Sabtu, 11 Juni 2011

Landasan Sosiologi Pendidikan

LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
I PUTU MAS DEWANTARA

1. Peranan Sosiologi dalam Menelaah Peristiwa Pendidikan
Lembaga pendidikan tidak pernah berada di dalam kehampaan sosial (social vacuum). Lembaga pendidikan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat. Jika lembaga pendidikan bergerak secara dinamik, maka masyarakat akan berkembang secara dinamik, begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya, ketelitian dalam memahami latar sosial, proses perubahan sosial, dan dampak ikutannya akan menentukan keberhasilan pendidikan.
Pendekatan sosiologi merupakan suatu kajian yang berupaya menelaah dan menganalisis peristiwa-peristiwa dalam hubungannya dengan pendidikan dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara mengorganisir faktor-faktor yang memengaruhi proses pendidikan dan kelembagaannya secara sistematik. Jadi, tekanan kajiannya terletak pada bentuk dan fungsi lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan masyarakat.
Hasil telaah sosiologi biasanya bersifat deskriftif, yakni menggambarkan secara rinci tentang faktor-faktor yang memengaruhi proses dan hasil pendidikan, dinamika interaksi sosial baik di dalam maupun di luar sekolah, struktur kelembagaan sekolah sebagai sistem sosial, kekuatan-kekuatan kelompok di masyarakat, dampak ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap pelaksanaan pendidikan, fungsi pendidikan di masyarakat, dan masalah-masalah sekolah sebagai agen inovasi sosial, itu semua terjadi merupakan kajian bidang sosiologi.
Dewasa ini masyarakat mengalami perubahan yang sangat cepat. Perubahan itu dapat diamati dari segi pemanfaatan teknologi, perubahan sistem nilai dan norma yang dianut, sifat dan dinamika kelompok di masyarakat, dan masih banyak yang lainnya. Perubahan itu tidak selalu mencerminkan keseragaman baik yang berkenaan dengan bentuk, isi, atau karakteristik maupun dampak yang ditimbulkannya. Ini memberikan implikasi bahwa lembaga pendidikan dituntut untuk selalu tanggap terhadap perubahan sosial tersebut, dan memberikan implikasi pula bahwa setiap kelompok masyarakat ataupun bangsa tidak akan memiliki karakteristik dan tujuan pendidikan yang sama.
Dengan adanya perkembangan IPTEK manusia medapatkan berbagai kemudahan dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Bahkan saat sekarang ini hampir setiap orang itu tidak bisa terpisah dari adanya teknologi. Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty First Century” merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses pembelajaran, yaitu: Learning to know (belajar untuk menguasai pengetahuan) Learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan), Learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup bermasyarakat). Untuk dapat mewujudkan empat pilar pendidikan di era globalisasi informasi sekarang ini, para guru sebagai agen pembelajaran perlu menguasai dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran (Azen Ismail, 2010).

2. Peranan Pendidikan bagi Masyarakat
Dilihat dari kepentingan masyarakat secara menyeluruh, fungsi utama pendidikan adalah sebagai alat pemelihara (pengembang) kebudayaan, mengkomunikasikan pengetahuan kepada orang lain. Pendidikan mentransmisikan kebudayaan kepada generasi masa depan, dan dalam proses ini juga mengaharapkan adanya tatanan kehidupan yang lebih baik. Transmisi dan akulasi kebudayaan dari gernersi ke generasi itu merupakan karakteristik manusia sejak permulaan sejarah. Peranan pendidikan formal dalam proses ini hanya menjadi bagian kecil saja. Sebagaimana dikemukakan oleh Burton Clark (dalam Sudomo, 1989/1990) bahwa, sistem pendidikan zaman dahulu tidak lebih daripada seorang ibu mengajar anak-anaknya untuk berjalan, berbicara, dan bekerja bersama-sama.
Dalam sejarah masa lampau terutama pada peradaban Yunani dan Romawi, pendidikan formal hanya dimanfaatkan oleh kalangan terbatas, yakni golongan elit yang berkuasa dan anggota kelompok agama. Namun, dengan adanya revolusi industri, selain menghasilkan inovasi, secara radikal ia juga mengubah struktur sosial masyarakat. Fungsi utama keluarga tidak lagi menjadi unit produksi sebagaimana terjadi pada masyarakat premitif. Akibatnya, banyak anak-anak bekerja di pabrik dan di kantor-kantor. Perubahan ini juga menyebabkan generasi muda semakin menuntut agar memeroleh peluang lebih banyak dalam dunia pendidikan.
Berkaitan dengan hal itu sekolah menjadi suatu kebutuhan, karena keluarga dan masyarakat menjadi kurang efektif dan kurang mampu melatih anak-anak menjadi dewasa melalui hubungan informal. Kelompok agen kebudayaan (guru dan orang awam) semakin berkembang. Peruaban jenis-jenis pengetahuan dan pekerjaan menyebabkan anak-anak masuk ke ruangan sekolah dan memberikan peranan yang lebih luas dan lebih dalam untuk melangsungkan serta mentransmisikan kebudayaan. Luasnya kecendrungan sekarang untuk mengaksentuasi pemisahan peranan keluarga dan pekerjaan itu akan membuat fungsi sekolah sebagai agen penting dalam mentransformasi kebudayaan. Sungguhpun demikian kita tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa keluarga tidak lagi penting sebagai agen sosialisasi, atau sekolah mengambil alih fungsi keluaraga sebagai agen sosialisasi. Keluarga juga tidak akan kehilangan kepentingnya dalam mendidik anak-anak ketika mereka menginjak usia sekolah. Dalam banyak hal, orang tua dan saudara-saudaranya terus memengaruhi sosialisasinya selama usia sekolah, begitu pula sampai mereka mencapai usia dewasa.
Hasil belajar yang diperoleh melalui pendidikan formal merupakan bagian dari persiapan anak-anak untuk berperan serta dalam masyarakat dewasa. Barangkali yang paling penting pada bagian proses sosialisasi ini adalah mencangkup asimilasi dan adopsi kepercayaan, nilai-nilai, dan pola-pola perilaku orang-orang tertentu di mana merekan akan bergaul. Karena anak-anak menghabiskan waktunya di sekolah tidaklan mengejutkan bahwa lingkungan pergaulan di sekolah akan memengaruhi perilakunya, termasuk pula bentuk sistem nilai dan sikapnya terhadap norma-norma sosial. Oleh karena itu diperlukan perluasan lingkungan pergaulannya.
Pendidikan dasar dan menengah selama ini memiliki tugas mempersiapkan anak-anak untuk hidup di dalam masyarakat yang terus-menerus berubah dan mengajar keberadaan perubahan itu sendiri. Sekolah diharapkan menyampaikan pengalaman pendidikan bukan saja agar peserta didik mampu beradaptasi dengan perubahan tetapi juga mampu memberikan kontribusi secara aktif dalam pendidikan. Artinya, sekolah sebagai bagian fungsi utamanya juga mentransmisikan komitmen perubahan sebagai nilai-nilai sosial.
Fungsi selanjutnya lembaga pendidikan itu adalah membantu mengalokasikan seseorang pada posisi di dalam masyarakat. Setiap masyarakat selalu membagi tugas dalam memutuskan sesuatu berkenaan dengan kepentingan bersama dan melaksanakan peranan penting bagi kelangsungan perkembangan masyarakat. Artinya, setiap pekerjaan yang ada di masyarakat memerlukan keterampilan sesuai dengan bidang-bidang yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Dari semula sekolah bertindak sebagai the arbiter of individual acheveiment. Karena perkembangan anak melalui sistem pendidikan keputusan yang mereka buat berkenaan dengan jenis latiahan yang dipilih dan peluang kemajuanya sebagaian besar terletak di sekolah. Anak-anak dan orang tuanya mungkin memengaruhi kepeutusan tersebut tetapi dalam banyak hal sekolah memaikan peranan yang besar. Di sini sekolah mungkin menggunakan pengaruhnya dalam mengalokasikan status. Keputusan mengenai perguruan tinggi yang mana akan dimasuki banyak dipengaruhi sekolah.
Sebagai tambahan untuk mentransformasikan kebudayaan, membantu perkembangan inovasi, membantu mengalokasikan individu pada posisi di masyarakat, sekolah pada umumnya memiliki fungsi-fungsi tambahan. Pada dasarnya tidak terdapat konflik terhadap fungsi-fungsi yang dilakukan oleh sekolah. Namun, dalam prakteknya konflik itu kadang-kadang terjadi.misalnya, lembaga pendidikan mengemban fungsi konservatif dan fungsi inovatis sekaligus, tetapi kinerja yang efektif itukeduanya memerlukan perawatan keseimbangan dan ini sangat sering sulit untuk dipenuhi.
Beberapa fungsi sekunder sekolah juga mungkin menyulitkan sekolah untuk mengemban fungsi utamanya. Aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan oleh peserta didikmungkin mengurangi fungsi lembaga pendidikan. Jika orang tua ikut campur secara aktif agar anak-anaknya mengikuti kelompok-kelompok sosial yang ada hubungannya dengan kepentingan mereka di masa depan. Konflik antara kepentingan dan harapan orng tua denga fungsi lembaga pendidikan (sekolah) pada akhirnya akan menurunkan aktivitas anak untuk belajar.
Dengan demikian, sekolah dipandang memiliki fungsi yang selamanya tidak cocok dengan lembaga-lembaga lain. Namun ia tetap dibutuhkan dalam pengembangan masyarakat. Dalam hal-hal tertentu efektivitas sekolah diukur melalui beberapa, baik ia berhasil melaksanakan beberapa fungsi tersebut tanpa kehilangan pencapaian tujuan utamanya. Karena itu, analisis sosiologi terhadap pendidikan akan menunjukkan tuntutan masyarakat yang sangat kompleks.

3. Hubungan Kebudayaan dan Pendidikan
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kebudayaan itu mencangkup tata nilai, kepercayaan, dan norma-norma yang berlaku yang diwariskan oleh masyarakatdari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi masyarakat atau bangsa yang terdiri dari banyak suku dan masing-masing memiliki kebudayaan sendiri, mereka memiliki pola akulturasi dan enkulturasi sendiri-sendiri. Enkulturasi merupakan proses menjadikan individu agar sanggup menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan alkulturasi itu merupakan proses penerimaan budaya asing tanpa menyebabkan hilangnya identitas budaya sendiri.
Bila beberapa suku tersebut berkumpul di dalam satu lembaga pendidikan, sangat sering kelompok minoritas dalam lembaga pendidikan tersebut mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap kelompok mayoritas. Akibatnya juga menjadi masalah tersendiri bagi pendidikan, terutama cara memanfaatkan proses enkulturasi dan alkulturasi dalam waktu yang sama.
Secara yuridis kelompok kesukuan itu mendapat perilaku yang sama dalam segala hal. Namun, bila kelompok-kelompok itu dikumpulkan ke dalam satu lembaga pendidikan, mereka umumnya tidak mau saling membuka diri. Kejadian seperti ini pada akhirnya akan dan dapat menghambat terjadinya proses enkulturasi dan alkulturasi dalam proses pendidikan. Untuk mengatasi permasalahan seperti itu, dibuatlah program pendidikan yang berisikan kurikulum lokal yang disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah. Pelaksanaan kurikulum lokal ini bukan saja dapat mengembangkan budaya daerah melainkan juga dapat memberikan wawasan yang konprehensif bagi peserta didik terhadap khazanah budaya di daerah lain dan budaya nasionalnya. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan, proses asimilasi peserta didik harus diperhatikan untuk menghidari adanya pemisahan antara proses enkulturasi dan alkulturasi pada berbagai suku tersebut.
Untuk menghindari konflik budaya pendidik harus mampu membuat keputusan secara adil dengan memerhatikan nilai-nilai dan sikap atau latar budaya peserta didiknya. Begitu juga sebaliknya peserta didik dari golongan minoritas harus menyadari adanya kenyataan tersebut, sehingga tidak menimbulkan konflik yang berarti. Keinginan masyarakat pada umumnya mendukung adanya sekolah campuran, baik dilihat dari jenis kelamin, maupun kesukuan, karena hanya dengan pendidikan model campuranlah generasi muda dapat berbaur secara alami.
Ada dua aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses pendidikan, yaitu (1) ketidakcocokan antara nilai-nilai budaya yang diinternalisasikan kepada anak dengan kenyataan atau dalam praktek kehidupan dan (2) perbedaan atau adanya kesenjangan variasi nilai-nilai budaya yang lebih dominan dan nilai-nilai budaya yang kurang dominan. Pengembangan budaya pada anak-anak itu akan berhasil apabila ditanamkan bersama-sama dengan norma-norma yang dijadikan patokan perilaku, dan begitu pula sebaliknya penanaman nilai-nilai dan norma tidak akan menjadi berarti apabila tidak didukung oleh pengembangan kebudayaan.
Budaya yang tidak memiliki norma yang luas dan fleksibel akan menjadi mati. Sebenarnya telah banyak cara yang ditempuh oleh bangsa dan negara untuk memengaruhi sistem pendidikannya, salah satu diantaranya adalah dengan mengenalkan kekuatan nilai-nilai budaya yang tumbuh di masyarakat. Prinsif-prinsif ini diterapakan pada sekolah dasar sampai sekolah menengah. Sedangkan untuk pendidikan tingggi aganya kurang mendapatkan perhatian, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Nilai-nilai budaya tersebut biasanya dimasukkan ke dalam kurikulum atau mata ajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, sejarah nasional dan lain-lain.
4. Pengaruh Konflik Budaya dalam Pendidikan
Di Negara-negara yang terdiri atas banyak suku atau ras, ketidakberuntungan itu biasanya menimpa penduduk minoritas yang sering tidak berhasil dalam memeroleh kehidupan di lingkungan masyarakat minoritas. Ketidakberuntungan itu juga menimpa pada berbagai golongan misalnya (1) masyarakat yang hidup di daerah terasing, (2) kelompok-kelompok keagamaan yang menutup diri dari arus moderenisasi, (3) kelompok-kelopok yang tidak mampu berkomunikasi dengan kelompok lain kerana adanya masalah bahasa, (4) kelompok-kelompok yang mengalami kelainan fisik atau mental, dan (5) kelompok wanita yang karena naluri dan kondisi alamiahnya.
Kebudayaan manakah yang tidak menguntungkan bagi peserta didik dalam lembaga pendidikan? Biasanya adalah mereka yang berasal dari orang tua yang memiliki latar belakang akademik rendah. Rendahnya akademik itu sebagai konsekuensi dari kelas sosial yang lebih rendah. Walaupun orang tua mereka memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah, kenyataannya orang tua tidak mampu membantu belajar anaknya di rumah, karena budaya di sekolah berbeda dengan budaya di rumah.
Ada kemungkinan besar bahwa anak-anak dari kelompok minoritas (biasanya berasal dari kelompok kelas bawah) mengalami kegagalan di sekolah, atau setidak-tidaknya kurang mampu menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di sekolah. Hal ini disebabkan karena ketidakserasian antara nilai-nilai yang dimiliki dan dibawa oleh anak dari keluaranya dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai yang dipelajari oleh anak di sekolah tidak selamanya diikuti secara mutlak. Banyak faktor yang menentukan hal tersebut, yakni tindakan norma yang dianut, ketidaksukaan terhadap pendidiknya, mungkin juga ketidakpedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Karena itu tidak dapat dihindari lagi sekolah akan terlibat dalam konflik antara kebudayaan yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat atau di dalam kebudayaan tersebut.
Kenyataan-kenyataan seperti ini memberikan konsekuensi kepada pendidik agar:
1. Memahami sikap bawaan anak di sekolah: banyak masalah yang timbul di kelas karena peserta didik tidak terbiasa dengan bahasa, nilai-nilai dan kebiasaan di sekolah.
2. Memahami secara kritis karakteristik peserta didik: biasanya pendidik tidak pernah mengalami sub-kultur dan sikap peserta didiknya.
3. Meningkatkan kemampuan berbahasa: misalnya seorang pendidik yang ditugaskan untuk mengajar di sekolah-sekolah di Jawa Tengah mereka harus memahami dan menggunakan bahasa daerah Jawa Tengah.
4. Mengevaluasi diri terhadap intervensi kebudayaan terhadap potensi yang diemban. Artinya apakah budaya yang telah dimiliki itu berpengaruh di dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, di samping juga meneliti apakah nilai-nilai yang dimiliki sesuai dengan nial-nilai ideal peserta didik dan masyarakat lingkungannya.

5. Implikasi Ketidaksinambungan Budaya Terhadap Lembaga Pendidikan
Yang paling memengaruhi terjadinya ketidaksinambungan budaya pada anak-anak adalah terpisahnya keluarga dengan masyarakat luas. Anak-anakterutama yang hidup di perkotaan sampai masuk sekolah harus tinggal di dalam keluarganya, kerana lingkungan yang menuntut untuk itu. Dengan demikian, perkembangan kedewasaannya terbentuk dari pengaruh orang tua dan saudara-saudara terdekatnya saja. Berbeda halnya dengan masyarakat pedesaan, semenjak masih anak-anak sudah bergaul dengan masyarakat luas dari segala usia dan pengalamannya. Di sini orang dewasa, bukan orang tua atau saudaranya saja yang ikut andil dalam mendewasakan anak.
Di samping itu anak-anak yang hidup di lingkungan perkotaan biasanya hanya di didik oleh orang tuanya saja atau pembantu rumah tangganya. Anak-anak semacam ini akan mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena selam masa kanak-kanak hidupnya selalu bergantung pada lingkungan keluarganya saja. Sebaliknya, bagi anak-anak yang hidup di daerah pedesaan mereka di asuh oleh keluarga, saudara-saudara dan masyarakat sekelilingnya. Dalam kondisi seperti ini anak akan cepat matang dan semenjak kecil relatif sudah memiliki tanggung jawab cukup besar dan meraka di bekali tanggung jawab serta kepercayaan diri dalam mencari nafkah sehingga mereka lebih mudah menghadapi masalah kedewasaan.
Dalam kehidupan yang semakin kompleks dan perubahan kebudayaan yang sangat cepat anak-anak di daerah perkotaan mengalami ketegangan yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di daerah pedesaan. Karena persoaalan yang mereka hadapi lebih rumit maka mereka juga memiliki resiko yang lebih besar. Mereka yang hidup di daerah perkotaan mengalami keragu-raguan dalam menentukan pilihan karena semua keputusannya dipengaruhi oleh konfliki moral, status sosial, dan tingkat tanggung jawab individu. Sumber ketegangan lain adalah anak-anak secara fisik matang sebelum waktunya, dan akibanya mereka mealakukan kegiatan-kegiatan sebelum waktunya, dan akibatnya mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Dalam sub-kultur seperti itu anak-anak merasa bahwa mereka sudah terlepas dari dunia orang tuanya namun dalam perasaannya tidak dapat meninggalkan ketergantungan pada orang tua. Sehingga berakibat pada kebencian-kebencian terhadap orang tua dan keluarganya. Pada beberapa sumber yang dapat menimbulkan konfik budaya anatara anak dengan orang tua yakni:
1. Disuguhkannya model-model mutahir melalui media masa, sehingga anak-anak menganggap orang tuanya sudah ketinggalan zaman.
2. Pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua tidak sesuai dengan alam dan budaya anak-anak, dan
3. Ketidakpaduan keinginan dan cita-cita antara anak-anak dengan orang tua.
Menghadapi gejala-gejala seperti itu ada dua pandangan yang terdapat di lembaga pendidikan, yaitu:
1. Pendidikan menerima ketidaksinambungan itu asalkan budaya yang dimiliki oleh anak dapat berguna bagi kehidupannya kelak.
2. Pendidik menghendaki perlu dihindarinya efek-efek samping dari ketidaksinambungan budaya tersebut. Mereka akan mendidik peserta didik seperti orang dewasa yang penuh potensi, bekerjasama secara lebih baik dengan mereka, bukan memberi komando atau intruksi. Konflik itu harus diselesaikan oleh alam dan budaya anak-anak itu sendiri.
Ketidaksinambungan budaya yang terjadi antara anak-anak dengan orang tua itu memberi implikasi agar lembaga pendididkan (sekolah) melakukan tindakan:
1. Mengajak peserta didik untuk mempelajari masalah-masalah yang masih hangat dan benar-benar terjadi di masyarakat, seperti tentang pengangguran, kejahatan, kemelaratan, masalah-masalah urbanisasi, dll; itu semua bukan masalah akademik melainkan sebagai masalah penting yang memengaruhi kehidupan masyarakat.
2. Pendidik hendaknya mengajarkan masalah-masalah kemasyarakatan dengan cara mengajak peserta didik berdialog langsung dengan para tokoh masyarakat, misalnya ustadz, petani yang berhasil, pekerja sosial dan lain sebagainya.
3. Merangsang peserta didik untuk berani mengemukakan pendapatnya secara bertanggung jawab.
4. Menganjurkan peserta didik menjadi anggota kelompok sosial sehingga akan memberikan pengalaman yang kaya kepada peserta didik tentang kehidupan masyarakat.

6. Perubahan Budaya dan Pendidikan
Perubahan kebudayaan dapat terjadi setidak-tidaknya pada tiga bentuk yaitu (1) kebiasaan-kebiasaan yang diciptakan atau diketemukan di dalam budaya itu sediri, (2) kebiasaan-kebiasaan yang ada mungkin dimodifikasi untuk disesuaikan dengan lingkungan baru, dan (3) kebiasaan-kebiasaan yang mungkin dipinjam atau berasal dari kebudayaan lain (kecuali kebudayaan itu sudah mencapai tingkat keutuhan) sebuah kebudayaan tidak akan beraksi secara menyeluruh terhadap satu kebudayaan saja walaupun bagaimana pentingannya perubahan itu.
Dewasa ini nilai-nilai yang berasal dari kaum puritan (orang-orang yang sangat teguh berpegang pada peraturan-peratuan dan tata susila) cenderung mengalah dengan nilai-nilai masyarakat industri. Konfik nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru yang lebih progresif secara alamiah akan berakibat pada pendidikan.
Dapatkah lembaga pendidikan (sekolah) melakukan perubahan kebudayaan? Tidak dapat disangkal lagi bahwa sekolah merupakan lembaga yang dapat mengubah tatanan sosial. Menurut Kneller (Sudomo, 1989/1990) semua itu tergantung pada siapa saja yang mengendalikan sekolah dan siapa yang memilki pengaruh di masyarakat. Sebagaimana dalam ideologi politik, di dalam suatu masyarkat yang di atur oleh seorang penguasa tunggal atau sebuah partai tunggal, sekolah mungkin akan digunakan untuk menciptakan “manusia baru” dengan kadar kepercayaan dan kepekaan yang dibutuhan untuk membangun dan melestarikan tatanan baru. Dalam kasus yang sama keputusan politik itu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mentranspormasi budaya. Namun, sekolah bukan satu-satunya alat untuk mentranspormasi budaya. Sekolah dapat menyumbangkan perubahan-perubahan yang bermakna, seperti perencanaan ekonomi, perencanaan regioanal, dan lain sebagainya.
Perubahan kebudayaan memerlukan perubahan pemikiran dan tindakan setiap orang. Apabila negara mengubah kebudayaan itu berarti kehidupan warganya harus diubah sesuai dengan kehidupan negara. Peran serta individu dalam sebuah kebudayaan yang di ilhami dan diarahkan oleh negara berarti pula bahwa partai atau kelompok yang mengendalikan negara pada giliranya dituntut menghasilkan proses internalisasi sedemikian rupa sehingga perilaku dan pikiran individu sesuai dengan tujuan negara.
Untuk mengubah kebudayaan secara menyeluruh ialah hanya dengan menggunakan kekuatan satu partai yang memiliki kekuatan absolut. Dengan demokrasi, tampaknya perubahan kebudayaan secara menyeluruh tidak mungkin terjadi. Sebab demokrasi mengandung makna secara tidak langsung menyatakan berfungsinya mitra kerja atau kalau lebih baik disebut oposisi. Menurut demokrasi, mungkin kebudayaan dibentuk oleh pemerintah namun ditempuh dengan penggantian-penggantian secara kaku.
Secara demokratis, sistem pendidikan biasanya akan memperkuat nilai-nilai dan praktek-praktek seperti itu, yakni masyarakat secara keseluruhan dapat mencapai keinginanya. Sekolah atau pendidikan sebagai agen kebudayaan menimbulkan pertanyaan yaitu apakah para pendidik dapat bertindak sebagai katalisator perubahan-perubahan kebudayaan? Dalam hal ini sulit untuk menjawab sampai jelas.
Pada dasarnya pendidik tidak mengendalikan pendidikan sebab negara dan masyarakatlah yang melakukannya, sedangkan pendidik lebih banyak bertindak sebagai pelaksana pendidikan. Karena itu meskipun pendidikan secara terang-terangan tidak mungkin menyetujui terhadap perubahan kebudayaan, namun ia dapat membawa penagaruh sedikit dalam menunjang pendapat pemerintah atau pendapat masyarakat luas.
Namun demikian, apakah ini berarti pendidik tidak dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat dan mereka hanya sekadar merefleksikan sikap-sikap dan budaya masyarakat saja? Tidak selurunya pendapat ini dibenarkan. Alasannya, pendidik adalah seseorang yang dapat membawa perubahan-perubahan budaya tertentu dalam masyarkat. Pendidik secara individual dapat melakukan banyak hal untuk membuka pikiran-pikiran peserta didiknya. Sehingga peserta didik itu akan membawa perubahan ke lingkungan masyarakat. Dengan keyakinan dan contoh keteladanan pendidik yang baik pada giliranya dapat mengarahkan peserta didiknya untuk mengadopsi sikap yang lebih jelas dibandingkan orang-orang yang ada di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar