   
      Wacana lisan sangat mudah dan banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Wacana lisan terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Keduanya berpadu menjadi satu membangun sebuah wacana. Ketika seorang berbicara, bagian-bagian tubuh seperti tangan, kepala mata dan bahkan kaki akan bergerak mengikuti nada pembicaraan dan situasi psikologisnya dalam bertutur. Masing-masing merupakan bagian yang tidak dari bentuk komunikasi. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa wacana adalah penggunaan bahasa dalam bentuk nyata.

3. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Dialektik
      Kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur). Schiffrin (2007:53-54) menyatakan bahwa wacana muncul tidak sebagai sekumpulan unit-unit struktur bahasa yang dikontekstualkan tetapi sebagai sekumpulan unit-unit pengunaan bahasa yang dikontekstualkankan.
            (Edmonson, 1981 : 4, dalam Arifin)  mengemukakan bahwa wacana adalah satu peristiwa terstruktur yang diwujudkan melalui prilaku linguistik (bahasa). Kehidupan sehari-hari manusia senantiasa diwarnai oleh berbagai aktivitas dan peristiwa baik bersifat rutin maupun insidental. Ngaben (upacara pembakaran mayat di Bali), Tiwah (bagian dari upacara pembakaran mayat pada masyarakat Dayak nganju di Kalimantan. Batagak pangulu (Minangkabau), Mengket  Rumah (upacara menaiki rumah adat di Batak karo adalah beberapa contoh peristiwa terstruktur dalam kehidupan manusia. Ini dalam bentuk wacana yang perwujudannya dapat diamati dalam bentuk teks (Oktavianus, 2006: 29). 
Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh mengenai peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana dapat dikatakan sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan (menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya) dan membentuk satu kesatuan makna. Purwo (1993: 4) mengartikan wacana sebagai peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dengan penerima. Sedangkan Schiffrin (1994 : 18, dalam Arifin) mengartikan wacana sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang digunakan sesuai dengan konteks.
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua urutan-urutan kata dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk menentukan sekelompok kalimat dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat dan klausa yang memenuhi syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambungan serta mempunyai awal maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.  
Meskipun cara pandangan terhadap suatu wacana berbeda-beda, bahasa masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada dasarnya adalah menganalisis penggunaan bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga mencakup aspek penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang dapat meyakinkan sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan, proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara pandang tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana, kemudian munculah analisis wacana (Brown dan Yule, 1996:26). Sesuai dengan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka pembahasan wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan dan struktur bahasa dalam wacana (Kartomiharjo, 1992 : 1, dalam Arifin ).
Struktur paparan disebut juga struktur ujaran, baik lisan maupun tulis. Pernyataan ini mengacu pada pengertian wacana sebagai suatu peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dan penerima (Purwo, 1993:4). Brown dan Yule (1996:190) menyebutkan struktur paparan sebagai struktur teks, yaitu rekaman verbal dari sebuah peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulis. Kohesi dan koherensi merupakan unsur-unsur yang dikaji dalam struktur paparan (Kartomiharjo, 1992: 15, dalam Arifin).  
Di dalam suatu wacana terdapat gagasan, yakni substansi isi wacana. Wujud gagasan berupa pengetahuan, pendapat, emosi dan sebagainya, sedangkan cakupan gagasan dapat berupa isu-isu hangat, pendidikan, agama, politik, dan sebagainya (Wahab, 1994 : 4). Penggunaan bahasa secara jelas harus tetap diperhatikan karena pesan akan dapat dipahami dengan baik apabila penyampaian pesan tersebut sesuai dengan pendengar dan situasi yang menyertainya. Oleh sebab itu, proposisi, argument, dan penalaran merupakan aspek-aspek yang biasa dibahas ketika mengkaji struktur gagasan dalam wacana.
Pembahasan Struktur bahasa dalam suatu wacana meliputi diksi, kalimat dan gaya bahasa. Pembahasan diksi dalam suatu wacana tidak hanya berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, tetapi juga mengenai tidak diterimanya suatu kata. Pembahasan kalimat dalam suatu wacana dapat dipelajari dari segi jenis pemakaian (pernyataan, pertanyaan, dsb.), dari segi struktur (sederhana, majemuk, dsb.), dan dari segi maknanya. Adapun pembahasan gaya bahasa dalam suatu wacana meliputi kegiatan pemilihan bentuk ujaran, yaitu ujaran yang mampu mengungkapkan pesan dan penalaran yang baik dengan mengandalkan kekuatan bahasa. Selain itu, pembahasan gaya bahasa juga berhubungan dengan kecocokan pemilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan dalam suatu wacana (Keraf,1985:24; Samsuri, 1988, dalam Arifin). 
Masih terkait dengan penggunaan bahasa dalam suatu wacana, Brown dan Yule (1996:7) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam suatu dapat berupa ragam lisan dan tulisan. Bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai ragam tulis apabila ketepatan ucapan dilakukan dengan penggunaan huruf-huruf secara benar serta mempertahankan aspek penyusunan penahapan. Sedangkan bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai ragam lisan apabila pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan rekaman yang dilanjutkan dengan membuat transkripsi dan dibubuhi catatan-catatan sesuai dengan kepentingan. Oleh karena itu, ragam bahasa tulis lebih gramatikal daripada ragam bahasa lisan karena keberadaannya direncanakan sebelumnya dan ada waktu diperbaiki lagi. Sebaliknya bahasa lisan muncul secara serta merta dan tidak dapat diperbaiki lagi (Parera, 1987:7 dalam Arifin).
          Maka dari itu, perbedaan yang ada yaitu dalam  paham fungsional menekankan pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks dan paham formal menekankan pada pola-pola yang diperluas. Menengahi kedua perbedaan pandangan tersebut, muncul kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun berdasarkan gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan pada saat menyusun suatu ujaran

Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Lain

Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Lain
Oleh I Putu Mas Dewantara


1. Hakikat Pragmatik
Banyak pendapat yang disampaikan para ahli tentang pragmatik. Jauh sebelum pragmatik berkembang, seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep (pengertian atau maksud) dengan tanda. Batasan ini terlalu luas karena upaya memahami tanda yang bukan berupa bahasa juga dapat digolongkan ke dalam pragmatik. Sementara itu, Charles Morris (1938) secara jelas mulai menunjukkan ke arah pengertian yang jelas dengan melihat pragmatik bersama dengan sintaksis dan semantik sebagai cabang semiotika (ilmu tanda) khususnya yang mempelajari tanda verbal atau bahasa. Dalam hal ini pragmatik dikatakan sebagai ilmu yang  mempelajari hubungan antar kata yang  mempunyai maksud yang bervariasi dalam penggunaannya dalam suatu interaksi. 
Pandangan Morris itu yang selanjutnya menjadi rujukan dalam perkembangan pragmatik. Hal itu dapat dilihat pada pandangan Levinson (1986) yang mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengartian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami maksud pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, secara komprehensif, Yule menyebutkan 4 definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Terkait dengan bidang pengajaran, Levinson (1986) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat- kalimat itu. Pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal yakni :
1.      Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi dalam penggunaan bahasa.
2.      Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar, pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek- aspek proses komunikatif.
 Dalam perkembangan lebih lanjut, pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa dalam konteks yang lebih luas seperti disampaikan Noss dan Lamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakikatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.

2 Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Bahasa Lain
2.1 Hubungan Pragmatik dengan Sintaksis
Kajian linguistik struktural (atau disebut linguistik saja) lebih menekankan segi struktur dan bentuk bahasa ketimbang makna. Linguistik struktural, khususnya sintaksis, bergerak di wilayah bahasa, sedangkan pragmatik bergerak di wilayah tutur. Satuan kajian linguistik, dan juga semantik, adalah kalimat (sentence), sedangkan satuan kajian pragmatik ialah ujaran (utterance). Bisa jadi, pragmatik dan linguistik atau sintaksis mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu kalimat, tetapi sudut pandangnya berbeda. Dalam pelajaran sintaksis, misalnya kalimat  ”Bisa mengantar surat ini?” dikaji, maka kalimat itu dipandang sebagai kalimat yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya. Kalimat yang dijadikan contoh biasanya diambilkan kalimat yang ”baku”, sesuai dengan kaidah tata bahasanya, baik strukturnya maupun pilihan kata-katanya. Karena itu tidak mungkin dicontohkan kalimat seperti, ”Bisa antar ini surat?
Yang pertama dilihat oleh sintaksis adalah bentuk atau form-nya (terdiri dari kata ini dan kata itu), lalu dikatakan bahwa bentuknya adalah kalimat tanya, yang strukturnya yang berbeda dengan kalimat berita, subjeknya tidak disebutkan sehingga menjadi kalimat yang tidak lengkap, dan seterusnya. Kalau kita membicarakan makna atau semantiknya, maka dikatakan bahwa kalimat itu bermakna ”(seoran penutur) menyatakan kepada seseorang apakah orang itu mampu (atau tidak mampu) melakukan pekerjaan mengantarkan surat ”. Analisis linguistik atau sintaksis atau gramatikal jadinya bersifat struktural dan formal.
Pragmatik menganalisis fungsi kalimat dalam komunikasi, dan ”kalimat” itu harus kita anggap sebagai ”ujaran”. Dari segi fungsi, kalimat yang dicontohkan di atas sebenarnya bukan bertanya melainkan menyuruh, meskipun bentuknya kalimat tanya (interogatif). Untuk fungsi perintah (imperatif) atau suruhan orang bisa memakai kalimat pertama atau kedua bergantung kepada konteksnya, misalnya, akan ditemukan siapa yang menganjurkan dan kepada siapa kalimat itu diujarkan. Bagi analisisnya sintaksis, konteks penggunaan kalimat seperti yang dipaparkan tadi tidak pernah diperhatikan. Perlu dicatat bahwa pragmatik tidak hanya mengkaji ujaran (kalimat) melainkan lebih dari itu. Tentu saja pragmatik tetap masih harus memperhatikan bentuk dan struktur kalimat, tetapi fokus kajianya tidak terletak di situ. Yang dikaji pragmatik bukan bentuk (struktur) dan makna kalimat tetapi fungsi dan maksud ujaran dalam suatu konteks tertentu.

2.2 Hubungan Pragmatik dan Semantik
       Semantik adalah kajian tentang makna, apakah itu makna kata (biasa disebut semantik leksikal), makna frasa (disebut semantik frasa) atau kalimat (disebut semantik sintaksis). Persinggungannya dengan pragmatik sudah terlihat pada penjelasan semiotik Morris (1.1), khususnya menyangkut semantik kalimat. Tetapi batas keduanya terasa tidak begitu jelas, karena keduanya sama-sama menjelajahi makna.

Contoh Kalimat

1.      Kalimat Ambigu
a.       Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya.
b.      Menerbangkan pesawat adalah tindakan berbahaya
c.       Pesawat yang terbang itu berbahaya
Kalimat (b) dan (c) tidak ambigu, tetepi kalimat (a) terasa ambigu dan maknanya bisa sama dengan (b) dan (c).
2.      Kalimat (d) dan (e) berikut dapat dikaitkan bersinonim:
d.      Saya menerbangkan pesawat
e.       Pesawat itu saya terbangkan
Kalimat aktif dan pasif biasanya memang bersinonim. Kalaupun linguistik struktural, atau sintesis, membahasnya, maka ketertarikannya bukan terletak kepada kesinoniman melainkan kepada perbedaan struktur atau bentuknya. Kalaupun semantik membahas kesinoniman itu, maka yang dibahas kesinoniman dari makna lugasnya. Tetapi, semantik pasti tidak mempersoalkan, misalnya mengapa penutur menggunakan kata saya dan bukan aku atau hamba.
Pragmatik tidak mengenal adanya pengertian ambigu atau taksa dan sinonim. Bagi pragmatik, tidak ada kalimat yang ambigu, tidak ada dua kalimat yang bersinonim, kalau (dan karena)  tiap kalimat itu selalu harus dikaitkan dengan konteks.
Kalimat (a) tidak ambigu kalau dikaitkan dengan konteks dalam percakapan berikut ini.
A:Kamu kan baru belajar teori bagaimana caranya menerbangkan pesawat terbang”
B:Tapi saya ingin mencobanya, Pak pesawat sudah dites. Bagus”
A:Saya tahu kondisimu. Kau lupa satu hal. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya. Pesawatnya memang tidak membahayakan kamu, tetapi kamu justru membahayakan pesawat”.

Bandingkan pula konteks cakupan dari masing-masing kalimat (d) dan (e) berikut ini.
A:Apa yang kau lakukan besok?
B:Saya menerbangkan pesawat.”
Dan
H:Kamu apakan pesawat itu? Apa yang terjadi?
I:Pesawat itu saya terbangkan. Baru beberapa menit, baling-balingnya terasa kurang bebas, lalu saya turunkan.”
Begitu pula bagi semantik, (f) dan (g) dianggap sinonim:
(f) “ Kau apakan pesawat itu?”
(g) “ Saudara apakan pesawat itu?”
       Analisis kajian pragmatik dari kedua kalimat di atas maknanya memang sama kata saudara dan kau dalam kedua kalimat itu juga sama maknanya. Namun, masih tetap ada bedanya. Pragmatik akan memperhatikan juga “siapa mengujarkan kalimat itu” dan” kepada siapa ujarkan itu digunakan”. Artinya, pragmatik memperhitungkan bukan hanya kalimat itu saja melainkan juga penutur dan petuturnya (yaitu lawan tuturan) karena keduanya termasuk unsur konteks.
Pragmatik mungkin mengambil simpulan bahwa kalimat (f)  diujarkan oleh seseorang petutur yang cukup akrab dengan petuturnya, atau posisi petutur lebih tinggi daripada petuturnya. Tetapi, dalam kalimat (g) hubungan petutur dan petutur agak formal (resmi), misalnya antar instruktur.
       Jika ada orang mengatakan bahwa semantik itu mengkaji makna sedangkan pragmatik mengkaji maksud, bahwa ada yang menyebut pragmatik sebagai ilmu maksud. Maksud itu dapat ditentukan berdasarkan situasi ketika ujaran itu terjadi. Berdasarkan hal itulah, maka Leech memberi batasan pragmatik sebagai “studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur”.
        Ada beberapa petikan pendapat Leech (1983) yang mengajukan beberapa patokan sebagai berikut ini.
1.      Representasi semantik (atau bentuk logika) suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya
Maksudnya, dipandang dari sudut kaidah tatabahasa, sebagai kalimat merupakan bentuk logika, dan bentuk ini merepresentasikan (mewakili) makna yang dikandungnya. Makna, sebagaimana yang diatur oleh kaidah tatabahasa itu tidak (selalu) sama dengan tafsiran (interpretasi) pragmatiknya.
Contoh:
Secara tatabahasa kalimat “Kamu dari Tabanan, ya?”kira-kira bermakna, apakah kamu berasal dari desa Tabanan. Tetapi, menurut pragmatik, kalimat itu dapat ditafsirkan berdasarkan dari makna tersebut,disesuaikan dengan maksud penutur (pembicara). Tafsiran itu dapat berupa petutur (A) dan (B) tahu betul bahwa desa Tabanan adalah desa yang kering kerontang dan masyarakatnya amat miskin, siswa-siswa yang berasal dari desa itu sering diolok-olok sebagai orang yang “ tidak cakap” tidak pandai, dsb. Karena itu kalimat yang ditafsirkan A tadi ditafsirkan oleh B sebagai sindiran. A, menurut pikiran B, pasti menyinir B. Si A bukan sekedar bertanya “Apakah kamu berasal dari Tabanan?”melainkan juga menyindir, “Pantas kamu bodoh.”
2.      Semantik diatur oleh kaidah tatabahasa (= bersifat gramatikal), pragmatik dikendalikan oleh prinsip(=retoris)
Semantik atau makna dari sebuah kalimat ditentukan oleh kaidah tatabahasa.
Contoh:
Kalimat aktif “Menteri melaporkan bencana alam itu kepada Presiden.”Jika ditafsirkan harus berbentuk “bencana alam itu dilaporkan Menteri kepada Presiden.” Itu kaidah yang harus dituruti.
Surat kabar juga bisa membuat judul berita secara ringkas, dengan prinsip “ekonomi” dan prinsip retorik (dalam memilih kata-kata). Dengan prinsip retorik itu wartawan dapat menulis kalimat-kalimat pasif tanpa harus melanggar kaidah.
Kalimat pasif tadi dapat diringkas menjadi ”Bencana alam itu dilaporkan kepada Presiden” Tetapi, dapat saja berbentuk lain (pasif atau bukan) “Presiden laporkan tentang bencana alam”, “Bencana alam disampaikan ke istana”, ”Menteri melapor ke Presiden” dll. Makna kalimat-kalimat tersebut, menurut tatabahasa kira-kira sama, tetapi dari segi pragmatik, masing-masing mempunyai nilai berita yang berbeda-beda ada yang mementingkan Presiden (karena itu diletakkan di depan kalimat), ada yang mementingkan bencana alam,dll. 
3.      Kaidah-kaidah tatabahasa pada dasarnya bersifat konvensional; prinsip-prinsip pragmatik pada dasarnya bersifat nonkovensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
Kaidah tatabahasa, termasuk kaidah semantik, bersifat konvensional, artinya berdasarkan kesepakatan seluruh pengguna bahasa sejak masa lampau ketika masyarakat bahasa itu menentukan atau membangun bahasanya.
Contoh:
Manusia yang dapat melahirkan disebut perempuan, tanpa ada penjelasan mengapa demikian, atau apa motivasinya sehingga masyarakat membentuk kata itu. (Berbeda dengan kata pemain, yang secara morfologis dimotivasi oleh penggabungan antara pe + main;  kata mobil, yang bermakna ‘bergerak’ dipakai untuk mengacu benda yang dapat bergerak karena dimotivasi secara semantis). Oleh Leech, itu disebut kekonvensionalan mutlak. Di samping itu ada kekonvensionalan termotivasi, yaitu kekonvensionalan yang menunjukkan adanya sedikit motivasi. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan seperti “Syukur!” yang bermakna serupa dengan “Syukur kamu berhasil!” ditujukan bagi orang yang berhasil. Ini konvensional. Tidak mungkin ungkapan itu untuk mereka yang tidak berhasil. Jadi makna kalimat itu dikatakan konvensional jika makna tersebut dapat disimpulkan oleh kaidah tatabahasa. Namun, karena alasan-alasan tertentu, atau karena adanya motivasi tertentu, maka dapat saja muncul ujaran, seperti “Syukur kamu tidak terpilih jadi lurah!”. Ini bukan fakta semantik, sebagaimana dicontohkan di atas, melainkan fakta pragmatik. Ini juga nonkonvensional karena ungkapan syukur ditujukan kepada orang yang tidak berhasil.
4.      Pragmatik mengaitkan makna (atau arti gramatikal) suatu ujaran dengan daya pragmatik ujaran tersebut. Sudah kita maklumi bahwa, menurut kaidah, maka sebuah kalimat dapat direpresentasikan atau dijelaskan menurut bentuk formalnya. Pragmatik harus menjelaskan kaitan antara kedua makna, yaitu antara makna sebenarnya dengan apa yang disebut daya yang disebut daya ilokusi. Daya itu harus dijelaskan melalui implikatur. Untuk sementara dapat dikaitkan secara mudah, sebagaimana dicontohkan pada patokan, bahwa implikatur itu adalah maksud yang ada di balik bentuk bahasa yang diujarkan. Sebagai ujaran yang diujarkan oleh penutur (N) bisa jadi terasa mengandung “beberapa tafsiran” di mata pendengar atau petutur (P).
5.      Korespondensi-korespondensi gramatikal ditentukan oleh (ditunjukkan dengan) kaidah-kaidah pemetaan (pemolaan); koresponden-koresponden pragmatik ditujukan dengan masalah-masalah dan pemecahannya. Kaidah gramatika suatu bahasa biasanya sudah ”dipetakan” secara pasti sehingga suatu penyimpangan yang dilakukan oleh N segera dapat diketahui.
Misalnya
Kalimat harus mempunyai subjek (yang terletak di depan) yang berkoresprodensi dengan predikat. Karena itu, dalam bahasa Indonesia kita dapat berujar “Wah, hujan”. Begitu juga dalam bahasa Inggris. Begitu pula korespondensi atau hubungan antara makna dan bunyi jika bunyinya begini maknanya begitu atau jika ingin makna demikian, maka bunyinya harus demikian.
Korespondensi pragmatik ditujukan dengan masalah, yaitu masalah antara N dan T, berikut pemecahannya. Menurut Leech bagi N masalahnya ialah perencanaan jika saya ingin agar T melakukan atau tidak melakukan tindak X, apa yang harus saya ujarkan sehingga tujuan atau maksud saya berhasil. Dalam keadaan seperti itu, N juga berpikir kata-kata apa yang saya pilih, bentuk kalimat apa, panjang pendeknya seperti apa,dst. Sebaliknya, bagi T, masalahnya ialah masalah interpretasi: seandainya N mengujarkan ujaran U, apakah alasan N yang paling masuk akal untuk mengucapkan U. Masalah yang harus dipecahkan oleh T ialah masalah komunikasi apakah yang sedang dipecahkan oleh N ketika N mengucapkan U.

2.3 Hubungan Pragmatik dengan Sosiolinguistik
Dari sejumlah kelahirannya, sosiolinguistik lebih dahulu mapan, sekitar 1960, dibandingkan dengan pragmatik. Sosiolinguistik ialah kajian bahasa yang dikaitkan dengan faktor-faktor atau gejala-gejala sosial dari penggunaan bahasa. Dari segi semangat, kedua kajian itu sama, yakni sama-sama menjadi pendobrak lingustik struktural yang dirumuskan oleh Chomsky. Teori Chomsky, sebagaimana dikatakan di depan, tetap dipandang berwatak struktural karena dia juga berbicara tentang struktur kalimat. Hanya saja, teori linguistik ini mengabstrakkan kalimat (menjadi rumus-rumus dalam benak manusia). Data kajiannya berupa kalimat yang diidealkan, artinya kalimat yang dianalisis dipersyaratkan harus sempurna, bebas dan kesalahan gramatika (sebagaimana yang dikuasai oleh orang dewasa). Semua kalimat yang terujarkan, apa pun bentuknya, dapat dikembalikan kepada satu rumusan struktur kalimat, yakni FB + FK. Semua bahasa dianggap mempunyai kalimat dengan struktur seperti itu. Penghomogenan inilah yang sangat ditentang oleh para pakar bahasa, seperti Dell Hymes, yang memandang bahasa bukan sekedar sebagai produk mental (sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky), melainkan juga sebagai produk sosial, sebagai alat komunikasi sosial, dan memandang bahasa itu hakikatnya heterogen, beragam, bervariasi, karena penggunaan dan penggunaan bahasa juga beragam. Bagi sosiolinguistik, tidak ada bahasa yang monolitik, yang tunggal, melainkan bervariasi, bahkan sosiolinguistik itu justru muncul karena adanya variasi atau keragaman bahasa. Bahasa A beragam secara geografis karena sekelompok penutur bahasa itu tinggal di daerah X dan sekelompok lainnya di daerah Y. Bahasa A itu beragam karena secara sosial penuturnya berbeda-beda sesuai dengan status sosialnya (sehingga ada ragam bahasa pengusaha dan rakyat jelata), jenis kealaminnya (sehingga ada ragam bahasa wanita dan ragam bahasa pria), atau profesi atau lapangan hidupnya (sehingga ada ragam bahasa petani, ragam bahasa pedagang, buruh, dsb.).
Bahkan tiap-tiap individu penutur memiliki khasanah ragam tutur atau gaya tutur yang bermacam-macam untuk berbagai maksud dan tujuan; misalnya, untuk berkirim surat secara pribadi, untuk berpidato, berbicara dengan anggota keluarga, dengan pejabat, dsb. Dalam ragam tutur itulah dirasakan dekatnya hubungan antara sosiolinguistik dan pragmatik. Kedekatan hubungan itu juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan budaya pengguna bahasa. Kita tahu bahwa sosiolinguistik tidak dapat lepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa begitu pula pragmatik. Pragmatik misalnya, mengkaji ihwal sopan santun dalam bertutur. Kita dapat menyusun sekian banyak ujaran mulai dari yang paling sopan. Tetapi, urutan itu tentu tidak sama dari bangsa ke bangsa dan dari suku ke suku, karena hal itu berkaitan dengan segi budaya.
Pragmatik sendiri menentang teori Chomsky karena dia melepaskan konteks dari kalimat ujaran, padahal kalimat (dalam arti ”ujaran”) itu ada karena digunakan dalam suatu komunikasi, dalam suatu situasi tutur, seperti pesta, upacara keagamaan, obrolan di tempat kerja, sidang pengadilan, dsb. Dalam situasi tutur seperti pesta perkawinan, misalnya, terjadi sejumlah peristiwa tutur, seperti ada sambutan, percakapan, dsb. Tutur semacam itu tentu melibatkan penutur, petutur, topik, lokal, suasana, dsb. Komponen-komponen ini berpengaruh terhadap bentuk bahasa apa yang digunakan. Dalam hal semacam itu sosiolinguistik juga ikut berkepentingan untuk mengkaji.
Dalam batas tertentu objek kajian sosiolinguistik dan pragmatik memang sama. Misalnya, percakapan. Dalam sebuah percakapan antara penutur (A) dan petutur (B) tentang topik harga BBM di tempat kerja, mungkin keduanya menggunakan bahasa daerah; tetapi begitu datang C percakapan berubah menggunakan bahasa Indonesia karena C tidak mampu berbahasa daerah; suasana yang tadinya akrab berubah menjadi agak formal. Sosiolinguistik mungkin melihat perubahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia mempunyai makna sosial tertentu sebagaimana kemungkinan tadi, yakni mengubah suasana akrab menjadi suasana lebih formal.

IMPLIKATUR PERCAKAPAN

IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Oleh I Putu Mas Dewantara

2.1.1 Hakikat Implikatur
Menurut Levinson (Sumarsono, 2010:109), implikatur percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filosof Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13). Grice mengemukakan karakteristik makna-nn sebagai berikut.
 S mengemukakan makna-nn z dengan mengujarkan U jika dan hanya jika:
(i)     S bermaksud U untuk memberikan efek z terhadap resipien H
(ii)   S bermaksud (i) untuk hanya dicapai oleh H yang menyadari maksud (i) itu.

Di sini S (Speaker) = penutur (dalam komunikasi lisan sebagai pengirim pesan atau komunikator); H (hearer) = pendengar, atau tepatnya, resipien yang menjadi penerima maksud; “mengujarkan U (utterance)” = ujaran suatu bentuk dalam butir kebahasaan, yaitu suatu bagian kalimat, kalimat, atau urutan kalimat atau urutan bagian-bagian kalimat (atau produksi dari tindak komunikatif yang nonkebahasaan); z = suatu kepercayaan atau kehendak yang ditujukan bagi H. Rumusan yang tampak rumit dan kabur ini sebenarnya menyatakan bahwa komunikasi itu terdiri atas pengirim (pesan) (sender) yang bermaksud agar penerima (pesan) (receiver) berpikir atau melakukan sesuatu, sekadar dengan meminta penerima pesan itu menyadari bahwa pengirim pesan sedang mencoba untuk menunjukkan pikiran atau tindakan. Jadi, komunikasi itu merupakan jenis-maksud yang kompleks yang dicapai dengan cara menyadari adanya. Dalam proses komunikasi, maksud komunikatif si pengirim pesan menjadi pengetahuan bersama (mutual knowledge) bagi pengirim S dan penerima H, yaitu S tahu bahwa H tahu bahwa S tahu bahwa H tahu (dst) bahwa S mempunyai maksud tertentu. Jika konsep makna-nn  ini kita pahami, maka kita akan dapat melangkah ke pemahaman tentang implikatur.
Kata implikatur berhubungan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal ini implikatur percakapan berarti ‘makna yang terkandung’ (Sumarsono, 2010:65). Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan merupakan bagian dari ujaran itu. Misalnya,
(1)   A : “Ayo nonton!”
 B : “Besok saya ujian.”
            Jawaban (B) tersebut tidak berkaitan dengan (A): (A) berbicara tentang nonton tetapi (B) bicara ujian. Tetapi, ujaran (A) itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban (B) itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan (A). Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
Senada dengan pendapat Sumarsono, Grice (dalam Wijana, 1996:37) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversasion mengemukkan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Grice memberikan contoh berikut.
(2)   A : “Ali sekarang memelihara kucing.”
       B : “Hati-hati menyimpan daging.”
(3)   A : “Ani di mana, Ton?”
 B : “Tati di rumah Wawan.”
            Tuturan (B) dalam (2) bukan bagian dari tuturan (A). Tutran (B) muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Demikian pula tuturan (B) pada percakapan (3) bukan merupakan bagian dari tuturan (A). Tuturan (B) muncul sebagai akibat adanya inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati ada di sana, tentu Ani ada pula di sana.
            Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlamnya. Dalam contoh (4), (5), dan (6) berikut ini terlihat bahwa tuturan (A) Bambang datang memunculkan reaksi yang bermacam-macam.
(4)   A : “Bambang datang.”
 B : “Rokoknya disembunyikan.”
(5)   A : “Bambang datang.”
 B : “Aku akan pergi dulu.”
(6)   A : “Bambang datang.”
 B : “Kamarnya dibersihkan.”
Jawaban (B) dalam (4) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Jawaban (B) dalam (5) mungkin mengimplikasikan bahwa (B) tidak senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (B) dalam (6) mengimplikasikan bahwa Bambang mungkin adalah seorang yang tidak senang melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan atau implikasi yang melandasi kontribusi (B) dalam (4), (5), dan (6).
Berbeda halnya dengan implikatur, seperti tercermin dalam tuturan (B) dan (A) dalam (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), pertalian (A) dan (B) dalam (7) bersifat multak. Hubungan (A) dan (B) dalam hal ini disebut entailment.
(7)   A : “Ali membunuh Jonny.”
 B : “Jonny mati.”
            Tuturan (B) dalam (7) merupakan bagian atau komponen dari konsekuensi multak dari tuturan (A) karena membunuh secara mutlak mengakibatkan mati. Selain entailment dikenal juga istilah praanggapan atau prasuposisi (presupposition). Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan atau diperkirakan oleh penutur atau penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Sumarsono (2010:64) memberikan contoh mengenai praanggapan sebagai berikut. Kalau A berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan (memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Karena asumsinya petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
2.1.2 Ciri-ciri Implikatur
Apabila diperhatikan, implikatur percakapan memiliki ciri-ciri  spesifik, yang membedakan dengan fenomena pragmatik lainnya. Menurut Cruse (dalam Daimun, 2008) ada empat kriteria khusus yang merupakan ciri implikatur percakapan (IP), yaitu : (1) bergantung konteks,(2) dapat dibatalkan,(3) tidak dapat dilepaskan, dan (4) dapat diperhitungkan.
1)      Bergantung konteks
Ada perbedaan antara implikatur konvensional, libatan (entailment), dan IP. Dilihat dari keberadaan makna, baik pada implikatur konvensional, libatan, atau pun IP pada dasarnya sama-sama memiliki makna bawaan, tetapi, yang berbeda terletak pada (a) makna pada IP sangat ditentukan/bergantung pada konteks, (b) makna pada implikatur konvensional ditentukan oleh konvensi, dan (c) makna pada entailment ditentukan oleh proposisi.

2)      Dapat Dibatalkan
Makna tuturan berimplikatur percakapan dapat dibatalkan dengan kehadiran materi tambahan. Proses pembatalan dan materi tambahan dapat diamati pada contoh tuturan (8) berikut ini.
(8) A : “Pak, apakah Pak SBY jadi memberi bantuan gempa bumi di Bengkulu, waktu kunjungannya di Kabupaten Muko-muko kemarin?
             B :  “(1) Beliau masih meminta laporan yang lebih kongkret.”
                    “(2) Oh ya, sebagian bantuan telah diberikan Pak SBY secara langsung.”
Seumpamanya (A) adalah wartawan dan (B) adalah Gubernur Bengkulu, maka jawaban B (1) mengandung implikatur, bahwa Pak SBY belum memberikan bantuan gempa bumi di Bengkulu, karena masih menunggu laporan yang lebih kongkret, sedangkan pada B (2) menghapus implikatur tersebut.

3)      Tidak dapat Dilepaskan
Pada kriteria yang ketiga ini dinyatakan bahwa substansi proposisi yang sama pada konteks yang sama memunculkan IP yang sama. Dalam suatu bentuk yang diekspresikan, implikatur percakapan diikat pada makna dan tidak pada bentuk. Cruse (dalam Daimun, 2008) memberi contoh sebagai berikut.
(9)    John tidak berjalan sampai ke pelang jalan.
(10)  John mencoba berjalan sampai ke pelang jalan.
(11) John berjalan sampai ke pelang jalan. 
Tuturan (9) mengimplikasikan (10), tetapi tuturan (11) dan tidak mengimplikasikan (10). Ini berarti, tuturan (10) hadir karena ada (9) yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan.

4)      Dapat Diperhitungkan
Implikatur percakapan dapat diperhitungkan dengan menggunakan prinsip-prinsip umum berbasis pada makna konvensional dan informasi kontekstual (Cruse dalam Daimun, 2008). Makna konvensional dapat diabaikan oleh penutur, ketika memaknai tuturan dengan konteksnya, tetapi ia dapat memaknainya. Misalnya, ada dua orang yang secara manasuka sutuju bahwa jika sewaktu-waktu salah satu diantara mereka mengatakan X, mereka akan memaknai Y. contohnya antara dua orang mahasiswa yang tidak dalam satu kost bahwa manakala salah seorang mengatakan  “Mas, ada teman wanitanya”. atau “Mas, ada tamu”. Sementara si-Mas menyadari bahwa dia tidak memakai baju. Respons atas tuturan khusus itu bersifat  bebas. Karena itu, jawaban tuturan tersebut bisa bersifat serius, sebagaimana tampak dalam respons B dalam (12), dan bisa dijawab dengan bercanda, seperti pada respons B dalam (13) berikut ini
(12) A : “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
        B : “Terima kasih, saya pakai baju dulu.”
(13) A: “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
        B: “Suruh tunggu sebentar, katakana padanya ‘Mas baru pulang dari angkasa luar.”
2.2 Jenis-jenis Implikatur
Grice membedakan implikatur menjadi dua macam, yakni implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional (konversasional). Implikatur konvensional mengacu pada implikasi makna langsung, dan implikatur konversasional mengacu pada implikasi makna tidak langsung. Implikasi konvensional lebih mudah menarik simpulan makna yang terkandung dalam tuturan, sedangkan dalam implikatur konversasional harus melibatkan fenomena lain, seperti prinsip kerjasama dan konteks tuturan yang melatari.
Penggunaan istilah implikatur konversasional berkembang dengan pemakaian istilah implikatur percakapan, dan juga silih berganti dengan istilah implikatur nonkonvensional. Makna yang terdapat pada implikatur percekapan merupakan suatu yang disarankan oleh Penutur. Makna yang disarankan penutur berbeda dari apa yang dimaksud secara harfiah. Bahkan Grice menyatakan bahwa implikatur percakapan diartikan sebagai makna tidak langsung yang ditimbulkan oleh apa yang dituturkan oleh Penutur. Suparno (Daimun, 2008) menyatakan bahwa implikatur dan termasuk implikatur percakapan adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam berkomunikasi antara penutur dengan mintra tutur sangat memungkinkan adanya wujud tuturan yang disampaikan berbeda dengan sesungguhnya.
Antara implikatur konvensional dan implikatur percakapan terdapat perbedaan dalam pemaknaanya. Agar lebih jelas perbedaan dalam pemaknaannya implikatur kenvensional dengan Implikatur percakapan, dapat memperhatikan contoh berikut ini.
(14)     Bu Guru : “Halizat, barangkali baknya sudah penuh?”
          Halizah  :  “Ya, Bu. Sebentar saya matikan.” 
(15)   Halizah : “Bu, masih ada orang.”
    Bu guru : “Ya, nanti saja!”
            Tuturan (14) “Halizah, barangkali baknya sudah penuh?” Walaupun tuturan (14) bermodus introgatif, namun sesuai dengan konteksnya, Bu guru secara tidak langsung menyuruh Halizah menutup keran, yang diduga baknya sudah penuh. Tuturan (15) “Bu, masih ada orang.” Berimplikasi bahwa keran belum dapat ditutup karena masih ada orang si dalam kamar mandi. Kedua contoh tersebut mengandung implikasi makna tidak langsung (IP). Sementara itu, jawaban Halizah pada (14) “ya, bu. Sebentar saya matikan.”, dan jawaban Bu guru pada (15) “Ya, nanti saja!” berimplikasi makna langsung. Tuturan Halizah pada (14) sebagai jawaban tuturan Bu guru pada (14). Pada tuturan itu Halizah berjanji untuk menutup keran air bak, yang diperkirakan baknya telah penuh. Tuturan Bu guru pada (15) “Ya, nanti saja!” juga sebagai tuturan yang bermakna langsung (konvensional), karena Bu guru memerintahkan Halizah menutup keran, setelah orang keluar dari kamar mandi.
            Selain itu, Grice juga mengembangkan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna tutur, dan implikasi dari suatu tuturan. Dalam teorinya Grice membedakan ada tiga macam implikatur, yakni implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selain itu, Grice juga membedakan dengan implikatur percakapan umum dan implikatur percakapan khusus. Sejalan dengan itu Yule (2006) membedakan implikatur menjadi implikatur percakapan umum, implikatur berskala, dan implikatur percakapan khusus.

2.3 Kegunaan Teori Implikatur
Menurut Levinson (Dalam Daimun, 2008), konsep  impllikatur memiliki empat kegunaan. Pertama, implikatur mampu memberi penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjelaskan yang kemudian dimasukkan ke dalam “keranjang-keranjang sampah pengecualian” oleh teori-teori gramatikal formal. Kedua, implikatur mampu memberikan penjelasan mengapa suatu tuturan, misalnya dalam bentuk pertanyaan tetapi bermakna perintah. Ketiga, implikatur dapat menyederhanakan deskripsi semantik perbedaan antarklausa. Keempat, implikatur dapat menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang komunikatif.
Senada dengan pendapat Levinson, Sumarsono (2010) berpendapat bahwa setidaknya ada empat kegunaan teori implikatur. Pertama, implikatur merupakan contoh betapa alamiah dan kekuatan penjelasan pemaknaan pragmatik atas gejala kebahasaan yang ada. Dalam hal itu kita melihat adanya inferensi, simpulan di luar bentuk lingual yang diujarkan, yang berada di luar tatanan bahasa. Karena itu, konsep implikatur menawarkan beberapa eksplanasi fungsional tentang fakta-fakta kebahasaan.
Sumbangan penting kedua dari pengertian implikatur ialah konsep ini memberikan penjelasan yang eksplisit mengenai bagaimana kemungkinannya memaknai lebih dari sekadar “apa yang sebenarnya diucapkan”, yaitu lebih dari sekadar apa yang diungkapkan secara harafiah. Maksudnya, implikatur percakapan itu, tidak sebagaimana ilmu semantik yang berbicara tentang syarat kebenaran (truth condition).
Contoh yang dapat diberikan adalah percakapan berikut.
(16)  A : “Jam berapa sekarang?”
         B : “Baru saja azan magrib.”
Jika kita mengikuti teori semantik, maka kalimat-kalimat dalam percakan pendek di atas itu setidak-tidaknya dapat diparafrasekan sebagai berikut.
(17)  A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya tentang waktu saat ini?”
         B : “Azan magrib itu terjadi sebelum saat Anda berbicara.”
Jelas, bagi penutur asli. Bahwa apa yang hendak dikomunikasikan dalam percakapan tadi juga mencakup lebih banyak informasi lagi, seperti kata-kata yang bercetak miring pada percakapan (18). (Namun, dalam penggunaan bahasa sehari-hari tidak ada orang yang berbicara seperti [17] itu, apalagi [18].)
(18)  A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya tentang waktu saat ini, sebagaiman yang ditunjukkan oleh jarum-jarum jam yang menunjukkan waktu sebenarnya?
           B :  “Tidak, tidak bisa, saya tidak tahu jam berapa tepatnya saat ini, tetapi saya dapat memberikan informasi dan dari informasi itu Anda dapat memperkirakan jam berapa sekarang, yaitu informasi tentang baru saja azas.”
Ketiga, konsep implikatur tampak berpengruh terhadap penyederhanaan baik pada struktur maupun isi deskripsi makna. Bandingkan ujaran berikut.
(19)  Seorang perawat membersihkan luka dan membalut luka itu dengan perban.
(20)     Surabaya ibukota Jawa Timur dan Denpasar ibukota Bali.
(21) Seorang perawat membalut luka itu dengan perban dan membersihkan luka itu.
(22)     Denpasar ibukota Bali dan Surabaya ibukota Jawa Timur.

Makna kata dan pada (19) dan (20) agak berbeda; pada (19) kata dan berarti ‘dan kemudian’ dan karena itu pembalikannya menjadi aneh (21). Tetapi pada (20) kata dan betul-betul bermakna menggabungkan dua peristiwa yang tidak bertuturan, sehingga pembalikan menjadi (22) sama sekali tidak berpengaruh terhadap makna semula. Dalam hal ini, teori semantik biasanya mempunyai satu dari dua pilihan analisis: (i) kata dan mempunyai dua makna, sehingga ambigu, atau (ii) makna kata-kata pendukung kalimat secara umum memang kabur dan dipengaruhi oleh lingkungan kolokasi (urutan). Maksudnya, pada (19) semantik tidak mampu melihat adanya penyederhanaan struktur, dengan mengurangi jumlah informasi atau penggunaan banyak kata, dan penyederhanaan makna, dengan hanya menggunakan dan  saja dan penutur dan petutur saling memahami.
Keempat, implikatur, atau konsep lain yang serupa, tampak esensial jika berbagai fakta dasar tentang bahasa diperhitungkan tersendiri. Dalam teori makna, partikel dalam bahasa inngris seperti well, anyway, by the way memerlukan penghususan makna; tetapi jika tuntutan itu kita penuhi, yang ditemukan adalah mekanisme pragmatik yang menghasilkan implikatur. Kata well, anyway, by the way tentunya tidak mempunyai makna leksikal. Hal ini seperti halnya dengan kata-kata huss, ssstt, ccckk tidaklah mempunyai makna leksikal, tetapi makna pragmatiknya pasti ada. Misalnya,
(23)  Anak : “Ma, Ma, kepala kakek kok botak ya Ma?”
         Ibu    :  “Huss!”
‘kata’ (atau bentuk lingual) huss dalam ujaran itu berfungsi memperingatkan, atau dapat dikatakan mempunyai implikatur ‘melarang’. Alih-alih si ibu berujar, “Jangan berkata begitu terhadap kakek, itu tidak sopan!”, dia cukup berujar “Huss!”.