PERANAN
LINGUISTIK TERAPAN DALAM PEMBELAJARAN: SEBUAH KAJIAN
BANDINGAN TERHADAP TEKS
OLEH:
I PUTU MAS DEWANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Linguistik adalah
ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer, 2007:6; Pateda,
1991:15). Parera (1991:20) mengatakan bahwa linguistik merupakan satu ilmu yang
otonom dan menggunakan metode-metode ilmiah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
studi bahasa secara ilmiah dengan nama Linguistik baru dimulai pada akhir abad
kesembilan belas. Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat. Aspek lain
yang berkaitan dengan bidang-bidang kajian bahasa juga berkembang. Kajian
tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja, tetapi telah meluas ke
bidang atau aspek-aspek di luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa
dan kehidupan manusia. Teori linguistik terapan merupakan cabang linguistik
yang memusatkan perhatian pada teori umum dan metode-metode umum dalam penelitian
bahasa. Cabang linguistik bisa terbagi atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan
Semantik. Oleh karena itu, linguistik terapan ini bisa diterapkan dalam segala
bidang. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Lebih tepatnya dalam hal
pembelajaran bahasa.
Kegiatan
pembelajaran bahasa merupakan upaya yang mengakibatkan siswa dapat mempelajari
bahasa dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa
analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar,
menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi
penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan
menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap
pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk
setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi
pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan
pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Suatu program
pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan diri
dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang
bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pelajar dapat mengaplikasikan kecakapan
linguistik dan keterampilan berbahasa dalam suatu konteks budaya
sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Dalam proses belajar-mengajar bahasa
ada sejumlah variabel, baik bersifat linguistik maupun yang bersifat
nonlinguistik, yang dapat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar itu.
Variabel-variabel itu bukan merupakan hal yang terlepas dan berdiri
sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan,
sehingga merupakan satu jaringan sistem.
Keberhasilan dalam
pembelajaran bahasa juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain seperti ilmu
sosiologi, psikologi, dan antropologi. Ilmu sosiologi dan linguistik yang
melahirkan hibrida sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik
menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial
tertentu, seperti dirumuskah Fishman (dalam
http://www.kosmaext.2010.com)
bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what
language, to whom, when, and to what end”.
Selain sosiolinguistik, ilmu yang merupakan hibrida dari Psikologi dan
Linguistik, yaitu Psikolinguistik, memiliki peran yang sangat besar dalam
pembelajaran bahasa. Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku
berbahasa, baik prilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak. berupa
persepsi, pemproduksian bahasa, dan pemerolehan bahasa. Perilaku yang
tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak
adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga
menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan
atau ditulisnya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ruang lingkup
Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian
bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan
prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Oleh karena itulah
Psikolinguistik memberikan sumbangan yang besar dalam pembelajaran bahasa.
Hibrida antara disiplin ilmu yang juga memiliki peranan dalam
pembelajaran bahasa adalah hibrida antara ilmu Antropologi dan Linguistik yang
melahirkan Antropolinguistik. Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan
dan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan
Antropologi Kultural (ilmu Budaya) bekerja sama dalam mempelajari hubungan
bahasa dengan aspek-aspek budaya. Antropolinguistik juga mempelajari
unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh
penuturnya serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya
secara menyeluruh. Peran dari disiplin ilmu Antropolinguistik dalam
pembelajaran bahasa beranjak dari pemikiran bahwa peranan bahasa sangat penting
dalam memahami kebudayaan, dan peranan kebudayaan juga sangat penting dalam
memahami bahasa. Banyak terjadi kekeliruan, kesalahpahaman, bahkan perselisihan
karena orang tidak dapat menggunakan bahasa yang sesuai dengan budaya peserta
komunikasi. Di sisi lain, kemarahan dapat menjadi reda apabila salah satu
peserta komunikasi dapat menggunakan bahasa yang santun dan mencerminkan budi
yang baik. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa komunikasi melalui bahasa akan
mencapai sasarannya apabila peserta komunikasi menempatkan bahasa didalam
konteks budayanya.
Keberhasilan pembelajaran bahasa, khususnya ketika membaca sebuah teks
bacaan juga sangat dipengaruhi oleh kontruksi materi dan modus berpikir yang
digunakan penulis buku teks tersebut. kontruksi materi berkaitan dengan penggunaan
kosakata dalam hubungannya dengan teori psikologi pendidikan, panjang pendek
kalimat, dan ide yang dipaparkan. Sedangkan modus berpikir berkaitan dengan
dengan cara penyampaian gagasan atau ide si penulis teks tersebut. Baik itu
disampaikan secara linier ataupun sekuler.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian pada bagian latar
belakang, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1)
Bagaimanakah
kontruksi materi dalam dua materi sama dari penulis yang berbeda? Yang
menyangkut:
(1)
Bagaimanakah
keterkaitan kosakata dengan teori psikologi pendidikan?
(2)
Bagaimanakah
kontruksi kalimat dilihat dari segi:
a)
Panjang
pendeknya kalimat
b)
Kelengkapan
struktur
c)
Ide
2)
Bagaimanakah
modus berpikir dari kedua penulis tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan latar belakang dan
rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini, tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1)
Mendeskripsikan
kontruksi materi dalam dua materi dari dua penulis berbeda yang menyangkut:
(1)
Keterkaitan
kosakata dengan teori psikologi pendidikan
(2)
Kontruksi
kalimat dilihat dari segi:
a)
Panjang
pendeknya kalimat
b)
Kelengkapan
struktur
c)
Ide
2)
Mendeskripsikan
modus berpikir dari kedua penulis tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Belajar dan Mengajar Bahasa
Belajar dapat
didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan
terjadi sebagai hasil pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu (1)
belajar adalah perubahan tingkah laku, (2) perubahan tersebut terjadi karena
latihan atau pengalaman. Perubahan yang terjadi pada tingkah laku karena unsur
kedewasaan bukan belajar, dan (3) perubahan tersebut harus relatif permanen dan
tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Di antara semua
bidang linguistik terapan, bidang pembelajaran bahasa ibu dan bahasa asing
merupakan bidang yang sudah mantap perkembangannya karena pembelajaran bahasa
mempunyai daya jual yang tinggi dan diperlukan masyarakat. Pengetahuan
linguistik mengenai bentuk, makna, struktur, fungsi, dan variasi bahasa sangat
diperlukan sebagai modal dasar pembelajaran bahasa.
Kegiatan
pembelajaran bahasa merupakan upaya yang mengakibatkan siswa dapat mempelajari
bahasa dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa
analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar,
menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi
penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan
menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap
pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk
setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi
pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan
pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Suatu program
pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan diri
dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang
bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pelajar dapat mengaplikasikan kecakapan
linguistik dan keterampilan berbahasa dalam suatu konteks budaya
sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat.
Dalam proses belajar-mengajar
bahasa ada sejumlah variabel, baik bersifat linguistik maupun yang bersifat
nonlinguistik, yang dapat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar itu.
Variabel-variabel itu bukan merupakan hal yang terlepas dan berdiri
sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan,
sehingga merupakan satu jaringan sistem.
Keberhasilan
belajar bahasa, yaitu yang disebut asas-asas belajar, yang dapat dikelompokkan
menjadi asas-asas yang bersifat psikologis anak didik, dan yang bersifat materi
linguistik. Asas-asas yang yang bersifat psikologis itu, antara lain adalah
motivasi, pengalaman sendiri, keingintahuan, analisis sintesis dan pembedaan
individual.
Motivasi lazim
diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka
untuk berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid sudah harus dibimbing agar
memiliki dorongan untuk belajar. Jika mereka mempunyai dorongan untuk belajar.
Tanpa adanya kemauan, tak mungkin tujuan belajar dapat dicapai. Jadi, sebelum
proses belajar mengajar dimulai, atau sebelum berlanjut terlalu jauh, sudah
seharusnya murid-murid diarahkan.
Pengalaman sendiri
atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan berkesan daripada
mengetahui dari orang, karena pengetahuan atau keterangan yang didapat dan
dialami sendiri akan lebih baik daripada hanya mendengar keterangan guru.
Keingintahuan merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu
menjadi maju. Pada anak-anak usia sekolah rasa keingintahuan itu sangat besar.
Rasa keingintahuan ini dapat dikembangkan dengan memberi kesempatan bertanya
dengan meneliti apa saja.
Banyak orang yang
belajar bahasa dengan berbagai tujuan yang berbeda. Ada yang belajar hanya
untuk mengerti, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan, ada yang belajar untuk
dapat bercakap-cakap dengan lancar, ada pula yang belajar untuk
gengsi-gengsian, dan ada pula yang belajar dengan berbagai tujuan khusus.
Tujuan pembelajaran
bahasa, menurut Basiran (dalam Miftah, 2010) adalah keterampilan komunikasi
dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya
tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan
berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan
penggunaan.
Mengenai kaitan
linguistik terapan dan pengajaran bahasa, Soenardji (Nasrudin , 2011) menjelaskan
bahwa analisis ilmiah atas berbagai gejala yang terumuskan menjadi kaidah
fonologik, morfologik dan sintaktis diproses menjadi bahan ajar dalam
pengajaran bahasa.
Hasil pembahasan
akademik dan hasil penelitian yang punya bobot teoritik kebahasaan ditransfer
menjadi dalil-dalil pemandu pemakaian bahasa yang baik dan benar melalui
kegiatan pendidikan bahasa. Kalau kita umpamakan linguistik dan pengajaran
sebagai dua kutub, maka antara dua kutub itu perlu adanya penyambung yang dapat
melayani keduanya dengan sebaik-baiknya.
Sarana pelayanan
itu adalah suatu disiplin baru yang disebut linguistik terapan. Bagi
kepentingan pengajaran bahasa, linguistik terapan tersebut memusatkan
perhatiannya pada:
1)
Butir-butir teoritik yang
mempunyai keabsahan kuat dalam linguistik, dan
2)
berbagai kemungkinan dan
alternatif untuk memandu pelaksanaan pengajaran bahasa. Kemungkinan dan
alternatif itu diupayakan agar seiring dan sejalan dengan butir teoritik dalam
linguistik.
Secara lebih
transparan kegunaan linguistik terhadap pengajaran bahasa, antara lain:
1)
Memberi pijakan tentang
prinsip-prinsip pengajaran bahasa asing, termasuk didalamnya pendekatan, metode
dan teknik.
2)
Memberi arahan atau pijakan
mengenai isi/materi bahasa yang akan diajarkan yang didasarkan pada diskripsi
bahasa yang mendetail, termasuk cara mempresentasikan.
Menurut Ramelan (dalam
Nasrudin, 2011) jika para linguis struktural percaya akan sumbangan linguistik
terhadap pengajaran bahasa, maka linguis transformsional tidak pernah mengklaim
demikian. Linguistik adalah suatu ilmu yang otonom, yang mencoba mempelajari
bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan manusia tanpa mempertimbangkan
kemungkinan teori mereka tentang bahasa dapat diterapkan pada pengajaran
bahasa.
Ini mungkin tidak
dapat dilepaskan dari sikap Chomsky sendiri (tokoh transformasional), bahkan
dia pernah menyatakan dalam suatu konferensi guru-guru bahasa, bahwa seorang
linguis tidak pernah bermaksud menyibukkan dirinya dalam persoalan-persoalan
pengajaran bahasa (linguists never
intended to address themselves to thee problem of teaching a language).
Meskipun demikian,
banyak penganut tranformasional yang percaya bahwa aspek kreatif bahasa yang
ada pada diri seseorang (salah satu tinjauan aliran ini) dapat diterapkan pada
pengajaran bahasa, misalnya dengan melatih siswa untuk menciptakan dan
menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa yang sedang mereka pelajari.
Sementara
kesepakatan linguis struktural tentang peranan linguistik terhadap pengajaran
bahasa, juga tidak terlepas dari sikap Bloomfield. Disamping dia seorang
linguis, dia juga seorang yang ahli di bidang pengajaran bahasa.
Hal ini ditunjukkan
dari perhatiannya yang besar terhadap pengajaran bahasa-bahasa modern. Bahkan
dia sangat mengkritik penggunaan metode tata bahasa terjemahan
(grammar-translation method). Menurutnya tujuan utama pengajaran bahasa asing
harus didasarkan pada penguasaan oral bahasa tersebut. Dari sini lahir suatu
pendekatan yang terkenal dengan “Oral-Aural
Approach”.
2.2 Sosiologi,
Psikologi, Antropologi
Banyak batasan telah dibuat oleh para
sosiolog mengenai sosiologi, tetapi intinya bahwa sosiologi adalah kajian yang
objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai
lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha
mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu
masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam
tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Pemahaman
terhadap sosiologi sangat diperlukan oleh seseorang, tidak terkecuali ketika
memahami sebuah teks bacaan. Hal ini mengingat dalam teks sangat memungkinkan
digunakannya istilah-istilah yang hanya bisa dimengerti ketika kita memahami
keadaan masyarakat pengguna istilah-istilah tersebut.
Mengenai
manfaat ilmu psikologi dalam dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi.
Psikologi yang merupakan ilmu yang mempelajari keadaan jiwa atau prilaku
manusia memberikan sumbangan yang besar dalam dunia pendidikan. Penelitian
mengenai gejala gejala prilaku manusia yang berkembang menjadi sebuah teori
psikologi banyak diadobsi oleh ilmuan pendidikan. Jika menelaah literatur
psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari
aliran-aliran psikologi, seperti teori behaviorisme, teori belajar kognitif
menurut Piaget teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan teori belajar
gestalt.
Antropologi
adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih
banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk
penyebaran agama nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung sistem penjajahan
atas negara-negara di luar eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan
kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan
pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang sedang membangun sangat
diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan
masyarakat.
Mengenai
peranan psikologi, sosiologi, dan antropologi dalam kaitannya dengan linguistik
yang melahirkan disiplin ilmu psikolinguistik, sosiolinguistik, dan
antropolinguistik dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
2.2.1
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Setiap bidang ilmu
tertentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis, begitu juga dengan
sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis banyak sekali,
sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai
aturan-aturan tertentu dalam penggunaannya. Sosiolinguistika memberikan
pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik menjelaskan
bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu, seperti
dirumuskah Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik
adalah, “who speak, what language, to whom, when, and to what end”. Dari
rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau kegunaan sosiolinguistik
bagi kehidupan praktis.
Pertama, pengetahuan sosiolinguistik dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi
atau berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang
harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah
anak dalam suatu keluarga, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang
berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita
seorang murid, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda pula
terhadap guru, terhadap teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya
lebih tinggi. Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus
berbicara bila kita berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di
pasar, atau juga di lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peran
yang besar. Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian
bahasa secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buku tata
bahasa. Kalau kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan
menghasilkan sebuah tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara
normatif, akan menghasilkan buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa
ini mempunyai hasil perian yang berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan
bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran
digunakan buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam
bahasa yang harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku
tersebut terekam juga hasil perian ragam nonbaku.
Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
India, dan Filipina muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan
bahasa untuk keperluan menjalankan administrasi kenegaraan dan pembinaan
bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus diambil menjadi bahasa resmi
kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada kemungkinan berlanjut
menjadi bentrok fisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah
pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik,
yakni dengan memilih bahasa Melayu, yang dalam sejarahnya telah menjadi lingua
franca dan telah tersebar luas di seluruh nusantara, meskipun jumlah
penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa daerah Sunda atau
Jawa. Tak ada ketegangan politik dan bentrokan fisik karena semuanya menyadari
bahwa bahasa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang lebih
mungkin sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa daerah
lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, tetapi luas pemakaiannya
terbatas di wilayah masing-masing.
2.2.2
Psikolinguistik
Psikolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik prilaku yang tampak
maupun perilaku yang tidak tampak: resepsi, persepsi, pemerolehan bahasa, dan
pemproduksian bahasa serta proses yang terjadi di dalamnya. Contoh perilaku
yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan contoh prilaku yang
tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau
dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang
akan diucapkan atau ditulisnya atau ketika di amemahami bahasa.
Peran
Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat penting karena dengan
memamahami psikolinguistik seorang guru memahami proses yang terjadi dalam diri
siswa ketika siswa menyimak, berbicara, membaca, ataupun menulis sehingga
manakala kemampuan dalam keterampilan berbahasa bermasalah, garu dapat
melihat dari sudut pandang psikologi sebagai alternative solusinya (Lisnawati 2010).
Siswa adalah subjek
dalam pembelajaran. Karena itu, dalam hal ini siswa dianggap sebagai organisme
yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif,
maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak
dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah
tadi.
Lebih lanjut
menurut Solfin (2011) dalam pemilihan materi berkaitan erat dengan perencanaan
pengajaran secara menyeluruh. Untuk pemilihan materi perlu diketahui tujuan,
tingkat dan waktu yang tersedia. Tujuan mengacu pada ketercapaian instruksional
yang direncanakan, tingkat mengacu pada kesukaran dan kemudahan yang akan
tercermin dalam aktifitas belajar bahasa yang sedang dipelajari, sedangkan
waktu mengacu pada rentangan durasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
instruksional.
Bila dilihat dari
segi psikolinguistik, materi yang akan disajikan alangkah baiknya
dipertimbangkan berdasarkan :
- Tingkat kesukaran;
- Dapat diajarkan;
- Usia;
- Sikap si terdidik, dan
- Kebergunaan.
2.2.3
Antropolinguistik
Bahasa adalah
bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir. Dengan demikian,
masyarakat dengan budayanya memiliki cara berpikir tertentu yang diekspresikan
dalam bahasanya. Bahasa adalah alat intelektual yang paling fleksibel dan yang
paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Salah satu fungsinya adalah
kemampuannya merefleksikan dunia dan dirinya sendiri. Bahasa dapat kita gunakan
untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Demikian juga bahasa itu dapat
mendeskripsikan budaya masyarakat pemakai bahasa itu, dan melalui bahasanya
kita dapat memahami budaya pemakai bahasa itu yang di dalamnya tercakup juga
cara berpikir masyarakatnya.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa di dunia terdapat beragam bahasa yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, mereka menggunakan bahasa agar mereka berkomunikasi secara lisan
maupun tulisan. Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai Antropologi
Linguistik, bagaimana bahasa yang di gunakan mempengaruhi budaya atau budaya
yang mempengaruhi bahasa. Hampir semua ahli bahasa sepaham dengan isi definisi
bahasa yang mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang yang digunakan oleh
masyarakat sebagai alat komunikasi walaupun banyak definisi bahasa yang
diberikan para ahli atau pemerhati bahasa.
Bahasa dan budaya
merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan,
karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini
berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?
sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa. Bahasa
sebagai salah satu alat komunikasi digunakan oleh seluruh umat manusia untuk
berkomunikasi, berbagi ide, pikiran, perasaan, emosi, dan lain-lain.
Bahasa berkembang
bersama dengan budaya. Sulit untuk menentukan apakah bahasa mempengaruhi budaya
ataukah budaya yang mempengaruhi bahasa. Berkenaan dengan itu, lahir ilmu
'sociolinguistik' yang merupakan sebuah cabang ilmu linguistic yang mempelajari
tentang bahasa dan budaya. Linguistik modern berasal dari sarjana swiss
Ferdinand de Saussure, yang bukunya Cours
de linguistique generale (mata pelajaran linguistik umum) terbit tahun
1916, secara anumerta. Dalam bahasa Indonesia ahli linguistik disebut
“linguis”, yang dipinjam dari kata Inggris linguist. Dalam bahasa (inggris)
sehari-hari, linguist berarti ‘seorang yang fasih dalam berbagai bahasa’.
Dengan mendengar
istilah Antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi penting yang perlu
diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang
bersangkutan. Artinya, ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga, bahkan
harus mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari budayanya. Kedua,
hubungan antara bahasa dengan budaya secara umum. Dalam hal ini, kita tahu
bahwa setiap ada satu bahasa dalam satu masyarakat, maka ada satu budaya dalam
masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya: perbedaan bahasa berarti
perbedaan budaya atau sebaliknya. Oleh karena itu, penghitungan bahasa
seolah-olah relevan dengan penghitungan budaya bahkan penghitungan etnik.
Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai
ilmu budaya.
Menurut Segall dkk
(http://achokonyol.blogspot.com) bahwa istilah emik-etik pada mulanya
dicetuskan oleh Pike yang kemudian disepakati hingga sekarang oleh para sarjana
psikologi lintas budaya. Pike mula-mula melihat adanya gagasan yang sejalan
dalam pendekatan antara rumusan dan pengetrapan teori dengan fonetik dan
fonemik. Dalam bidang linguistik, fonemik adalah mempelajari pola-pola bunyi
yang digunakan dalam suatu bahasa tertentu. Sedangkan fonetik mencoba untuk
mengeneralisir hasil-hasil penelitian fonemik dari berbagai bahasa menjadi satu
patokan pola-pola bunyi untuk semua bahasa. Dari fonemik dan fonetik Pike
mencopot istilah etik dan emik. Berry (http://achokonyol.blogspot.com)
merangkum komentar-komentar Pike pada pemilahan emik-etik sebagaimana yang
dipakai dalam psikologi,
Bahasa yang berbeda
sangat menyulitkan masyarakat yang berkunjung ke daerah yang lain. Misalnya
seorang Bugis yang datang ke Bali. Tentu sangat sulit untuk melakukan
komunikasi. Atau ada pemberitahuan yang disampaikan kepada khalayak ramai
dengan menggunakan bahasa daerah, tentu menimbulkan kesalahpahaman bagi pihak
yang tidak mengerti.
Peranan bahasa
sangat penting dalam memahami kebudayaan, dan peranan kebudayaan juga sangat
penting dalam memahami bahasa. Banyak terjadi kekeliruan, kesalahpahaman,
bahkan perselisihan karena orang tidak dapat menggunakan bahasa yang sesuai
dengan budaya peserta komunikasi. Di sisi lain, kemarahan dapat menjadi reda
apabila salah satu peserta komunikasi dapat menggunakan bahasa yang santun dan
mencerminkan budi yang baik. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa komunikasi
melalui bahasa akan mencapai sasarannya apabila peserta komunikasi menempatkan
bahasa didalam konteks budayanya.
Keeratan hubungan
antara bahasa dengan kebudayaan telah lama dirasakan para linguis dan
antropolog sehingga pembicaraan mengenai relasi kedua bidang itu bukanlah topik
baru dalam dunia ilmiah, di bawah ada beberapa hubungan bahasa dengan
kebudayaan.
1.Bahasa sebagai alat atau sarana kebudayaan
Dalam hubungan ini,
bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan,
transmisi maupun penginventarisannya. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui
bahasa Indonesia. Pemerkaan khazanah kebudayaan Indonesia melalui kebudayaan
daerah dan kebudayaan asing, misalnya, dilakukan dengan menggunakan dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia tersebut juga
disebarkan atau dijelaskan melalui bahasa Indonesia sebab penerimaan kebudayaan
hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung
masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, bahasa memainkan
peranan penting. Bahkan, sering dinyatakan bahwa kebudayaan dapat terjadi
apabila bahasa ada karena bahasalah yang menginginkan terbentuknya kebudayaan.
Bahasa digunakan
sebagai ekspresi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan
oleh bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian
kebudayaan yang saling berkaitan, kebudayaan ekspresi, kebudayaan tradisi, dan
kebudayaan fisik.
2.Bahasa
sebagai bagian dari kebudayaan
Bahasa dikatakan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pembendarahan suatu bangsa (http://achokonyol.blogspot.com)
ialah jumlah kekayaan rohani dan jasmani bangsa yang empunya bahasa itu.
Tiap-tiap yang berpikir, tiap-tiap yang berbuat, tiap-tiap yang dialami,
malahan tiap-tiap yang ditangkap oleh pancaindra bangsa itu dengan sadar dan
yang menjadi pengertian dalam kehidupannya, terjelma dalam kata dan menjadi
sebagian dari kekayaan perbendaharaan kata bangsa itu. Dan kata yang
berpuluh-puluh dan berates-ratus ribu jumlahnya itu sekali lihat rupanya
terpisah-pisah dan cerai-berai, tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
kebudayaan bangsa yang empunya bahasa itu.
3.Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan
Dikaitkan bahwa
bahasa (Levi-Strauss dalam http://achokonyol.blogspot.com)
merupakan hasil kebudayaan. Artinya,
bahasa yang dipergunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat adalah
suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Pada
pelaksanaan upacara ritual, yang masing-masing menggunakan bahasa. Peristiwa
budaya semacam itu akan menghasilkan bahasa.
4.Bahasa
hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya
Bentuk bahasa yang
sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi
wadahnya. Jika dibandingkan antara 2dua suku bangsa, kita akan melihat
perbedaan makna tersebut.
5.Bahasa
sebagai persyaratan kebudayaan
Pengertian bahasa
sebagai persyaratan kebudayaan dapat diartikan dalam dua cara. Pertama, bahasa
merupakan persyaratan budaya secara diakronis karena kita mempelajari
kebudayaan melalui bahasa. Kedua, berdasarkan sudut pandang yang lebih
teoritis, bahasa merupakan persyaratan kebudayaan karena materi atau bahan
pembentuk keseluruhan kebudayaan, yakni relasi logis, oposisi, korelasi dan
sebagainya.
6.Bahasa
mempengaruhi cara berpikir
Bahasa dan berpikir
dalam kehidupan manusia adalah dua hal yang sangat mendasar dan saling
berhubungan. Kedua hal ini secara khas dan jelas membedakan manusia dari
binatang. Dengan bahasa, orang berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan
orang lain, sedangkan dengan berpikir, dia dapat memecahkan berbagai masalah
kehidupan yang dihadapinya. Berpikir adalah upaya yang kita lakukan dengan
jalan mengorganisasikan serta menggunakan berbagai konsep, berbagai
pertimbangan, berbagai kebiasaan, dan berbagai kaidah sebelum suatu tindakan
dilakukan.
7.Cara
berpikir mempengaruhi bahasa
Sebaliknya, ada
anggapan bahwa cara berpikir mempengaruhi cara berbahasa atau dengan kata lain,
pikiran yang termasuk kebudayaan mental mempengaruhi bahasa. Dalam hal ini,
kebudayaan suatu masyarakat (Wardhaug dalam http://achokonyol.blogspot.com) berefleksi di
dalam bahasa yang mereka pergunakan. Pikiran (kebudayaan mental) mengarah
bahasa menjadi bahasa yang berisi, bermakna, dan bermanfaat. Kerusakan pikiran
seseorang akan mempengaruhi bahasanya. Jika pikiran seseorang kacau, maka
bahasanya juga akan kacau. Pada suatu saat bahasa seseorang mungkin bagus dan
terpelihara, tetapi di saat lain bahasanya kurang terjaga. Hal itu sangat
tergantung pada keadaan pikiran ketika dia berbahasa. Mungkin, bahasa orang
gila masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat, dan tujuannya tidak dapat
dipahami. Padahal, bahasa sebagai suatu system komunikasi harus dapat dipahami
makna dan tujuannya terutama bagi peserta komunikasi (penyapa dan pesapa).
8.Tata cara berbahasa dipengaruhi norma-norma budaya
Hubungan lain yang
perlu diperhatikan adalah bahwa di dalam tindak komunikasi, kita tunduk pada
norma-norma budaya. Tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budaya yang hidup dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakan
bahasa tersebut. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budayanya, maka dia tidak jarang dituduh orang yang aneh, egois,
sombong, acuh, tidak beradat atau bahkan tidak berbudaya.
9.Bahasa
ditransmisi secara kultural
Artinya, kemampuan
berbahasa ditransmisi dari generasi kegenerasi dengan proses belajar dan bukan
secara genetik. Pernyataan ini bukanlah menyangkal bahwa anak-anak dilahirkan
dengan kemampuan bawaan (batiniah) terhadap bahasa, melainkan menegaskan
perbedaan antara bahasa manusia dengan system komunikasi hewan.
10.Kebudayaan
merupakan hasil komunikasi
Inti dasar
kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan di atas adalah segala sesuatu dalam
rangka kehidupan masyarakat sebagai hasil proses belajar. Sesuatu yang dimaksud
di sini adalah ide, tindakan, dan hasil karya manusia. Ketiga-tiganya tercipta
dan menjadi bermanfaat dalam kehidupan manusia karena interkasi antar manusia
di dalam masyarakat itu. Interaksi manusia hanya akan dapat terwujud apabila
terjadi komunikasi. Tiada interaksi tanpa komunikasi. Itulah sebabnya interaksi
sering diasosiasikan dengan komunikasi.
11.Perubahan
kebudayaan mempengaruhi perubahan bahasa
Hubungan antara
bahasa dengan kebudayaan yang masih sangat perlu mendapat perhatian adalah
mengenai perubahan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya. Perubahsan bahasa
yang diakibatkan perubahan budaya lebih menonjol pada aspek leksikon (kosakata)
daripada aspek-aspek linguistik lain baik mengenai bentuk maupun mengenai makna
leksikon itu. Perubahan bahasa secara leksikon dapat dilihat dari beberapa segi,
yaitu: (1) penghilangan, (2) penambahan, (3) perluasan, (4) penyempitan, dan
(5) pertukaran. Kelima hal itu akan dijelaskan dalam tulisan ini dengan
mengambil contoh-contoh dari bahasa Indonesia dan sedikit dari salah satu bahasa
daerah di Sumatera Utara.
12.Bahasa
sebagai perekat emosi budaya
Hubungan bahasa
sebagai perekat emosi budaya ini perlu juga dibuktikan dengan pergi ke
Berastagi untuk membeli jeruk dengan menggunakan bahasa Karo dan bahasa
Inggris. Mungkin, harga jeruk itu lebih murah dengan menggunakan bahasa
Inggris. Kalau begitu, hubungan bisnis kita dengan orang Tionghoa akan lebih
lancar jika kita dapat menggunakan bahasa Cina.
13.Bahasa
sebagai pengarah pikiran
Pengarah pikiran
ini akan lebih efektif lagi apabila pembicara menggunakan kemampuan berbahasa,
kemampuan komunikasi, dan kemampuan retorika yang memiliki daya pikat seperti
yang diperankan oleh seorang dosen, penceramah, juru kampanye, dan ahli pidato
yang komunikatif.
2.3
Teori Pendidikan (Psikologi Pendidikan)
Psikologi pendidikan
adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang
berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Dari batasan di atas terlihat
adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan
belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi
pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah
soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tindakan belajar.
Sudrajat (2008)
berpendapat bahwa psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu
cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks
situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi
dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui
metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang
tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan
sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti
pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan
Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang
di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.
Pendidikan sebagai
suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta
didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh
karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien,
maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat
memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya
secara efektif.
Guru dalam
menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta
didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya
maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku
peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan
perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata
bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti
penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi
pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni
kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara
pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah
pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar
mengajar peserta didik”
Dengan memahami
psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan-pertimbangan
psikologisnya diharapkan dapat:
1.
Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat
Dengan
memahami psikologi
pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam
menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan
pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang
taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan
individu.
2.
Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai
Dengan
memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan
strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu
mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan
gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3.
Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas
dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat
membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya
diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar,
melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4.
Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik
Memfasilitasi
artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa,
seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan
berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu,
khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai,
tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai
fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5.
Menciptakan iklim belajar yang kondusif
Efektivitas
pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan
pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat
menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa
dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6.
Berinteraksi secara tepat dengan siswanya
Pemahaman
guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi
dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang
menyenangkan di hadapan siswanya.
7.
Menilai hasil pembelajaran yang adil
Pemahaman
guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan
penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian,
pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
Dalam hubungannya
dengan pembelajaran, pembelajaran hendaknya dimulai dari hal sederhana ke hal
yang lebih kompleks, atau dari hal nyata ke hal yang bersifat abstrak. Psinsip
inipun perlunya diterapkan oleh pendidik dalam pemilihan bahasan ajar agar
dapat dipahami oleh siswa, terlebih pada siswa usia dini.
2.4
Pemerolehan B1 dan B2 sebagai Bahan kajian Linguistik Terapan
Objek kajian
linguistik terapan tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang
berfungsi sebagai sistim komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya;
bahasa keseharian manusia, bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai
anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan an ordinary language atau a natural language. Ini berarti bahasa
lisan (spoken language) sebagai obyek
primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistik, karena bahasa
tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.
Sementara itu,
Ferdinand De Saussure, seorang ahli linguistik kebangsaan Swiss yang dianggap sebagai
bapak linguistik modern, menegaskan bahwa objek linguistik mencakup “langage, langue dan parole”. Langage (Inggris; Linguistic disposition) adalah bahasa pada umumnya, seperti dalam
ungkapan “manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak mempunyai bahasa”.
Langue (Inggris; language) berarti
bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan
lain-lain. Sedangkan parole (Inggris;
speech) berarti logat, ucapan atau
tuturan.
Mengenai
pemerolehan bahasa pertama (PB1) dan pemerolehan bahasa kedua (PB2) telah sejak
lama mendapat perhatian linguistik terapan. Pemerolehan Bahasa merupakan sebuah
hal yang sangat menajubkan terlebih dalam proses pemerolehan bahasa pertama
yang dimiliki langsung oleh anak tanpa ada pembelajaran khusus mengenai bahasa
tersebut kepada seorang anak (Bayi). Seorang bayi hanya akan merespon ujaran
ujaran yang sering didengarnya dari lingkungan sekitar terlebih adalah ujaran
ibuya yang sangat sering didengar oleh anak tersebut.
Seorang manusia tidak hanya dapat memiliki satu bahasa saja melainkan seseorang bisa meperoleh dua sampai empat bahasa tergantung dengan lingkungan sosiall dan tiangkat kognitif yang dimiliki oleh orang tersebut.
Seorang manusia tidak hanya dapat memiliki satu bahasa saja melainkan seseorang bisa meperoleh dua sampai empat bahasa tergantung dengan lingkungan sosiall dan tiangkat kognitif yang dimiliki oleh orang tersebut.
Proses anak mulai
mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal
disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1)
(anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1)
(anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian
mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan
yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan
yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif
pralinguistik. Pemerolehan B1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan
kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang
berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis
mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan
baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari
berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas,
kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia .
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia .
Pemerolehan bahasa
pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak
dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Melalui bahasa,
khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 salah satu
sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam
bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk
yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan
perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang
anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau
gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang
terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit
apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
Perkembangan
pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting
yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan
(c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan
(c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa
pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang
ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objek dengan orang. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen
+ Aksi + Objek, Agen + Objek.
ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objek dengan orang. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen
+ Aksi + Objek, Agen + Objek.
Pada masa tahap 2
ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat
kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem
gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan
bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu
hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat
bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi
dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban,
serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual
yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani
dan non-insani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat,
antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak
mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata
yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu
ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan
segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan
ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan
negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan
penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Ada tiga tipe
struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu
pertanyaan yang menuntut jawaban ya
atau tidak, pertanyaan yang menuntut
informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan
(polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal
memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak.
Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat
dimensi yaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak
setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang
tersela, yaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa
yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari
penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat
yang lebih diperluas.
Pada perkembangan
masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih
impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung
lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan
bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di
masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa
taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana
cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang
dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak
mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai
atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan
bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, yaitu
struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik.
2.5
Kontruksi Materi
Kontruksi
materi dalam teks sangat mempengaruhi pemahaman pembaca terhadap ide yang
disampaikan dalam teks tersebut. Kontruksi materi meliputi pemakaian kosakata,
penggunaan kaliamat, kelengkapan unsur kalimat, dan cara pengungkapan ide dalam
sebuah teks. Keterbacaan (readability)
merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu
dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Klare (1963)
menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada
tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana
berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan (http://rengga92.blogdetik.com/2011/03.htm).
Keterbacaan (readability) merupakan
ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari
segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Berikut dijelaskan satu persatu
hal-hal yang mempengaruhi keterbacaan suatu teks.
1.
Pemakaian kosakata dalam hubungannya dengan psikologi pendidikan
Tingkat
kesulitan kata merupakan faktor yang mempengaruhi keterbacaan suatu teks (http://rengga92.blogdetik.com/2011/03.htm).
Penggunaan kosakata tertentu dalam teks hendaknya selalu disesuaikan dengan
tingkat perkembangan kognitif siswa. Contohnya saja penggunaan kata-kata yang
bersifat abstrak pada kelas-kelas rendah tentunya akan sangat menyulitkan
siswa.
Guru-guru dipandang
perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi
cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar
anak adalah tersedianya sumber ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak
dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui
kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan
membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain.
2.
Panjang pendeknya kalimat
Menurut
Hafni (dalam Sulastri, 2010) semua formula keterbacaan mempertimbangkan faktor
panjang kalimat ini. Kalimat yang lebih panjang cendrung lebih ruwet
dibandingkan dengan kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa panjang
kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat (memory
span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan penelitian yang
dilakukannya membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu
faktor yang menyebabkan sebuah wacana sulit. Ini berarti bawa faktor
panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan
sebuah wacana.
Untuk
membuktikan bahwa kalimat yang pendek-pendek lebih mudah dipahami dibandingkan
kalimat panjang, berikut diberikan dua buah contoh.
Contoh
A:
Ini Budi.
Ini ibu Budi.
Ibu Budi sedang memasak.
Ini Wati.
Wati kakak Budi.
Wati sedang menyiram bunga.
Pak Ahmad ayah Budi.
Beliau sedang membaca koran.
Mereka berempat tinggal di
kampung Cimanggu.
tempat tinggalnya tidak jauh
dari pasar.
Contoh
B:
Ini Budi yang dilahirkan dari
pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang perempuan bernama Wati.
Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga;
sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimangguyang
letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.
Ditinjau dari segi
informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut
tidaklah berbeda. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi
dan maksud yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud
kalimat, seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B,
terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat
yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan
kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang. Tentunya contoh A lebih
mudah dirasakan oleh siswa dibandingkan dengan contoh B.
3.
Kelengkapan struktur kalimat
Kelengkapan
struktur kalimat juga menjadi faktor yang mempengaruhi keterbacaan suatu teks.
Kelengkapan struktur yang dimaksud adalah kaliamat yang digunakan oleh penulis
dalam mengungkapkan ide-idenya hendaknya paling tidak harus menggunakan unsur
subjek dan predikat. Ketiadaan unsur-unsur pengisi subjek, predikat, objek,
ataupun keterangan yang dibutuhkan dalam suatu kalimat tentu akan mengganggu
pemahaman pembaca teks tersebut. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan kekeliruan
pemahaman isi teks.
4.
Penyajian ide
Cara
seorang penulis menyampaikan ide tentunya berbeda-beda. Penyampaian ide
biasanya dilakukan melalui dua cara, yaitu ide disampaikan di awal tulisan yang
kemudian disusul oleh kalimat-kalimat penjelas (termasuk contoh atau ilustrasi)
dan ide yang disampaikan di akhir pemaparan. Dengan cara kedua, penulis akan
menampilkan ide-ide penjelas terlebih dahulu yang kemudian ditutup atau
disimpulkan dengan ide utama tulisan tersbut.
2.6
Modus Berpikir (Teori Retorika Robert Kaplan)
Golden, dkk (dalam Jazeri, 2008) menjelaskan bahwa retorika adalah studi
tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan
secara bebas. Retorika dipandang sebagai studi yang tertua dan yang paling
sentral dalam berbagai studi kemanusiaan. Brooks dan Warren (dalam Jazeri, 2008)
menjelaskan bahwa retorika adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Oleh
sebab itu, pada awalnya retorika memang diartikan sebagai kesenian untuk
berbicara yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Namun, sebagai suatu
ilmu, retorika ditandai oleh seperangkat ciri yang merupakan karakteristik
keilmuannya. Seperangkat ciri yang dimaksud meliputi: (1) pradigma yang
mencakup perspektif teori secara umum dan model berpikir terhadap fenomenanya,
(2) metode dan instrumen yang dipergunakan, dan (3) jangkauan pemersalahannya
(Khun dalam Jazeri, 2008).
Dalam keberadaannya sebagai ilmu dan model
berpikir, maka dapat dikatakan bahwa retorika bersangkut-paut dengan
faktor-faktor analisis, pengumpulan data, interpretasi, dan sintesis. Jika model
berpikir ini merupakan satu implementasi lebih lanjut dari paradigma yang
dianut, maka verifikasinya terletak pada kriteria diterima atau tidaknya model
berpikir tersebut sebagai suatu paradigma has less to do with truth and
logic than with its persuasiveness and the relative strength of followers
within the scientific community”.
Verifikasi terhadap retorika untuk memenuhi
karakteristik keilmuannya, maka terdapat tiga macam pertanyaan yang ditujukan
pada setiap ilmu yang dikenakan pula pada retorika adalah. Pertama, apakah
retorika itu? Dengan kata lain orang bertanya tentang hakikat retorika atau ontologi
retorika. Kedua, ialah pertanyaan tentang bagaimana retorika itu?
Pertanyaan ini bermaksud memperoleh jawaban bagaimana mempelajari retorika atau
menganalisisnya. secara ilmiah pertanyaan disebut epistemologi retorika.
Ketiga, pertanyaan tentang untuk apa retorika? Pertanyaan ini
mempertanyakan manfaat studi retorika, yakni tentang aksiologi retorika.
Kapplan (dalam Jazeri, 2008) mengingatkan kita bahwa tindakan dan objek
tertentu tampak sangat berbeda bila dilihat dari budaya yang berbeda pula,
tergantung pada nilai-nilai yang melekat padanya. Dalam mendefinisikan
retorika, menurut Campbell (1972), haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan
pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi
kemauan”.
Sejalan dengan berkembangnya Ilmu Bahasa,
fungsi bahasa juga semakin meluas. Mulai dari alat penyampai pesan dalam komunikasi
sampai anggapan bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya masyarakatnya. Lado (dalam Jazeri, 2008)
menjelaskan bahwa bahasa adalah bagian dari budaya dan alat untuk
berkomunikasi. Sebagai bagian dari budaya, bahasa sangat erat dengan seluruh
perilaku dan jalan pikiran penuturnya. Worf (dalam Jazeri, 2008) menjelaskan bahwa “the nature of language
and its speakers are intimately connected”. Visi dunia (world view)
penutur, bahasa, dan budaya yang melatarbelakangi keberadaan suatu wacana
merupakan jalinan yang tidak dapat dipisahkan.
Berkaitan dengan jalan pikiran penutur dan
budanyanya, muncullah retorika. Retorika dilandasi oleh logika yang berlaku
dalam suatu budaya. Sebagai bagian dari budaya, retorika bersifat kontekstual,
yakni berbeda dari satu budaya dengan budaya lain dan dapat berbeda pula dari
waktu ke waktu. Dengan kata lain, retorika tidak bersifat universal.
Mengutip Kaplan
(dalam Jazeri, 2008) mengemukakan empat model utama
retorika yang berlaku di antara budaya-budaya yang ada di dunia. Pertama,
retorika model Anglon-Saxon yang berkembang dari cara berpikir
Plato-Aristotelian. Retorika model Anglo-Saxon ini bersifat linier atau lurus. Dalam wujud satuan wacana terkecil
yaitu paragraf, sifat linier itu tercermin pada cara organisasi pengembangan gagasan.
Model kedua adalah retorika Semitik
(Modus berpikir paralel atau
Koordinatif) yang
berkembng dari budaya Arab-Parsia. Retorika Semitik sangat diwarnai oleh
penggunaan paralelisme yang berlebihan, yaitu berlebihannya penggunaan
kata-kata koordinator dan dan tetapi, baik dalam satuan retorika
terkecil maupun yang lebih besar. Karenanya, jumlah kalimat majemuk setara
lebih banyak dibanding kalimat majemuk bertingkat.
Model ketiga adalah retorika Asia,
termasuk Indonesia. Model ini diwarnai oleh cara penyampian pesan secara tidak
langsung atau biasa disebut dengan modus berpikir sirkuler atau
melingkar. Hal
ini dapat dipahami dari budaya Indonesia yang memang bersifat tertutup.
Penyampaian pesan secara linier seperti dalam retorika Anglo-Saxon dirasa
kurang sopan.
Model keempat adalah retorika Franco-Italian (Modus berpikir digresif atau maju-mundur). Model ini diwarnai oleh penggunaan
kata-kata yang berlebihan dan berbunga-bunga yang terkadang tidak menyentuh
inti masalahnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Analisis Konstruksi Materi
Analisis
kontruksi materi dilakukan terhadap dua teks dengan topik sama dari dua buka
pelajaran yang ditulis oleh pengarang yang berbeda. Adapun teks yang menjadi
topik kajian dalam laporan ini adalah teks dengan topik “Pidato” yang menyangkut membaca dan menyusun
pidato. Berikut ini adalah identitas buku pelajaran yang menyangkut kedua topik
kajian laporan ini.
Identitas
Buku:
1) Judul : Bahasa Indonesia: SD/MI Kelas 6
Penulis : Samidi dan Tri Puspitasari
Penerbit : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional
Tahun : 2008
Jumlah Halaman : 160 halaman
Halaman Kajian : 103-106
2) Judul : Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas: untuk
Kelas VI SD/MI
Penulis : Edi Warsidi dan Farika
Penerbit : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional
Tahun : 2008
Jumlah Halaman : 112 halaman
Halaman Kajian : 72-76
Untuk
mempermudah penyebutan, buku karangan Samidi dan Tri Puspitasarid disebut teks pertama (TP) dan buku karangan Edi
Warsidi dan Farika disebut teks kedua
(TK).
3.1.1
Keterkaitan Kosakata dengan Psikologi Pendidikan
Penggunaan
kosa kata dalam teks sudah selayaknya disesuaikan dengan teori psikologi
pendidikan yang ada. Contohnya saja teori mengenai pembelajaran di mulai dari
hal dekat ke hal yang jauh; dari hal-hal sederhana ke hal-hal komplek; dari
hal-hal nyata ke hal-hal yang bersifat abstrak. Teori tersebut sudah selayaknya
diperhatikan dalam pemilihan kosa kata penyusun suatu teks bacaan. Kosa kata
yang digunakan hendaknya sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Teks yang menjadi
bahan kajian adalah teks yang ditujukan untuk siswa kelas VI SD/MI, ini berarti
usia siswa berkisar 11-12 tahun. Pada usia ini, menurut Piaget siswa telah
berada dalam tahap operasional formal. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir
abstrak dan logis. Model berpikir ilmiah dengan tipe hepothetico-deductive dan inductive
sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan,
dan mengembangkan hipotesa. Karakteristik tahap ini adalah: (a) anak sudah dapat
bekerja secara efektif dan sistematis; (b) menganalisis secara kombinasi; dan (3) menarik
generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
Dalam teks pertama (TP) dan teks kedua (TK) terlihat bahwa kosa kata
yang digunakan adalah kosa kata yang telah akrab dengan siswa. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipat berikut ini.
Latihan berpidato atau
presentasi bermanfaat untuk melatih keberanian kita berbicara di depan umum.
Percaya diri adalah modal kita dalam berpidato. Selain itu, kita harus
memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam berpidato (TP, h.103).
Ada berbagai macam cara
berpidato, yaitu membaca naskah, menghafalkan naskah, menggunakan kerangka
pidato, dan tanpa naskah. Pada pelajaran ini, kamu akan belajar berpidato
dengan membaca naskah (TK, h.74).
Dari kedua contoh
kutipan tersebut terlihat bahwa kosa kata yang digunakan adalah kosa kata yang
telah biasa dipergunakan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hanya saja dalam TP
terjadi penyamaan istilah antara berpidato
dengan presentasi yang dirasakan
kurang tepat. Dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah itu digunakan untuk
menyebutkan dua kegiatan yang berbeda. Kita dapat dengan mudah mengklaim bahwa
suatu kegiatan kita sebut berpidato dan kegiatan lain kita sebut presentasi.
Penyamaan kedua kosa kata dalam TP ini tampaknya perlu diperhatikan agar jangan
sampai terjadi kebingungan dalam diri siswa. Jika pun penulis ingin
menyandingkan kedua istilah tersebut, hendaknya disertai dengan uraian atau
penjelasan yang memadai.
Pada TK terlihat
penulis secara berturut-turut menggunakan kata “naskah” dalam paragraf
pertamanya. Penggunaan kata “naskah” dalam paragraf tersebut tentunya tidak
salah. Namun, kata “naskah” ternyata tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh
sebagian siswa. Berbeda halnya dengan kata “teks” yang sudah sangat familiar di
telinga siswa. Ini berarti kata “teks” lebih dekat dengan kehidupan siswa
dibandingkan dengan kata “naskah”. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kata
“naskah” dalam paragraf tersebut diganti dengan kata “teks” atau digunakan
kedua istilah tersebut secara bersamaan untuk lebih meningkatkan keterbacaan
paragraf tersebut.
Selain pada contoh
tersebut, ketidaktepatan penggunaan kosa kata juga tampaknya terlihat pada
kalimat berikut ini.
“Intonasi di sini mencakup tempo,
jeda, dan tekanan suara (TP,
h.104)”.
Jika siswa membaca
sekilas kalimat tersebut tentu tidak menemukan kesulitan yang berarti. Namun
ketika siswa ditanyai mengenai apa itu “tempo” dan apa itu “jeda” hanya
sebagian kecil siswa yang dapat menjawab. Hal ini dikarenakan kata-kata
tersebut jauh dari kehidupan siswa. Untuk itu penggunaan kata “tempo” dan
“jeda” perlu mendapatkan pertimbangan. Salah satu solusinya adalah memberikan
keterangan mengenai kedua konsep kata tersebut. Pemberian keterangan tambahan
pada kosa kata yang dirasa sulit dipahami terlihat seperti pada kata “tekanan
suara” yang diberikan penjelasan seperti tampak pada kutipan di bawah ini, yang
merupakan lanjutan kutipan sebelumnya.
“Intonasi
di sini mencakup tempo, jeda, dan tekanan suara. Tekanan berhubungan dengan
keras atau lemahnya suatu kata dan frase
yang diucapkan (TP, h.104)”.
Selain
kata “tempo” dan “jeda” penggunaan kata “frase” pada siswa kelas VI juga agak
sulit dipahami walaupun kata tersebut kemungkinan pernah didengar siswa. Kemungkinan
untuk tidak mengingat konsep “frase” tersebut tetap lebih besar daripada
kemungkinan mengingatnya. Oleh karena itu, penggunaan kosa kata tersebut
hendaknya diberikan penjelasan dengan menggunakan tanda dalam kurung [(...)].
Penggunaan
kata-kata yang tampaknya telah memperhatikan teori psikologi pendidikan, yaitu
belajar dengan menggunakan istilah atau kosakata yang ada di sekitar siswa
(telah dikenal) terlihat pada dua kutipan berikut.
“Pidato adalah kata-kata yang
disampaikan dan ditujukan kepada orang banyak. Pidato banyak jenisnya, di
antaranya, pidato sambutan yang disampaikan pada awal sebuah acara atau pidato
kenegaraan yang disampaikan oleh presiden. Agar pidato yang dilakukan berjalan
lancar, hendaknya kita menyusun naskah pidato terlebih dahulu (TK, h.70).”
“Sebelum menyusun naskah
pidato hendaknya kamu menulis hal-hal penting mengenai acara, misalnya nama
acara, para undangan yang hadir, serta tujuan dari penyelenggaraan acara.
Setelah itu, buatlah kerangka naskah pidato dengan memerhatikan bagian-bagian
pidato (TK, h.70).”
Kosakata
dalam kedua teks tersebut tentunya sudah biasa didengar dan digunakan siswa
dalam kehidupan keseharian. Dengan kata lain, tidak terdapat kosa kata sulit
yang menghalangi pemahaman siswa terhadap paragraf tersebut. Hal ini
mengakibatkan dua paragraf tersebut mudah dipahami siswa.
Tidak
hanya pada TK, pada TP pun ditemukan penggunaan kata-kata yang sudah digunakan
siswa sehari-hari sehingga teks tersebut mudah dipahami siswa. salah satu
paragaraf yang menggunakan kata-kata mudah dipahami siswa terlihat pada
paragraf berikut.
“Pidato adalah pengungkapan
pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak. Teks pidato
yang baik terdiri atas tiga bagian, yaitu pembukaan, isi, dan penutup, ... (TP,
h.104).”
3.1.2
Analisis Konstruksi Kalimat
3.1.2.1
Analisis Kontruksi Kalimat dari Segi Panjang Pendek Kalimat
Panjang
pendek kalimat tentunya dapat mempengaruhi keterbacaan suatu teks. Berikut ini
adalah contoh penulisan dua kalimat yang berbeda.
“... Struktur pidato terdiri
dari pembukaan, isi, dan penutup. Ketiga bagian ini harus ada dan urut. Apabila
tanpa salah satu bagian tersebut maka teks pidato akan terasa janggal (TP,
h.105)”.
“Agar pidato yang dilakukan
berjalan lancar, hendaknya kita
menyusun naskah pidato
terlebih dahulu.
Naskah pidato terdiri atas
tiga bagian, yaitu:
1. pembukaan,
2. isi,
3. penutup.
Sebelum menyusun naskah pidato
hendaknya kamu
menulis hal-hal penting
mengenai acara, misalnya nama acara,
para undangan yang hadir,
serta tujuan dari penyelenggaraan
acara (TK, h.72).”
Dua
teks tersebut memuat gagasan yang sama, yaitu mengenai bagian yang harus ada
dalam pidato. TP menggunakan gaya penulisan kalimat dirangkai sedangkan TK
menggunakan gaya teks diuraikan. Penggunaan gaya penguraian menjadi pointer
seperti pada TK mengakibatkan teks tersusun atas kalimat-kalimat pendek.
Penggunaan penomoran juga ternyata memudahkan siswa untuk mengingat isi teks.
Dengan kata lain, penomoran yang disertai kalimat-kalimat pendek lebih mudah
dipahami dibandingkan teks yang menggunakan kalimat panjang; TK lebih mudah
dipahami dibandingkan TP.
Kutipan
paragraf berikut ini juga menunjukkan bahwa kalimat pendek lebih mudah dipahami
dibandingkan dengan kalimat panjang.
“Latihan berpidato atau
presentasi bermanfaat untuk melatih keberanian kita berbicara di depan umum.
Percaya diri adalah modal kita dalam berpidato. Selain itu, kita harus
memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam berpidato (TP,
h.103).”
“Kamu mungkin pernah
mendengarkan seseorang yang berpidato. Ada yang berpidato dengan menarik, ada
pula yang tidak. Agar kamu dapat berpidato dengan baik, bacalah dan pahami
naskah pidato dengan baik. Persiapan yang baik sebelum berpidato akan
mengurangi rasa gugupmu ketika berpidato sehingga kamu pun dapat berpidato
dengan baik (TK, h.75).”
Kedua paragraf
tersebut memuat ide yang serupa, yaitu mengenai modal yang harus dimiliki dalam
berpidato. Paragraf pertama dari TP menggunakan dua kalimat sebagai
penyusunnya, sedangkan paragraf kedua dari TK menggunakan tiga kalimat sebagai
penyusunnya. Selain itu, paragraf TP memuat informasi yang lebih lengkap
dibandingkan dengan paragraf TK yang menggunakan kalimat yang lebih banyak dan
lebih panjang.
Untuk
mengungkapkan bahwa persiapan dibutuhkan dalam berpidato, baik dengan memupuk
percaya diri, lafal, intonasi, dan sikap, pada TP menggunakan dua kalimat
pendek, yaitu:
1) “Percaya diri adalah modal kita dalam
berpidato.”
2) “Selain itu, kita harus memerhatikan
lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam berpidato.”
Dalam TK untuk
mengungkapkan maksud yang serupa, yaitu diperlukannya persiapan dalam berpidato
menggunakan dua kalimat yang lebih panjang dibandingkan TP, yaitu:
1) “Agar kamu dapat berpidato
dengan baik, bacalah dan pahami naskah pidato dengan baik.”
2) “Persiapan yang baik sebelum
berpidato akan mengurangi rasa gugupmu ketika berpidato sehingga kamu pun dapat
berpidato dengan baik.”
Dari uraian
tersebut terlihat bahwa dua kalimat TK lebih panjang dibandingkan TP untuk
mengungkapkan maksud yang hampir sama. Bahkan, dengan kalimat yang lebih
pendek, kalimat TP mampu memberikan informasi lebih dibandingkan TK, yaitu
informasi mengenai perlunya memperhatikan lafal,
intonasi, dan sikap dalam berpidato
tidak dinyatakan secara eksplisit dalam kalimat penyusun paragraf TK.
Pengungkapan
hal yang serupa namun dengan kalimat berbeda (panjang-pendeknya) juga tampak
pada kutipan berikut.
“Supaya pidato yang akan
disampaikan dapat berhasil, maka kerangka pidato sangat diperlukan. Cara
menyusun kerangka pidato adalah dengan mengembangkan struktur pidato menjadi
beberapa bagian yang lebih rinci Contoh kerangka pidato tersebut sebagai
berikut.
A. Pendahuluan
1. Salam pembuka
2. Penghormatan
3. Ucapan syukur kepada Tuhan
4. Ucapan terima kasih
B. Isi
Uraian isi pidato
1. Memberikan informasi
2. Memberikan alasan
3. Memberikan hiburan
4. Memberikan pengaruh
C. Penutup
1. Kesimpulan
2. Permintaan maaf
3. Salam penutup (TP, h.105).”
“... buatlah kerangka naskah
pidato dengan memerhatikan bagian-bagian pidato. Hal-hal yang harus ada dalam
naskah pidato adalah sebagai berikut.
1. Salam atau sapaan pembuka.
2. Pembuka pidato.
3. Isi pidato.
4. Penutup pidato.
5. Salam penutup (TK, h.72).”
Kalimat-kalimat
penyusun TK lebih pendek dibandingkan dengan kalimat TP. Selain itu, jumlah
kalimat-kalimat pendek yang merupakan penyusun kedua teks tersebut lebih
sedikit pada TK.
Rincian pada TP
juga lebih banyak dan menimbulkan lebih banyak pertanyaan dibandingkan rincian
pada TK. Banyak rincian di TP yang tidak dimengerti oleh siswa. Dengan kata
lain, TK lebih mudah dipahami dibandingkan TP.
3.1.2.2
Analisis Kontruksi Kalimat dari Segi Kelengkapan Struktur
Struktur
sebuah kalimat paling tidak harus mengandung unsur pengisi subjek (S) dan
predikat (P). Ketiadaan salah satu unsur tersebut selain menyebabkan kekacauan
struktur juga dapat mengganggu pemahaman pembaca. Berikut ini adalah contoh
kalimat tanpa unsur S atau P.
1) “Berpakaian yang rapi, bersih,
dan tidak berlebihan (TP, h.104).”
2) “Pada akhir
pidato, sampaikan maaf jika ada kesalahan dan ucapkan terima kasih kepada para
pendengar (TP, h.104).”
Kutipan (1) tidak dapat disebut
kalimat karena tidak adanya unsur pengisi predikat. Lebih tepatnya kutipak (1)
adalah frase perluasan unsur subjek. Hal ini ditandai dengan kata “yang” yang merupakan penanda perluasan
kata “berpakaian” yang menduduki
fungsi subjek. Sama halnya dengan kutipan (1), kutipan (2) juga terasa janggal
karena ketiadaan salah satu unsur pengisi fungsi kalimat, yaitu unsur pengisi
subjek. Perbaikan kalimat tersebut agar menjadi kalimat yang memiliki struktur
lengkap tentunya dapat dilakukan dengan mengeksplisitkan unsur pengisi subjek pada
kutipan (2) dan menambahkan unsur pengisi predikat pada kutipan (1).
Kedua kutipan
tersebut dapat dipahami siswa walaupun struktur kedua kutipan tersebut tidak
lengkap. Namun, tentunya siswa akan lebih mudah memahami teks jika
kalimat-kalimat tersebut memiliki struktur lengkap. Berikut ini adalah contoh
perbaikan kedua kutipan tersebut.
3) Berpakaian yang
rapi, bersih, dan tidak berlebihan adalah
syarat yang harus dipenuhi saat berpidato.
4) Pada akhir
pidato, kamu hendaknya menyampaikan
maaf jika ada kesalahan dan ucapkan terima kasih kepada para pendengar
Pada kalimat (3)
tersebut fungsi predikat diduduki oleh kata “adalah”
yang mengakibatkan kalimat tersebut menjadi kalimat majemuk bertingkat anak
kalimat pengganti presikat. Sedangkan kata “kamu”
pada kutipan (4) menduduki fungsi subjek.
Untuk lebih menunjukkan
perbedaan kemudahan pemahaman antara struktur kalimat yang memiliki unsur
pengisi subjek dan predikat yang lengkap, beberapa kutipan berikut dapat
dibandingkan dengan kutipan (1) dan (2) yang memiliki struktur kalimat yang
tidak lengkap.
5) “Kita harus
memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam berpidato (TP,
h.103).”
6) “Pada pelajaran
ini, kamu akan belajar berpidato dengan membaca naskah (TK, h.74).”
7) “Pada pelajaran
ini, kamu akan belajar berpidato dengan baik (TK, h.74).”
8) “Setelah
pelajaran ini, kamu dapat mengetahui macam-macam teknik berpidato dan
mengetahui hal-hal penting (tujuan, nama, acara, dan undangan yang hadir) dalam
naskah pidato (TK, h.74).”
Jika dibandingkan
dengan kutipan (1) dan (2), kutipan (5), (6), (7), dan (8) tentunya lebih mudah
dipahami oleh siswa. Kelengkapan struktur pada kalimat-kalimat tersebut
tentunya merupakan penyebab lebih mudahnya kalimat tersebut dipahami oleh
siswa.
Struktur kalimat
juga menyangkut kelogisan sebuah kalimat. Berikut adalah sebuah contoh
ketidaklogisan kalimat yang dapat mengganggu pemahaman siswa.
“Kerangka pidato adalah
catatan tentang pokok-pokok isi pidato yang disusun sesuai dengan urutan yang
dikehendaki (TK, h.72).”
Ketidaklogisan
kalimat tersebut terletak pada uaraian yang mengatakan bahwa susunan kerangka
pidato dapat dibuat sesuai dengan urutan yang dikehendaki. Padahal seharusnya
kerangka pidato disusun sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan, yaitu (1)
pendahuluan, (2) isi, dan (3) penutup. Urutan tersebut tentunya tidak dapat
ditukar atau dibolak-balik. Uraian yang menyatakan susunan dapat dibuat sesuai
kehendak itulah yang dapat mengganggu pemahaman siswa mengenai cara menyusun
kerangka pidato.
3.1.2.3
Analisis Kontruksi Kalimat dari Segi Ide
Ide dalam
sebuah tulisan atau teks disampaikan dengan cara yang berbeda oleh pengarang
yang satu dan oleh pengarang yang lain. Pada TP ide disampaikan dengan cara
memberikan kalimat-kalimat penjelas di awal dan kemudian di susul dengan
pemberian konsep yang merupakan inti dari ide penulis. Pada TP bagian awal
penulis mengungkapkan bahwa berpidato bermanfaat untuk melatih keberanian dan
memaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berpidato. Hal tersebut tampak
pada kutipan berikut.
“Latihan berpidato atau
presentasi bermanfaat untuk melatih keberanian kita berbicara di depan umum.
Percaya diri adalah modal kita dalam berpidato. Selain itu, kita harus
memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam berpidato (TP,
h.103).”
Penulis
kemudian memberikan sebuah contoh pidato yang berjudul “Pidato Memperingati HUT RI Ke-62” setelah pemberian contoh
tersebut, penulis memaparkan pengertian pidato dan bagian-bagian pidato yang
kemudian disusul dengan rincian mengenai hal-hal yang perlu dikuasai saat
berpidato. Ini berarti penulis menggunakan metode induktif dalam penyampaian
idenya.
Pada
TK terdapat perbedaan dalam hal kontruksi kalimat dari segi ide jika
dibandingkan dengan TP. Pada TK, penulis memaparkan pengertian pidato terlebih
dahulu, kemudian penyampaian struktur sebuah pidato, contoh struktur sebuah
pidato dan barulah pemberian contoh
pidato. Hal ini berarti penulis menggunakan metode deduktif dalam penyampaian
idenya.
Dilihat
dari kemudahan pemahaman, teks dengan cara pemberian konsep terlebih dahulu
kemudian disertai dengan contoh (cara deduktif) dirasakan lebih mudah oleh
siswa dibandingkan pemberian contoh yang kemudian disertai dengan konsep teori
yang merupakan ide dari tulisan tersebut. Namun, siswa lebih kreatif dan lebih
tertantang untuk memahami sesuatu jika contoh diberikan di awal yang kemudian
disertai dengan penyimpulan konsep dari contoh yang diberikan (cara induktif).
Jadi, teks dengan gaya penyampaian mana yang lebih mudah dipahami sangat
ditentukan oleh tingkat intelektual para peserta didik.
3.2
Modus Berpikir
Kapplan (dalam Jazeri,
2008) mengingatkan kita
bahwa tindakan dan objek tertentu tampak sangat berbeda bila dilihat dari
budaya yang berbeda pula, tergantung pada nilai-nilai yang melekat padanya. Pada dua teks yang menjadi kajian dalam laporan ini diperlihatkan
pengunaan gaya penulisan atau modus berpikir yang berbeda untuk menyampaikan
ide penulisnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Ada beberapa hal
yang perlu dikuasai pada saat berpidato, di antaranya sebagain berikut.
a. Intonasi
Intonasi di sini
mencakup tempo, jeda, dan tekanan suara. Tekanan berhubungan dengan keras atau
lemahnya suatu kata dan frase yang diucapkan.
b. Lafal
Lafal merupakan
cara mengucapkan kata-kata secara jelas, enak, dan mudah didengar sesuai dengan
makna yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan.
c. Volume Suara
Dalam berpidato
pakailah volume suara yang keras dan besar, sehingga suara akan terasa berbobot,
mantap, dan berwibawa.
d. Sikap Pidato
1) Berpidato dengan
rendah hati dan tidak mengunggulkan kelebihan diri sendiri.
.... (TP, h.104).”
“Ada berbagai macam
cara berpidato, yaitu membaca naskah, menghafalkan naskah, menggunakan kerangka
pidato, dan tanpa naskah. Pada pelajaran ini, kamu akan belajar berpidato
dengan membaca naskah.
Pada pelajaran
sebelumnya, kamu sudah belajar menyusun naskah pidato. Naskah pidato tersebut
harus dibacakan dengan intonasi yang tepat agar menarik perhatian orang yang
mendengarkannya.
Kamu mungkin pernah
mendengarkan seseorang yang berpidato. Ada yang berpidato dengan menarik, ada
pula yang tidak. Agar kamu dapat berpidato dengan baik, bacalah dan pahami
naskah pidato dengan baik. Persiapan yang baik sebelum berpidato akan
mengurangi rasa gugupmu ketika berpidato sehingga kamu pun dapat berpidato
dengan baik.
Hal-hal yang harus
diperhatikan ketika berpidato menggunakan naskah adalah sebagai berikut.
1. Sebelum berpidato, bacalah naskah untuk
memahami isinya.
2. Mengetahui
hal-hal penting (tujuan, nama acara, dan undangan yang hadir) dalam naskah.
3. Ketika berpidato, gunakan intonasi yang tepat.
4. Pandangan mata
jangan selalu terarah pada naskah. Sesekali mata diarahkan pada hadirin (TK, h.74-75).”
Pada TP penyampaian ide mengenai
hal-hal yang perlu dikuasai dalam berpidato disampaikan secara langsung tanpa
pemberian ilustrasi sebelumnya. Bahkan hanya diberi pengantar satu kalimat.
Berbeda halnya dengan TK yang menyampaikan informasi dengan memberikan
ilustrasi terlebih dahulu untuk mengantarkan pembaca pada ide yang menjadi inti
informasi yang disampaikan. Penyampaian informasi seperti pada TP yang
disampaikan secara langsung dapat dikategorikan sebagai modus berpikir linier,
sedangkan gaya penyampaian seperti pada TK yang disampaikan secara tidak langsung
dapat dikategorikan ke dalam modus berpikir sirkuler atau melingkar. Modus
berpikir sirkuler atau melingkar ini lebih mudah dipahami oleh siswa karena
sebelum masuk ke materi/ide pokok, siswa atau pembaca disuguhi
ilustrasi-ilustrasi yang mampu menarik perhatian siswa untuk memokuskan
pikiran. Berbeda halnya dengan penyampaian informasi secara langsung seperti TP
yang mengakibatkan siswa merasa bahwa teks yang dibaca hanya bersifat hapalan
karena disampaikan tanpa adanya ilustrasi atau penjelasan yang dapat memberikan
imajinasi kepada siswa.
Selain dalam
kuripan (2) di atas, gaya penyajian secara sirkuler atau melingkar juga
terlihat dari penyajian ide yang diulang dan diperdalam dalam paragraf-paragraf
penyusun teks tersebut. hal ini tampak pada TK halaman 73-74. Dalam teks
tersebut diinformasikan tiga bagian penyusun yang harus ada dalam pidato pada
paragraf 2, pada paragraf 3 di bagian akhir, ketiga bagian pidato tersebut
dijelaskan kembali dengan materi yang lebih mendalam, dan pada paragraf 4,
kembali penulis memberikan ulasan mengenai ketiga bagian tersebut yang
dilakukan dengan cara pemberian contoh sebuah kerangkan pidato. Paragraf
tersebut kemudian disusul dengan contoh pidato utuh yang dikembangkan dari
contoh kerangka pidato dalam paragraf 4. Cara penyampaian ide seperti ini juga
dapat dikategorikan sebagai cara penyajian dengan modus sirkuler yang tentunya
lebih mudah dipahami siswa daripada penyajian dengan modus linier.
Penyajian dengan modus
linier tampak pada TP pada halaman 105-106. Pada TP tersebut pada bagian poin
(1) disampaikan mengenai tiga bagian penyusun pidato, bagian poin (2) diberikan
sebuah contoh kerangka pidato, namun contoh tersebut hanya merupakan penjelasan
dari tiap bagian kerangka pidato tanpa disertai sebuah contoh amplikatif
penyusunan kerangka pidato dalam sebuah acara. Setelah itu, pada poin (3) siswa
diminta menyusun sebuah naskah pidato dengan memberikan rambu-rambu dalam
bentuk cerita mengenai pidato yang harus disusun siswa. Cara penyampaian
seperti ini tentunya dapat mengakibatkan pemahaman yang kurang bagi siswa
karena tanpa disertai dengan uraian atau contoh yang memadai.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1
Simpulan
Dari
temuan dan pembahasan pada Bab III dapat ditarik kesimpilan bahwa untuk buku
orang Indonesia sebaiknya memerhatikan hal-hal berikut ini.
(1) Kosa kata yang digunakan yang lebih mudah dipahami adalah kosa kata
yang sesuai dengan psikologi pembaca, baik berhubungan dengan usia, tingkat
kesukaran, maupun perkembangan kognitif pembaca.
(2) Bagi teks orang Indonesia, kalimat-kalimat yang digunakan dalam buku
teks adalah:
a)
Kalimat-kalimat pendek lebih mudah
dipahami dibandingkan dengan kalimat panjang-panjang.
b)
Struktur kalimat lengkap (minimal
terdapat unsur S dan P) lebih mudah dipahami daripada kalimat tanpa S atau
tanpa P.
c)
Ide-ide yang disampaikan dengan
kalimat-kalimat runtut lebih mudah dipahami.
(3) Orang Indonesia lebih mudah memahami teks yang menggunakan modus
berpikir sirkuler.
4.2 Saran
Dari hasil
pembahasan dan simpulan maka penyusun buku teks hendaknya:
(1) Gunakan kosa kata yang sesuai dengan psikologi pembacanya;
(2) Penyampaian informasi dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat
pendek yang memiliki struktur lengkap (minimal dengan S dan P) dan disampaikan
secara runtut;
(3) Sebaiknya digunakan modus berpikir sirkuler agar teks yang disusun
lebih mudah dipahami pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007.
Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
http://achokonyol.blogspot.com/2010/01/antropolinguistik.html?zx=466e193cc5ef5c09.
Diakses 10 Juni 2011.
http://rengga92.blogdetik.com/2011/03.htm.
Diakses 10 Juni 2011.
http://www.kosmaext2010.com/makalah-sosiologi-antropologi-pendidikan-pengertian-ruang-lingkup-tujuan-metode-manfaat.php.
Diakses 15 Juni 2011.
Jazeri. 2008. Retorika Model Semitik dalam Al-Qur’an:
(Terjemahan Surah Al-Baqarah Ayat 1-50). Dalam http://jeryronggo.wordpress.com/2008/11/27
retorika-model-semitik-dalam-al-quran/terjemahan-surah-al-baqarah-ayat-1-50.htm
Lisnawati, Lis. 2010. Psikolinguistik
dalam Pembelajaran Bahasa. Jurnal Pendidikan dan Budaya EDUCARE dalam http://educare.e-fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=69.
Diakses 10 Juni 2011.
Miftah. 2010. Tujuan
Pembelajaran Bahasa. Dalam http://miftah19.wordpress.com/2010/09/27/tujuan-pembelajaran-bahasa/.
Diakses 15 Juni 2011.
Nasrudin, 2011. Hubungan Linguistik Terapan Dan Pembelajaran Bahasa.
Dalam http://takberhentiberharap.wordpress.com/2011/05/06/hubungan-linguistik-terapan-dan-pembelajaran-bahasa/.
Diakses 15 Juni 2011.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural.
Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik
Terapan. Yogyakarta: Nusa Indah.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Psilogi Pendidikan dan Guru. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/psikologi-pendidikan-dan-guru/.
Diakses 10 Juni 2011.
Sulastri, Isna. 2010. Keterbacaan Wacana dan Teknik Pengukurannya.
http://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-pengukurannya-2/.
Diakses 17 Juni 2011.
Solfin. 2011. Psikolinguistik dan Perencanaan Pengajaran Bahasa
Indonesia. Dalam http://solfin-harefa.blogspot.com/2010/11/psikolinguistik-dan-perencanaan.html.
Diakses 10 Juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar