Senin, 16 April 2012

IMPLIKATUR PERCAKAPAN

IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Oleh I Putu Mas Dewantara

2.1.1 Hakikat Implikatur
Menurut Levinson (Sumarsono, 2010:109), implikatur percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filosof Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13). Grice mengemukakan karakteristik makna-nn sebagai berikut.
 S mengemukakan makna-nn z dengan mengujarkan U jika dan hanya jika:
(i)     S bermaksud U untuk memberikan efek z terhadap resipien H
(ii)   S bermaksud (i) untuk hanya dicapai oleh H yang menyadari maksud (i) itu.

Di sini S (Speaker) = penutur (dalam komunikasi lisan sebagai pengirim pesan atau komunikator); H (hearer) = pendengar, atau tepatnya, resipien yang menjadi penerima maksud; “mengujarkan U (utterance)” = ujaran suatu bentuk dalam butir kebahasaan, yaitu suatu bagian kalimat, kalimat, atau urutan kalimat atau urutan bagian-bagian kalimat (atau produksi dari tindak komunikatif yang nonkebahasaan); z = suatu kepercayaan atau kehendak yang ditujukan bagi H. Rumusan yang tampak rumit dan kabur ini sebenarnya menyatakan bahwa komunikasi itu terdiri atas pengirim (pesan) (sender) yang bermaksud agar penerima (pesan) (receiver) berpikir atau melakukan sesuatu, sekadar dengan meminta penerima pesan itu menyadari bahwa pengirim pesan sedang mencoba untuk menunjukkan pikiran atau tindakan. Jadi, komunikasi itu merupakan jenis-maksud yang kompleks yang dicapai dengan cara menyadari adanya. Dalam proses komunikasi, maksud komunikatif si pengirim pesan menjadi pengetahuan bersama (mutual knowledge) bagi pengirim S dan penerima H, yaitu S tahu bahwa H tahu bahwa S tahu bahwa H tahu (dst) bahwa S mempunyai maksud tertentu. Jika konsep makna-nn  ini kita pahami, maka kita akan dapat melangkah ke pemahaman tentang implikatur.
Kata implikatur berhubungan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal ini implikatur percakapan berarti ‘makna yang terkandung’ (Sumarsono, 2010:65). Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan merupakan bagian dari ujaran itu. Misalnya,
(1)   A : “Ayo nonton!”
 B : “Besok saya ujian.”
            Jawaban (B) tersebut tidak berkaitan dengan (A): (A) berbicara tentang nonton tetapi (B) bicara ujian. Tetapi, ujaran (A) itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban (B) itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan (A). Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
Senada dengan pendapat Sumarsono, Grice (dalam Wijana, 1996:37) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversasion mengemukkan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Grice memberikan contoh berikut.
(2)   A : “Ali sekarang memelihara kucing.”
       B : “Hati-hati menyimpan daging.”
(3)   A : “Ani di mana, Ton?”
 B : “Tati di rumah Wawan.”
            Tuturan (B) dalam (2) bukan bagian dari tuturan (A). Tutran (B) muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Demikian pula tuturan (B) pada percakapan (3) bukan merupakan bagian dari tuturan (A). Tuturan (B) muncul sebagai akibat adanya inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati ada di sana, tentu Ani ada pula di sana.
            Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlamnya. Dalam contoh (4), (5), dan (6) berikut ini terlihat bahwa tuturan (A) Bambang datang memunculkan reaksi yang bermacam-macam.
(4)   A : “Bambang datang.”
 B : “Rokoknya disembunyikan.”
(5)   A : “Bambang datang.”
 B : “Aku akan pergi dulu.”
(6)   A : “Bambang datang.”
 B : “Kamarnya dibersihkan.”
Jawaban (B) dalam (4) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Jawaban (B) dalam (5) mungkin mengimplikasikan bahwa (B) tidak senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (B) dalam (6) mengimplikasikan bahwa Bambang mungkin adalah seorang yang tidak senang melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan atau implikasi yang melandasi kontribusi (B) dalam (4), (5), dan (6).
Berbeda halnya dengan implikatur, seperti tercermin dalam tuturan (B) dan (A) dalam (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), pertalian (A) dan (B) dalam (7) bersifat multak. Hubungan (A) dan (B) dalam hal ini disebut entailment.
(7)   A : “Ali membunuh Jonny.”
 B : “Jonny mati.”
            Tuturan (B) dalam (7) merupakan bagian atau komponen dari konsekuensi multak dari tuturan (A) karena membunuh secara mutlak mengakibatkan mati. Selain entailment dikenal juga istilah praanggapan atau prasuposisi (presupposition). Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan atau diperkirakan oleh penutur atau penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Sumarsono (2010:64) memberikan contoh mengenai praanggapan sebagai berikut. Kalau A berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan (memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Karena asumsinya petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
2.1.2 Ciri-ciri Implikatur
Apabila diperhatikan, implikatur percakapan memiliki ciri-ciri  spesifik, yang membedakan dengan fenomena pragmatik lainnya. Menurut Cruse (dalam Daimun, 2008) ada empat kriteria khusus yang merupakan ciri implikatur percakapan (IP), yaitu : (1) bergantung konteks,(2) dapat dibatalkan,(3) tidak dapat dilepaskan, dan (4) dapat diperhitungkan.
1)      Bergantung konteks
Ada perbedaan antara implikatur konvensional, libatan (entailment), dan IP. Dilihat dari keberadaan makna, baik pada implikatur konvensional, libatan, atau pun IP pada dasarnya sama-sama memiliki makna bawaan, tetapi, yang berbeda terletak pada (a) makna pada IP sangat ditentukan/bergantung pada konteks, (b) makna pada implikatur konvensional ditentukan oleh konvensi, dan (c) makna pada entailment ditentukan oleh proposisi.

2)      Dapat Dibatalkan
Makna tuturan berimplikatur percakapan dapat dibatalkan dengan kehadiran materi tambahan. Proses pembatalan dan materi tambahan dapat diamati pada contoh tuturan (8) berikut ini.
(8) A : “Pak, apakah Pak SBY jadi memberi bantuan gempa bumi di Bengkulu, waktu kunjungannya di Kabupaten Muko-muko kemarin?
             B :  “(1) Beliau masih meminta laporan yang lebih kongkret.”
                    “(2) Oh ya, sebagian bantuan telah diberikan Pak SBY secara langsung.”
Seumpamanya (A) adalah wartawan dan (B) adalah Gubernur Bengkulu, maka jawaban B (1) mengandung implikatur, bahwa Pak SBY belum memberikan bantuan gempa bumi di Bengkulu, karena masih menunggu laporan yang lebih kongkret, sedangkan pada B (2) menghapus implikatur tersebut.

3)      Tidak dapat Dilepaskan
Pada kriteria yang ketiga ini dinyatakan bahwa substansi proposisi yang sama pada konteks yang sama memunculkan IP yang sama. Dalam suatu bentuk yang diekspresikan, implikatur percakapan diikat pada makna dan tidak pada bentuk. Cruse (dalam Daimun, 2008) memberi contoh sebagai berikut.
(9)    John tidak berjalan sampai ke pelang jalan.
(10)  John mencoba berjalan sampai ke pelang jalan.
(11) John berjalan sampai ke pelang jalan. 
Tuturan (9) mengimplikasikan (10), tetapi tuturan (11) dan tidak mengimplikasikan (10). Ini berarti, tuturan (10) hadir karena ada (9) yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan.

4)      Dapat Diperhitungkan
Implikatur percakapan dapat diperhitungkan dengan menggunakan prinsip-prinsip umum berbasis pada makna konvensional dan informasi kontekstual (Cruse dalam Daimun, 2008). Makna konvensional dapat diabaikan oleh penutur, ketika memaknai tuturan dengan konteksnya, tetapi ia dapat memaknainya. Misalnya, ada dua orang yang secara manasuka sutuju bahwa jika sewaktu-waktu salah satu diantara mereka mengatakan X, mereka akan memaknai Y. contohnya antara dua orang mahasiswa yang tidak dalam satu kost bahwa manakala salah seorang mengatakan  “Mas, ada teman wanitanya”. atau “Mas, ada tamu”. Sementara si-Mas menyadari bahwa dia tidak memakai baju. Respons atas tuturan khusus itu bersifat  bebas. Karena itu, jawaban tuturan tersebut bisa bersifat serius, sebagaimana tampak dalam respons B dalam (12), dan bisa dijawab dengan bercanda, seperti pada respons B dalam (13) berikut ini
(12) A : “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
        B : “Terima kasih, saya pakai baju dulu.”
(13) A: “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
        B: “Suruh tunggu sebentar, katakana padanya ‘Mas baru pulang dari angkasa luar.”
2.2 Jenis-jenis Implikatur
Grice membedakan implikatur menjadi dua macam, yakni implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional (konversasional). Implikatur konvensional mengacu pada implikasi makna langsung, dan implikatur konversasional mengacu pada implikasi makna tidak langsung. Implikasi konvensional lebih mudah menarik simpulan makna yang terkandung dalam tuturan, sedangkan dalam implikatur konversasional harus melibatkan fenomena lain, seperti prinsip kerjasama dan konteks tuturan yang melatari.
Penggunaan istilah implikatur konversasional berkembang dengan pemakaian istilah implikatur percakapan, dan juga silih berganti dengan istilah implikatur nonkonvensional. Makna yang terdapat pada implikatur percekapan merupakan suatu yang disarankan oleh Penutur. Makna yang disarankan penutur berbeda dari apa yang dimaksud secara harfiah. Bahkan Grice menyatakan bahwa implikatur percakapan diartikan sebagai makna tidak langsung yang ditimbulkan oleh apa yang dituturkan oleh Penutur. Suparno (Daimun, 2008) menyatakan bahwa implikatur dan termasuk implikatur percakapan adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam berkomunikasi antara penutur dengan mintra tutur sangat memungkinkan adanya wujud tuturan yang disampaikan berbeda dengan sesungguhnya.
Antara implikatur konvensional dan implikatur percakapan terdapat perbedaan dalam pemaknaanya. Agar lebih jelas perbedaan dalam pemaknaannya implikatur kenvensional dengan Implikatur percakapan, dapat memperhatikan contoh berikut ini.
(14)     Bu Guru : “Halizat, barangkali baknya sudah penuh?”
          Halizah  :  “Ya, Bu. Sebentar saya matikan.” 
(15)   Halizah : “Bu, masih ada orang.”
    Bu guru : “Ya, nanti saja!”
            Tuturan (14) “Halizah, barangkali baknya sudah penuh?” Walaupun tuturan (14) bermodus introgatif, namun sesuai dengan konteksnya, Bu guru secara tidak langsung menyuruh Halizah menutup keran, yang diduga baknya sudah penuh. Tuturan (15) “Bu, masih ada orang.” Berimplikasi bahwa keran belum dapat ditutup karena masih ada orang si dalam kamar mandi. Kedua contoh tersebut mengandung implikasi makna tidak langsung (IP). Sementara itu, jawaban Halizah pada (14) “ya, bu. Sebentar saya matikan.”, dan jawaban Bu guru pada (15) “Ya, nanti saja!” berimplikasi makna langsung. Tuturan Halizah pada (14) sebagai jawaban tuturan Bu guru pada (14). Pada tuturan itu Halizah berjanji untuk menutup keran air bak, yang diperkirakan baknya telah penuh. Tuturan Bu guru pada (15) “Ya, nanti saja!” juga sebagai tuturan yang bermakna langsung (konvensional), karena Bu guru memerintahkan Halizah menutup keran, setelah orang keluar dari kamar mandi.
            Selain itu, Grice juga mengembangkan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna tutur, dan implikasi dari suatu tuturan. Dalam teorinya Grice membedakan ada tiga macam implikatur, yakni implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selain itu, Grice juga membedakan dengan implikatur percakapan umum dan implikatur percakapan khusus. Sejalan dengan itu Yule (2006) membedakan implikatur menjadi implikatur percakapan umum, implikatur berskala, dan implikatur percakapan khusus.

2.3 Kegunaan Teori Implikatur
Menurut Levinson (Dalam Daimun, 2008), konsep  impllikatur memiliki empat kegunaan. Pertama, implikatur mampu memberi penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjelaskan yang kemudian dimasukkan ke dalam “keranjang-keranjang sampah pengecualian” oleh teori-teori gramatikal formal. Kedua, implikatur mampu memberikan penjelasan mengapa suatu tuturan, misalnya dalam bentuk pertanyaan tetapi bermakna perintah. Ketiga, implikatur dapat menyederhanakan deskripsi semantik perbedaan antarklausa. Keempat, implikatur dapat menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang komunikatif.
Senada dengan pendapat Levinson, Sumarsono (2010) berpendapat bahwa setidaknya ada empat kegunaan teori implikatur. Pertama, implikatur merupakan contoh betapa alamiah dan kekuatan penjelasan pemaknaan pragmatik atas gejala kebahasaan yang ada. Dalam hal itu kita melihat adanya inferensi, simpulan di luar bentuk lingual yang diujarkan, yang berada di luar tatanan bahasa. Karena itu, konsep implikatur menawarkan beberapa eksplanasi fungsional tentang fakta-fakta kebahasaan.
Sumbangan penting kedua dari pengertian implikatur ialah konsep ini memberikan penjelasan yang eksplisit mengenai bagaimana kemungkinannya memaknai lebih dari sekadar “apa yang sebenarnya diucapkan”, yaitu lebih dari sekadar apa yang diungkapkan secara harafiah. Maksudnya, implikatur percakapan itu, tidak sebagaimana ilmu semantik yang berbicara tentang syarat kebenaran (truth condition).
Contoh yang dapat diberikan adalah percakapan berikut.
(16)  A : “Jam berapa sekarang?”
         B : “Baru saja azan magrib.”
Jika kita mengikuti teori semantik, maka kalimat-kalimat dalam percakan pendek di atas itu setidak-tidaknya dapat diparafrasekan sebagai berikut.
(17)  A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya tentang waktu saat ini?”
         B : “Azan magrib itu terjadi sebelum saat Anda berbicara.”
Jelas, bagi penutur asli. Bahwa apa yang hendak dikomunikasikan dalam percakapan tadi juga mencakup lebih banyak informasi lagi, seperti kata-kata yang bercetak miring pada percakapan (18). (Namun, dalam penggunaan bahasa sehari-hari tidak ada orang yang berbicara seperti [17] itu, apalagi [18].)
(18)  A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya tentang waktu saat ini, sebagaiman yang ditunjukkan oleh jarum-jarum jam yang menunjukkan waktu sebenarnya?
           B :  “Tidak, tidak bisa, saya tidak tahu jam berapa tepatnya saat ini, tetapi saya dapat memberikan informasi dan dari informasi itu Anda dapat memperkirakan jam berapa sekarang, yaitu informasi tentang baru saja azas.”
Ketiga, konsep implikatur tampak berpengruh terhadap penyederhanaan baik pada struktur maupun isi deskripsi makna. Bandingkan ujaran berikut.
(19)  Seorang perawat membersihkan luka dan membalut luka itu dengan perban.
(20)     Surabaya ibukota Jawa Timur dan Denpasar ibukota Bali.
(21) Seorang perawat membalut luka itu dengan perban dan membersihkan luka itu.
(22)     Denpasar ibukota Bali dan Surabaya ibukota Jawa Timur.

Makna kata dan pada (19) dan (20) agak berbeda; pada (19) kata dan berarti ‘dan kemudian’ dan karena itu pembalikannya menjadi aneh (21). Tetapi pada (20) kata dan betul-betul bermakna menggabungkan dua peristiwa yang tidak bertuturan, sehingga pembalikan menjadi (22) sama sekali tidak berpengaruh terhadap makna semula. Dalam hal ini, teori semantik biasanya mempunyai satu dari dua pilihan analisis: (i) kata dan mempunyai dua makna, sehingga ambigu, atau (ii) makna kata-kata pendukung kalimat secara umum memang kabur dan dipengaruhi oleh lingkungan kolokasi (urutan). Maksudnya, pada (19) semantik tidak mampu melihat adanya penyederhanaan struktur, dengan mengurangi jumlah informasi atau penggunaan banyak kata, dan penyederhanaan makna, dengan hanya menggunakan dan  saja dan penutur dan petutur saling memahami.
Keempat, implikatur, atau konsep lain yang serupa, tampak esensial jika berbagai fakta dasar tentang bahasa diperhitungkan tersendiri. Dalam teori makna, partikel dalam bahasa inngris seperti well, anyway, by the way memerlukan penghususan makna; tetapi jika tuntutan itu kita penuhi, yang ditemukan adalah mekanisme pragmatik yang menghasilkan implikatur. Kata well, anyway, by the way tentunya tidak mempunyai makna leksikal. Hal ini seperti halnya dengan kata-kata huss, ssstt, ccckk tidaklah mempunyai makna leksikal, tetapi makna pragmatiknya pasti ada. Misalnya,
(23)  Anak : “Ma, Ma, kepala kakek kok botak ya Ma?”
         Ibu    :  “Huss!”
‘kata’ (atau bentuk lingual) huss dalam ujaran itu berfungsi memperingatkan, atau dapat dikatakan mempunyai implikatur ‘melarang’. Alih-alih si ibu berujar, “Jangan berkata begitu terhadap kakek, itu tidak sopan!”, dia cukup berujar “Huss!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar