Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Lain
Oleh I Putu Mas Dewantara
1. Hakikat Pragmatik
Banyak pendapat yang disampaikan para
ahli tentang pragmatik. Jauh sebelum pragmatik berkembang, seorang filosof dan
ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep
abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep (pengertian atau maksud) dengan
tanda. Batasan ini terlalu luas karena upaya memahami tanda yang bukan berupa
bahasa juga dapat digolongkan ke dalam pragmatik. Sementara itu, Charles Morris
(1938) secara jelas mulai menunjukkan ke arah pengertian yang jelas dengan melihat
pragmatik bersama dengan sintaksis dan semantik sebagai cabang semiotika (ilmu
tanda) khususnya yang mempelajari tanda verbal atau bahasa. Dalam hal ini
pragmatik dikatakan sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan antar kata yang
mempunyai maksud yang bervariasi dalam penggunaannya dalam suatu
interaksi.
Pandangan Morris itu yang selanjutnya
menjadi rujukan dalam perkembangan pragmatik. Hal itu dapat dilihat pada
pandangan Levinson (1986) yang mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian
hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengartian bahasa.
Dalam batasan ini berarti untuk memahami maksud pemakaian bahasa kita dituntut
memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Sejalan dengan
pendapat tersebut, secara komprehensif, Yule menyebutkan 4 definisi pragmatik,
yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji makna yang dikomunikasikan atau
terkomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi
menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan
tertentu.
Terkait dengan bidang pengajaran,
Levinson (1986) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan
pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi
kalimat- kalimat itu. Pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal yakni :
1.
Pragmatik sebagai sesuatu yang
diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang
kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi dalam penggunaan
bahasa.
2.
Pragmatik sebagai sesuatu yang
mewarnai tindakan mengajar, pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek- aspek
proses komunikatif.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pragmatik
sebagai ilmu yang mempelajari bahasa dalam konteks yang lebih luas seperti
disampaikan Noss dan Lamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok,
yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan.
Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang
menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan
faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa
yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam
konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat
disimpulkan bahwa pragmatik pada hakikatnya mengarah pada perwujudan kemampuan
pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu
dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara
tepat.
2 Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Bahasa Lain
2.1
Hubungan Pragmatik dengan Sintaksis
Kajian linguistik struktural (atau
disebut linguistik saja) lebih menekankan segi struktur dan bentuk bahasa
ketimbang makna. Linguistik struktural, khususnya sintaksis, bergerak di
wilayah bahasa, sedangkan pragmatik bergerak di wilayah tutur. Satuan kajian
linguistik, dan juga semantik, adalah kalimat (sentence), sedangkan
satuan kajian pragmatik ialah ujaran (utterance). Bisa jadi, pragmatik
dan linguistik atau sintaksis mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu kalimat,
tetapi sudut pandangnya berbeda. Dalam pelajaran sintaksis, misalnya
kalimat ”Bisa mengantar surat ini?”
dikaji, maka kalimat itu dipandang sebagai kalimat yang berdiri sendiri, lepas
dari konteksnya. Kalimat yang dijadikan contoh biasanya diambilkan kalimat yang
”baku”, sesuai dengan kaidah tata bahasanya, baik strukturnya maupun pilihan
kata-katanya. Karena itu tidak mungkin dicontohkan kalimat seperti, ”Bisa
antar ini surat?”
Yang pertama dilihat oleh sintaksis
adalah bentuk atau form-nya (terdiri dari kata ini dan kata itu), lalu
dikatakan bahwa bentuknya adalah kalimat tanya, yang strukturnya yang berbeda
dengan kalimat berita, subjeknya tidak disebutkan sehingga menjadi kalimat yang
tidak lengkap, dan seterusnya. Kalau kita membicarakan makna atau semantiknya,
maka dikatakan bahwa kalimat itu bermakna ”(seoran penutur) menyatakan kepada
seseorang apakah orang itu mampu (atau tidak mampu) melakukan pekerjaan
mengantarkan surat ”. Analisis linguistik atau sintaksis atau gramatikal
jadinya bersifat struktural dan formal.
Pragmatik menganalisis fungsi kalimat
dalam komunikasi, dan ”kalimat” itu harus kita anggap sebagai ”ujaran”. Dari
segi fungsi, kalimat yang dicontohkan di atas sebenarnya bukan bertanya
melainkan menyuruh, meskipun bentuknya kalimat tanya (interogatif).
Untuk fungsi perintah (imperatif) atau suruhan orang bisa memakai kalimat
pertama atau kedua bergantung kepada konteksnya, misalnya, akan ditemukan siapa
yang menganjurkan dan kepada siapa kalimat itu diujarkan. Bagi analisisnya
sintaksis, konteks penggunaan kalimat seperti yang dipaparkan tadi tidak pernah
diperhatikan. Perlu dicatat bahwa pragmatik tidak hanya mengkaji ujaran
(kalimat) melainkan lebih dari itu. Tentu saja pragmatik tetap masih harus
memperhatikan bentuk dan struktur kalimat, tetapi fokus kajianya tidak terletak
di situ. Yang dikaji pragmatik bukan bentuk (struktur) dan makna kalimat tetapi
fungsi dan maksud ujaran dalam suatu konteks tertentu.
2.2 Hubungan Pragmatik dan Semantik
Semantik adalah
kajian tentang makna, apakah itu makna kata (biasa disebut semantik leksikal),
makna frasa (disebut semantik frasa) atau kalimat (disebut semantik sintaksis).
Persinggungannya dengan pragmatik sudah terlihat pada penjelasan semiotik
Morris (1.1), khususnya menyangkut semantik kalimat. Tetapi batas keduanya
terasa tidak begitu jelas, karena keduanya sama-sama menjelajahi makna.
Contoh Kalimat
1.
Kalimat
Ambigu
a.
Menerbangkan
pesawat itu bisa berbahaya.
b.
Menerbangkan
pesawat adalah tindakan berbahaya
c.
Pesawat
yang terbang itu berbahaya
Kalimat (b) dan (c) tidak ambigu, tetepi kalimat (a)
terasa ambigu dan maknanya bisa sama dengan (b) dan (c).
2.
Kalimat
(d) dan (e) berikut dapat dikaitkan bersinonim:
d.
Saya
menerbangkan pesawat
e.
Pesawat
itu saya terbangkan
Kalimat aktif
dan pasif biasanya memang bersinonim. Kalaupun linguistik struktural, atau
sintesis, membahasnya, maka ketertarikannya bukan terletak kepada kesinoniman
melainkan kepada perbedaan struktur atau bentuknya. Kalaupun semantik membahas
kesinoniman itu, maka yang dibahas kesinoniman dari makna lugasnya. Tetapi,
semantik pasti tidak mempersoalkan, misalnya mengapa penutur menggunakan kata saya
dan bukan aku atau hamba.
Pragmatik
tidak mengenal adanya pengertian ambigu atau taksa dan sinonim. Bagi pragmatik,
tidak ada kalimat yang ambigu, tidak ada dua kalimat yang bersinonim, kalau
(dan karena) tiap kalimat itu selalu
harus dikaitkan dengan konteks.
Kalimat (a) tidak ambigu kalau dikaitkan dengan konteks
dalam percakapan berikut ini.
A: “Kamu kan baru belajar teori bagaimana caranya menerbangkan pesawat terbang”
B: “Tapi saya ingin mencobanya, Pak pesawat sudah dites. Bagus”
A:
“Saya tahu kondisimu. Kau lupa
satu hal. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya. Pesawatnya memang tidak
membahayakan kamu, tetapi kamu justru membahayakan pesawat”.
Bandingkan pula konteks cakupan dari masing-masing
kalimat (d) dan (e) berikut ini.
A: “Apa yang kau lakukan besok?
B: “Saya menerbangkan pesawat.”
Dan
H: “Kamu apakan pesawat itu? Apa yang terjadi?”
I:
“Pesawat itu saya terbangkan.
Baru beberapa menit, baling-balingnya terasa kurang bebas, lalu saya turunkan.”
Begitu pula bagi semantik, (f) dan (g) dianggap sinonim:
(f) “ Kau apakan pesawat itu?”
(g) “ Saudara apakan pesawat itu?”
Analisis
kajian pragmatik dari kedua kalimat di atas maknanya memang sama kata saudara
dan kau dalam kedua kalimat itu juga sama maknanya. Namun, masih tetap
ada bedanya. Pragmatik akan memperhatikan juga “siapa mengujarkan kalimat itu”
dan” kepada siapa ujarkan itu digunakan”. Artinya, pragmatik memperhitungkan
bukan hanya kalimat itu saja melainkan juga penutur dan petuturnya (yaitu lawan
tuturan) karena keduanya termasuk unsur konteks.
Pragmatik
mungkin mengambil simpulan bahwa kalimat (f)
diujarkan oleh seseorang petutur yang cukup akrab dengan petuturnya,
atau posisi petutur lebih tinggi daripada petuturnya. Tetapi, dalam kalimat (g)
hubungan petutur dan petutur agak formal (resmi), misalnya antar instruktur.
Jika ada
orang mengatakan bahwa semantik itu mengkaji makna sedangkan pragmatik mengkaji
maksud, bahwa ada yang menyebut pragmatik sebagai ilmu maksud. Maksud itu dapat
ditentukan berdasarkan situasi ketika ujaran itu terjadi. Berdasarkan hal
itulah, maka Leech memberi batasan pragmatik sebagai “studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi tutur”.
Ada beberapa petikan pendapat Leech (1983)
yang mengajukan beberapa patokan sebagai berikut ini.
1.
Representasi
semantik (atau bentuk logika) suatu kalimat berbeda dengan interpretasi
pragmatiknya
Maksudnya,
dipandang dari sudut kaidah tatabahasa, sebagai kalimat merupakan bentuk
logika, dan bentuk ini merepresentasikan (mewakili) makna yang dikandungnya.
Makna, sebagaimana yang diatur oleh kaidah tatabahasa itu tidak (selalu) sama
dengan tafsiran (interpretasi) pragmatiknya.
Contoh:
Secara tatabahasa kalimat “Kamu dari Tabanan, ya?”kira-kira
bermakna, apakah kamu berasal dari desa Tabanan. Tetapi, menurut pragmatik,
kalimat itu dapat ditafsirkan berdasarkan dari makna tersebut,disesuaikan
dengan maksud penutur (pembicara). Tafsiran itu dapat berupa petutur (A) dan
(B) tahu betul bahwa desa Tabanan adalah desa yang kering kerontang dan
masyarakatnya amat miskin, siswa-siswa yang berasal dari desa itu sering
diolok-olok sebagai orang yang “ tidak cakap” tidak pandai, dsb. Karena itu
kalimat yang ditafsirkan A tadi ditafsirkan oleh B sebagai sindiran. A, menurut
pikiran B, pasti menyinir B. Si A bukan sekedar bertanya “Apakah kamu
berasal dari Tabanan?”melainkan juga menyindir, “Pantas kamu bodoh.”
2.
Semantik
diatur oleh kaidah tatabahasa (= bersifat gramatikal), pragmatik dikendalikan
oleh prinsip(=retoris)
Semantik
atau makna dari sebuah kalimat ditentukan oleh kaidah tatabahasa.
Contoh:
Kalimat aktif “Menteri melaporkan bencana alam itu
kepada Presiden.”Jika ditafsirkan harus berbentuk “bencana alam itu
dilaporkan Menteri kepada Presiden.” Itu kaidah yang harus dituruti.
Surat kabar juga bisa membuat judul berita secara
ringkas, dengan prinsip “ekonomi” dan prinsip retorik (dalam memilih
kata-kata). Dengan prinsip retorik itu wartawan dapat menulis kalimat-kalimat
pasif tanpa harus melanggar kaidah.
Kalimat pasif tadi dapat diringkas menjadi ”Bencana
alam itu dilaporkan kepada Presiden” Tetapi, dapat saja berbentuk lain
(pasif atau bukan) “Presiden laporkan tentang bencana alam”, “Bencana alam
disampaikan ke istana”, ”Menteri melapor ke Presiden” dll. Makna
kalimat-kalimat tersebut, menurut tatabahasa kira-kira sama, tetapi dari segi
pragmatik, masing-masing mempunyai nilai berita yang berbeda-beda ada
yang mementingkan Presiden (karena itu diletakkan di depan kalimat), ada yang
mementingkan bencana alam,dll.
3.
Kaidah-kaidah
tatabahasa pada dasarnya bersifat konvensional; prinsip-prinsip pragmatik pada
dasarnya bersifat nonkovensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan
percakapan.
Kaidah
tatabahasa, termasuk kaidah semantik, bersifat konvensional, artinya
berdasarkan kesepakatan seluruh pengguna bahasa sejak masa lampau ketika
masyarakat bahasa itu menentukan atau membangun bahasanya.
Contoh:
Manusia yang dapat melahirkan disebut perempuan, tanpa
ada penjelasan mengapa demikian, atau apa motivasinya sehingga masyarakat
membentuk kata itu. (Berbeda dengan kata pemain, yang secara morfologis
dimotivasi oleh penggabungan antara pe + main; kata mobil, yang bermakna
‘bergerak’ dipakai untuk mengacu benda yang dapat bergerak karena dimotivasi
secara semantis). Oleh Leech, itu disebut kekonvensionalan mutlak. Di
samping itu ada kekonvensionalan termotivasi, yaitu kekonvensionalan yang
menunjukkan adanya sedikit motivasi. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan seperti “Syukur!”
yang bermakna serupa dengan “Syukur kamu berhasil!” ditujukan bagi
orang yang berhasil. Ini konvensional. Tidak mungkin ungkapan itu untuk mereka
yang tidak berhasil. Jadi makna kalimat itu dikatakan konvensional jika makna
tersebut dapat disimpulkan oleh kaidah tatabahasa. Namun, karena alasan-alasan
tertentu, atau karena adanya motivasi tertentu, maka dapat saja muncul ujaran,
seperti “Syukur kamu tidak terpilih jadi lurah!”. Ini bukan fakta
semantik, sebagaimana dicontohkan di atas, melainkan fakta pragmatik. Ini juga
nonkonvensional karena ungkapan syukur ditujukan kepada orang yang tidak
berhasil.
4.
Pragmatik
mengaitkan makna (atau arti gramatikal) suatu ujaran dengan daya pragmatik
ujaran tersebut. Sudah kita maklumi bahwa, menurut kaidah, maka sebuah kalimat
dapat direpresentasikan atau dijelaskan menurut bentuk formalnya. Pragmatik
harus menjelaskan kaitan antara kedua makna, yaitu antara makna sebenarnya
dengan apa yang disebut daya yang disebut daya ilokusi. Daya itu harus
dijelaskan melalui implikatur. Untuk sementara dapat dikaitkan secara
mudah, sebagaimana dicontohkan pada patokan, bahwa implikatur itu adalah maksud
yang ada di balik bentuk bahasa yang diujarkan. Sebagai ujaran yang diujarkan
oleh penutur (N) bisa jadi terasa mengandung “beberapa tafsiran” di mata
pendengar atau petutur (P).
5.
Korespondensi-korespondensi
gramatikal ditentukan oleh (ditunjukkan dengan) kaidah-kaidah pemetaan
(pemolaan); koresponden-koresponden pragmatik ditujukan dengan masalah-masalah
dan pemecahannya. Kaidah gramatika suatu bahasa biasanya sudah ”dipetakan”
secara pasti sehingga suatu penyimpangan yang dilakukan oleh N segera dapat
diketahui.
Misalnya
Kalimat harus mempunyai subjek (yang terletak di depan)
yang berkoresprodensi dengan predikat. Karena itu, dalam bahasa Indonesia kita
dapat berujar “Wah, hujan”. Begitu juga dalam bahasa Inggris. Begitu pula
korespondensi atau hubungan antara makna dan bunyi jika bunyinya begini
maknanya begitu atau jika ingin makna demikian, maka bunyinya harus demikian.
Korespondensi pragmatik ditujukan dengan masalah, yaitu
masalah antara N dan T, berikut pemecahannya. Menurut Leech bagi N
masalahnya ialah perencanaan jika saya ingin agar T melakukan atau tidak
melakukan tindak X, apa yang harus saya ujarkan sehingga tujuan atau maksud
saya berhasil. Dalam keadaan seperti itu, N juga berpikir kata-kata apa yang
saya pilih, bentuk kalimat apa, panjang pendeknya seperti apa,dst. Sebaliknya,
bagi T, masalahnya ialah masalah interpretasi: seandainya N mengujarkan
ujaran U, apakah alasan N yang paling masuk akal untuk mengucapkan U. Masalah
yang harus dipecahkan oleh T ialah masalah komunikasi apakah yang sedang
dipecahkan oleh N ketika N mengucapkan U.
2.3 Hubungan Pragmatik
dengan Sosiolinguistik
Dari sejumlah kelahirannya,
sosiolinguistik lebih dahulu mapan, sekitar 1960, dibandingkan dengan
pragmatik. Sosiolinguistik ialah kajian bahasa yang dikaitkan dengan faktor-faktor
atau gejala-gejala sosial dari penggunaan bahasa. Dari segi semangat, kedua
kajian itu sama, yakni sama-sama menjadi pendobrak lingustik struktural yang
dirumuskan oleh Chomsky. Teori Chomsky, sebagaimana dikatakan di depan, tetap
dipandang berwatak struktural karena dia juga berbicara tentang struktur
kalimat. Hanya saja, teori linguistik ini mengabstrakkan kalimat (menjadi
rumus-rumus dalam benak manusia). Data kajiannya berupa kalimat yang diidealkan,
artinya kalimat yang dianalisis dipersyaratkan harus sempurna, bebas dan
kesalahan gramatika (sebagaimana yang dikuasai oleh orang dewasa). Semua
kalimat yang terujarkan, apa pun bentuknya, dapat dikembalikan kepada satu
rumusan struktur kalimat, yakni FB + FK. Semua bahasa dianggap mempunyai
kalimat dengan struktur seperti itu. Penghomogenan inilah yang sangat ditentang
oleh para pakar bahasa, seperti Dell Hymes, yang memandang bahasa bukan sekedar
sebagai produk mental (sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky), melainkan juga
sebagai produk sosial, sebagai alat komunikasi sosial, dan memandang bahasa itu
hakikatnya heterogen, beragam, bervariasi, karena penggunaan dan
penggunaan bahasa juga beragam. Bagi sosiolinguistik, tidak ada bahasa yang monolitik,
yang tunggal, melainkan bervariasi, bahkan sosiolinguistik itu justru
muncul karena adanya variasi atau keragaman bahasa. Bahasa A beragam secara
geografis karena sekelompok penutur bahasa itu tinggal di daerah X dan
sekelompok lainnya di daerah Y. Bahasa A itu beragam karena secara sosial
penuturnya berbeda-beda sesuai dengan status sosialnya (sehingga ada ragam
bahasa pengusaha dan rakyat jelata), jenis kealaminnya (sehingga ada ragam
bahasa wanita dan ragam bahasa pria), atau profesi atau lapangan hidupnya (sehingga
ada ragam bahasa petani, ragam bahasa pedagang, buruh, dsb.).
Bahkan tiap-tiap individu penutur
memiliki khasanah ragam tutur atau gaya tutur yang bermacam-macam untuk
berbagai maksud dan tujuan; misalnya, untuk berkirim surat secara pribadi,
untuk berpidato, berbicara dengan anggota keluarga, dengan pejabat, dsb. Dalam
ragam tutur itulah dirasakan dekatnya hubungan antara sosiolinguistik dan
pragmatik. Kedekatan hubungan itu juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan
budaya pengguna bahasa. Kita tahu bahwa sosiolinguistik tidak dapat lepas dari
budaya masyarakat pengguna bahasa begitu pula pragmatik. Pragmatik misalnya,
mengkaji ihwal sopan santun dalam bertutur. Kita dapat menyusun sekian banyak
ujaran mulai dari yang paling sopan. Tetapi, urutan itu tentu tidak sama dari
bangsa ke bangsa dan dari suku ke suku, karena hal itu berkaitan dengan segi
budaya.
Pragmatik sendiri menentang teori
Chomsky karena dia melepaskan konteks dari kalimat ujaran, padahal kalimat
(dalam arti ”ujaran”) itu ada karena digunakan dalam suatu komunikasi, dalam
suatu situasi tutur, seperti pesta, upacara keagamaan, obrolan di tempat
kerja, sidang pengadilan, dsb. Dalam situasi tutur seperti pesta perkawinan,
misalnya, terjadi sejumlah peristiwa tutur, seperti ada sambutan,
percakapan, dsb. Tutur semacam itu tentu melibatkan penutur, petutur, topik,
lokal, suasana, dsb. Komponen-komponen ini berpengaruh terhadap bentuk bahasa
apa yang digunakan. Dalam hal semacam itu sosiolinguistik juga ikut
berkepentingan untuk mengkaji.
Dalam batas tertentu objek kajian
sosiolinguistik dan pragmatik memang sama. Misalnya, percakapan. Dalam sebuah
percakapan antara penutur (A) dan petutur (B) tentang topik harga BBM di tempat
kerja, mungkin keduanya menggunakan bahasa daerah; tetapi begitu datang C
percakapan berubah menggunakan bahasa Indonesia karena C tidak mampu
berbahasa daerah; suasana yang tadinya akrab berubah menjadi agak formal.
Sosiolinguistik mungkin melihat perubahan dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia mempunyai makna sosial tertentu sebagaimana kemungkinan tadi, yakni
mengubah suasana akrab menjadi suasana lebih formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar