Senin, 16 April 2012

Hakikat Wacana


Hakikat Wacana
Oleh I Putu Mas Dewantara


            Para ahli bahasa umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi (Fatimah Djajasudarma, 1994:2). Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai hakikat wacana berdasarkan tiga paradigma tentang analisis wacana, yaitu paradigma/pandangan formal (menonjolkan struktur), paradigma fungsional (menonjolkan penggunaan dalam konteks) dan paradigma formal dan fungsional (dialektik).  Terlebih dahulu marilah kita tinjau pengertian “wacana” secara umum dan membandingkannya dengan pengertian “teks” yang sering dianggap sama sekaligus dianggap berbeda oleh ahli-ahli bahasa.
            Ada beberapa pengertian tentang wacana. Hasan Alwi (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11), menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang beraturan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Sementara itu, Harimurti Kridalaksana (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana itu direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
            Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap (2009:12), wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan bersifat otonom, dapat berdiri sendiri. Berkat dukungan situasi komunikasinya, ia dapat dipahami, meskipun tidak merupakan suatu kalimat yang lengkap. Dengan demikian, pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal ini mempengaruhi makna wacana. Pada umumnya, wacana tersusun dari suatu struktur yang jelas. Wacana tidak mempunyai bentuk yang pasti, dapat terdiri dari satu kata saja, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga dapat terdiri dari beberapa buku bahkan juga satu bidang ilmu, misalnya wacana sastra, wacana politik, dan lain-lain.
Contoh:
            Meskipun hanya terdiri dari satu kata, tulisan toilet di pintu, sudah dapat dikatakan sebagai wacana, karena dengan bantuan pengujarannya (situasi komunikasinya), kata itu sudah komunikatif. Sudah membawakan pesan yang jelas. Demikian pula kata Masuk dan Keluar di atas sebuah pintu, sudah dapat dikatakan wacana.

            Itulah beberapa pendapat yang mewarnai pengertian “wacana”. Sekarang, marilah kita beralih ke pengertian “teks” yang berkaitan erat dengan pengertian “wacana”. Dalam obrolan sehari-hari, “teks” dan “wacana” dipahami secara terbatas, di satu sisi merujuk pada sesuatu yang tertulis (teks), sedangkan di sisi lain pada segala hal yang dituturkan (wacana), meskipun pemahaman ini sedikit dipertentangkan dalam literatur ilmiah (Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009). Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Gilian Brown dan George Yule (1996:6) bahwa teks adalah realisasi wacana, mereka mengangap teks sebagai rekaman verbal suatu tindak komunikasi. Terlepas dari pemahaman tersebut, kata “teks” sering dipandang sebagai tulisan yang panjang. Kata “teks” menghadirkan bayangan tentang buku, surat, atau surat kabar.
            Menurut Halliday dan Hasan  dalam bukunya Cohesion in English (dalam http://baikoeni.multiply.com/journal/item/135), sebuah teks terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Yang terbaik adalah memandang teks bukan sebagai satuan bentuk, melainkan sebagai satuan makna. Jadi teks memiliki hubungan dengan klausa atau kalimat bukan karena ukurannya, melainkan karena teks biasanya direalisasikan dalam bentuk kalimat. Kemudian, kedua ahli ini menyatakan bahwa panjang teks bisa seberapa saja. Karena teks bukan satuan heirarki gramatikal, maka teks tidak terikat pada kalimat sebagai satuannya dan bisa saja merupakan satuan yang lebih kecil.
            Sementara itu, di bukunya yang lain, yaitu Bahasa, Konteks dan Teks terjemahan Barori Tou, Halliday dan Hasan menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melakukan tugas-tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar.
            Kedua kutipan dari karya Halliday dan Hasan tersebut bila diperhatikan lebih seksama, kedua kutipan tersebut memiliki makna yang berbeda. Yang pertama beranggapan bahwa teks bisa lebih singkat dari kalimat. Sedangkat kutipan kedua menyatakan bahwa teks merupakan satuan yang lebih besar dari kalimat. Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap (2009:16), pengertian teks lebih sempit dari wacana karena teks dapat saja tidak memiliki kesatuan makna. Misalnya potongan artikel, dapat disebut teks, tetapi belum dapat disebut wacana. Marilah kita perhatikan contoh berikut.
a)      Dilarang berjualan di sini (di papan pengumuman)
b)      Wah, indah benar lukisan yang dibuat olehnya (dalam dialog)
c)      Awas ada anjing galak (tulisan di atas pintu pagar)
d)     Bunga itu kukirimkan padanya (dalam sebuah novel)

Di sini tampak bahwa semuanya (a,b,c, dan d) bisa disebut teks, tetapi hanya (a) dan (c) saja yang bisa disebut wacana, karena (b) dan (d) tidak menunjukkan satuan makna yang jelas. Bila diperhatikan, “nya” dalam kalimat (b) dan “ku” dan “nya” dalam kalimat (d) tidak memberi makna sepenuhnya. Meskipun demikian, ternyata banyak ahli yang menyamakan saja pengertian teks dan wacana. Seperti juga Halliday dan Hasan, de beaugrande dan Dressler juga menyamakan antara teks dan wacana.

1. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Formal
            Pandangan formal/formalis sama dengan istilah pandangan/paradigma strukturalis dari Hymes dan a priori grammar dari Hopper (Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009: 24). Definisi wacana klasik yang diturunkan dari asumsi kaum formalis adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa”. Mey (dalam Imron Rosidi, 2009) mengatakan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulis (Samsuri dalam Imron Rosidi, 2009). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah tata bahasa sebagai suatu sumberdaya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah itu ketika memang diperlakukan.
Tarigan (dalam Arifin) menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap, terbesar, dan tertinggi; diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan pada; lisan dan tulisan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dengan demikian pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang lengkap. Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea). Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan formal.
Pendapat Tarigan senada dengan pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa Wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki tatabahasa merupakan satuan tatabahasa tertinggi atau terbesar. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan hakikat wacana menurut pandangan formalis adalah:
1.    Satuan bahasa
2.    Terlengkap / terbsesar / tertinggi
3.    Mengatasi ayat / klausa
4.    Teratur / tersusun rapi / rasa koherensi (kepaduan)
5.    Rasa kohesi (kepautan)
6.    Lisan / tulisan

2.  Hakikat Wacana Berdasarkan pandangan fungsional
            Sebuah definisi yang berasal dari paradigma fungsionalis memandang wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan fungsional, yaitu peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Richard, 1995:3). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
            Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa sesuai dengan pandangan fungsionalisme pada umumnya: wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi tertentu yang diwujudkan. Hal itu tampak pada pendapat Searle (1969), Leech (1995), Sperber dan Wilson (1998) (dalam Arifin, 1998:30), dan Dardjowidjojo (2003) yang menyebutkan bahwa percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Meskipun keteraturan formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi fungsionalis tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan tersebut berfokus pada cara pola-pola pembicaraan ditata untuk digunakan dalam tujuan konteks tertentu dan / atau bagaimana pola-pola tersebut muncul dari penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan pada fungsi cenderung menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih pada humanistik untuk mereplikasi: meniru atau menggandakan tujuan atau kehendak para aktor sendiri (Schiffrin, 2007:41). Dengan demikian, ancangan-ancangan itu lebih mengandalkan pada cara ujaran disituasikan dalam konteks daripada karakteristik gramatikal dari ujaran sebagai kalimat.
     Pendekatan fungsional kurang baik dokumentasinya, bahkan usaha untuk memberi perangkat label yang umum pada fungsi-fungsi utama bahasa tidak  memudahkan analisis. Fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi yang berfungsi secara interaksional (Gillian Brown dan George Yule, 1996 : 1).   
      Wacana lisan sangat mudah dan banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Wacana lisan terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Keduanya berpadu menjadi satu membangun sebuah wacana. Ketika seorang berbicara, bagian-bagian tubuh seperti tangan, kepala mata dan bahkan kaki akan bergerak mengikuti nada pembicaraan dan situasi psikologisnya dalam bertutur. Masing-masing merupakan bagian yang tidak dari bentuk komunikasi. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa wacana adalah penggunaan bahasa dalam bentuk nyata.

3. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Dialektik
      Kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur). Schiffrin (2007:53-54) menyatakan bahwa wacana muncul tidak sebagai sekumpulan unit-unit struktur bahasa yang dikontekstualkan tetapi sebagai sekumpulan unit-unit pengunaan bahasa yang dikontekstualkankan.
            (Edmonson, 1981 : 4, dalam Arifin)  mengemukakan bahwa wacana adalah satu peristiwa terstruktur yang diwujudkan melalui prilaku linguistik (bahasa). Kehidupan sehari-hari manusia senantiasa diwarnai oleh berbagai aktivitas dan peristiwa baik bersifat rutin maupun insidental. Ngaben (upacara pembakaran mayat di Bali), Tiwah (bagian dari upacara pembakaran mayat pada masyarakat Dayak nganju di Kalimantan. Batagak pangulu (Minangkabau), Mengket  Rumah (upacara menaiki rumah adat di Batak karo adalah beberapa contoh peristiwa terstruktur dalam kehidupan manusia. Ini dalam bentuk wacana yang perwujudannya dapat diamati dalam bentuk teks (Oktavianus, 2006: 29). 
Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh mengenai peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana dapat dikatakan sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan (menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya) dan membentuk satu kesatuan makna. Purwo (1993: 4) mengartikan wacana sebagai peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dengan penerima. Sedangkan Schiffrin (1994 : 18, dalam Arifin) mengartikan wacana sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang digunakan sesuai dengan konteks.
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua urutan-urutan kata dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk menentukan sekelompok kalimat dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat dan klausa yang memenuhi syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambungan serta mempunyai awal maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.  
Meskipun cara pandangan terhadap suatu wacana berbeda-beda, bahasa masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada dasarnya adalah menganalisis penggunaan bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga mencakup aspek penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang dapat meyakinkan sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan, proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara pandang tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana, kemudian munculah analisis wacana (Brown dan Yule, 1996:26). Sesuai dengan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka pembahasan wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan dan struktur bahasa dalam wacana (Kartomiharjo, 1992 : 1, dalam Arifin ).
Struktur paparan disebut juga struktur ujaran, baik lisan maupun tulis. Pernyataan ini mengacu pada pengertian wacana sebagai suatu peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dan penerima (Purwo, 1993:4). Brown dan Yule (1996:190) menyebutkan struktur paparan sebagai struktur teks, yaitu rekaman verbal dari sebuah peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulis. Kohesi dan koherensi merupakan unsur-unsur yang dikaji dalam struktur paparan (Kartomiharjo, 1992: 15, dalam Arifin).  
Di dalam suatu wacana terdapat gagasan, yakni substansi isi wacana. Wujud gagasan berupa pengetahuan, pendapat, emosi dan sebagainya, sedangkan cakupan gagasan dapat berupa isu-isu hangat, pendidikan, agama, politik, dan sebagainya (Wahab, 1994 : 4). Penggunaan bahasa secara jelas harus tetap diperhatikan karena pesan akan dapat dipahami dengan baik apabila penyampaian pesan tersebut sesuai dengan pendengar dan situasi yang menyertainya. Oleh sebab itu, proposisi, argument, dan penalaran merupakan aspek-aspek yang biasa dibahas ketika mengkaji struktur gagasan dalam wacana.
Pembahasan Struktur bahasa dalam suatu wacana meliputi diksi, kalimat dan gaya bahasa. Pembahasan diksi dalam suatu wacana tidak hanya berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, tetapi juga mengenai tidak diterimanya suatu kata. Pembahasan kalimat dalam suatu wacana dapat dipelajari dari segi jenis pemakaian (pernyataan, pertanyaan, dsb.), dari segi struktur (sederhana, majemuk, dsb.), dan dari segi maknanya. Adapun pembahasan gaya bahasa dalam suatu wacana meliputi kegiatan pemilihan bentuk ujaran, yaitu ujaran yang mampu mengungkapkan pesan dan penalaran yang baik dengan mengandalkan kekuatan bahasa. Selain itu, pembahasan gaya bahasa juga berhubungan dengan kecocokan pemilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan dalam suatu wacana (Keraf,1985:24; Samsuri, 1988, dalam Arifin). 
Masih terkait dengan penggunaan bahasa dalam suatu wacana, Brown dan Yule (1996:7) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam suatu dapat berupa ragam lisan dan tulisan. Bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai ragam tulis apabila ketepatan ucapan dilakukan dengan penggunaan huruf-huruf secara benar serta mempertahankan aspek penyusunan penahapan. Sedangkan bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai ragam lisan apabila pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan rekaman yang dilanjutkan dengan membuat transkripsi dan dibubuhi catatan-catatan sesuai dengan kepentingan. Oleh karena itu, ragam bahasa tulis lebih gramatikal daripada ragam bahasa lisan karena keberadaannya direncanakan sebelumnya dan ada waktu diperbaiki lagi. Sebaliknya bahasa lisan muncul secara serta merta dan tidak dapat diperbaiki lagi (Parera, 1987:7 dalam Arifin).
          Maka dari itu, perbedaan yang ada yaitu dalam  paham fungsional menekankan pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks dan paham formal menekankan pada pola-pola yang diperluas. Menengahi kedua perbedaan pandangan tersebut, muncul kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun berdasarkan gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan pada saat menyusun suatu ujaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar