Sabtu, 11 Juni 2011

STRATEGI PEBELAJAR

STARATEGI PEBELAJAR

Pengantar
Pebelajar memiliki dua jenis pengetahuan B2: deklaratif dan prosedural (Faerch dan Kasper 1983b). Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan tentang aturan-aturan dalam internalisasi B2 dan potongan-potongan bahasa yang diingat. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan menganai strategi dan prosedur yang digunakan oleh pebelajar untuk memproses data B2 agar bisa dikuasai dan selanjutnya digunakan. Ketika kita berbicara tentang pemerolehan B2, kita biasanya mengartikan pengetahuan deklaratif di mana pebelajar dianggap telah memiliki akses ke sebuah perangkat prosedur untuk belajar B2 itu. Pengetahuan deklaratif telah diteliti dalam Bab 3 dan 4. Bab ini membahas pengetahuan prosedural. Sedangkan bab-bab sebelumnya berkonsentrasi sebagian besar pada penggambaran PB2, fokus dari bab ini berfokus penjelasan PB2.
Pengetahuan prosedural secara umum dapat dibagi menjadi komponen-komponen sosial dan kognitif. Komponen sosial terdiri dari strategi perilaku yang digunakan oleh pebelajar untuk mengelola peluang interaksional (yaitu Penggunaan B2 di kontak tatap muka atau pada kontak dengan teks B2). Fillmore (1979) menjelaskan sejumlah strategi sosial secara umum yang digunakan oleh lima anak yang berbahasa Spanyol yang sedang belajar bahasa Inggris dalam situasi mereka sedang bermain dengan anak penutur asli. Untuk memulai, anak-anak mengadopsi sebuah strategi. Di mana strategi itu adalah bergabung dalam kelompok dan bertindak seolah-olah mereka mengerti apa yang terjadi, walaupun mereka tidak mengerti. Kemudian, mereka berusaha memberikan kesan bahwa mereka bisa berbicara dengan bahasa tersebut dengan memanfaatkan sedikit kata yang dipilih secara cermat. Mereka juga mengandalkan teman-teman mereka untuk membantu mereka ketika mereka berada dalam kesulitan komunikatif. Strategi sosial lainnya telah dipertimbangkan dalam Bab 5 dan 6. Oleh karena itu Fokus dari bab ini adalah strategi-strategi kognitif.
Komponen kognitif pengetahuan prosedural terdiri dari berbagai proses mental yang terlibat dalam internalisasi dan mengotomatiskan pengetahuan B2 baru dan penggunaanan pengetahuan B2 dalam hubungannya dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya untuk berkomunikasi dalam B2 itu. Proses-proses ini, oleh karena itu, melibatkan baik belajar dan menggunakan B2 itu. Proses belajar menjelaskan bagaimana aturan pebelajar mengakumulasikan aturan-aturan B2 baru dan yang sudah ada dengan memperhatikan masukan dan menyederhanakan melalui penggunaan pengetahuan yang ada. Mereka dapat menjelaskan tentang urutan 'alami' dari perkembangan yang dijelaskan dalam Bab 3. Proses-proses yang terlibat dalam penggunaan pengetahuan B2 terdiri dari strategi produksi dan startegi penerimaan serta strategi komunikasi. Yang pertama mendefinisikan itu adalah Tarone (1981) sebagai upaya untuk menggunakan pengetahuan B2 yang ada secara efisien dan jelas dengan usaha minimum. Selanjutnya yang terjadi ketika pembicara tidak mampu berkomunikasi seperti tujuan komunikasi yang telah direncanakan sebelumnya, dan karena itu dipaksa untuk mengurangi tujuan tersebut atau untuk mencari cara alternatif untuk mengekspresikan tujuannya itu. Maka strategi komunikasi adalah hasil dari kegagalan awal untuk melaksanakan sebuah rencana produksi. Penggunaan bahasa, oleh karena itu, dicirikan oleh produksi dan strategi penerimaan, yang beroperasi saat pebelajar memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan mudah dan secara setengah sadar. Hal ini juga ditandai dengan strategi komunikasi, yang beroperasi saat setiap pebelajar perlu untuk mengimbangi tujuan yang tidak memadai dan di mana sebagai hasilnya melibatkan upaya yang lebih besar dan lebih dekat dengan kesadaran.
Sebuah kerangka strategi pebelajar yang berbeda diberikan pada Gambar 7.1. Harus diakui bahwa strategi ini tidak khusus untuk peserta didik. Penutur bahasa asli harus dipertimbangkan untuk menggunakan jenis strategi yang sama. Yang membedakan pebelajar dan penutur asli adalah frekuensi dari penggunaan strategi yang sama tersebut.


























Gambar 7.1 Jenis Pengetahuan B2

Sebelum mempebelajari berbagai jenis pengetahuan prosedural secara rinci, penting untuk mempertimbangkan metabahasa yang digunakan untuk menggambarkan fenomena mental ini. Hal ini mungkin tak terelakkan, menjadikan keabstrakan dari konsep-konsep yang terlibat, bahwa metabahasa sering membingungkan dan tidak jelas. Secara khusus, para peneliti tidak menggunakan istilah 'strategi' 'proses' atau 'prinsip' secara konsisten. Kadang-kadang mereka menggunakannya sebagai sinonim untuk operasi mental umum, tapi kadang-kadang mereka menggunakannya untuk membedakan operasi yang terlibat dalam pemrosesan bahasa. Faerch dan Kasper (1980), misalnya, membuat perbedaan yang jelas antara 'strategi' dan 'proses'. Mereka mendefinisikan proses sebagai rencana untuk mengendalikan urutan di mana suatu urutan operasi adalah untuk dilakukan, dan proses adalah operasi yang terlibat baik dalam pengembangan rencana (proses perencanaan) atau dalam mewujudkan rencana (proses realisasi) lihat Figure7.2.








Gambar 7.2 Rencana dan realisasi dari kaum behavioris intelektual
(Faerch dan Kasper, 1980)

Masalah dengan perbedaan seperti itu adalah bahwa ada kesepakatan kecil mengenai perilaku mana yang merupakan 'proses' dan prilaku mana yang sebagai 'strategi'. Namun, masuk akal untuk membedakan ide urutan dari operasi-operasi (seperti pada 'produksi/proses penerimaan') dan ide dari operasi tunggal sebagai fitur dari proses (seperti dalam 'strategi penyederhanaan'). Perbedaan yang disampaikan oleh Faerch dan Kasper akan ditaati sebisa mungkin.
Bab ini akan mulai dengan penjelasan strategi pembelajaran. Bab ini kemudian akan melihat proses produksi. Idealnya juga harus mempertimbangkan proses penerimaan, tetapi untuk alasan ruang dan juga karena ini merupakan aspek dari 'kotak hitam' yang telah menerima sedikit pertimbangan (lihat Faerch dan Kasper 1980 dan 1983b; Sungai 1971) akan dihilangkan. Bagian akhir akan mempertimbangkan strategi komunikasi.

STRATEGI BELAJAR
Proliferasi istilah dan konsep, begitu juga karakteristik setiap aspek pengetahuan prosedural, mungkin paling jelas dalam diskusi strategi belajar. Strategi yang beragam seperti menghafal, overgeneralisasi (penyamarataan yang berlebihan), penyimpulan, dan pola yang telah tersusun/terangkum dalam 'strategi belajar'. Selain itu ada referensi tetap proses hipotesis-pengujian, yang mendasari operasi dari strategi yang lebih spesifik. Saya akan mencoba untuk memaparkan beberapa pembedaan dari heterogenitas ini, tapi saya tidak berusaha mengklaim bahwa kerangka yang saya berikan merefresentasikan kenyataan psikologis. Sebaliknya itu adalah alat bantu untuk mengatasi kurangnya presisi (ketepatan) yang mencirikan diskusi strategi belajar. Dasar kerangka kerja adalah perbedaan antara dua jenis produk linguistik: rumusan pembicaraan dan berbicara kreatif.

RUMUSAN PEMBICARAAN (FORMULA UJARAN)
Rumusan pembicaraan telah dibahas secara singkat dalam Bab 6. Ini terdiri dari “ekspresi yang dipebelajari sebagai keutuhan yang tidak dapat dianalisis dan dipekerjakan pada kesempatan tertentu. . .” (Lyons 1968:177). Hal ini dapat diamati dalam ujaran penutur asli serta pebelajar. Krashen dan Scarcella (1978) membedakan antara rutinitas dan pola, masing-masing untuk merujuk kepada seluruh ucapan yang dipebelajari sebagai potongan memori dan untuk ucapan-ucapan yang hanya teranalisis sebagian dan memiliki satu atau lebih slot yang terbuka (misalnya, 'bisakah saya mendapatkan...?). Ellis (1984c) juga menunjukkan bahwa rumusan pembicaraan dapat terdiri dari teks keseluruhan, seperti urutan ucapan, yang dapat diingat pebelajar karena mereka kurang lebih tetap dan dapat diprediksi.
Rumusan Pembicaraan telah diamati sangat umum dalam PB2, khususnya di tahap awal perkembangan. Ini terlihat secara berkala dalam wacana yang diucapkan oleh peserta didik anak (cf. Huang dan Hatch 1978) dan peserta didik dewasa (cf. Hellwig 1983) di PB2 naturalistik, dan juga di beberapa pebelajar formal (cf. Ellis 1984c). Potongan-potongan yang tidak teranalisis tersebut bervariasi dari pembelajar yang satu dengan pembelajar yang lain, tapi berikut tampaknya khas:
Aku tidak tahu.
Dapatkah saya memiliki ...........?
Tidak ada ,.........
Apa ini?
Aku ingin ..............
Ini adalah a. ...........
Apa kabar?
Saya tidak bisa berbahasa Inggris.

Setiap rumusan berkaitan erat dengan tujuan komunikatif tertentu. Ellis (1984a), misalnya, mencatat bahwa tiga pebelajar formal cepat mengembangkan sejumlah formula untuk memenuhi kebutuhan dasar komunikatif dalam kelas ESL di mana bahasa Inggris berfungsi sebagai media komunikasi. Krashen dan Scarcella (1978) mengusulkan bahwa pembicaraan dirumuskan peserta didik sebagai respon terhadap tekanan komunikatif. Artinya, mereka menghafal sejumlah ekspresi siap pakai untuk mengkompensasi kekurangan aturan B2 yang cukup untuk membangun ujaran kreatif. Krashen (1982) berpendapat bahwa formula ujaran terjadi ketika pebelajar dipaksa untuk berbicara sebelum ia siap. Ia akan terlibat dalam 'masa tenang' sementara ia membangun aturan B2 yang cukup untuk berbicara kreatif. Yang penting, bagaimanapun, adalah bahwa rumusan komunikasi (formula ujaran) terkait erat dengan kinerja makna khusus, dan itu umum di PB2 awal karena mengurangi beban belajar sambil memaksimalkan kemampuan komunikatif.
Perumusan pembicaraan melibatkan otak kanan dan otak kiri yang bertanggung jawab untuk fungsi kreatif bahasa. Otak kanan pada umumnya dianggap bersifat holistik (menyeluruh) yang melibatkan pengolahan. Pebelajar merasakan seluruh pola sebagai keseluruhan dari unsur-unsur pembentuknya. Oleh karena itu, pebelajar dapat menggunakan strategi hafalan yang dikaitkan dengan konteks dan terkait pula dengan fungsi komunikatif. Dalam hal ini, pebelajar dibantu dengan fakta bahwa (1) pola sangat sering, dan (2) masing-masing pola ini terkait dengan fungsi komunikatif sehingga pebelajar termotivasi untuk tampil.
Pola menghafal adalah strategi psikolinguistik. Hal ini terjadi tanpa pebelajar perlu mengaktifkannya secara sadar dan tidak memiliki manifestasi terbuka. Kita tidak dapat melihat atau mendengar penghafalan pola yang terjadi. Beberapa peneliti mengacu pada penggunaan pola prefabrikasi sebagai strategi pembelajaran, tapi ini adalah membingungkan produk dan proses. Pola adalah produk dari proses menghafal pola.
Pola perilaku imitasi (peniruan) merupakan pola yang setara dengan pola hafalan. Pola ini merupakan strategi perilaku karena biasanya secara sadar diaktifkan, sehingga dapat diamati bila terjadi. Pola imitasi (peniruan) melibatkan faktor kesengajaan dan metodis dengan cara menyalin seluruh ucapan-ucapan atau bagian dari ucapan-ucapan yang digunakan dalam pembicaraan. Hal ini sering terjadi pada kelas yang menggunakan teknik pola audiolingual. Peniruan itu dapat juga terjadi dalam pemerolehan bahasa kedua secara alamiah, ketika pebelajar meniru ucapan sebelumnya dari pembicara asli saat terjadi peristiwa komunikasi (terlepas dari ketepatan peniruan itu). Hal ini sangat umum terjadi, terutama pada anak TK. Seliger (1982) menganggap bahwa pola imitasi (peniruan) juga melibatkan kemampuan otak belahan kanan.
Itu telah dikemukakan dalam kedua penelitian pemerolehan bahasa pertama dan kedua bahwa rumusan pembicaraan adalah dasar yang penyedia untuk ujaran kreatif. Seliger (1982) mengusulkan bahwa pola belajar pada awalnya melalui hemisper belahan kanan dibawa ke hemisfer otak kiri, yang bekerja untuk menganalisis bagian-bagian yang ke luar.
Merumuskan pembicaraan adalah faktor penting dalam PB2, tetapi mungkin hanya faktor utama pada awal PB2. Pola strategi menghafal, pola imitasi (peniruan), dan analisis pola yang controversial harus dilihat sebagai strategi pembelajaran kecil dibandingkan dengan kontribusi mereka langsung ke sistem aturan kreatif.

UJARAN KREATIF
Ujaran kreatif adalah produk dari aturan B2. Chomsky mengatakan, ‘kreatif’ dalam artian seorang pebelajar memproduksi kalimat-kalimat yang sama sekali baru. Itu adalah aturan yang merupakan sistem bahasa antara pembelajar dan yang menjelaskan untuk urutan 'alami' pembangunan (lihat Bab 3).
Kebanyakan strategi telah diajukan ke penjelasan untuk sistem aturan kreatif. Faerch dan Kasper (1980, 1983b) memberikan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan strategi sistematis. Mereka membedakan strategi yang terlibat dalam menetapkan aturan bahasa antara, dan strategi yang terlibat dalam otomatisasi pengetahuan bahasa antara. Pada yang pertama mereka juga membedakan dua proses dasar dan terkait: pembentukan hipotesis dan pengujian hipotesis.

Pembentukan Hipotesis
Faerch dan Kasper (1983b) menyatakan bahwa hipotesis tentang aturan bahasa antara terbentuk dalam tiga cara:
1. dengan menggunakan pengetahuan linguistik sebelumnya (pengetahuan bahasa yaitu: pengetahuan B1, pengetahuan B2, atau pengetahuan linguistik lainnya);
2. dengan menginduksi aturan baru dari data input;
3. kombinasi dari (1) dan (2).

Yang mendasari proses umum ini adalah mungkin untuk mengidentifikasi dua strategi umum, masing-masing dengan sejumlah strategi yang lebih spesifik yang berhubungan dengan mereka. Kedua strategi umum itu adalah penyederhanaan dan penyimpulan.
Penyederhanaan
Penyederhanaan dimaksudkan bahwa pebelajar berusaha untuk meringankan beban belajar dengan berbagai cara. Ricards (1974) mendefinisikan strategi asimilasi sebagai upaya untuk mengurangi beban belajar. Penyederhanaan, kemudian, terdiri dari upaya pebelajar untuk mengontrol berbagai hipotesis ia mencoba untuk membangun setiap tahap tunggal dalam perkembangannya dengan membatasi formasi hipotesis kepada mereka dengan hipotesis yang relatif mudah untuk membentuk dan yang akan memfasilitasi komunikasi.
Penyederhanaan terbukti dalam penggunaan berbagai strategi. Tidak semua peneliti setuju penyederhanaan yang merupakan strategi pembelajaran. Faerch dan Kasper (1980), misalnya, berpendapat bahwa strategi seperti penyederhanaan, peneraturan, generalisasi berlebihan (overgeneralitation), dan kelebihan pengurangan yang pada kenyataannya, strategi non-belajar, karena itu mencegah pembentukan hipotesis yang benar. Namun, jika itu diterima bahwa pembentukan hipotesis tidak benar sangat penting dalam proses keseluruhan PB2, argumen ini tampak lemah. Belajar tidak hanya melibatkan pembentukan hipotesis yang benar, tetapi juga melibatkan hipotesis interim yang sistematis berubah sampai hipotesis benar itu tiba (didapat). Penyederhanaan memainkan peran positif dalam membatasi proporsi hipotesis yang dibentuk dengan memperhatikan masukan (yaitu melalui penelusuran) pada satu waktu.
Keberatan lain terhadap gagasan itu adalah penyederhanaan itu tidak masuk akal untuk merujuk kepada pebelajar sebagai penyederhanaan apa yang ia tidak miliki. Corder (1981) berpendapat bahwa PB2 harus dipandang sebagai suatu proses 'complexification'. Ini, bagaimanapun, mengacaukan proses produk dan proses lagi. Sementara Corder menekankan klaim bahwa pebelajar tidak dapat menyederhanakan aturan B2 yang belum ia peroleh, maka sangat layak untuk berpendapat bahwa ia menyederhanakan beban belajar dengan membatasi pembentukan hipotesis tergantung pada hadirnya masukan. Bahkan jika kita menerima bahwa produk tersebut tidak dapat disederhanakan dan ini akan ditantang dibagian berikutnya. Masih layak untuk berpendapat bahwa proses ini disederhanakan.
Penyederhanaan kadang-kadang mengacu pada strategi produksi daripada strategi pembelajaran (Tarone, 1981). Penyerdahanaan ini dimaksudkan bahwa seorang pebelajar B2 tidak mampu memanfaatkan secara maksimal B2 tersebut karena mengalami kesulitan dalam pengolahan bahasa. Oleh karena itu, pebelajar tersebut cenderung menyederhanakannya dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang kurang dipentingkan. Penyederhanaan jelas merupakan aspek penting dari produksi dan akan dipertimbangkan dalam bagian yang relevan kemudian. Ini tidak menghalangi kontribusinya untuk belajar dengan cara yang dibahas di atas. Penyederhanaan merupakan sebuah strategi pembelajaran dan strategi produksi.

Penyimpulan
Penyimpulan adalah sarana yang membentuk hipotesis pebelajar dengan menghadirkan masukan. Artinya, dalam kasus mengenai aturan-aturan yang sesuai B2 tidak dapat berhasil diperoleh dengan cara transfer atau overgeneralization bahasa antara dari pengetahuan yang ada, pebelajar perlu untuk mendorong aturan dari input.
Ada tiga jenis isyarat yang dibicarakan dalam penyimpulan yang disampaikan oleh Carton (1971), yaitu (1) intralingual (yaitu isyarat berasal dari keteraturan morfologi dan sintaksis dari B2), (2) interlingual (yaitu isyarat yang berasal dari pinjaman antara bahasa-bahasa yang memiliki kemiripan hipotesis), dan (3) ekstralingual atau kontekstual (yaitu isyarat berdasarkan petunjuk keteraturan secara objektif yang memungkinkan seseorang membuat prediksi). Bialystok (1983a) mengidentifikasi 3 jenis kesimpulan yang berbeda dengan Carton, yaitu (1) kesimpulan dari pengetahuan implisit, (2) kesimpulan dari pengetahuan lain, (3) kesimpulan dari konteks.
Penyimpulan intralingual melibatkan suatu proses yang sama dengan analisis pola baku pembicaraan. Perbedaannya adalah bahwa dalam hal ini pebelajar B2 beroperasi pada data eksternal daripada data internal (misalnya formula penyimpulan intralingual disimpan, kemudian diperoleh hasil dari analisis asupan. Penggunaan strategi diatur oleh bawaan linguistik atau kognitif kecenderungan untuk menghadiri fitur tertentu dari input.
Penyimpulan ekstralingual adalah salah satu perangkat yang paling kuat yang tersedia bagi para pebelajar untuk membangun hipotesis dari input eksternal. Yang terdiri atas memperhatikan ciri-ciri lingkungan fisik dan menggunakan ini untuk membuat input B2 agar bisa dipahami.

Pengujian hipotesis (Hypothesis testing)
Konsep pengujian hipotesis telah diperkenalkan dalam bab 3. Dijelaskan bahwa pebelajar bahasa dapat membuat kesalahan dalam rangka untuk menguji hipotesis tentang sistem aturan B2.
Setelah pebelajar telah membentuk hipotesis, ia bisa menguji itu dalam berbagai cara. Daftar cara yang dikemukakan oleh Faerch dan Kasper (1983b) Adalah sebagai berikut.
1. Reseptif (mencari gagasan baru), yaitu pebelajar memperhatikan input B2 dan membandingkan hipotesis dengan data yang disediakan dengan cara analisis asupan;
2. Produktif, yaitu pebelajar B2 menghasilkan aturan yang berisi ucapan-ucapan yang mewakili hipotesanya, dia telah membentuk dan menilai kebenarannya dalam jangka waktu tertentu berdasarkan umpan balik yang diterima;
3. Metalingual (berwawasan luas), yaitu pebelajar berkonsultasi dengan pembicara asli, guru, tata bahasa, atau kamus untuk mendapatkan hipotesis yang valid;
4. Interaksional (interaksi), yaitu pebelajar memunculkan perbaikan dari teman bicaranya dengan cara negosiasi makna dalam komunikasi.
Ada beberapa kecaman terhadap cara pandang pengujian hipotesis ini. Walaupun demikian, cara pengujian hipotesis ini tetap digunakan. Kecaman tersebut menunjukkan bagaimana hipotesis tersebut ditolak sehingga dimunculkannya konfirmasi terhadap hipotesis. Pebelajar bisa membuat dua atau lebih hipotesis terhadap sesuatu dengan aturan tunggal. Peranan umpan balik tersebut adalah memberi pertimbangan kepada pebelajar mengenai hipotesis mana yang akan diterima.

Proses Otomatisasi
Variabilitas dari fenomena bahasa antara (interlanguage) juga dicermati dalam peranan yang telah dibedakan berdasarkan proses secara otomatis (dengan sendirinya). Persaingan hipotesis terjadi berdasarkan tingkatan-tingkatan kelemahan hipotesis tersebut, kelemahan akses penggunaan B2. Bagian dari proses ini kemudian dilibatkan dalam memperkuat hipotesis dengan mengumpulkan bukti-bukti konfirmasi. Faerch dan Kasper (1983b) menyarankan bukti-bukti yang telah dikonfirmasi bisa dipraktikkan dalam B2 secara produktif dan reseptif (mudah menerima gagasan baru). Mereka mencirikan secara formal dalam B2 atau secara fungsional sebagai usaha yang komunikatif. Otomatisasi melibatkan praktik peran B2 dalam bahasa antara pada situasi formal, dalam satu rangkaian stilistik, dan mempraktikan aturan yang sudah digunakan dalam bahasa daerah.

Secara ringkas, pembentukan hipotesis, pengujian hipotesis dan proses otomatisasi dapat dilihat pada tabel berikut.
PROSES STRATEGI
Pembentukan Hipotesis Penyederhanaan
(1) overgeneralisasi (penyemarataan yang berlebihan)
(2) transfer (pemindahan sistem)
Penyimpulan
(1) intralingual (analisis masukan yang diproses)
(2) ekstralingual
Pengujian Hipotesis - Reseptif
- Produktif
- Metalingual
- Interaksional
Otomatisasi • Praktik Formal
• Praktik Fungsional


STRATEGI PRODUKSI
Perlu diingat bahwa dalam memanfaatkan aturan bahasa antara melibatkan dua strategi, yakni strategi produksi/penerimaan dan strategi komunikasi. Bagian ini mempertimbangkan penggunaan B2 dalam kaitannya dengan masalah pengetahuan. Bagian ini akan menyajikan model dasar produksi dan kemudian mempertimbangkan strategi khusus yang terkait dengan perencanaan dan komponen dalam mengartikulasikan model ini.

Sebuah model produksi B2
Hal ini diduga bahwa produksi B2 mengikuti pola yang sama seperti produksi penutur asli. Model yang terangkum di bawah ini yang digambarkan oleh Clark dan Clark (1977).
Titik awal strategi produksi ini adalah tujuan komunikatif pembicara. Ini mungkin untuk bercerita, untuk mengeluarkan instruksi, atau menjawab pertanyaan. Tujuan komunikatif akan menentukan jenis rencana wacana pembicara yang perlu dibentuk. Rencana ini akan mencerminkan apakah tujuan komunikatif perlu diwujudkan melalui dialog atau melalui monolog. Ini juga akan mencerminkan sejauh mana wacana yang konvensional dan 'scriptal' itu, atau memerlukan perencanaan yang unik. Setelah pembicara telah membentuk rencana wacana yang tepat, ia mulai membangun rencana kalimat. Ini melibatkan penguraian struktur konstituen setiap ucapan, setelah menentukan konten proposisionial umum dan makna ilokusi. Rencana wacana dan kalimat bersama-sama merupakan 'tulang'. Tahap berikutnya mengarah ke komponen pelaksanaan model. Ini terdiri dari bangunan rencana untuk struktur konstituen masing-masing. Namun, pengguna bahasa tidak selalu membangun rencana untuk semua konstituen dari ucapan yang diusulkan. Ia akan bergantian antara perencanaan konstituen individu dan eksekusi mereka. Jadi tahap perencanaan konstituen dan tahapan program artikulatoris tidak mengikuti mode linear. Bukti bahwa pengguna bergerak ke belakang dan ke depan dari perencanaan sampai eksekusi dapat ditemukan dalam jeda yang terjadi di dorong oleh kebutuhan pebelajar untuk waktu perencanaan konstituen berikutnya. Clark dan Clark menunjukkan bahwa program artikulatoris sendiri memiliki lima tahap: (1) seleksi atau pemilihan makna, karena setiap konstituen tersebut mempunyai makna tersendiri, (2) pemilihan garis besar sintaksis (tata kalimat) untuk setiap konstituen (misalnya merinci kata-kata dengan sesungguhnya), (3) memilih kata-kata kontentif (misalnya memilih kata benda, kata kerja, kata sifat, dan keterangan yang cocok dan tepat), (4) bentukan imbuhan dan kata hubung (misalnya pada kata-kata bentukan/kata jadian dan tatabahasa gramatikal), dan (5) merinci (menspesifikasi) segmentasi fonetik. Komponen akhir dari model ini adalah program motorik (penggerak), misalnya produksi aktual dari ucapan itu.
Gambar 7.3 memberikan diagram representasi dari 'tulang dan konstituen' model Clark dan Clark.














'Tulang dan konstituen' The Figure7.3 model produksi bahasa
(Berdasarkan Clark dan Clark 1977)

Littlewood (1979) mengusulkan sebuah model produksi khusus penjelasan untuk penggunaan B2. Modelnya berkaitan erat dengan Clark dan Clark. Littlewood membedakan dua set strategi yang didasarkan pada model: strategi minimal dan strategi maksimal. Yang mencirikan produksi pada tahap awal PB2. Pebelajar menyederhanakan baik tahap perencanaan konstituen dan artikulasi dalam beberapa cara. Pebelajar tidak dapat mengembangkan rencana konstituen untuk semua unsur utama kalimat. Sebaliknya, ia mungkin berencana untuk membagi hanya jumlah minimal elemen makna. Penyederhanaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan elemen makna sesuai dengan konteks situasional. Ellis (1982a) menggambarkan hal ini sebagai strategi penyederhanaan semantik. Tipe lain dari penyederhanaan dapat terjadi dalam program artikulatoris ketika pebelajar hanya memilih untuk mengkodekan isi kata-kata, dan untuk menghilangkan fungsi afiks dan pembentukan kata. Hal ini dapat terjadi baik karena pebelajar belum membangun hipotesis untuk aspek-aspek dari B2, atau karena tekanan dengan pengolahan yang tidak mengijinkan dia untuk melakukan pencarian menyeluruh sumber daya linguistiknya. Ketiga, penyederhanaan dapat dilakukan dalam motor program. Strategi maksimal terjadi ketika pembelajar telah berkembang, baik pengetahuan B2 memadai dan kontrol yang memadai atas pengetahuan ini untuk mewujudkan semua unsur bahasa, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk mengandalkan pengetahuan bersama. Mereka juga melibatkan kemampuan untuk membuat pilihan linguistik untuk mengkodekan penanda gaya seperti yang berkaitan dengan kesopanan. Dengan demikian, produksi awal cenderung ditandai dengan reduksi modalitas (Kasper 1979), kemudian produksi akan menampilkan penggunaan sistem-sistem gramatikal (misalnya verba nodal dan ekspresi adverbial) yang berhubungan dengan modalitas. Strategi maksimal tercermin dalam kekomplekan (keberagaman) sistem bahasa antara.
Model kerangka dan konstituen juga menyediakan kerangka kerja untuk menafsirkan pembedaan yang menarik milik Seliger (1980) di antara perencana dan korektor. Para perencana adalah mereka yang merencanakan setiap konstituen hati-hati sebelum memulai program artikulatoris. Akibatnya, kinerja mereka mungkin ragu-ragu tapi benar, setidaknya interms sistem bahasa antara mereka saat ini. Sebaliknya, korektor hanya sebagian konstituen masing-masing rencana sebelum memulai program artikulatoris, dengan hasil yang mereka hasilkan lebih sedikit jeda, tetapi lebih rentan terhadap pemantauan atau penggunaan strategi komunikasi ketika mereka menemukan ketidaksesuaian dengan sistem bahasa antara mereka atau ketika mengalami masalah. Penggunaan strategi perencanaan diuraikan secara lebih rinci di bawah ini.

Strategi Perencanaan
Ada dua strategi perencanaan, yakni penyederhanaan semantik dan penyederhanaan linguistik. Kedua strategi tersebut merupakan prosedur yang digunakan oleh pebelajar pada awal pemerolehan bahasa kedua.

Penyederhanaan Semantik
Penyederhanaan semantik terjadi bila menyederhanakan kalimat dengan mengurangi unsur berpreposisi. Penyederhanaan semantik ini tidak mengubah tata aturan kalimat (sintaksis), tetapi hanya menyederhanakan makna kalimat itu.
Contoh:
Seseorang telah memukul orang B. Dari sudut pandang si B mungkin direpresentasikan dengan:

Dia memukul saya.

Yang melibatkan kategori kasus:
(Agen) (Action proses) (Pasien)

Pebelajar dapat menghasilkan salah satu dari versi singkat berikut:
Memukul (= Aksi proses)
Dia memukul (= Agen + Aksi proses)
Memukul saya (= Aksi Proses + Pasien)
Dia saya (= Agen + Pasien)

Versi mana yang dipilih pebelajar akan mencerminkan (1) sumber daya linguistik yang telah tersedia (misalnya ia mungkin tidak tahu 'memukul' kata kerja), dan (2) yang ia rasakan akan informasi maksimal dalam hal tujuan komunikatif dan konteks situasi. Ellis (1982a, 1984a) telah menyarankan bahwa penyederhanaan semantik memberikan penjelasan kuat mengenai proses pemerolehan B1 dan B2.

Penyederhanaan Linguistik
Penyederhanaan linguistik melibatkan penghilangan bentuk kata-kata dan afiks. Penyederhanaan linguistik ini berbeda dengan penyederhanaan semantik. Dalam penyederhaan linguistik ini, pebelajar tidak akan mampu melakukan penyederhanaan linguistik, jika mereka tidak memiliki kaidah pembentukan kata pada bahasa yang bersangkutan.

Strategi Perbaikan: Pemantauan (Strategi Monitor)
Strategi utama yang bertanggung jawab untuk mengoreksi adalah pemantauan. Menurut Krashen, pebelajar mempunyai dua pengetahuan, yaitu pengetauan implisit (pengetahuan intuitif) dan pengetahuan eksplisit. Menurut Krashen, pebelajar memulai ucapan-ucapan hanya menggunakan pengetahuan implisit, tetapi mampu memantau kinerja dengan menggunakan pengetahuan eksplisit baik sebelum atau sesudah artikulasi.
Teori Krashen mendapat cukup serangan (lihat Bab 10). Gagasan Krashen mengenai pemantauan dipandang terlalu sempit, dalam arti bahwa pebelajar jelas dapat mengedit kinerjanya menggunakan pengetahuan implisit serta pengetahuan eksplisit. Krashen, pada kenyataannya, memungkinkan untuk membahas koreksi dengan 'rasa', tapi ini hanya mengalokasikan tempat kecil dalam teori secara keseluruhan. Jenis pemantauan yang ingin Ellis pertimbangkan di sini adalah jenis yang lebih luas, yang melibatkan penggunaan segala bentuk pengetahuan untuk memperbaiki menjadi baru atau output yang sebenarnya.
Morrison dan Low (1983) mengusulkan sebuah model produksi yang sangat mirip dengan Clark dan Clark untuk membahas peran pemantauan. Mereka membedakan pemantauan pasca-artikulatoris, yang terjadi setelah program artikulatoris telah dilaksanakan, dan pemantauan pra-artikulatoris, yang dapat terjadi pada setiap tahap selama program artikulatoris. Setelah pebelajar memulai proses pengisian rencana konstituen dengan bentuk-bentuk linguistik, dia bisa beroperasi pada ucapan dengan menggantikan suatu bentuk, awalnya dipilih dengan bentuk yang lebih disukai. Pemantauan semacam ini dapat dilakukan pada lexis, sintaksis, morfologi, dan realisasi fonetis. Dengan kata lain, dapat terjadi pada salah satu dari lima tahapan dalam program artikulasi Figure7.3. Hal ini juga dapat terjadi pada tingkat yang lebih tinggi, ketika itu mengarah pada penyesuaian dalam tujuan komunikatif atau wacana dan rencana kalimat. Tapi karena pemantauan dapat terjadi bila tidak ada kesulitan komunikatif atau linguistik yang dialami, harus diperlakukan sebagai alat untuk memaksimalkan sumber daya yang ada secara mudah dan efisien; itu, oleh karena itu, menekankan strategi produksi daripada strategi komunikasi.

STRATEGI KOMUNIKASI
'Strategi komunikasi' Istilah ini diciptakan oleh Selinker (1972) dalam laporannya tentang proses yang bertanggung jawab untuk bahasa antara. Telah ada peningkatan kepentingan yang stabil dalam strategi komunikasi pebelajar sejak saat itu. Bagian ini akan menyimpulkan dengan beberapa komentar tentang peranan strategi komunikasi dalam PB2.

Mendefinisikan Strategi Komunikasi
Dua konsep pokok yang perlu didiskusikan dalam strategi komunikasi adalah kesadaran (sengaja atau tidak sengaja) dan berorientasi pada masalah.
Varadi (1973) menunjukkan bahwa kesalahan B2 mungkin timbul baik secara tidak sengaja atau sengaja. Dalam kasus yang pertama, mereka adalah hasil dari strategi produksi dan mencerminkan keadaan transisi pengetahuan B2 pembelajar. Dalam kasus terakhir, mereka adalah hasil dari strategi komunikasi yang secara sadar digunakan oleh pebelajar dalam rangka mengurangi atau mengganti beberapa elemen makna atau bentuk dalam rencana awal. Faerch dan Kasper (1980) juga menganggap kesadaran untuk menjadi ciri khas strategi komunikasi, tetapi mereka mengakui kesulitan untuk menentukan secara empiris apakah strategi adalah sadar atau sebaliknya. Sebagai pebelajar mungkin tidak selalu sadar akan penggunaan strategi komunikatif, mereka berpendapat bahwa definisi yang lebih baik adalah dengan merujuk kepada mereka sebagai 'potensi sadar'.
Strategi komunikasi berorientasi pada masalah. Artinya, mereka menemukan masalah karena kurangnya sumber linguistik yang diperlukan untuk mengungkapkan makna yang dimaksud. Corder (1978c) mengatakan, ada kurang keseimbangan antara sarana dan tujuan. Faerch dan Kasper (1980) mengklasifikasikan strategi komunikasi sebagai bagian dari jenis tertentu rencana yang akan diaktifkan bila rencana awal tidak dapat dilakukan. Pebelajar dipaksa menggantikan 'rencana strategis' untuk rencana produksi aslinya, karena ia telah menemukan cukup sarana untuk melaksanakan rencana produksi. Namun, strategi komunikasi tidak sendirinya berorientasi masalah. Strategi pebelajar juga dapat termotivasi oleh pengakuan pebelajar bahwa sarana yang ada masih belum memadai. Tetapi Strategi komunikasi berbeda dengan strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan solusi jangka panjang untuk sebuah masalah, sedangkan strategi komunikasi memberikan jawaban jangka pendek.
Strategi komunikasi perlu dikaitkan dengan psikolinguistik, yakni mereka diperlakukan sebagai fenomena mental yang mendasari perilaku bahasa yang sebenarnya. Strategi komunikasi dipandang sebagai usaha untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan linguistik B2 pebelajar dan pengetahuan linguistik guru dalam komunikasi nyata. Faerch dan Kasper (1983c; 1984) mengatakan bahwa ada kesulitan terpusat dengan penetuan interkasi. Pertama, kesulitan dalam penggunaan untuk monolog (seperti kegiatan menulis), ketika guru tidak menyajikan dan adanya negosiasi makna. Masalah komunikasi dalam kegiatan monolog, dapat dipecahkan melalui dialog. Kedua, penerapan strategi komunikasi dilakukan dengan mewujudkannya dalam interaksi.
Strategi Komunikasi digunakan oleh penutur asli maupun oleh peserta didik B2. Sebagian besar strategi komunikasi yang tercantum dalam tipologi pada bagian berikut ini umum untuk keduanya. Mereka harus dilihat sebagai bagian dari kompetensi komunikasi. Canale dan Swain (1980:25) mengidentifikasi 'strategis kompetensi', yang didefinisikan sebagai 'bagaimana cara mengatasi dalam situasi komunikasi otentik dan bagaimana untuk menjaga saluran komunikatif terbuka', sebagai bagian integral dari keseluruhan kompetensi pemakai bahasa yang komunikatif; dari pembahasan sebelumnya, strategi komunikasi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Strategi komunikasi adalah rencana psikolinguistik yang ada sebagai bagian dari kompetensi komunikasi pemakai bahasa itu. Mereka berpotensi sadar dan berfungsi sebagai pengganti untuk rencana produksi yang pebelajar tidak dapat implementasikan.


Sebuah Tipologi Strategi Komunikasi
Tidak ada kesepakatan secara mutlak terkait dengan tipologi komunikasi karena adanya permasalahan mengenai definisi strategi komunikasi itu sendiri. Berbagai tipologi telah diusulkan oleh Varadi (1973), Tarone et al. (1976), Corder (1978c), dan Faerch dan Kasper (1980). Selain itu, tipologi yang berkaitan secara khusus untuk masalah leksikal disediakan oleh Blum-Kulka dan Levenston (1978), dan Paribakht (1982).

Tipologi Strategi Komunikasi
Tipe Penjelasan
A. Strategi pengurangan



1. Strategi pengurangan formal




2. Strategi pengurangan fungsional

Ini adalah upaya untuk
menghindari dari masalah. Ini termasuk bagian di mana pebelajar menyerah tentang tujuan komunikatif aslinya.
Ini melibatkan penghindaran
aturan L2 di mana
pebelajar tidak tentu (yaitu
hipotesis tentatif) atau
yang dia tidak bisa mudah mendapatkan
akses.
Ini melibatkan pebelajar menghindari tindak tutur tertentu atau fungsi wacana, menghindari atau meninggalkan atau mengganti topik tertentu, dan menghindari penanda modalitas.

B. Strategi Prestasi Ini diaktifkan bila pebelajar memutuskan untuk tetap ke tujuan komunikatif asli tapi mengkompensasi untuk kurang atau membuat usaha untuk mendapatkan kembali item yang diperlukan
1. Strategi kompensasi
a) Non-koperasi strategi


i) Strategi berbasis B1/B3
- alih kode


- Foreignizing



- Terjemahan harfiah
Ini adalah strategi kompensasi yang tidak meminta bantuan dari lawan bicara tersebut.

Pebelajar menggunakan bahasa selain B2

Pebelajar menggunakan bentuk dalam bahasa non-B2

Pebelajar menggunakan bentuk non-B2 tapi menyesuaikan untuk membuatnya tampak seperti bentuk B2.

Pebelajar menerjemahkan bentuk B1/B3.

ii) Strategi berbasis B2


- Substitusi

- Parafrase


- Sistem monoter kata


- restrukturisasi


iii) Strategi non-linguistik


pebelajar ini menggunakan bentuk-bentuk alternatif B2

Pebelajar menggantikan satu bentuk B2 dengan yang lain
Pebelajar menggantikan item B2 dengan menggambarkan atau mencontohkan itu.

Pebelajar B2 menggantikan item dengan item yang terdiri dari bentuk B2

Pebelajar mengembangkan rencana konstituen alternatif

Pebelajar mengkompensasi, dengan menggunakan cara-cara non-linguistik seperti bahasa isyarat atau gerak tubuh.

b) Strategi Kooperatif


i) Langsung

ii) Taklangsung

Ini melibatkan masalah upaya pemecahan bersama oleh pebelajar dan lawan bicaranya.

Pembelajar secara terbuka meminta bantuan.

Pebelajar tidak meminta bantuan, tetapi menunjukkan perlunya bantuan dengan cara jeda, pandangan mata, dll

2. Strategi Retrieval (Pendapatan kembali)



a) Menunggu


b) Menggunakan bidang semantik



c) Menggunakan bahasa lainnya Ini digunakan ketika pebelajat memiliki masalah menemukan item yang dibutuhkan tetapi memutuskan untuk bertahan daripada menggunakan strategi kompensasi.

Pebelajar menunggu item untuk datang kepadanya.

Pebelajar mengidentifikasi bidang semantik yang item milik dan berjalan "melalui item milik bidang ini sampai dia menempatkan item.

Pebelajar berpikir bentuk dari item dalam bahasa lain dan kemudian menerjemahkannya ke B2.



Penelitian Empiris
Diskusi teoretis strategi komunikasi telah lebih mendominasi daripada riset empiris dalam penggunaannya. Ini merupakan cerminan dari ketidakpastian definisi mereka dan akibatnya masalah identifikasi. Bagaimanapun beberapa penelitian empiris telah terjadi dan berkembang pesat.
Sejumlah pendekatan yang agak berbeda telah diikuti. Penelitian awal (misalnya Varadi 1973; Tarone1977) terdiri dari perbandingan kinerja peserta didik pada tugas bercerita dalam bahasa mereka yang pertama dan kedua. Perbandingan didorong oleh keyakinan bahwa strategi komunikasi B2 dapat diidentifikasi hanya jika persoalan dasar data bahasa pertama yang tersedia. Sebagai contoh, menghindari yang tidak bisa dikatakan jika itu juga terlihat dalam kinerja B1. Pendekatan lain agak mirip melibatkan pembandingkan kinerja sekelompok penutur asli dengan pebelajar B2 dalam tugas yang identik (misalnya Hamayan and Tucker, 1980; Ellis1984d). Pendekatan ketiga terdiri dari memfokuskan pada penggunaan unsur leksikal tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan melekatkan mereka dalam tugas merekontruksi gambar cerita (Bialystok 1983b) atau dengan meminta subjek untuk memberi label gambar atau menerjemahkan dari B1 (Paribakht 1982). Namun pendekatan lain melibatkan analisis percakapan video rekaman antara B2 dan penutur asli (Haastrup dan Phillipson, 1983).
Hasil penelitian yang tersedia adalah bersifat usulan daripada memberkan kepastian. Mereka dapat meringkas dari efek variabel yang berbeda pada penggunaan strategi komunikasi.
1. Efek tingkat kemahiran
Tingkat kemahiran pebelajar berpengaruh terhadap strategi yang dipilihnya.
2. Efek adanya sumber masalah
Adanya sedikit kemajuan yang menunjukkan bahwa pemilihan strategi dipengaruhi oleh masalah alamiah yang mungkin terjadi.
3. Efek pribadi
Faktor personal sangat mungkin berkorelasi dengan strategi yang dipilih.
4. Efek situasi pembelajaran
Seorang dalam menggunakan strategi komunikasi dipengaruhi oleh situasi penggunaannya. Pebelajar boleh bebas memilih strategi yang sesuai dengan lingkungan tempat belajarnya.

Hal terpenting dalam studi strategi komunikasi, bagaimanapun, adalah efektivitas mereka dalam mempromosikan komunikasi B2. Bialystok (1983b) menunjukkan bahwa pengguna strategi terbaik adalah mereka dengan kemampuan formal yang memadai yang memodifikasi strategi yang sesuai dengan konsep tertentu yang akan disampaikan. Haastrup dan Phillipson (1983) berpendapat bahwa strategi berbasis B1 yang kurang efektif dan Strategi berbasis B2 yang paling efektif. Mereka menemukan bahwa Strategi berbasis B1 hampir selalu menyebabkan sebagian atau mutlak dalam pemahaman dan strategi non-linguistik tidak berjalan lebih baik. Mereka berpendapat bahwa parafrase adalah strategi yang paling mungkin berhasil. Namun, mungkin tidak tepat untuk berdebat tentang manfaat relatif dari strategi alternatif, sebagai pebelajar sering menggunakan beberapa strategi komunikasi bersama, pertama kali mencoba (misalnya strategi berbasis B1) dan kemudian beralih ke yang lain (strategi berbasih B2) untuk suplemen pilihan pertama atau mencoba lagi jika gagal.

Peran strategi komunikasi dalam PB2
Strategi komunikasi memperhatikan produksi B2. Suatu hal yang penting, bagaimanapun, adalah sejauh mana dan dalam cara apa strategi komunikasi berkontribusi terhadap belajar B2.
Tarone (1980) menyarankan bahwa efek percakapan strategi komunikasi secara umum adalah untuk memungkinkan penutur asli untuk membantu pebelajar B2 menggunakan bentuk yang tepat untuk mengatakan apa yang dia inginkan. Dengan demikian semua strategi dapat membantu untuk memperluas sumber daya. Argumen lain untuk memperkuat sudut pandang ini adalah bahwa kontribusi utama dari strategi komunikasi adalah untuk menjaga saluran terbuka. Jadi bahkan jika pebelajar tidak disediakan dengan struktur tertentu yang dia butuhkan, dia akan dihadapkan sejumlah bangunan lain, beberapa diantaranya mungkin merupakan asupan yang cocok untuk strategi-strategi pembelajaran untuk beroperasi. Hatch (1978c: 434) berpendapat, hal yang paling penting dari semuanya harus "jangan menyerah". Strategi komunikasi adalah salah satu cara utama meneruskan komunikasi (menghindar dari masalah).
Mungkin keberhasilan penggunaan strategi komunikasi akan mencegah pemerolehan. Pebelajar mungkin menjadi begitu ahli dalam mengarang karena kurangnya pengetahuan linguistik dengan menggunakan berbagai strategi komunikasi yang dibutuhkan untuk pembentukan atau pengujian hipotesis terhindarkan.
Masalah lainnya berkaitan dengan peranan strategi komunikasi dalam PB2 adalah aspek pengembangan bahasa antara terpengaruh. Secara khusus adalah penting untuk mengetahui apakah penggunaan strategi komunikasi memfasilitasi pemerolehan lexis dan/atau aturan tata bahasa.

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN POLA PASANGAN BERDAMPINGAN DALAM PERCAKAPAN ANTARSISWA KELAS IX IPA 1 SMP NEGERI 1 SAWAN

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN POLA PASANGAN BERDAMPINGAN
DALAM PERCAKAPAN ANTARSISWA KELAS IX IPA 1
SMP NEGERI 1 SAWAN



Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik
yang dibina oleh Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd.
dan Dr. Arifin, M.Pd.


Oleh:
I Putu Mas Dewantara
NIM 1029011010





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNDIKSHA
SINGARAJA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan jembatan untuk mencapai kesepakatan suatu hal antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fungsi bahasa dikatakan berhasil apabila bahasa yang digunakan dapat mewakili pesan dan maksud yang disampaikan pembicara dan lawan bicara dapat menerima pesan dan maksud yang disampaikan oleh pembicara, baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam suatu tindak komunikasi, penutur memiliki dua cara untuk menyampaikan maksudnya kepada mitra tuturnya, yaitu secara langsung dan taklangsung. Secara langsung mengandung pengertian bahwa apa yang dimaksudkan oleh penutur sesuai dengan bentuk lingual yang digunakan untuk mengutarakan maksud tersebut. Contohnya saja ketika penutur ingin meminta mintra tuturnya untuk melakukan suatu kegiatan, penutur menggunakan bentuk lingual direktif atau kalimat perintah untuk mengungkapkan maksud dersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada perckapan berikut ini.
Putu : “Tolong buka pintunya, saya kepanasan!”
Kadek : “Ya!”

Tuturan Putu yang bermaksud meminta kadek untuk membukakan pintu disampaikan dengan kaliamat perintah. Inilah yang disebut penyampaian maksud sesuai dengan bentuk lingual yang digunakan untuk mengungkapkan maksud tersebut. Berbeda halnya dengan penyampaian maksud tuturan secara taklangsung. Untuk dapat memahami maksud tersebut, mitra tutur haruslah menggunakan pemahamannya mengenai konteks pembicaraan. Hal tersebut tampak pada percakapan berikut ini.
Dosen : “Ruangan ini panas sekali.”
Mahasiswa : “Ya Pak, saya bukakan pintu.”

Mahasiswa dalam percakapan tersebut untuk dapat memahami maksud penuturnya melihat konteks pembicaraan. Percakapan tersebut terjadi di sebuah ruang kuliah berukuran sempit dan dengan AC yang rusak. Karena dasar pengetahuan mengenai konteks itulah mahasiswa memahami maksud dosennya untuk membuka pintu. Dari contoh tersebut terlihat bahwa maksud penutur untuk meminta mitra tuturnya melakukan sesuatu tidak disampaikan secara langsung dengan kalimat perintah, namun disampaikan dengan kalimat deklaratif. Konsep mengenai penyampaian maksud secara langsung dan taklangsung inilah kemudian dikenal dengan istilah implikatur, yakni implikatur konvensional dan implikatur konversasional atau implikatur percakapan.
Implikatur merupakan salah satu dari empat kancah bidang kajian pragmatik. Keempat kancah yang dijelajahi pragmatik (yang telah disepakati hingga kini) adalah (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) tindak ujaran (speech act), dan (4) implikatur (Levinson dalam Nadar, 2009:53; Purwo 1990:17; dan Sumarsono, 2010:64). Lebih lanjut Levinson menjelaskan bahwa implikatur adalah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Salah satu alasannya adalah implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan.
Teori implikatur percakapan ini dikemukakan karena sebuah tuturan dapat mempunyai implikasi yang berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian tuturan dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu (Gunarwan dalam Hadiati, 2007:11). Konsep itu dikemukakan dengan maksud untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama Grice dan atau prinsip kesantunan Leech. Prinsip kerja sama Grice terdiri dari empat maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan prinsip kesantunan Leech mencakup enam maksim, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan atau pujian, maksim kerendahatian, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian.
Melihat adanya keterkaitan antara prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dengan implikatur yang ada dalam sebuah percakapan, menarik rasanya jika dilakukan suatu penelitian yang membahas hal tersebut. Penelitian tersebut tentunya akan semakin menarik jika dihubungkan dengan pola pasangan berdampingan yang ada dalam suatu percakapan yang mengandung implikatur percakapan. Hal ini mengingat dalam sebuah percakapan, pertanyaan yang dilontarkan oleh penutur tidak selalu ditanggapi dengan pemberian jawaban oleh mitra tuturnya. Sangat mungkin pertanyaan yang disampaikan akan direspons dalam bentuk pertanyaan balik oleh mitra tuturnya. Respons yang diberikan mitra tutur tentu saja mengandung maksud yang hendak disampaikan kepada lawan bicaranya.
Penelitian ini mencoba melihat keterkaitan prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, dengan implikatur percakapan serta pola pasangan berdampingan yang muncul dalam suatu percakapan yang menimbulkan terjadinya implikatur percakapan. Data-data percakapan dalam penelitian ini diperoleh dari data percakapan antarsiswa Kelas IX SMP Negeri 1 Sawan.

1.2 Rumusan Masalah
Beranjak dari uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan apakah yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?
2) Implikatur percakapan apakah yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?
3) Bagaimanakah struktur percakapan (pola pasangan berdampingan) yang menimbulkan implikatur percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, adapun tujuan penelitian imi adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan implikatur percakapan yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.
2) Mendeskripsikan implikatur percakapan yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.
3) Mendeskripsikan struktur percakapan (pola pasangan berdampingan) yang menimbulkan implikatur percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1) Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini akan memperkaya kazanah ilmu pragmatik yang telah ada. Khususnya teori implikatur percakapan dalam hubungannya dengan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan serta pola pasangan berdampingan yang ada dalam sebuah percakapan.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi Mahasiswa
Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi penunjang mengenai teori implikatur percakapan, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan pola pasangan berdampingan yang ada dalam suatu percakapan.
b) Bagi Dosen
Bagi dosen, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan topik perbincangan dalam mata kuliah Pragmatik.








BAB II
LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dipaparkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, teori-teori tersebut secara berturut-turut adalah teori wacana percakapan, teori pola pasangan berdampingan/berdekatan, teori implikatur, teori prinsip kerja sama, dan teori prinsip kesantunan.

2.1 Wacana Percakapan
Wacana percakapan merupakan interaksi komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan tuturan. Akan tetapi, percakapan lebih dari sekedar pertukaran informasi (Ismari dalam http://jasminealmaghribi.blogspot.com). Mereka yang mengambil bagian dalam proses percakapan tersebut akan memberikan asumsi-asumsi dan harapan-harapan mengenai percakapan sehingga percakapan tersebut berkembang sesuai dengan jenis kontribusi yang diharapkan dan telah dibuat oleh mereka. Mereka dalam hal ini akan saling berbagi prinsip-prinsip umum yang akan memudahkan dalam menginterpretasikan ujaran-ujaran yang dihasilkan.
Pada wacana percakapan terdapat giliran tutur dan pasangan berdekatan. Giliran tutur dalam suatu percakapan sangat penting. Giliran tutur merupakan syarat percakapan yang dapat menimbulkan pergantian peran peserta. Dalam percakapan yang baik selalu terjadi pergantian peran, yaitu peran pembicara dan pendengar. Seorang penutur dengan pengetahuan yang kurang mengenai aturan pengambilan giliran tutur adalah penutur yang tidak memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara. Orang seperti ini akan membangkitkan penilaian negatif atau akan membuat percakapan berakhir secepat mungkin.
Adanya giliran tutur dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud keteraturan ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan menjadi pasangan berdekatan. Ismari (1995:11) menyebutkan pasangan berdekatan sebagai ujaran yang dihasilkan oleh dua pembicara secara berturut-turut. Ujaran kedua diidentifikasi dalam hubungannya dengan ujaran pertama. Ujaran pertama merupakan bagian pertama pasangan dan ujaran berikutnya merupakan bagian kedua dari pasangan. Oleh karena itu, seorang penutur pada saat menghasilkan tuturan mengharapkan lawan bicaranya akan memberikan bagian kedua pada pasangan yang serasi.

2.2 Pola Pasangan Berdampingan/Berdekatan
Menurut Ricard (dalam Maharani, 2007:21) pasangan berdampingan adalah ujaran kedua yang didefinisikan dalah hubungannya dengan ujaran pertama karena diharapkan ujaran kedua merupakan kelanjutan dari ujaran yang pertama. Kridalaksana dan Coulthard (dalam Maharani, 2007:21) meyatakan bahwa pasangan berdampingan sebagai unit struktural dasar dalam percakapan.
Ada delapan pola pasangan berdampingan yang diajukan oleh Coulthard (dalam Maharani, 2007:21). Pola-pola tersebut meliputi pola sapaan-sapaan, panggilan-jawaban, keluhan-bantuan, keluhan-permohonan maaf, permintaan-pemersilahan, permintaan informasi-pemberian, permintaan-penawaran, dan penawaran-penolakan. Namun tidak menutup kemungkinan dalam percakapan muncul pola-pola berbeda dengan pola yang ditawarkan Coulthard tersebut.
Di dalam pasangan berdampingan terdapat stimulus-respons dan feedback. Proses stimulus-respons yang berulang akan menimbulkan kebiasaan dan keteraturan. Proses ini dapat dilihat pada tuturan yang berfungsi sebagai inisiasi, dan diikuti oleh tuturan yang berfungsi sebagai respons. Inisiasi dapat dikatakan sebagai pembuka atau pemicu suatu tuturan. Sementara itu, respons merupakan hasil dari adanya inisiasi. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu respons langsung dan tak langsung (Haliday dan Hasan dalam Sigian, 2007). Respons langsung adalah tuturan yang digunakan secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Bentuk respons ini adalah jawaban ya dan tidak. Sementara itu, respons tidak langsung adalah tuturan yang digunakan tidak secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Pada umumnya bentuk respons tidak langsung digunakan untuk mengomentari pertanyaan, mengabaikan relevansi (sangkalan), atau respons yang memberi informasi pendukung. Bagian ketiga dari pasangan berdekatan adalah feedback. Feedback dapat difungsikan sebagai penutup tuturan.
Pasangan berdekatan atau berdampingan yang di dalamnya terdapat inisiasi (I), respons (R), dan feedback (F) pada umumnya memiliki struktur, seperti a) [IRF], yakni struktur penuh, di dalamnya terdapat respons verbal secara penuh terhadap inisiasi, b) [IR (F)], struktur dari pasangan berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi yang menyebabkan respons dalam bentuk nonverbal, dan c) [I (R)], yakni struktur yang memiliki inisiasi dalam bentuk penyampaian informasi proporsional yang tidak memerlukan respons.
Misalnya:
[IRF]
Guru : Apa sudah benar jawaban Agus?
Siswa : Benar.
Guru : Baik.

[IR (F)]
Penumpang 1 : Bisa menggeser sedikit, mbak?
Penumpang 2 : (menggeser)

[I (R)]
Guru : Diskusi akan dimulai minggu depan.
Siswa : ....

Inisiasi (I) yang diikuti oleh respons (R) dan feedback (F) mengimplikasikan telah terjadinya percakapan yang berlangsung secara efektif dan efesien. Akan tetapi, tidak semua proses percakapan berlangsung secara efektif dan efesien. Adanya rangkaian sisipan (insertion sequences) dapat ditemukan di antara I dan R. Pada umumnya struktur seperti ini dapat dirumuskan dengan (Q (Q-A) A), (pertanyaan (pertanyaan-jawaban) jawaban) (Cock dalam Sigian, 2007).
Misalnya:
A: Banyak tidak yang ikut latihan bersama?
B: Kamu mengapa tidak ikut latihan?
A: Bagaimana lagi, aku ada ujian besoknya di kampus.
B: Lumayan banyak sih, yang ikut.

Contoh di atas memperlihatkan adanya sisipan dalam pasangan berdekatan. Pertanyaan A seharusnya dijawab secara relevan oleh B. Namun, B ternyata memberikan pertanyaan baru yang tidak relevan untuk menjawab pertanyaan A sebelumnya. Adanya pasangan berdampingan baru dari pasangan berdampingan yang seharusnya dituntaskan dapat disebut sebagai pasangan sisipan.
2.3 Implikatur Percakapan
Menurut Levinson (Sumarsono, 2010:109), implikatur percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filosof Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13). Grice mengemukakan karakteristik makna-nn sebagai berikut.
S mengemukakan makna-nn z dengan mengujarkan U jika dan hanya jika:
(i) S bermaksud U untuk memberikan efek z terhadap resipien H
(ii) S bermaksud (i) untuk hanya dicapai oleh H yang menyadari maksud (i) itu.

Di sini S (Speaker) = penutur (dalam komunikasi lisan sebagai pengirim pesan atau komunikator); H (hearer) = pendengar, atau tepatnya, resipien yang menjadi penerima maksud; “mengujarkan U (utterance)” = ujaran suatu bentuk dalam butir kebahasaan, yaitu suatu bagian kalimat, kalimat, atau urutan kalimat atau urutan bagian-bagian kalimat (atau produksi dari tindak komunikatif yang nonkebahasaan); z = suatu kepercayaan atau kehendak yang ditujukan bagi H. Rumusan yang tampak rumit dan kabur ini sebenarnya menyatakan bahwa komunikasi itu terdiri atas pengirim (pesan) (sender) yang bermaksud agar penerima (pesan) (receiver) berpikir atau melakukan sesuatu, sekadar dengan meminta penerima pesan itu menyadari bahwa pengirim pesan sedang mencoba untuk menunjukkan pikiran atau tindakan. Jadi, komunikasi itu merupakan jenis-maksud yang kompleks yang dicapai dengan cara menyadari adanya. Dalam proses komunikasi, maksud komunikatif si pengirim pesan menjadi pengetahuan bersama (mutual knowledge) bagi pengirim S dan penerima H, yaitu S tahu bahwa H tahu bahwa S tahu bahwa H tahu (dst) bahwa S mempunyai maksud tertentu. Jika konsep makna-nn ini kita pahami, maka kita akan dapat melangkah ke pemahaman tentang implikatur.
Kata implikatur berhubungan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal ini implikatur percakapan berarti ‘makna yang terkandung’ (Sumarsono, 2010:65). Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan merupakan bagian dari ujaran itu. Misalnya,
(1) A : “Ayo nonton!”
B : “Besok saya ujian.”
Jawaban (B) tersebut tidak berkaitan dengan (A): (A) berbicara tentang nonton tetapi (B) bicara ujian. Tetapi, ujaran (A) itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban (B) itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan (A). Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
Senada dengan pendapat Sumarsono, Grice (dalam Wijana, 1996:37) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversasion mengemukkan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Grice memberikan contoh berikut.
(2) A : “Ali sekarang memelihara kucing.”
B : “Hati-hati menyimpan daging.”
(3) A : “Ani di mana, Ton?”
B : “Tati di rumah Wawan.”
Tuturan (B) dalam (2) bukan bagian dari tuturan (A). Tutran (B) muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Demikian pula tuturan (B) pada percakapan (3) bukan merupakan bagian dari tuturan (A). Tuturan (B) muncul sebagai akibat adanya inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati ada di sana, tentu Ani ada pula di sana.
Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlamnya. Dalam contoh (4), (5), dan (6) berikut ini terlihat bahwa tuturan (A) Bambang datang memunculkan reaksi yang bermacam-macam.
(4) A : “Bambang datang.”
B : “Rokoknya disembunyikan.”
(5) A : “Bambang datang.”
B : “Aku akan pergi dulu.”
(6) A : “Bambang datang.”
B : “Kamarnya dibersihkan.”
Jawaban (B) dalam (4) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Jawaban (B) dalam (5) mungkin mengimplikasikan bahwa (B) tidak senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (B) dalam (6) mengimplikasikan bahwa Bambang mungkin adalah seorang yang tidak senang melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan atau implikasi yang melandasi kontribusi (B) dalam (4), (5), dan (6).
Berbeda halnya dengan implikatur, seperti tercermin dalam tuturan (B) dan (A) dalam (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), pertalian (A) dan (B) dalam (7) bersifat multak. Hubungan (A) dan (B) dalam hal ini disebut entailment.
(7) A : “Ali membunuh Jonny.”
B : “Jonny mati.”
Tuturan (B) dalam (7) merupakan bagian atau komponen dari konsekuensi multak dari tuturan (A) karena membunuh secara mutlak mengakibatkan mati. Selain entailment dikenal juga istilah praanggapan atau prasuposisi (presupposition). Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan atau diperkirakan oleh penutur atau penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Sumarsono (2010:64) memberikan contoh mengenai praanggapan sebagai berikut. Kalau A berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan (memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Karena asumsinya petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
2.4 Prinsip Kerja Sama
Melalui teori implikatur, Grice mengemukakan dua macam teori. Dalam teori yang pertama, Grice membedakan adanya dua macam makna di dalam komunkasi, makna alamiah (natural meaning), dan makna non-alamiah (nonnatural meaning).
Teori Grice yang kedua membimbing orang agar dapat memakai bahasa secara efektif dan efisien dalam melakukan percakapan untuk mentransaksikan berbagai jenis isi komunikasi. Menurut Grice (dalam Sumarsono, 2010), percakapan akan mengarah pada usaha penyamaan unsur-unsur pada transasksi kerja sama yang semula berbeda dengan jalan: (1) menyamakan tujuan jangka pendek, meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan sumbangan partisipan sehingga Pn dan Mt saling membutuhkan, dan (3) mengusahakan agar Pn dan Mt mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Untuk keperluan tersebut, Grice mengemukakan PK yang berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Prinsip yang digunakan dalam melakukan percakapan terdiri atas empat maksim. Keempat maksim beserta submaksimnya menurut Grice (1991:307) adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kuantitas
a. Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.
b. Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan.
2) Maksim Kualitas
a. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah.
b. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya.
3) Maksim Hubungan
Bicaralah yang relevan.
4) Maksim Cara
a. Hindarilah ungkapan yang membingungkan.
b. Hindarilah ambiguitas.
c. Bicaralah secara singkat.
d. Bicaralah secara teratur.

Leech (1989:8) mengomentari maksim itu sebagai kendala di dalam berbahasa. Maksim-maksim itu berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak, atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali. Maksim dapat berlawanan satu sama lain dan dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikan. Leech (1989:80) berkomentar bahwa justru karena hal itulah diperlukan adanya sosiopragmatik untuk menjelaskan bagaimana masyarakat yang berbeda menggunakan maksim tersebut.
Leech (1989:80) berpendapat bahwa PK dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggu-nakan pendekatan berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, PK itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. PK juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat nondeklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar PK, yang dikenal dengan Prinsip Sopan Santun (PS).
2.5 Prinsip Sopan Santun (PS)
Setelah mengemukakan keempat maksim kerjasama, Grice (dalam Sumarsono, 2010) juga menyebutkan adanya aturan lain yang bersifat sosial, estetis, dan moral yang biasanya diikuti orang dalam melakukan percakapan. Misalnya, ‘Anda harus sopan’ yang kemudian juga dapat melahirkan IP. Aturan kesopanan itu oleh Leech dinilai tidak setingkat dengan maksim PK dan dapat ditambahkan saja ke dalam empat maksim Grice. Aturan itu merupakan dasar pemakaian bahasa tersendiri, yang disebut prinsip Sopan Santun (PS).
Leech (1989:132) selanjutnya mengemukakan selengkapnya PS yang meliputi enam maksim. Keenam maksim beserta submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (tact maxim)
a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
2) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)
a. Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.
b. Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.
3) Maksim Pujian (approbation maxim)
a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
4) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)
a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
a. Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin.
b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin.
6) Maksim Simpati (sympathy maxim)
a. Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin.
b. Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin.

Terhadap setiap maksim, Leech memberikan keterangan bagaimana hubungan antara maksim dan ilokusi. Maksim kearifan dan kedermawanan berlaku dalam ilokusi impositif dan komisif, maksim pujian dan kerendahan hati dalam ilokusi ekspresif dan asertif, dan maksim kesepakatan dan simpati hanya dalam ilokusi asertif.
PS tidak hanya dianggap sebagai prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada PK, tetapi lebih jauh dari itu, PS diperlukan untuk melengkapi PK dalam mengatasi kesulitan. PS diperlukan karena PK tidak dapat menerangkan mengapa orang sering berbicara tidak langsung di dalam menyampaikan pesan. Selain itu, PK tidak dapat menerangkan bagaimana hubungan antara makna dan daya dalam kalimat-kalimat yang bukan pernyataan.






BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini diuraikan secara berturut-turut (1) temuan hasil penelitian yang menyangkut pelanggaran prinsip kerjasama dan implikatur yang ditimbulkan, pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur percakapan, serta pola pasangan berdampingan yang mengandung implikatur percakapan, dan juga (2) pembahasan hasil penelitian.

3.1 Temuan Hasil Penelitian
3.1.1 Pelanggaran Terhadap Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapannya
Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat memunculkan implikatur percakapan. Berikut ini adalah percakapan yang melanggar maksim relevansi yang terjadi ketika Mas gel gel bercakap dengan Komang Arystha.

Peristiwa Tutur 1
Mas : “Mang, di mana kamu beli baju Timnas?”
Komang : “Hardy’s banyak ada.”
Mas : “Anter nanti nyari ya?”
Komang : “Mau main bola nanti.”
Mas : “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”
Komang : “Jam berapa?”
Mas : “Habis makan saja langsung jalan.”
Komang : “Oke!” (sambil mengangguk)

Dalam percakapan tersebut tuturan Komang “Mau main bola” melanggar maksim relevansi. Dalam maksim relevansi, orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang relevan dengan topik pembicaraan. Tuturan Komang yang merupakan jawaban dari permintaan Mas untuk mengantar membeli baju terlihat tidak bersesuaian karena topik yang sedang dibicarakan oleh Mas, yaitu meminta mengantar membeli baju timnas. Seharusnya jawaban yang relevan atas pertanyaan Mas dalam tuturan itu berupa penerimaan atau penolakan yang disampaikan dengan memilih bentuk lingual “ya/tidak bisa” atau variasi bahasa yang semakna dengan itu. Pelanggaran maksim relevansi yang dilakukan Komang memunculkan implikatur percakapan “menolak permintaan”.
Selain tuturan tersebut, tuturan Komang “Jam berapa?” nampaknya juga melanggar prinsip kerja sama, yaitu melanggar maksim cara atau maksim pelaksanaan. Dalam prinsip kerja sama dengan maksim cara, seharusnya penutur berusaha untuk berbicara secara jelas atau menghindari ambiguitas. Respons tuturan yang diberikan Komang atas pernyataan Mas “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”, belum memberikan kepastian kepada lawan tuturnya mengenai penerimaan atau penolakan permintaan Mas. Jawaban Komang “Jam berapa?” sangat memungkinkan timbulnya pertanyaan dalam diri lawan tuturnya (Mas) tentang mau tidaknya Komang mengantar ke Hardy’s. Dengan kata lain, Komang memberikan sumbangan yang tidak jelas karena keambiguan tuturan dalam percakapan tersebut. pelanggaran maksim cara ini mengimplikasikan maksud Komang “belum pasti” bisa atau mau mengantar Mas ke Hardy’s.
Sebagai reaksi dari respons Komang “Jam berapa?” yang belum memberikan jawaban yang jelas tentang permintaan Mas, Mas pun berusaha agar Komang mau mengantar dengan mengatakan “Habis makan saja langsung jalan.” Pernyataan Mas tersebut juga melanggar salah satu prinsip kerja sama, yaitu melanggar maksim relevansi. Pertanyaan Komang seharusnya dijawab dengan menyebutkan waktu yang direncanakan untuk pergi ke Hardy’s, yaitu misalnya dengan mengatakan jam 1, jam 2, atau seterusnya. Tuturan yang tampaknya tidak relevan ini tentunya dapat ditelusuri maksud yang tersembunyi di balik tuturan tersebut dengan mengetahui jam makan siang ke dua pelaku tutur. Sepulang sekolah, biasanya kedua pelaku tutur tersebut melakukan aktivitas makan siang sekitar pukul 13.40. Sehingga dapat ditapsirkan maksud Mas mengatakan “Habis makan saja langsung jalan.” Paling lambat Mas mengajak Komang berangkat pukul 14.00. Jadi, tuturan Mas tersebut mengimplikasikan “waktu tertentu” yang telah dipahami oleh para pelaku tutur.

Peristiwa Tutur 2
Dewik : “Hai guys Ke mana tadi malam sama ibuk?”
Desi : “Beli bakso.”
Dewik : “Pasti sempet nyari baju ya? Soalnya Bawa bungkusan gede.”
Desi : “Habis beli bakso langsung pulang.”
Dewik : “Jadi ikut pulang sebentar?”
Desi : “Sebentar lagi ibuk selesai rapat.”
Dewik : “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!”
Desi : “Tadi Arista liat ibukku, katanya ibuk bisa jemput.”

Dalam peristiwa tutur 2 tersebut terdapat pelanggaran-pelanggaran prinsip kerja sama yang menimbulkan implikasi pragmatik tertentu, seperti tampak pada tuturan Desi “Habis beli bakso langsung pulang.”. Tuturan Desi tersebut muncul bukan disebabkan karena lawan tuturnya (Dewik) menanyakan kepergian Desi setelah membeli bakso. Karena itu, jawaban Desi tersebut tidak memberikan informasi yang relevan dengan pertanyaan Dewik yang menanyakan benar tidaknya Desi membeli baju karena membawa tas besar. Ujaran Desi ini melanggar prinsip kerja sama, yaitu maksim relevansi. Pelanggaran maksim relevansi ini mengimplikasikan maksud “penyanggahan” terhadap ujaran atau tebakan lawan bicaranya. Maksud “penyanggahan” inilah yang dijelaskan Desi dengan cara menunjukkan rentetan peristiwa saat ia dan ibuknya pergi tadi malam.
Pada Ujaran Desi, “Sebentar lagi ibuk selesai rapat” yang merupakan jawaban dari pertanyaan Dewik, “Jadi ikut pulang sebentar?” tampak tidak relevan. Dewik tidak menanyakan keadaan Ibuk Desi yang dari pagi mengikuti rapat, melainkan menanyakan kepastian Desi untuk ikut pulang bersamanya. Tuturan Desi tersebut tidak memberikan informasi yang sesuai dengan yang diharapkan oleh Dewik. Karena itu, ujaran Desi dapat dikategorikan melanggar maksim relevansi. Walaupun terlihat tidak relevan, maksud tuturan itu dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Tuturan Desi tersebut mengandung implikatur percakapan “pembatalan janji” untuk ikut pulang bersama Dewik karena Ibuk Desi ternyata sebentar lagi sudah selesai rapat. Karena itu, Ibuk Desi bisa menjemput Desi pada waktu pulang sekolah.
Pelanggaran maksim kuantitas juga terlihat dalam peristiwa tutur 2 tersebut, yaitu pada saat Desi berkata, “Tadi Arista liat ibuk, katanya ibuk bisa jemput.”. Disebut melanggar maksim kuantitas karena pertanyaan Dewik, “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!” hanya menuntut jawaban ‘yakin atau tidak yakin’ akan ketidak ikutannya untuk pulang. Pelanggagaran maksim kuantitas karena memberikan informasi yang berlebihan ini menunjukkan implikatur percakapan “keyakinan diri” sang penuturnya.
Peristiwa tutur 3
Kadek : “Buat PR Mat?”
Risna : “Aku tidur jam 8 tadi malam.”
Kadek : “Bagaimana ini? Pasti dihukum.”
Risna : “Gimana kalau sekarang kita buat”
Kadek : “Ok!”

Pada peristiwa tutur 3, tuturan Risna “Aku tidur jam 8 tadi malam.” melanggar maksim relevansi. Kadek yang menanyakan mengenai apakah Risma membuat PR tidak direspons dengan pernyataan membuat atau tidak membuat PR. Melainkan direspons dengan memberikan informasi kalau dirinya tidur jam 8 tadi malam. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pertanyaan Kadek. Tuturan Risma tersebut mengandung implikatur bahwa ia tidak membuat PR (tidak melakukan pekerjaan apapun) karena tidur jam 8.

Peristiwa tutur 4
Riski : “Hai Sumar, kemarin kamu ke mana? Kemarin pasti kamu mainan ya? Ditunggu buat PR tak datang-datang!”
Sumar : “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.”
Riski : “Oh begitu, nanti sore buat yuk?”
Sumar : “Ade film yang sangat bagus!”

Ujaran Sumar, “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.” adalah sebuah alasan yang diberikan karena ia tidak menepati janji membuat PR. Ujaran tersebut berangkat dari kebohongan Sumar agar Riski tidak kesal kepadanya yang telah tidak menepati janji. Apalagi ketidakdatangan Sumar disebabkan karena dia bermain dengan teman-temannya yang lain. Oleh karena itu, ujaran Sumar melanggar maksim kualitas dengan memberikan sumbangan percakapan yang diyakini tidak benar (menyatakan sesuatu yang tidak benar). Implikatur percakapan dari ujaran Sumar itu adalah “menyanggah tuduhan”.
Pelanggaran prinsip kerjasama juga terlihat pada ujaran Sumar selanjutnya yang merupakan respons dari ujaran Riski. Riski mengajak sumar untuk membuat tugas nanti sorenya, sebagai penolakan ajakan tersebut Sumar berkata, “Ada film yang sangat bagus”. Jika ditinjau dari segi bentuk, ujaran tersebut nampaknya tidak ada keterkaitannya dengan ujaran sebelumnya. Dengan kata lain Riski tidak menanyakan mengenai ada tidaknya film bagus nanti sore. Karena tidak adanya keterkaitan secara kohesi dari kedua ujaran tersebut, ujaran Sumar dapat dikatakan telah melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang timbul akibat pelanggaran maksim relevansi tersebut adalah “penolakan” akan ajakan lawan tuturnya.

Peristiwa tutur 5
Ayuk : “Malam minggu mainan yuk?”
Kadek : “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.”

Pada peristiwa tutur 5 tersebut ujaran Kadek “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.” yang merupakan respons dari tuturan Ayuk yang mengajaknya mainan malam minggu nampaknya tidak saling berhubungan. Oleh karena itu tuturan Kadek tersebut melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang hadir dari pelanggaran maksim relevansi tersebut adalah “penolakan” atas ajakan lawan tutur.

Peristiwa tutur 6
Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Agus : “Nanti jam istirahat.”
Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri.”
Dika : “Iya lah...!”

Pelanggaran maksim relevansi tampak pada ujaran Didi “Belikan es dulu”. Ujaran tersebut dikatakan melanggar maksim relevansi karena tidak memberikan kontribusi yang sesuai dengan pertanyaan Agus yang hendak meminjam PR. Bentuk yang secara kohesi tidak saling berhubungan tersebut tentunya disebabkan oleh maksud yang ingin disampaikan secara langsung. Implikatur percakapan yang ada dalam tuturan tersebut adalah “persetujuan bersyarat”. Artinya Didi menerima permintaan Agus dengan mengajukan syarat tertentu, yaitu dibelikan es terlebih dahulu.
Selain pelanggaran terhadap maksim relevansi yang mengakibatkan munculnya implikatur “penerimaan bersyarat”, dalam percakapan tersebut juga terdapat pelanggaran maksim cara. Pelanggaran maksim cara tampak pada ujaran Didi “2 ringgit”. Pelanggaran maksim cara disebabkan oleh ujaran Didi yang tidak memberikan kontribusi yang jelas bagi lawan tuturnya. Maksud dari ujaran “2 ringgit” dalam percakapan itu adalah dua ribu rupiah. Dengan kata lain implikasi yang muncul dari pelanggaran maksim cara pada ujaran tersebut adalah implikasi “menyatakan jumlah tertentu”.
Respons dari ujaran Didi “2 ringgit” adalah ujaran Agus “Nanti jam istirahat.” Tuturan Agus tersebut secara kohesi tidak bersesuaian dengan tuturan Didi. Karena itu, tuturan Agus dapat dikatakan melanggar maksim relevansi. Namun, jika dilihat konteks pembicaraan, dapat diperkirakan bahwa tuturan Agus mengandung implikatur “setuju”, yaitu setuju akan permintaan Didi untuk membelikan es.
Percakapan tersebut berlanjut dengan kehadiran Dika yang menyatakan diri untuk ikut serta membeli es. Sebagai respons dari permintaan tersebut Didi berujar “Bayar sendiri”. Jawaban Didi tampak tidak relevan dengan permintaan yang disampaikan oleh Dika, karena itu jawaban Didi dapat dikatakan melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang ada dalam ujaran tersebut adalah “persetujuan bersyarat”.

3.1.2 Pelanggaran Terhadap Prinsip Kesantunan dan Implikatur Percakapannya
Di dalam bertutur penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama. Pelanggagaran prinsip kesantunan yang ada dalam tuturan siswa kelas IX IPA 1 di SMP Negeri 1 Sawan tampak pada percakapan berikut.

Peristiwa tutur 7
Riski : “Di rumahku nonton sambil buat itu, gimana?”
Sumar : “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”
Riski : “Okelah kalau begitu!”

Peritiwa tutur ini merupakan kelanjutan dari peristiwa tutur 4 saat Riski mengajak Sumar untuk membuat PR di rumahnya. Ujaran yang melanggar prinsip kesantunan adalah ujaran Sumar “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”. Prinsip kesopanan yang dilanggar Sumar adalah maksim kedermawanan. Dalam maksim kedermawanan seorang penutur haruslah membuat keuntungan sekecil-kecilnya pada diri sendiri dan membuat kerugian sebesar-besarnya pada diri sendiri. Dalam percakapan tersebut, terlihat bahwa tuturan Sumar memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri. Jadi, tepatlah dikatakan bahwa ujaran tersebut melanggar maksim kedermawanan. Implikatur yang ada dalam tuturan Sumar tersebut adalah “persetujuan bersyarat”. Maksudnya, Sumar menerima ajakan Riski untuk membuat PR namun dengan syarat ada makanan (camilan) sewaktu membuat PR itu.
Pelanggaran prinsip kesantunan juga ditemukan pada data peristiwa tutur 6 yang juga melanggar prinsip kerja sama. Pelanggaran prinsip kesantunan pada peristiwa tutur 6 tersebut adalah sebagai berikut.

Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Data dari peristiwa tutur 6
Ujaran Didi memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri. Karena itu, ujaran Didi melanggar maksim kedermawanan. Implikatur percakapan tersebut seperti yang telah dijelaskan pada bagian pelanggaran prinsip kerja sama adalah “persediaan bersyarat”.

Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri”
Data dari peristiwa tutur 6
Pada maksim kearifan seseorang harus meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Ujaran Didi “Bayar sendiri” melanggar maksim kearifan karena bertujuan untuk meminimalkan keuntungan orang lain dan memaksimalkan kerugian orang lain. Implikatur yang ada dalam tuturan tersebut adalah “persetujuan bersyarat”.

3.1.3 Pola Pasangan Berdampingan Berimplikatur
Dari 7 peristiwa tutur tersebut, pola pasangan berdampingan yang ditemukan dalam percakapan yang mengandung implikatur percakapan adalah sebagai berikut.
1) Pola Pertanyaan-Jawaban
Dalam sebuah percakapan, pola pertanyaan-jawaban merupakan pola yang sering dijumpai. Salah satu partisipan mengajukan pertanyaan dan partisipan yang lain menjawab pertanyaan tersebut. Pola pertanyaan-jawaban yang mengandung implikatur percakapan tampak pada percakapan antara Agus dan Didi berikut ini.

Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Data dari peristiwa tutur 6

Pertanyaan ini terjadi ketika Agus hendak meminjam PR kepada Didi, didi yang menyetujui permintaan Agus mengajukan syarat agar dibelikan es terlebih dahulu. Sebagai feedback syarat yang diajukan tersebut, Agus bertanya mengenai harga es yang hendak dibeli kepada Didi seperti yang tampak pada kutipan tersebut. Didi pun meresponsnya dengan menyebutkan harga es tersebut. Hanya saja cara yang digunakan unuk memberikan jawaban bersifat tidak jelas atau kabur dan melanggar maksim cara. Ujaran yang kabur tersebutlah yang mengandung implikatur percakapan.

2) Pola Permintaan-Informasi
Pola permintaan-informasi juga sering dijumpai dalam percakapan. Pola ini terjadi saat seorang partisipan meminta tolong kepada lawan tuturnya untuk melakukan sesuatu. Partisipan yang lain kemudian memberikan respons dari permintaan tersebut secara tidak langsung apakah ia menyanggupi permintaan itu ataukah menolaknya. Pola tersebut tampak pada percakapan Mas dan Komang berikut ini.

Mas : “Anter nanti nyari ya?”
Komang : “Mau main bola nanti.”
Data dari peristiwa tutur 1

Percakapan tersebut terjadi ketika Mas dan Komang membahas topik mengenai baju timnas. Pada waktu itu, Mas meminta bantuan Komang untuk mengantarnya membeli baju Timnas karena Komang sudah sempat ke Hardy’s untuk membeli baju tersebut. Untuk menolak permintaan Mas, Komang memilih bentuk ujaran deklaratif dengan tujuan memberikan informasi berupa alasan kalau dia tidak bisa pergi mengantar Mas. Pengungkapan penolakan secara tidak langsung inilah yang menyebabkan ujaran Komang mengandung implikatur percakapan.

3) Pola Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Pola permintaan-persetujuan merupakan pola yang umum dalam percakapan. Sering dijumpai dalam percakapan, sebelum seorang partisipan menyetujui permintaan lawan tuturnya mengajukan pertanyaan. Mitra tuturpun kemudian akan memberikan informasi mengenai peranyaan tersebut. Setelah informasi yang diberikan sesuai dengan harapan, barulah ia menyepakati atau menyetujui permintaan tersebut. Pasangan berdampingan yang hadir di antara permintaan dan persetujuan inilah yang disebut pasangan sisipan seperti tampak pada percakapan berikut ini.

Mas : “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”
Komang : “Jam berapa?”
Mas : “Habis makan saja langsung jalan.”
Komang : “Oke!” (sambil mengangguk)
Data dari peristiwa tutur 1

Pertanyaan Komang yang hadir setelah permintaan Mas tersebut menunjukkan keraguan akan bisa tidaknya penutur melayani permintaan mitra tuturnya, keraguan tersebut disampaiakan dengan kalimat tanya, feedback dari pertanyaan tersebut adalah jawaban yang berfungsi untuk meyakinkan partisipan bahwa ia bisa mengantar. Ujaran yang bertujuan meyakinkan lawan tutur itu disampaiakan dengan memberikan informasi. Pertanyaan Komang dan jawaban yang diberikan Komang secara tidak langsung itulah yang menyebabkan terjadinya implikatur percakapan.

4) Pola Permintaan-Syarat
Pola pasangan berdampingan permintaan-syarat terjadi dalam dua kutipan yang berasal dari peristiwa tutur 6. Pola ini memunculkan implikatur karena persetujuan akan permintaan lawan tutur disampaikan secara tidak langsung, yaitu dengan mengajukan sebuah syarat tertentu. Berikut adalah dua kutipan percakapan yang berasal dari peristiwa tutur 6.

Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Data dari Peristiwa tutur 6
Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri.”
Data dari Peristiwa tutur 6

Sangat jelas pada dua percakapan tersebut kalau Didi mengajukan syarat atas permintaan Agus pada kutipan pertama dan pada Dika pada percakapan kedua. Syarat tersebut mengandung maksud persetujuan akan permintaan lawan tuturnya.

5) Pola Penawaran/ajakan-Informasi
Pola penawaran/ajakan-informasi terjadi ketika seseorang dalam percakapan menawarkan atau mengajak mintra tuturnya untuk melakukan sesuatu. Respons dari tawaran atau ajakan tersebut adalah penyampaian informasi yang di dalamnya terkandung maksud menerima atau menolak tawaran atau ajakan yang diajukan. Pola ini tampak empat percakapan berikut ini.

Dewik : “Jadi ikut pulang sebentar?”
Desi : “Sebentar lagi ibuk selesai rapat.”
Data dari Peristiwa tutur 2
Dalam percakapan tersebut terlihat bahwa Dewik memastikan tentang ikut tidaknya Desi pulang bersamanya. Tawaran yang sekaligus pengecekan keikutsertaan tersebut direspons Desi dengan pemberian informasi yang di dalamnya terkadung maksud dia tidak jadi ikut pulang. Pembatalan janji yang disampaiakan secara tidak langsung inilah yang memunculkan implikatur dalam tuturan Desi. Tuturan lain yang memiliki pola yang sama adalah tuturan berikut ini.

Dewik : “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!”
Desi : “Tadi Arista liat ibukku, katanya ibuk bisa jemput.”
Data dari Peristiwa tutur 2
Perbincangan di atas merupakan kelanjutan dari perbincangan sebelumnya. Pada perbincangan ini, Dewik memastikan kayakinan untuk tidak ikut pulang bersamanya. Tawaran yang berupa permintaan kepastian tersebut direspons Desi dengan memberikan informasi yang mengandung implikatur menunjukkan kepastian ketidakikutsertaannya.
Percakapan selanjutnya yang memiliki pola penawaran/ajakan-informasi adalah percakapan antara Riski dan Sumar dari peristiwa tutur 4 berikut ini.

Riski : “Oh begitu, nanti sore buat yuk?”
Sumar : “Ade film yang sangat bagus!”
Data dari Peristiwa tutur 4

Perbincangan ini terjadi ketika Sumar tidak datang kemarin (waktu sebelum perbincangan ini terjadi) untuk membuat PR dengan Riski. Untuk itu, Riski mengajaknya membuat PR nanti sore. Renpons dari ajakan tersebut berupa informasi mengenai akan adanya film yang sangat bagus nanti sore. Respons tidak langsung ini melahirkan implikatur penolakan akan ajakan mitra tutur. Pola ajakan-informasi juga terlihat dalam percakapan berikut.

Ayuk : “Malam minggu mainan yuk?”
Kadek : “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.”
Data dari Peristiwa tutur 5

Dalam perbincangan tersebut tampak Ayuk mengajak Kadek untuk pergi mainan pada malam minggu. Kadek merespons ajakan Ayuk dengan memberikan informasi kalu ia tidak ada motor untuk dibawa ke luar. Dalam penyampaian informasi tersebut terdapat penolakan atas ajakan yang dilakukan secara tidak langsung.

6) Pola Penawaran-Syarat
Selain penawaran-informasi terdapat juga pola penawaran-syarat yang ditemukan dari data percakapan antarsiswa. Pola ini terjadi ketika salah seorang partisipan percakapan menawarkan sesuatu kepada lawan bicaranan dan direspon dengan penerimaan atau penolakan ajakan yang disampaikan secara tidak langsung. Cara tidak langsung yang digunakan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan adalah dengan mengajukan syarat tertentu. Pola ini tampak pada percakapan berikut.

Riski : “Di rumahku nonton sambil buat itu, gimana?”
Sumar : “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”
Data dari Peristiwa tutur 7

Ujaran Sumar yang merupakan respons dari tawaran Riski disampaikan secara tidak langsung mengenai kesediaannya menerima atau menolak tawaran tersebut. Hal itu dilakukan Sumar dengan mengajukan syarat kepada Riski. Ujaran Sumar inilah yang menimbulkan implikatur percakapan dalam tuturan tersebut.

7) Pola Syarat (Pertanyaan-Jawaban) informasi
Ditemukan juga pola pasangan berdampingan syarat-informasi yang disisipi pasangan pertanyaan-jawaban seperti tampak pada percakapan berikut.

Didi : “Belikan es dulu.”
Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Agus : “Nanti jam istirahat.”
Data dari Peristiwa tutur 6

Percakapan tersebut terjadi sewaktu Agus ingin meminjam PR Didi, saat itulah Didi mengajukan syarat kepada Agus jika Agus ingin meminjam PR-nya. Syarat Didi ternyata tidak ditanggapi langsung oleh Agus. Agus bertanya mengenai harga es itu. Didi merespons pertanyaan Agus dengan memberikan jawaban mengenai harga es. Setelah Agus mempertimbangkannya ia menyatakan kesetujuannya secara tidak langsung, yaitu dengan menyebutkan waktu ia membelikan es. Karena ketidaklangsungan tersebutlah timbul implikatur persetujuan pada tuturan Agus.

8) Pola Pertanyaan-Informasi
Pertanyaan dalam suatu pembicaraan tidak selalu dijawab secara langsung oleh mitra tuturnya. Pertanyaan sangat mungkin dijawab dengan memberikan informasi mengenai apa yang dilakukan oleh penutur untuk menunjukkan jawaban pertanyaan tersebut. Hal tersebut tampak pada percakapan berikut ini.

Kadek : “Buat PR Mat?”
Risna : “Aku tidur jam 8 tadi malam.”
Data dari Peristiwa tutur 3

Pertanyaan Kadek yang sebenarnya hanya membutuhkan jawaban ‘membuat/tidak membuat’ disampaikan Risna dengan cara memberikan informasi megenai apa yang telah dia lakukan kemarin malamnya. Karena ia tidur jam 8 maka tidak mungkin dia bisa mengerjakkan PR. Itulah maksud yang disampikan Risna secara tidak langsung kepada Kadek.

9) Pola Dugaan-Informasi
Terkadang dalam suatu komunikasi, salah seorang partisipan menuduhkan sesuatu terhadap lawan bicaranya atas dugaan yang dibuat. Dugaan tersebut dibantah oleh lawan tuturnya dengan menyatakan suatu informasi yang mematahkan dugaan itu seperti yang terlihat dalam kedua percakapan berikut ini.

Dewik : “Pasti sempet nyari baju ya? Soalnya Bawa bungkusan gede.”
Desi : “Habis beli bakso langsung pulang.”
Data dari Peristiwa tutur 2

Riski : “Hai Sumar, kemarin kamu ke mana? Kemarin pasti kamu mainan ya? Ditunggu buat PR tak datang-datang!”
Sumar : “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.”
Data dari Peristiwa tutur 4

Dalam dua percakapan tersebut terlihat Baik Dewik ataupun Riski sama-sama mebuat dugaan mengenai apa yang telah dilakukan oleh lawan tuturnya (Desi dan Sumar). Untuk menolak dugaan tersebut, Desi dan Sumar tidak memberikan jawaban ‘ya/tidak’ atas kebenaran dugaan. Namun, mereka memilih untuk menginformasikan sesuatu untuk membantah dugaan tersebut. Bantahan secara tidak langsung tersebut melahirkan implikatur dalam percakapan tersebut.

3.2 Pembahasan
Dari tujuh peristiwa tutur terdapat 15 ujaran yang mengandung implikatur percakapan. Dari 15 ujaran tersebut ada 12 ujaran melanggar prinsip kerja sama, 1 ujaran melanggar prinsip kesantunan, dan 2 ujaran melanggar prinsip kerja sama serta prisip kesantunan.
Dari 14 pelanggaran pada prinsip kerjasama terdapat pelanggaran terhadap maksim kualitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim kuantitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim relevansi sebanyak 10 (71,43) pelanggaran dan maksim cara 2 (14,26) pelanggaran. Dari data tersebut terlihat bahwa pelanggaran maksim relevansi paling banyak terjadi. Pelanggaran tersebut sering terjadi mungkin dikarenakan keinginan partisipan tutur untuk memberikan alasan atau informasi terhadap apa yang dilakukan dengan memilih bentuk tidak langsung dari maksud yang hendak disampaikan. Dari data terlihat hanya masing-masing satu ujaran yang melanggar mksim kualitas dan kuantitas serta dua ujaran pelanggaran maksim cara. Hal ini juga secara tidak langsung membuktikan bahwa pemilihan bentuk tidak langsung dengan tujuan memberikan alasan sangat sedikit dari partisipan yang melandasi tujuan itu dengan keinginan berbohong, berbicara secara panjang lebar, dan keinginan mengaburkan maksud tuturan. Sangat mungkin pemilihat bentuk tidak langsung ini dikarenakan penutur ingin menjaga perasaan lawan tuturnya dengan tidak langsung mengatakan penolakan, penyanggahan, dan lain sebagainya.
Implikatur percakapan yang muncul dari pelanggaran prinsip-prinsip kerja sama adalah implikatur ‘penyangkalan tuduhan’ yang muncul dari pelnggaran maksim kualitas. “menunjukkan keyakinan diri’ yang muncul akaibat pelanggaran maksim kuantitas. ‘menolak perintah’, ‘persetujuan bersyarat’, ‘persetujuan’, ‘penunjukkan waktu tertentu’, ‘penyanggahan’, ‘pembatalan janji’, dan ‘tidak melakukan kegiatan apapun’ yang muncul karena pelanggaran maksim relevansi, serta implikatur ‘ketidakpastian’, ‘menyatakan jumlah tertentu’ yang muncul akibat pelanggaran maksim cara.
Untuk pelanggaran prinsip kesantunan yang berjumlah 3 pelanggaran, pelanggaran yang ditemukan ada adalah pelanggaran terhadap maksim kedermawanan sebanyak 2 (66,67%) pelanggaran dan 1 (33,33%) pelanggaran maksim kearifan. Implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran maksim tersebut adalah implikatur ‘persetujuan bersyarat’. Persetujuan bersyarat inilah yang mengakibatkan kerugian sebesar-besarnya pada lawan tutur dan keungtungan yang sebesar-besarnya terhadap diri sendiri sehingga melanggar maksim kesopanan, khususnya maksim kedermawanan dan kearifan.
Pola pasangn berdampingan yang terdapat dalam percakapan yang mengandung implikatur sebanyak sembilan pola, yaitu 1) pola pertanyaan-jawaban, 2) pola permintaan-informasi, 3) pola permintaan (pertanyaan-informasi) persetujuan, 4) pol permintaan-syarat, 5) pola penawaran/ajakan-informasi, 6) pola penawaran-syarat, 7) pola syarat (pertanyaan-jawaban) informasi, 8) pola pertanyaan-informasi, dan 9) pola dugaan-informasi. Pola-pola ini berbeda dengan pola-pola yang diidentifikasi oleh Coulthard (dalam Maharani, 2007:21) yang ada dalam percakapan. Faktor penyebabnya adalah pola-pola yang diidentifikasi dalam temuan ini adalah pola pasangan perbandingan yang memunculkan implikatur percakapan sedangkan pola yang diidentifikasi oleh Coulthard berlaku untuk semua jenis percakapan tanpa mempertimbangkan ada tidaknya implikatur dalam ujaran penyusun percakapan tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara jenis pelanggaran prinsip kerja sama dan atau prinsip kesantunan, implikatur percakapan, dan pola pasangan berdampingan yang ada dalam sebuah percakapan berimplikatur dapat diperhatikan pada tabel berikut ini.

Tabel 01 Keterkaitan Antara Pelanggaran Prinsip Kerja Sama, Implikatur, dan Pola Pasangan Berdampingan

No Maksim yang Dilanggar Implikatur Percakapan Pola Pasangan Berdampingan
1. Maksim Kualitas Penyangkalan tuduhan Dugaan-Informasi
2. Maksim Kuantitas Menyatakan keyakinan diri Penawaran/ajakan-Informasi
3. Maksim Relevansi Menolak permintaan • Permintaan-Informasi
• Penawaran/ajakan-Informasi
Menunjukkan waktu tertentu Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Penyanggahan Dugaan-Informasi
Pembatalan Janji Penawaran/ajakan-Informasi
Tidak melakukan apapun Pertanyaan-Informasi
Persetujuan bersyarat • Permintaan-Syarat
• Syarat (Pertanyaan-Jawaban) Informasi
Persetujuan Syarat (Pertanyaan-Jawaban) Informasi
4. Maksim Cara Ketidakpastian Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Menyatakan jumlah tertentu Pertanyaan-Jawaban

Tabel 02 Keterkaitan Antara Pelanggaran Prinsip Kesopanan, Implikatur, dan Pola Pasangan Berdampingan

No Maksim yang Dilanggar Implikatur Percakapan Pola Pasangan Berdampingan
1. Maksim Kedermawanan Persetujuan bersyarat • Penawaran-Syarat
• Permintaan-Syarat
2. Maksim Kearifan Persetujuan bersyarat Permintaan-Syarat




















BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Dari hasil temuan dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut.
1) Dari 14 pelanggaran pada prinsip kerjasama terdapat pelanggaran terhadap maksim kualitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim kuantitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim relevansi sebanyak 10 (71,43) pelanggaran dan maksim cara 2 (14,26) pelanggaran. Dengan implikatur percakapan ‘penyangkalan tuduhan’ yang muncul dari pelnggaran maksim kualitas. “menunjukkan keyakinan diri’ yang muncul akaibat pelanggaran maksim kuantitas. ‘menolak perintah’, ‘persetujuan bersyarat’, ‘persetujuan’, ‘penunjukkan waktu tertentu’, ‘penyanggahan’, ‘pembatalan janji’, dan ‘tidak melakukan kegiatan apapun’ yang muncul karena pelanggaran maksim relevansi, serta implikatur ‘ketidakpastian’, ‘menyatakan jumlah tertentu’ yang muncul akibat pelanggaran maksim cara.
2) Untuk pelanggaran prinsip kesantunan yang berjumlah 3 pelanggaran, pelanggaran yang ditemukan ada adalah pelanggaran terhadap maksim kedermawanan sebanyak 2 (66,67%) pelanggaran dan 1 (33,33%) pelanggaran maksim kearifan. Implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran maksim tersebut adalah implikatur ‘persetujuan bersyarat’.
3) Pola pasangn berdampingan yang terdapat dalam percakapan yang mengandung implikatur sebanyak sembilan pola, yaitu 1) pola pertanyaan-jawaban, 2) pola permintaan-informasi, 3) pola permintaan (pertanyaan-informasi) persetujuan, 4) pol permintaan-syarat, 5) pola penawaran/ajakan-informasi, 6) pola penawaran-syarat, 7) pola syarat (pertanyaan-jawaban) informasi, 8) pola pertanyaan-informasi, dan 9) pola dugaan-informasi.



4.2 Saran
Sesuai dengan temuan penelitian, hal yang dapat disarankan bagi mahasiswa jurusan bahasa Indonesia adalah sebaiknya dilakukan penelitian sejenis dengan objek penelitian yang lebih bervariatif sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan lebih kompleks mengenai teori pragmatik.

DAFTAR PUSTAKA


Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Persepektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadiati, Cusni. 2007. Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-laki dalam Film The Sound Of Music. Tesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana, Universitas Diponogoro.

http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-n-kesantunan.html\. Diakses 5 Desember 2010.

Leech. G. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D Oka. 1993. Jakaria : Penerbit UI.

Maharani. 2007. Tindak Tutur Percakapan dalam Komik Asterix Skripsi (tidak diterbitkan). Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: KANISIUS.

Sigian, Emsi. 2007. “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara ‘Jou-Jou Tano Batak’”. Skripsi (tidak diterbitkan). Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Sumarsono. 2010. Pragmatik. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.