Hakikat
Wacana
Oleh I Putu Mas Dewantara
Para
ahli bahasa umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa
terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaannya
terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan
dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi
serta kohesi tinggi (Fatimah Djajasudarma, 1994:2). Sebelum kita berbicara
lebih jauh mengenai hakikat wacana berdasarkan tiga paradigma tentang analisis
wacana, yaitu paradigma/pandangan formal (menonjolkan struktur), paradigma
fungsional (menonjolkan penggunaan dalam konteks) dan paradigma formal dan
fungsional (dialektik). Terlebih dahulu
marilah kita tinjau pengertian “wacana” secara umum dan membandingkannya dengan
pengertian “teks” yang sering dianggap sama sekaligus dianggap berbeda oleh
ahli-ahli bahasa.
Ada
beberapa pengertian tentang wacana. Hasan Alwi (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11),
menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang beraturan sehingga
terbentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Sementara itu,
Harimurti Kridalaksana (dalam Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:11)
menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana itu
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia,
dsb), paragraf, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu
Basoeki Harahap (2009:12), wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan bersifat
otonom, dapat berdiri sendiri. Berkat dukungan situasi komunikasinya, ia dapat
dipahami, meskipun tidak merupakan suatu kalimat yang lengkap. Dengan demikian,
pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal ini
mempengaruhi makna wacana. Pada umumnya, wacana tersusun dari suatu struktur
yang jelas. Wacana tidak mempunyai bentuk yang pasti, dapat terdiri dari satu
kata saja, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga dapat
terdiri dari beberapa buku bahkan juga satu bidang ilmu, misalnya wacana
sastra, wacana politik, dan lain-lain.
Contoh:
Meskipun
hanya terdiri dari satu kata, tulisan toilet
di pintu, sudah dapat dikatakan sebagai wacana, karena dengan bantuan
pengujarannya (situasi komunikasinya), kata itu sudah komunikatif. Sudah
membawakan pesan yang jelas. Demikian pula kata Masuk dan Keluar di atas
sebuah pintu, sudah dapat dikatakan wacana.
Itulah beberapa pendapat yang
mewarnai pengertian “wacana”. Sekarang, marilah kita beralih ke pengertian
“teks” yang berkaitan erat dengan pengertian “wacana”. Dalam obrolan
sehari-hari, “teks” dan “wacana” dipahami secara terbatas, di satu sisi merujuk
pada sesuatu yang tertulis (teks), sedangkan di sisi lain pada segala hal yang
dituturkan (wacana), meskipun pemahaman ini sedikit dipertentangkan dalam
literatur ilmiah (Abdul Syukur Ibrahim (Ed),
2009). Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Gilian Brown dan George Yule
(1996:6) bahwa teks adalah realisasi wacana, mereka mengangap teks sebagai
rekaman verbal suatu tindak komunikasi. Terlepas dari pemahaman tersebut, kata
“teks” sering dipandang sebagai tulisan yang panjang. Kata “teks” menghadirkan
bayangan tentang buku, surat, atau surat kabar.
Menurut Halliday dan Hasan dalam bukunya Cohesion in English (dalam http://baikoeni.multiply.com/journal/item/135),
sebuah teks
terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut
adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula
didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Yang terbaik adalah
memandang teks bukan sebagai satuan bentuk, melainkan sebagai satuan makna.
Jadi teks memiliki hubungan dengan klausa atau kalimat bukan karena ukurannya,
melainkan karena teks biasanya direalisasikan dalam bentuk kalimat. Kemudian,
kedua ahli ini menyatakan bahwa panjang teks bisa seberapa saja. Karena teks
bukan satuan heirarki gramatikal, maka teks tidak terikat pada kalimat sebagai
satuannya dan bisa saja merupakan satuan yang lebih kecil.
Sementara itu, di bukunya yang lain,
yaitu Bahasa, Konteks dan Teks terjemahan
Barori Tou, Halliday dan Hasan menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang
berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melakukan tugas-tugas tertentu dalam
konteks situasi. Teks bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis
kalimat, melainkan lebih besar.
Kedua kutipan dari karya Halliday
dan Hasan tersebut bila diperhatikan lebih seksama, kedua kutipan tersebut
memiliki makna yang berbeda. Yang pertama beranggapan bahwa teks bisa lebih
singkat dari kalimat. Sedangkat kutipan kedua menyatakan bahwa teks merupakan
satuan yang lebih besar dari kalimat. Menurut Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap (2009:16), pengertian teks lebih sempit dari wacana karena teks dapat
saja tidak memiliki kesatuan makna. Misalnya potongan artikel, dapat disebut
teks, tetapi belum dapat disebut wacana. Marilah kita perhatikan contoh
berikut.
a)
Dilarang berjualan di sini (di
papan pengumuman)
b)
Wah, indah benar lukisan yang
dibuat olehnya (dalam dialog)
c)
Awas ada anjing galak (tulisan di
atas pintu pagar)
d) Bunga itu kukirimkan padanya (dalam sebuah novel)
Di sini tampak
bahwa semuanya (a,b,c, dan d) bisa disebut teks, tetapi hanya (a) dan (c) saja
yang bisa disebut wacana, karena (b) dan (d) tidak menunjukkan satuan makna
yang jelas. Bila diperhatikan, “nya” dalam kalimat (b) dan “ku” dan “nya” dalam
kalimat (d) tidak memberi makna sepenuhnya. Meskipun demikian, ternyata banyak
ahli yang menyamakan saja pengertian teks dan wacana. Seperti juga Halliday dan
Hasan, de beaugrande dan Dressler juga menyamakan antara teks dan wacana.
1. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Formal
Pandangan formal/formalis sama
dengan istilah pandangan/paradigma strukturalis
dari Hymes dan a priori grammar dari
Hopper (Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009:
24). Definisi wacana klasik yang
diturunkan dari asumsi kaum formalis adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di
atas kalimat atau klausa”. Mey (dalam Imron Rosidi, 2009) mengatakan bahwa
wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana mengacu
ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu
dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulis (Samsuri
dalam Imron Rosidi, 2009). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah tata bahasa
sebagai suatu sumberdaya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah itu ketika
memang diperlakukan.
Tarigan (dalam
Arifin) menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap, terbesar, dan
tertinggi; diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan pada; lisan dan
tulisan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dengan demikian pengertian
wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang lengkap. Sebagai
sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu memiliki sebuah
ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea).
Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang
disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah dipahami
dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan formal.
Pendapat Tarigan senada dengan pendapat Harimurti
Kridalaksana yang menyatakan bahwa Wacana adalah satuan bahasa terlengkap;
dalam hierarki tatabahasa merupakan satuan tatabahasa tertinggi atau terbesar. Dari pendapat-pendapat
tersebut, dapat disimpulkan hakikat wacana menurut pandangan formalis adalah:
1.
Satuan bahasa
2.
Terlengkap / terbsesar / tertinggi
3.
Mengatasi ayat / klausa
4.
Teratur / tersusun rapi / rasa koherensi (kepaduan)
5.
Rasa kohesi (kepautan)
6.
Lisan / tulisan
2. Hakikat Wacana Berdasarkan pandangan fungsional
Sebuah definisi yang
berasal dari paradigma fungsionalis memandang wacana sebagai penggunaan bahasa.
Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi
verbal dalam interaksi sosial. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam
interaksi sosial, percakapan dapat
disebut wacana dalam pandangan fungsional, yaitu peristiwa komunikasi yang
ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat
resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Richard, 1995:3). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan
tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan
menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka
analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang
tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
Sebuah definisi wacana
sebagai penggunaan bahasa sesuai dengan pandangan fungsionalisme pada umumnya:
wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi tertentu yang diwujudkan. Hal itu tampak pada pendapat Searle (1969), Leech (1995), Sperber dan
Wilson (1998) (dalam Arifin, 1998:30), dan Dardjowidjojo (2003) yang menyebutkan bahwa
percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan mengandalkan
pemahaman bersama. Meskipun
keteraturan formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi
fungsionalis tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan
tersebut berfokus pada cara pola-pola pembicaraan ditata untuk digunakan dalam
tujuan konteks tertentu dan / atau bagaimana pola-pola tersebut muncul dari
penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan pada fungsi cenderung
menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih pada
humanistik untuk mereplikasi: meniru atau menggandakan tujuan atau kehendak
para aktor sendiri (Schiffrin, 2007:41). Dengan demikian, ancangan-ancangan itu
lebih mengandalkan pada cara ujaran disituasikan dalam konteks daripada
karakteristik gramatikal dari ujaran sebagai kalimat.
Pendekatan
fungsional kurang baik dokumentasinya, bahkan usaha untuk memberi perangkat
label yang umum pada fungsi-fungsi utama bahasa tidak memudahkan analisis. Fungsi bahasa yang
terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi yang
berfungsi secara interaksional (Gillian Brown dan George Yule, 1996 : 1).
Wacana
lisan sangat mudah dan banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Wacana
lisan terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal.
Keduanya berpadu menjadi satu membangun sebuah wacana. Ketika seorang
berbicara, bagian-bagian tubuh seperti tangan, kepala mata dan bahkan kaki akan
bergerak mengikuti nada pembicaraan dan situasi psikologisnya dalam bertutur.
Masing-masing merupakan bagian yang tidak dari bentuk komunikasi. Dengan demikian, kita dapat
mengetahui bahwa wacana adalah penggunaan bahasa dalam bentuk nyata.
3. Hakikat Wacana Berdasarkan Pandangan Dialektik
Kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana
sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai suatu kumpulan unit struktur
bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu
wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih
tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran
yang diproduksi oleh penutur). Schiffrin (2007:53-54) menyatakan bahwa wacana
muncul tidak sebagai sekumpulan unit-unit struktur bahasa yang dikontekstualkan
tetapi sebagai sekumpulan unit-unit pengunaan bahasa yang dikontekstualkankan.
(Edmonson, 1981 : 4,
dalam Arifin) mengemukakan bahwa wacana adalah
satu peristiwa terstruktur yang diwujudkan melalui prilaku linguistik (bahasa).
Kehidupan sehari-hari manusia senantiasa diwarnai oleh berbagai aktivitas dan
peristiwa baik bersifat rutin maupun insidental. Ngaben (upacara pembakaran
mayat di Bali), Tiwah (bagian dari upacara pembakaran mayat pada masyarakat
Dayak nganju di Kalimantan. Batagak pangulu (Minangkabau), Mengket Rumah (upacara menaiki rumah adat di Batak
karo adalah beberapa contoh peristiwa terstruktur dalam kehidupan manusia. Ini
dalam bentuk wacana yang perwujudannya dapat diamati dalam bentuk teks
(Oktavianus, 2006: 29).
Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh mengenai
peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana dapat dikatakan sebagai
rentetan kalimat yang saling berkaitan (menghubungkan proposisi yang satu
dengan yang lainnya) dan membentuk satu kesatuan makna. Purwo (1993: 4)
mengartikan wacana sebagai peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara
pembicara dengan penerima. Sedangkan Schiffrin (1994 : 18, dalam Arifin)
mengartikan wacana sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang digunakan
sesuai dengan konteks.
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua
urutan-urutan kata dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada
kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk
menentukan sekelompok kalimat dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana
sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat
dan klausa yang memenuhi syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambungan
serta mempunyai awal maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan
maupun tulisan.
Meskipun cara pandangan terhadap suatu wacana
berbeda-beda, bahasa masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada
dasarnya adalah menganalisis penggunaan
bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang
dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga mencakup aspek
penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang dapat meyakinkan
sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya wacana merupakan
perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan, proses pikiran
pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara pandang tersebut
dapat dikatakan bahwa analisis wacana, kemudian munculah analisis wacana (Brown
dan Yule, 1996:26). Sesuai dengan
pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu
bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka
pembahasan wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan
dan struktur bahasa dalam wacana (Kartomiharjo, 1992 : 1, dalam Arifin ).
Struktur paparan disebut juga struktur ujaran, baik
lisan maupun tulis. Pernyataan ini mengacu pada pengertian wacana sebagai suatu
peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dan penerima (Purwo,
1993:4). Brown dan Yule (1996:190) menyebutkan struktur
paparan sebagai struktur teks, yaitu rekaman verbal dari sebuah peristiwa
komunikasi, baik lisan maupun tulis. Kohesi dan koherensi merupakan unsur-unsur
yang dikaji dalam struktur paparan (Kartomiharjo, 1992: 15, dalam Arifin).
Di dalam suatu wacana terdapat gagasan, yakni substansi
isi wacana. Wujud gagasan berupa pengetahuan, pendapat, emosi dan sebagainya,
sedangkan cakupan gagasan dapat berupa isu-isu hangat, pendidikan, agama, politik,
dan sebagainya (Wahab, 1994 : 4). Penggunaan bahasa secara jelas harus
tetap diperhatikan karena pesan akan dapat dipahami dengan baik apabila
penyampaian pesan tersebut sesuai dengan pendengar dan situasi yang
menyertainya. Oleh sebab itu, proposisi, argument, dan penalaran merupakan
aspek-aspek yang biasa dibahas ketika mengkaji struktur gagasan dalam wacana.
Pembahasan Struktur bahasa dalam suatu wacana meliputi
diksi, kalimat dan gaya bahasa. Pembahasan diksi dalam suatu wacana tidak hanya
berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, tetapi juga mengenai tidak
diterimanya suatu kata. Pembahasan kalimat dalam suatu wacana dapat dipelajari
dari segi jenis pemakaian (pernyataan, pertanyaan, dsb.), dari segi struktur
(sederhana, majemuk, dsb.), dan dari segi maknanya. Adapun pembahasan gaya
bahasa dalam suatu wacana meliputi kegiatan pemilihan bentuk ujaran, yaitu
ujaran yang mampu mengungkapkan pesan dan penalaran yang baik dengan
mengandalkan kekuatan bahasa. Selain itu, pembahasan gaya bahasa juga
berhubungan dengan kecocokan pemilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang
digunakan dalam suatu wacana (Keraf,1985:24; Samsuri, 1988, dalam Arifin).
Masih terkait dengan penggunaan bahasa dalam suatu
wacana, Brown dan Yule (1996:7) menyatakan bahwa bahasa
yang digunakan dalam suatu dapat berupa ragam lisan dan tulisan. Bahasa dalam
suatu wacana termasuk sebagai ragam tulis apabila ketepatan ucapan dilakukan
dengan penggunaan huruf-huruf secara benar serta mempertahankan aspek
penyusunan penahapan. Sedangkan bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai
ragam lisan apabila pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan rekaman yang
dilanjutkan dengan membuat transkripsi dan dibubuhi catatan-catatan sesuai
dengan kepentingan. Oleh karena itu, ragam bahasa tulis lebih gramatikal
daripada ragam bahasa lisan karena keberadaannya direncanakan sebelumnya dan
ada waktu diperbaiki lagi. Sebaliknya bahasa lisan muncul secara serta merta
dan tidak dapat diperbaiki lagi (Parera, 1987:7 dalam Arifin).
Maka
dari itu, perbedaan yang ada yaitu dalam paham fungsional menekankan pada bagaimana
bahasa digunakan dalam konteks dan paham formal menekankan pada pola-pola yang
diperluas. Menengahi kedua perbedaan pandangan tersebut,
muncul kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai
ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak
lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam
suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga
dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun
berdasarkan gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian, selain kaidah tata
bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan pada saat menyusun
suatu ujaran