Senin, 16 April 2012

Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Lain

Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Lain
Oleh I Putu Mas Dewantara


1. Hakikat Pragmatik
Banyak pendapat yang disampaikan para ahli tentang pragmatik. Jauh sebelum pragmatik berkembang, seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep (pengertian atau maksud) dengan tanda. Batasan ini terlalu luas karena upaya memahami tanda yang bukan berupa bahasa juga dapat digolongkan ke dalam pragmatik. Sementara itu, Charles Morris (1938) secara jelas mulai menunjukkan ke arah pengertian yang jelas dengan melihat pragmatik bersama dengan sintaksis dan semantik sebagai cabang semiotika (ilmu tanda) khususnya yang mempelajari tanda verbal atau bahasa. Dalam hal ini pragmatik dikatakan sebagai ilmu yang  mempelajari hubungan antar kata yang  mempunyai maksud yang bervariasi dalam penggunaannya dalam suatu interaksi. 
Pandangan Morris itu yang selanjutnya menjadi rujukan dalam perkembangan pragmatik. Hal itu dapat dilihat pada pandangan Levinson (1986) yang mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengartian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami maksud pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, secara komprehensif, Yule menyebutkan 4 definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Terkait dengan bidang pengajaran, Levinson (1986) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat- kalimat itu. Pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal yakni :
1.      Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi dalam penggunaan bahasa.
2.      Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar, pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek- aspek proses komunikatif.
 Dalam perkembangan lebih lanjut, pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa dalam konteks yang lebih luas seperti disampaikan Noss dan Lamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakikatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.

2 Hubungan Pragmatik dengan Ilmu Bahasa Lain
2.1 Hubungan Pragmatik dengan Sintaksis
Kajian linguistik struktural (atau disebut linguistik saja) lebih menekankan segi struktur dan bentuk bahasa ketimbang makna. Linguistik struktural, khususnya sintaksis, bergerak di wilayah bahasa, sedangkan pragmatik bergerak di wilayah tutur. Satuan kajian linguistik, dan juga semantik, adalah kalimat (sentence), sedangkan satuan kajian pragmatik ialah ujaran (utterance). Bisa jadi, pragmatik dan linguistik atau sintaksis mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu kalimat, tetapi sudut pandangnya berbeda. Dalam pelajaran sintaksis, misalnya kalimat  ”Bisa mengantar surat ini?” dikaji, maka kalimat itu dipandang sebagai kalimat yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya. Kalimat yang dijadikan contoh biasanya diambilkan kalimat yang ”baku”, sesuai dengan kaidah tata bahasanya, baik strukturnya maupun pilihan kata-katanya. Karena itu tidak mungkin dicontohkan kalimat seperti, ”Bisa antar ini surat?
Yang pertama dilihat oleh sintaksis adalah bentuk atau form-nya (terdiri dari kata ini dan kata itu), lalu dikatakan bahwa bentuknya adalah kalimat tanya, yang strukturnya yang berbeda dengan kalimat berita, subjeknya tidak disebutkan sehingga menjadi kalimat yang tidak lengkap, dan seterusnya. Kalau kita membicarakan makna atau semantiknya, maka dikatakan bahwa kalimat itu bermakna ”(seoran penutur) menyatakan kepada seseorang apakah orang itu mampu (atau tidak mampu) melakukan pekerjaan mengantarkan surat ”. Analisis linguistik atau sintaksis atau gramatikal jadinya bersifat struktural dan formal.
Pragmatik menganalisis fungsi kalimat dalam komunikasi, dan ”kalimat” itu harus kita anggap sebagai ”ujaran”. Dari segi fungsi, kalimat yang dicontohkan di atas sebenarnya bukan bertanya melainkan menyuruh, meskipun bentuknya kalimat tanya (interogatif). Untuk fungsi perintah (imperatif) atau suruhan orang bisa memakai kalimat pertama atau kedua bergantung kepada konteksnya, misalnya, akan ditemukan siapa yang menganjurkan dan kepada siapa kalimat itu diujarkan. Bagi analisisnya sintaksis, konteks penggunaan kalimat seperti yang dipaparkan tadi tidak pernah diperhatikan. Perlu dicatat bahwa pragmatik tidak hanya mengkaji ujaran (kalimat) melainkan lebih dari itu. Tentu saja pragmatik tetap masih harus memperhatikan bentuk dan struktur kalimat, tetapi fokus kajianya tidak terletak di situ. Yang dikaji pragmatik bukan bentuk (struktur) dan makna kalimat tetapi fungsi dan maksud ujaran dalam suatu konteks tertentu.

2.2 Hubungan Pragmatik dan Semantik
       Semantik adalah kajian tentang makna, apakah itu makna kata (biasa disebut semantik leksikal), makna frasa (disebut semantik frasa) atau kalimat (disebut semantik sintaksis). Persinggungannya dengan pragmatik sudah terlihat pada penjelasan semiotik Morris (1.1), khususnya menyangkut semantik kalimat. Tetapi batas keduanya terasa tidak begitu jelas, karena keduanya sama-sama menjelajahi makna.

Contoh Kalimat

1.      Kalimat Ambigu
a.       Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya.
b.      Menerbangkan pesawat adalah tindakan berbahaya
c.       Pesawat yang terbang itu berbahaya
Kalimat (b) dan (c) tidak ambigu, tetepi kalimat (a) terasa ambigu dan maknanya bisa sama dengan (b) dan (c).
2.      Kalimat (d) dan (e) berikut dapat dikaitkan bersinonim:
d.      Saya menerbangkan pesawat
e.       Pesawat itu saya terbangkan
Kalimat aktif dan pasif biasanya memang bersinonim. Kalaupun linguistik struktural, atau sintesis, membahasnya, maka ketertarikannya bukan terletak kepada kesinoniman melainkan kepada perbedaan struktur atau bentuknya. Kalaupun semantik membahas kesinoniman itu, maka yang dibahas kesinoniman dari makna lugasnya. Tetapi, semantik pasti tidak mempersoalkan, misalnya mengapa penutur menggunakan kata saya dan bukan aku atau hamba.
Pragmatik tidak mengenal adanya pengertian ambigu atau taksa dan sinonim. Bagi pragmatik, tidak ada kalimat yang ambigu, tidak ada dua kalimat yang bersinonim, kalau (dan karena)  tiap kalimat itu selalu harus dikaitkan dengan konteks.
Kalimat (a) tidak ambigu kalau dikaitkan dengan konteks dalam percakapan berikut ini.
A:Kamu kan baru belajar teori bagaimana caranya menerbangkan pesawat terbang”
B:Tapi saya ingin mencobanya, Pak pesawat sudah dites. Bagus”
A:Saya tahu kondisimu. Kau lupa satu hal. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya. Pesawatnya memang tidak membahayakan kamu, tetapi kamu justru membahayakan pesawat”.

Bandingkan pula konteks cakupan dari masing-masing kalimat (d) dan (e) berikut ini.
A:Apa yang kau lakukan besok?
B:Saya menerbangkan pesawat.”
Dan
H:Kamu apakan pesawat itu? Apa yang terjadi?
I:Pesawat itu saya terbangkan. Baru beberapa menit, baling-balingnya terasa kurang bebas, lalu saya turunkan.”
Begitu pula bagi semantik, (f) dan (g) dianggap sinonim:
(f) “ Kau apakan pesawat itu?”
(g) “ Saudara apakan pesawat itu?”
       Analisis kajian pragmatik dari kedua kalimat di atas maknanya memang sama kata saudara dan kau dalam kedua kalimat itu juga sama maknanya. Namun, masih tetap ada bedanya. Pragmatik akan memperhatikan juga “siapa mengujarkan kalimat itu” dan” kepada siapa ujarkan itu digunakan”. Artinya, pragmatik memperhitungkan bukan hanya kalimat itu saja melainkan juga penutur dan petuturnya (yaitu lawan tuturan) karena keduanya termasuk unsur konteks.
Pragmatik mungkin mengambil simpulan bahwa kalimat (f)  diujarkan oleh seseorang petutur yang cukup akrab dengan petuturnya, atau posisi petutur lebih tinggi daripada petuturnya. Tetapi, dalam kalimat (g) hubungan petutur dan petutur agak formal (resmi), misalnya antar instruktur.
       Jika ada orang mengatakan bahwa semantik itu mengkaji makna sedangkan pragmatik mengkaji maksud, bahwa ada yang menyebut pragmatik sebagai ilmu maksud. Maksud itu dapat ditentukan berdasarkan situasi ketika ujaran itu terjadi. Berdasarkan hal itulah, maka Leech memberi batasan pragmatik sebagai “studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur”.
        Ada beberapa petikan pendapat Leech (1983) yang mengajukan beberapa patokan sebagai berikut ini.
1.      Representasi semantik (atau bentuk logika) suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya
Maksudnya, dipandang dari sudut kaidah tatabahasa, sebagai kalimat merupakan bentuk logika, dan bentuk ini merepresentasikan (mewakili) makna yang dikandungnya. Makna, sebagaimana yang diatur oleh kaidah tatabahasa itu tidak (selalu) sama dengan tafsiran (interpretasi) pragmatiknya.
Contoh:
Secara tatabahasa kalimat “Kamu dari Tabanan, ya?”kira-kira bermakna, apakah kamu berasal dari desa Tabanan. Tetapi, menurut pragmatik, kalimat itu dapat ditafsirkan berdasarkan dari makna tersebut,disesuaikan dengan maksud penutur (pembicara). Tafsiran itu dapat berupa petutur (A) dan (B) tahu betul bahwa desa Tabanan adalah desa yang kering kerontang dan masyarakatnya amat miskin, siswa-siswa yang berasal dari desa itu sering diolok-olok sebagai orang yang “ tidak cakap” tidak pandai, dsb. Karena itu kalimat yang ditafsirkan A tadi ditafsirkan oleh B sebagai sindiran. A, menurut pikiran B, pasti menyinir B. Si A bukan sekedar bertanya “Apakah kamu berasal dari Tabanan?”melainkan juga menyindir, “Pantas kamu bodoh.”
2.      Semantik diatur oleh kaidah tatabahasa (= bersifat gramatikal), pragmatik dikendalikan oleh prinsip(=retoris)
Semantik atau makna dari sebuah kalimat ditentukan oleh kaidah tatabahasa.
Contoh:
Kalimat aktif “Menteri melaporkan bencana alam itu kepada Presiden.”Jika ditafsirkan harus berbentuk “bencana alam itu dilaporkan Menteri kepada Presiden.” Itu kaidah yang harus dituruti.
Surat kabar juga bisa membuat judul berita secara ringkas, dengan prinsip “ekonomi” dan prinsip retorik (dalam memilih kata-kata). Dengan prinsip retorik itu wartawan dapat menulis kalimat-kalimat pasif tanpa harus melanggar kaidah.
Kalimat pasif tadi dapat diringkas menjadi ”Bencana alam itu dilaporkan kepada Presiden” Tetapi, dapat saja berbentuk lain (pasif atau bukan) “Presiden laporkan tentang bencana alam”, “Bencana alam disampaikan ke istana”, ”Menteri melapor ke Presiden” dll. Makna kalimat-kalimat tersebut, menurut tatabahasa kira-kira sama, tetapi dari segi pragmatik, masing-masing mempunyai nilai berita yang berbeda-beda ada yang mementingkan Presiden (karena itu diletakkan di depan kalimat), ada yang mementingkan bencana alam,dll. 
3.      Kaidah-kaidah tatabahasa pada dasarnya bersifat konvensional; prinsip-prinsip pragmatik pada dasarnya bersifat nonkovensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
Kaidah tatabahasa, termasuk kaidah semantik, bersifat konvensional, artinya berdasarkan kesepakatan seluruh pengguna bahasa sejak masa lampau ketika masyarakat bahasa itu menentukan atau membangun bahasanya.
Contoh:
Manusia yang dapat melahirkan disebut perempuan, tanpa ada penjelasan mengapa demikian, atau apa motivasinya sehingga masyarakat membentuk kata itu. (Berbeda dengan kata pemain, yang secara morfologis dimotivasi oleh penggabungan antara pe + main;  kata mobil, yang bermakna ‘bergerak’ dipakai untuk mengacu benda yang dapat bergerak karena dimotivasi secara semantis). Oleh Leech, itu disebut kekonvensionalan mutlak. Di samping itu ada kekonvensionalan termotivasi, yaitu kekonvensionalan yang menunjukkan adanya sedikit motivasi. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan seperti “Syukur!” yang bermakna serupa dengan “Syukur kamu berhasil!” ditujukan bagi orang yang berhasil. Ini konvensional. Tidak mungkin ungkapan itu untuk mereka yang tidak berhasil. Jadi makna kalimat itu dikatakan konvensional jika makna tersebut dapat disimpulkan oleh kaidah tatabahasa. Namun, karena alasan-alasan tertentu, atau karena adanya motivasi tertentu, maka dapat saja muncul ujaran, seperti “Syukur kamu tidak terpilih jadi lurah!”. Ini bukan fakta semantik, sebagaimana dicontohkan di atas, melainkan fakta pragmatik. Ini juga nonkonvensional karena ungkapan syukur ditujukan kepada orang yang tidak berhasil.
4.      Pragmatik mengaitkan makna (atau arti gramatikal) suatu ujaran dengan daya pragmatik ujaran tersebut. Sudah kita maklumi bahwa, menurut kaidah, maka sebuah kalimat dapat direpresentasikan atau dijelaskan menurut bentuk formalnya. Pragmatik harus menjelaskan kaitan antara kedua makna, yaitu antara makna sebenarnya dengan apa yang disebut daya yang disebut daya ilokusi. Daya itu harus dijelaskan melalui implikatur. Untuk sementara dapat dikaitkan secara mudah, sebagaimana dicontohkan pada patokan, bahwa implikatur itu adalah maksud yang ada di balik bentuk bahasa yang diujarkan. Sebagai ujaran yang diujarkan oleh penutur (N) bisa jadi terasa mengandung “beberapa tafsiran” di mata pendengar atau petutur (P).
5.      Korespondensi-korespondensi gramatikal ditentukan oleh (ditunjukkan dengan) kaidah-kaidah pemetaan (pemolaan); koresponden-koresponden pragmatik ditujukan dengan masalah-masalah dan pemecahannya. Kaidah gramatika suatu bahasa biasanya sudah ”dipetakan” secara pasti sehingga suatu penyimpangan yang dilakukan oleh N segera dapat diketahui.
Misalnya
Kalimat harus mempunyai subjek (yang terletak di depan) yang berkoresprodensi dengan predikat. Karena itu, dalam bahasa Indonesia kita dapat berujar “Wah, hujan”. Begitu juga dalam bahasa Inggris. Begitu pula korespondensi atau hubungan antara makna dan bunyi jika bunyinya begini maknanya begitu atau jika ingin makna demikian, maka bunyinya harus demikian.
Korespondensi pragmatik ditujukan dengan masalah, yaitu masalah antara N dan T, berikut pemecahannya. Menurut Leech bagi N masalahnya ialah perencanaan jika saya ingin agar T melakukan atau tidak melakukan tindak X, apa yang harus saya ujarkan sehingga tujuan atau maksud saya berhasil. Dalam keadaan seperti itu, N juga berpikir kata-kata apa yang saya pilih, bentuk kalimat apa, panjang pendeknya seperti apa,dst. Sebaliknya, bagi T, masalahnya ialah masalah interpretasi: seandainya N mengujarkan ujaran U, apakah alasan N yang paling masuk akal untuk mengucapkan U. Masalah yang harus dipecahkan oleh T ialah masalah komunikasi apakah yang sedang dipecahkan oleh N ketika N mengucapkan U.

2.3 Hubungan Pragmatik dengan Sosiolinguistik
Dari sejumlah kelahirannya, sosiolinguistik lebih dahulu mapan, sekitar 1960, dibandingkan dengan pragmatik. Sosiolinguistik ialah kajian bahasa yang dikaitkan dengan faktor-faktor atau gejala-gejala sosial dari penggunaan bahasa. Dari segi semangat, kedua kajian itu sama, yakni sama-sama menjadi pendobrak lingustik struktural yang dirumuskan oleh Chomsky. Teori Chomsky, sebagaimana dikatakan di depan, tetap dipandang berwatak struktural karena dia juga berbicara tentang struktur kalimat. Hanya saja, teori linguistik ini mengabstrakkan kalimat (menjadi rumus-rumus dalam benak manusia). Data kajiannya berupa kalimat yang diidealkan, artinya kalimat yang dianalisis dipersyaratkan harus sempurna, bebas dan kesalahan gramatika (sebagaimana yang dikuasai oleh orang dewasa). Semua kalimat yang terujarkan, apa pun bentuknya, dapat dikembalikan kepada satu rumusan struktur kalimat, yakni FB + FK. Semua bahasa dianggap mempunyai kalimat dengan struktur seperti itu. Penghomogenan inilah yang sangat ditentang oleh para pakar bahasa, seperti Dell Hymes, yang memandang bahasa bukan sekedar sebagai produk mental (sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky), melainkan juga sebagai produk sosial, sebagai alat komunikasi sosial, dan memandang bahasa itu hakikatnya heterogen, beragam, bervariasi, karena penggunaan dan penggunaan bahasa juga beragam. Bagi sosiolinguistik, tidak ada bahasa yang monolitik, yang tunggal, melainkan bervariasi, bahkan sosiolinguistik itu justru muncul karena adanya variasi atau keragaman bahasa. Bahasa A beragam secara geografis karena sekelompok penutur bahasa itu tinggal di daerah X dan sekelompok lainnya di daerah Y. Bahasa A itu beragam karena secara sosial penuturnya berbeda-beda sesuai dengan status sosialnya (sehingga ada ragam bahasa pengusaha dan rakyat jelata), jenis kealaminnya (sehingga ada ragam bahasa wanita dan ragam bahasa pria), atau profesi atau lapangan hidupnya (sehingga ada ragam bahasa petani, ragam bahasa pedagang, buruh, dsb.).
Bahkan tiap-tiap individu penutur memiliki khasanah ragam tutur atau gaya tutur yang bermacam-macam untuk berbagai maksud dan tujuan; misalnya, untuk berkirim surat secara pribadi, untuk berpidato, berbicara dengan anggota keluarga, dengan pejabat, dsb. Dalam ragam tutur itulah dirasakan dekatnya hubungan antara sosiolinguistik dan pragmatik. Kedekatan hubungan itu juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan budaya pengguna bahasa. Kita tahu bahwa sosiolinguistik tidak dapat lepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa begitu pula pragmatik. Pragmatik misalnya, mengkaji ihwal sopan santun dalam bertutur. Kita dapat menyusun sekian banyak ujaran mulai dari yang paling sopan. Tetapi, urutan itu tentu tidak sama dari bangsa ke bangsa dan dari suku ke suku, karena hal itu berkaitan dengan segi budaya.
Pragmatik sendiri menentang teori Chomsky karena dia melepaskan konteks dari kalimat ujaran, padahal kalimat (dalam arti ”ujaran”) itu ada karena digunakan dalam suatu komunikasi, dalam suatu situasi tutur, seperti pesta, upacara keagamaan, obrolan di tempat kerja, sidang pengadilan, dsb. Dalam situasi tutur seperti pesta perkawinan, misalnya, terjadi sejumlah peristiwa tutur, seperti ada sambutan, percakapan, dsb. Tutur semacam itu tentu melibatkan penutur, petutur, topik, lokal, suasana, dsb. Komponen-komponen ini berpengaruh terhadap bentuk bahasa apa yang digunakan. Dalam hal semacam itu sosiolinguistik juga ikut berkepentingan untuk mengkaji.
Dalam batas tertentu objek kajian sosiolinguistik dan pragmatik memang sama. Misalnya, percakapan. Dalam sebuah percakapan antara penutur (A) dan petutur (B) tentang topik harga BBM di tempat kerja, mungkin keduanya menggunakan bahasa daerah; tetapi begitu datang C percakapan berubah menggunakan bahasa Indonesia karena C tidak mampu berbahasa daerah; suasana yang tadinya akrab berubah menjadi agak formal. Sosiolinguistik mungkin melihat perubahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia mempunyai makna sosial tertentu sebagaimana kemungkinan tadi, yakni mengubah suasana akrab menjadi suasana lebih formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar