Jumat, 10 Juni 2011

Teori Belajar Behavioristik

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
(Hakikat, Kelemahan-Keunggulan, dan Penerapannya)

I PUTU MAS DEWANTARA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Belajar dilakukan manusia di sepanjang hidupnya. Ini berarti sejak manusia lahir manusia sudah mulai belajar. Belajar dilakukan manusia untuk mendapatkan atau memperoleh pengetahuan untuk dapat dimanfaatkan dalam menjalani kehidupannya. Gage (dalam Dahar, 1988:12) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Gagasan Gage mengenai perubahan perilaku dalam suatu organisme menyiratkan bahwa belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur belajar, dapat dilakukan dengan membandingkan cara organisme itu berperilaku pada suatu waktu dengan cara organisme itu berperilaku pada waktu yang lain dalam suasana yang serupa.
Definisi lain yang nampaknya serupa mengenai belajar seperti yang disampaikan Robert Heinich dkk. (dalam Pribadi, 2009:6) yang menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terjadi manakala seseorang melakukan interaksi secara intensip dengan sumber-sumber belajar. Belajar merupakan suatu proses aktif dan fungsi dari total situasi yang mengelilingi siswa. Individu yang melakukan proses belajar akan menempuh suatu pengalaman belajar dan berusaha untuk mencari makna dari pengalaman tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan, belajar terjadi apabila terdapat perubahan dalam kesiapan (readiness) pada diri seseorang dalam berhubungan dengan lingkungannya. Setelah melakukan proses belajar, biasanya seseorang akan menjadi lebih respek dan memiliki pemahaman yang lebih baik (sensitive) terhadap objek, makna, dan peristiwa yang dialami. Melalui belajar, seseorang akan menjadi lebih responssif dalam melakukan tindakan (Snelbecker dalam Pribadi, 2009:7).
Dalam dunia pendidikan, untuk dapat merancang pembelajaran yang mampu menciptakan kesempatan belajar bagi siswanya, seorang guru perlu memahami berbagai teori belajar yang ada. Teori-teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 dikelompokkan menjadi dua keluarga, yaitu keluarga teori perilaku (behavioristik) yang meliputi teori-teori stimulus-responss (S-R) dan keluarga Gestalt Field yang meliputi teori-teori kognitif (Dahar,1988:24). Dari dua keluarga teori belajar tersebut, makalah ini mencoba memaparkan salah satu keluarga teori belajar yang ada, yaitu teori belajar behavioristik.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah hakikat teori belajar behavioristik?
2) Apakah kelibihan dan kelemahan teori belajar behavioristik?
3) Bagaimanakah penerapan teori belajar behavioristik dalam pembelajaran?

1.3 Tujuan Penulisan
Beranjak dari rumusan masalah yang diangkat, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan hakikat teori belajar behavioristik.
2) Mendeskripsikan kelibihan dan kelemahan teori belajar behavioristik.
3) Mendeskripsikan penerapan teori belajar behavioristik dalam pembelajaran.

1.4 Manfaat Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penulisan makalah ini, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa pascasarjana pendidikan bahasa Indonesia dalam pendalaman pemahaman mengenai teori belajar behavioristik sehingga dapat dijadikan bekal untuk mengajar.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (http://id.wikipedia.org). Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responssnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa responss. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan responss tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan responss, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (responss) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu pula bila respons dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respons juga semakin kuat.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Ivan Pavlov, Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, Skinner, Albert Bandura, dan Gagne. Berikut dipaparkan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh behavioristik tersebut.

1) Ivan Pavlov: Classical Conditioning
Dalam tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan tahun-tahun awal abad ke-20 Pavlov (ahli psikologi Rusia) dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Seekor anjing diberi serbuk daging dan anjing tersebut air liurnya ke luar. Serbuk daging disebut stimulus tidak-terkondisi (unconditioned stimulus; US) dan tindakan keluar air liur disebut respons tidak-terkondisi (unconditioned responsse; UR). Terjadinya responss terhadap penyajian stimulus ini tidak merupakan belajar, tetapi terjadi secara instingtif.
Kemudian lampu dihidupkan di tempat anjing tersebut. Hidupnya lampu tidak membuat air liur anjing ke luar. Selanjutnya lampu dinyalakan tepat sebelum memberikan serbuk daging itu pada anjing (US). Jika hal itu dilakukan beberapa kali, dan kemudian pada suatu percobaan, tanpa memberikan serbuk daging, terlihat munculnya responss ke luarnya air liur pada anjing tersebut. Cahanya yang sebelumnya merupakan stimulus netral sekarang menjadi stimulus terkondisi (CS), dan respons yang ditimbulkan tersebut adalah responss terkondisi (CR). Hal tersebut seperti yang tampak pada Bagan 2.1 berikut ini.

Bagan 2.1 Stimulus-Responss Teori Pavlov
Sebelum terkondisi

(Lampu) (daging) (air liur)

Selama terkondisi

(Lampu) (daging) (air liur)


Sesudah terkondisi

(Lampu) (air liur)

Berdasarkan penelitian Pavlov terhadap seekor anjing inilah melahirkan sebuah teori yang terkenal yakni classical conditioning (pembiasaan klasik). Teori tersebut menyatakan bahwa setiap organisme, perilakunya terjadi secara refleks, dan dibatasi oleh rangsangan sederhana dan bersifat mekanis. Teori ini menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi melalui bentuk hubungan antara peristiwa dalam lingkungan dengan individu pada saat proses belajar berlangsung.

2) Thorndike: Teori Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan responss. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan responss adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Dalam sejumlah ekspirimen tehadap S-R, Thorndike menempatkan kucing-kucing dalam kotak. Dari kotak itu kucing-kucing harus ke luar untuk memperoleh makanan. Ia mengamati bahwa sesudah kucing-kucing belajar bagaimana dapat ke luar dari kotak itu lebih cepat dengan mengulangi perilaku-perilaku yang mengarah pada ke luar dan tidak mengulangi perilaku-perilaku yang tidak efektif.
Dari hasil penelitian itu, Thorndike menyimpulkan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi-situasi yang mirib, akan meningkat. Tetapi sebaliknya, jika suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan, kemungkina prilaku itu diulangi, akan menurun. Jadi konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat memegang peranan penting dari prilaku orang itu selanjutnya (trial and error) (Dahar, 1988:29).
Berdasarkan hasil ekspirimen tersebut, Torndike mengemukakan tiga hukum belajar sebagai berikut.
a) The Law of Effect (Hukum Sebab-Akibat)
Hukum sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan akan memperkuat hubungan antara stimulus dan responss atau perilaku yang dimunculkan. Sedangkan situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut.
b) The Law of Exercise (Hukum Latihan/Pembiasaan)
Hukum latihan atau pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan proses. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya responss yang benar. Namun, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan, tidak akan membantu proses belajar.
c) The Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan menyatakan bahwa siswa yang sudah siap (sudah belajar sebelumnya) akan siap untuk memunculkan responss terhadap stimulus yang diberikan. Hal tersebut merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa. Namun, siswa yang tidak siap dengan stimulus yang diberikan maka ia akan merasa terpaksa memberi responss, sehingga mengalami kondisi yang tidak menyenangkan. Hal tersebut dapat memperlemah munculnya responss.

3) John Watson
Watson terkenal dengan ucapannya, “Berikanlah kepada saya 10 orang anak (bayi), maka akan saya jadikan ke-10 anak itu sesuai kehendak saya”. Artinya, Watson meyakini bahwa dengan memberikan proses kondisioner tertentu dalam proses pendidikan, ia dapat membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respons, namun stimulus dan respons yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.

4) Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun, dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respons yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi.
Hypothetico-Deductive Theory adalah teori belajar yang dikembangkan Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan fenomena individual (induktif). Teori ini terdiri dari beberapa postulat yang menjelaskan pemikirannya tentang aktivitas otak, reinforcement, habit, reaksi potensial, dan lain sebagainya (Lundin dalam http://edubroy.blogspot.com).

5) Edwin Guthrie: Belajar Kontinguitas
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respons untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respons lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan responss yang baru. Hubungan antara stimulus dan respons bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respons bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respons secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
Konsep teori Guthrie di sekolah salah satunya terlihat pada saat guru “mendrill” siswa. Misalnya dalam menghafalkan penjumlahan “2+2, 3+3, 4+4, dst.”. mengajar dengan metode drill ini walaupun kerap kali membosankan dapat efisien. Siswa mengatakan “empat” terhadap stimulus “2+2” mengakibatkan pasangan stimulus yang asosiasinya akan dipelajari (Dahar, 1988:18).
Bentuk belajar kontinguitas yang lain adalah “stereotyping”. Bila sandiwara di TV secara berulang kali memperlihatkan seorang ilmuan mengenakan kaca mata, seorang guru yang ditampilkan sebagai orang yang ramah, seorang ibu tiri dengan penampilan kejam, maka sandiwara di TV itu menciptakan kondisi-kondisi untuk belajar “stereotyping”. Tidak semua ilmuan berkaca mata dan tidak semua ibu tiri kejam. Tetapi dengan kerap kalinya dipasangkan kategori-kategori ini, orang-orang percaya konsep-konsep itu berjalan seiring.

6) B.F. Skinner: Oprant Conditioning
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya responss yang diberikan seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antarstimulus itu akan memengaruhi respons yang dihasilkan. Responss yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat responss tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Skinner mengemukakan bahwa penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah perlaku disebut oprant conditioning. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Skinner dengan menggunakan tikus dan burung merpati menghasilkan sekumpulan prinsip yang telah ditunjang oleh beratus-ratus studi yang melibatkan manusia dan hewan. Beberapa prinsip yang melandasi teori behavioristik yang disampaikan oleh Skinner (dalam Dahar, 1988:30) adalah sebagai berikut.
1) Konsekuensi-konsekuensi
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umunya disebut reinforser sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (punisher).
2) Kesegeraan (immediacy) Konsekuensi
Salah satu prinsip dari teori behaviorisme adalah bahwa konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti prilaku akan lebih mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi-konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi-konsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi muris-murid sekolah dasar, pujian diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik dapat merupakan suatu reinforser yang lebih kuat daripada yang diberikan kemudian.
3) Pembentukan (shaping)
Selain kesegeraan dari reinforsement, apa yang akan diberi reinforsement, juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforsement pada langkah-langkah yang menuju pada keberhasilan, maka guru menggunakan teknik yang disebut pembentukan.
Langkah-langkah pembentukan perilaku adalah sebagai berikut.
a) Pilihlah tujuan (buat tujuan itu sekhusus mungkin).
b) Identifikasi kemampuan siswa
c) Kembangkan satu seri langkah pembelajaran yang dapat membawa mereka dari kemampuan awal mereka ke kemampuan yang diharapkan.
d) Berilah umpan balik selama pembelajaran berlangsung. Perlu diingat bahwa semakin baru materi pelajaran makin banyak umpan balik yang dibutuhkan para siswa.

Prinsip belajar Skinners adalah :
• Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.
• Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
• Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
• Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
• Dalam pembelajaran digunakan shaping

7) Albert Bandura: Social Learning
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Konsep belajar observasional memperlihatkan bahwa orang dapat belajar dengan mengamati orang lain melakukan apa yang akan dipelajari. Karena itu perlu diperhatikan agar anak-anak lebih banyak diberi kesempatan untuk mengamati model-model perilaku yang baik atau yang kita inginkan dan mengurangi kesempatan-kesempatan untuk melihat perilaku-perilaku yang tidak baik (Dahar, 1988:21).

8) Robert Gagne: Teori Instruksional
Teori Gagne banyak dipakai untuk mendisain Software instructional (Program berupa Drill Tutorial). Kontribusi terbesar dari teori instructional Gagne adalah 9 kondisi instruktional:
1. Gaining atlention = Mendapatkan perhatian
2. Inform leaner of objectives = Menginformasikan siswa mengenai tujuan yang akan dicapai.
3. Stimulate recall of prerequisite learning = Stimulus kemampuan dasar siswa untuk persiapan belajar.
4. Present new material = Penyajian materi baru.
5. Provide guidance = Menyediakan materi baru.
6. Elicit performance = Memunculkan tindakan.
7. Provide feedback about correctness = Siap memberikan umpan balik langsung terhadap hasil yang baik.
8. Assess performance = Menilai hasil belajar yang ditunjukkan.
9. Echance retention and recall = Meningkatkan proses penyimpanan memori dan mengingat.

Gagne disebut sebagai modern neobehaviourists. Teori Gagne mendorong guru untuk merencanakan instruksional pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hirarki ketrampilan intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (Belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus–respons (http://muhdorinursapaat.blogspot.com/2011/01/teori-belajar-behaviorisme.html).

2.2 Kelemahan dan KeunggulanTeori Belajar Behavioristik
Kelemahan teori belajar behavioristik adalah sebagai berikut.
a) Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responsnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
b) Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
c) Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
d) Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respons. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respons.
e) Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
f) Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping.

Keunggulan dari teori belajar behavioristik adalah sebagai berikut.
a) Pendidik yang menerapkan teori behaviorisme biasanya merencanakan pembelajaran dengan menyusun materi menjadi bagian-bagian kecil (sederhana) sampai yang kompleks. Hal ini bermanfaat bagi siswa dalam mengembangkan pemahamannya. Dengan demikian, pemahaman siswa dapat berkembang secara bertahap.
b) Adanya penguatan juga berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Siswa yang diberi penguatan positif akan terus melakukan hal yang sama, bahkan akan meningkatkan pengetahuannya dengan harapan guru akan memberikan pujian atau hadiah terhadap proses belajar siswa. Sebaliknya, siswa yang diberikan penguatan negatif akan berupaya untuk tidak mengulangi prilakunya yang dianggap belum mampu mengantarkannya kepada keberhasilan dalam mengajar.
c) Teori belajar behavioristik cocok diterapkan untuk memperoleh pengetahuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur, seperti kecepatan, daya tahan, refleks, dan sebagainya. Hal ini bisa diterapkan ketika siswa belajar bahasa asing, menggunakan komputer, menggunakan alat musik, dan sebagainya.
d) Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka meniru, suka mengulangi, dan harus dibiasakan dalam melakukan sesuatu, serta senang bentuk-bentuk penghargaan langsung, seperti diberi hadiah atau pujian.
e) Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati dan jika terjadi kesalahan harus segera diperbaiki.
f) Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan (http://muhdorinursapaat.blogspot.com/2011/01/teori-belajar-behaviorisme.html).

2.3 Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku/kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut.
a) Menganalisis kemampuan awal dan karakteristik siswa
Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau meresponss sejumlah materi dalam pembelajaran. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu:
(1) Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat (prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan.
(2) Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.
(3) Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
(4) Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah.
(5) Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
(6) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
(7) Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya.
(8) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa (Hamalik dalam Huflihin, 2009:131)

b) Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu:
(1) siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran).
(2) Materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Suparman dalam Huflihin, 2009:131)

Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni a) sudah cukup paham dan b) belum paham. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi dua, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah. Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti.
Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam kelas.
Langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
(1) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
(2) Melakukan analisis pembelajaran.
(3) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar.
(4) Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
(5) Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll.)
(6) Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)
(7) Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya)
(8) Mengamati dan menganalisis responss pembelajar
(9) Memberikan penguatan (reinforcement) baik posistif maupun negatif, serta
(10) Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan dalam Huflihin, 2009:132)

Berikut ini adalah salah satu contoh penerapan teori behaviorisme dengan menggunakan metode drill pada pembelajaran menyimak siaran berita di kelas VIII SMP dengan berbantu media audio-visual.

Standar Komptensi : 9. Memahami isi berita dari radio/televisi
Kompetensi Dasar : 9.2. Menemukan pokok-pokok berita (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana) yang didengar dan atau ditonton melalui radio/televisi.
Indikator:
1. Mampu menemukan pokok-pokok berita (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana) yang disampaikan melalui radio/televisi, dan
2. Mampu menuliskan pokok-pokok berita ke dalam beberapa kalimat.

Langkah-langkah Pembelajaran:
1. Guru mengondisikan peserta didik agar siap mengikuti pembelajaran.
2. Guru menjelaskan mengenai teknik menyimak (5W+1H).
3. Guru menugaskan siswa membentuk kelompok.
4. Guru memutarkan berita.
5. Siswa dalam kelompok membuat ringkasan isi berita.
6. Guru memberikan reinforcement (baik reinforcement positif ataupun negatif).
7. Guru memutarkan berita yang berbeda dan meminta siswa mengerjakan secara individu.
8. Guru menugaskan siswa saling menukarkan jawaban dan mengoreksi secara bersama-sama.
9. Guru menjelaskan dan memberikan koreksi (reinforcement) terhadap kesalahan-kesalahan yang masih terjadi.
10. Sebagai tugas rumah, guru menugaskan siswa menyimak berita yang ada di televisi dan membuat ringkasan isi berita dalam beberapa kalimat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar