Sabtu, 11 Juni 2011

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN POLA PASANGAN BERDAMPINGAN DALAM PERCAKAPAN ANTARSISWA KELAS IX IPA 1 SMP NEGERI 1 SAWAN

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN POLA PASANGAN BERDAMPINGAN
DALAM PERCAKAPAN ANTARSISWA KELAS IX IPA 1
SMP NEGERI 1 SAWAN



Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik
yang dibina oleh Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd.
dan Dr. Arifin, M.Pd.


Oleh:
I Putu Mas Dewantara
NIM 1029011010





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNDIKSHA
SINGARAJA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan jembatan untuk mencapai kesepakatan suatu hal antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fungsi bahasa dikatakan berhasil apabila bahasa yang digunakan dapat mewakili pesan dan maksud yang disampaikan pembicara dan lawan bicara dapat menerima pesan dan maksud yang disampaikan oleh pembicara, baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam suatu tindak komunikasi, penutur memiliki dua cara untuk menyampaikan maksudnya kepada mitra tuturnya, yaitu secara langsung dan taklangsung. Secara langsung mengandung pengertian bahwa apa yang dimaksudkan oleh penutur sesuai dengan bentuk lingual yang digunakan untuk mengutarakan maksud tersebut. Contohnya saja ketika penutur ingin meminta mintra tuturnya untuk melakukan suatu kegiatan, penutur menggunakan bentuk lingual direktif atau kalimat perintah untuk mengungkapkan maksud dersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada perckapan berikut ini.
Putu : “Tolong buka pintunya, saya kepanasan!”
Kadek : “Ya!”

Tuturan Putu yang bermaksud meminta kadek untuk membukakan pintu disampaikan dengan kaliamat perintah. Inilah yang disebut penyampaian maksud sesuai dengan bentuk lingual yang digunakan untuk mengungkapkan maksud tersebut. Berbeda halnya dengan penyampaian maksud tuturan secara taklangsung. Untuk dapat memahami maksud tersebut, mitra tutur haruslah menggunakan pemahamannya mengenai konteks pembicaraan. Hal tersebut tampak pada percakapan berikut ini.
Dosen : “Ruangan ini panas sekali.”
Mahasiswa : “Ya Pak, saya bukakan pintu.”

Mahasiswa dalam percakapan tersebut untuk dapat memahami maksud penuturnya melihat konteks pembicaraan. Percakapan tersebut terjadi di sebuah ruang kuliah berukuran sempit dan dengan AC yang rusak. Karena dasar pengetahuan mengenai konteks itulah mahasiswa memahami maksud dosennya untuk membuka pintu. Dari contoh tersebut terlihat bahwa maksud penutur untuk meminta mitra tuturnya melakukan sesuatu tidak disampaikan secara langsung dengan kalimat perintah, namun disampaikan dengan kalimat deklaratif. Konsep mengenai penyampaian maksud secara langsung dan taklangsung inilah kemudian dikenal dengan istilah implikatur, yakni implikatur konvensional dan implikatur konversasional atau implikatur percakapan.
Implikatur merupakan salah satu dari empat kancah bidang kajian pragmatik. Keempat kancah yang dijelajahi pragmatik (yang telah disepakati hingga kini) adalah (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) tindak ujaran (speech act), dan (4) implikatur (Levinson dalam Nadar, 2009:53; Purwo 1990:17; dan Sumarsono, 2010:64). Lebih lanjut Levinson menjelaskan bahwa implikatur adalah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Salah satu alasannya adalah implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan.
Teori implikatur percakapan ini dikemukakan karena sebuah tuturan dapat mempunyai implikasi yang berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian tuturan dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu (Gunarwan dalam Hadiati, 2007:11). Konsep itu dikemukakan dengan maksud untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama Grice dan atau prinsip kesantunan Leech. Prinsip kerja sama Grice terdiri dari empat maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan prinsip kesantunan Leech mencakup enam maksim, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan atau pujian, maksim kerendahatian, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian.
Melihat adanya keterkaitan antara prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dengan implikatur yang ada dalam sebuah percakapan, menarik rasanya jika dilakukan suatu penelitian yang membahas hal tersebut. Penelitian tersebut tentunya akan semakin menarik jika dihubungkan dengan pola pasangan berdampingan yang ada dalam suatu percakapan yang mengandung implikatur percakapan. Hal ini mengingat dalam sebuah percakapan, pertanyaan yang dilontarkan oleh penutur tidak selalu ditanggapi dengan pemberian jawaban oleh mitra tuturnya. Sangat mungkin pertanyaan yang disampaikan akan direspons dalam bentuk pertanyaan balik oleh mitra tuturnya. Respons yang diberikan mitra tutur tentu saja mengandung maksud yang hendak disampaikan kepada lawan bicaranya.
Penelitian ini mencoba melihat keterkaitan prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, dengan implikatur percakapan serta pola pasangan berdampingan yang muncul dalam suatu percakapan yang menimbulkan terjadinya implikatur percakapan. Data-data percakapan dalam penelitian ini diperoleh dari data percakapan antarsiswa Kelas IX SMP Negeri 1 Sawan.

1.2 Rumusan Masalah
Beranjak dari uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan apakah yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?
2) Implikatur percakapan apakah yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?
3) Bagaimanakah struktur percakapan (pola pasangan berdampingan) yang menimbulkan implikatur percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, adapun tujuan penelitian imi adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan implikatur percakapan yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.
2) Mendeskripsikan implikatur percakapan yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.
3) Mendeskripsikan struktur percakapan (pola pasangan berdampingan) yang menimbulkan implikatur percakapan antarsiswa Kelas IX IPA 1 SMPN 1 Sawan.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1) Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini akan memperkaya kazanah ilmu pragmatik yang telah ada. Khususnya teori implikatur percakapan dalam hubungannya dengan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan serta pola pasangan berdampingan yang ada dalam sebuah percakapan.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi Mahasiswa
Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi penunjang mengenai teori implikatur percakapan, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan pola pasangan berdampingan yang ada dalam suatu percakapan.
b) Bagi Dosen
Bagi dosen, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan topik perbincangan dalam mata kuliah Pragmatik.








BAB II
LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dipaparkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, teori-teori tersebut secara berturut-turut adalah teori wacana percakapan, teori pola pasangan berdampingan/berdekatan, teori implikatur, teori prinsip kerja sama, dan teori prinsip kesantunan.

2.1 Wacana Percakapan
Wacana percakapan merupakan interaksi komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan tuturan. Akan tetapi, percakapan lebih dari sekedar pertukaran informasi (Ismari dalam http://jasminealmaghribi.blogspot.com). Mereka yang mengambil bagian dalam proses percakapan tersebut akan memberikan asumsi-asumsi dan harapan-harapan mengenai percakapan sehingga percakapan tersebut berkembang sesuai dengan jenis kontribusi yang diharapkan dan telah dibuat oleh mereka. Mereka dalam hal ini akan saling berbagi prinsip-prinsip umum yang akan memudahkan dalam menginterpretasikan ujaran-ujaran yang dihasilkan.
Pada wacana percakapan terdapat giliran tutur dan pasangan berdekatan. Giliran tutur dalam suatu percakapan sangat penting. Giliran tutur merupakan syarat percakapan yang dapat menimbulkan pergantian peran peserta. Dalam percakapan yang baik selalu terjadi pergantian peran, yaitu peran pembicara dan pendengar. Seorang penutur dengan pengetahuan yang kurang mengenai aturan pengambilan giliran tutur adalah penutur yang tidak memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara. Orang seperti ini akan membangkitkan penilaian negatif atau akan membuat percakapan berakhir secepat mungkin.
Adanya giliran tutur dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud keteraturan ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan menjadi pasangan berdekatan. Ismari (1995:11) menyebutkan pasangan berdekatan sebagai ujaran yang dihasilkan oleh dua pembicara secara berturut-turut. Ujaran kedua diidentifikasi dalam hubungannya dengan ujaran pertama. Ujaran pertama merupakan bagian pertama pasangan dan ujaran berikutnya merupakan bagian kedua dari pasangan. Oleh karena itu, seorang penutur pada saat menghasilkan tuturan mengharapkan lawan bicaranya akan memberikan bagian kedua pada pasangan yang serasi.

2.2 Pola Pasangan Berdampingan/Berdekatan
Menurut Ricard (dalam Maharani, 2007:21) pasangan berdampingan adalah ujaran kedua yang didefinisikan dalah hubungannya dengan ujaran pertama karena diharapkan ujaran kedua merupakan kelanjutan dari ujaran yang pertama. Kridalaksana dan Coulthard (dalam Maharani, 2007:21) meyatakan bahwa pasangan berdampingan sebagai unit struktural dasar dalam percakapan.
Ada delapan pola pasangan berdampingan yang diajukan oleh Coulthard (dalam Maharani, 2007:21). Pola-pola tersebut meliputi pola sapaan-sapaan, panggilan-jawaban, keluhan-bantuan, keluhan-permohonan maaf, permintaan-pemersilahan, permintaan informasi-pemberian, permintaan-penawaran, dan penawaran-penolakan. Namun tidak menutup kemungkinan dalam percakapan muncul pola-pola berbeda dengan pola yang ditawarkan Coulthard tersebut.
Di dalam pasangan berdampingan terdapat stimulus-respons dan feedback. Proses stimulus-respons yang berulang akan menimbulkan kebiasaan dan keteraturan. Proses ini dapat dilihat pada tuturan yang berfungsi sebagai inisiasi, dan diikuti oleh tuturan yang berfungsi sebagai respons. Inisiasi dapat dikatakan sebagai pembuka atau pemicu suatu tuturan. Sementara itu, respons merupakan hasil dari adanya inisiasi. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu respons langsung dan tak langsung (Haliday dan Hasan dalam Sigian, 2007). Respons langsung adalah tuturan yang digunakan secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Bentuk respons ini adalah jawaban ya dan tidak. Sementara itu, respons tidak langsung adalah tuturan yang digunakan tidak secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Pada umumnya bentuk respons tidak langsung digunakan untuk mengomentari pertanyaan, mengabaikan relevansi (sangkalan), atau respons yang memberi informasi pendukung. Bagian ketiga dari pasangan berdekatan adalah feedback. Feedback dapat difungsikan sebagai penutup tuturan.
Pasangan berdekatan atau berdampingan yang di dalamnya terdapat inisiasi (I), respons (R), dan feedback (F) pada umumnya memiliki struktur, seperti a) [IRF], yakni struktur penuh, di dalamnya terdapat respons verbal secara penuh terhadap inisiasi, b) [IR (F)], struktur dari pasangan berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi yang menyebabkan respons dalam bentuk nonverbal, dan c) [I (R)], yakni struktur yang memiliki inisiasi dalam bentuk penyampaian informasi proporsional yang tidak memerlukan respons.
Misalnya:
[IRF]
Guru : Apa sudah benar jawaban Agus?
Siswa : Benar.
Guru : Baik.

[IR (F)]
Penumpang 1 : Bisa menggeser sedikit, mbak?
Penumpang 2 : (menggeser)

[I (R)]
Guru : Diskusi akan dimulai minggu depan.
Siswa : ....

Inisiasi (I) yang diikuti oleh respons (R) dan feedback (F) mengimplikasikan telah terjadinya percakapan yang berlangsung secara efektif dan efesien. Akan tetapi, tidak semua proses percakapan berlangsung secara efektif dan efesien. Adanya rangkaian sisipan (insertion sequences) dapat ditemukan di antara I dan R. Pada umumnya struktur seperti ini dapat dirumuskan dengan (Q (Q-A) A), (pertanyaan (pertanyaan-jawaban) jawaban) (Cock dalam Sigian, 2007).
Misalnya:
A: Banyak tidak yang ikut latihan bersama?
B: Kamu mengapa tidak ikut latihan?
A: Bagaimana lagi, aku ada ujian besoknya di kampus.
B: Lumayan banyak sih, yang ikut.

Contoh di atas memperlihatkan adanya sisipan dalam pasangan berdekatan. Pertanyaan A seharusnya dijawab secara relevan oleh B. Namun, B ternyata memberikan pertanyaan baru yang tidak relevan untuk menjawab pertanyaan A sebelumnya. Adanya pasangan berdampingan baru dari pasangan berdampingan yang seharusnya dituntaskan dapat disebut sebagai pasangan sisipan.
2.3 Implikatur Percakapan
Menurut Levinson (Sumarsono, 2010:109), implikatur percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filosof Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13). Grice mengemukakan karakteristik makna-nn sebagai berikut.
S mengemukakan makna-nn z dengan mengujarkan U jika dan hanya jika:
(i) S bermaksud U untuk memberikan efek z terhadap resipien H
(ii) S bermaksud (i) untuk hanya dicapai oleh H yang menyadari maksud (i) itu.

Di sini S (Speaker) = penutur (dalam komunikasi lisan sebagai pengirim pesan atau komunikator); H (hearer) = pendengar, atau tepatnya, resipien yang menjadi penerima maksud; “mengujarkan U (utterance)” = ujaran suatu bentuk dalam butir kebahasaan, yaitu suatu bagian kalimat, kalimat, atau urutan kalimat atau urutan bagian-bagian kalimat (atau produksi dari tindak komunikatif yang nonkebahasaan); z = suatu kepercayaan atau kehendak yang ditujukan bagi H. Rumusan yang tampak rumit dan kabur ini sebenarnya menyatakan bahwa komunikasi itu terdiri atas pengirim (pesan) (sender) yang bermaksud agar penerima (pesan) (receiver) berpikir atau melakukan sesuatu, sekadar dengan meminta penerima pesan itu menyadari bahwa pengirim pesan sedang mencoba untuk menunjukkan pikiran atau tindakan. Jadi, komunikasi itu merupakan jenis-maksud yang kompleks yang dicapai dengan cara menyadari adanya. Dalam proses komunikasi, maksud komunikatif si pengirim pesan menjadi pengetahuan bersama (mutual knowledge) bagi pengirim S dan penerima H, yaitu S tahu bahwa H tahu bahwa S tahu bahwa H tahu (dst) bahwa S mempunyai maksud tertentu. Jika konsep makna-nn ini kita pahami, maka kita akan dapat melangkah ke pemahaman tentang implikatur.
Kata implikatur berhubungan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal ini implikatur percakapan berarti ‘makna yang terkandung’ (Sumarsono, 2010:65). Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan merupakan bagian dari ujaran itu. Misalnya,
(1) A : “Ayo nonton!”
B : “Besok saya ujian.”
Jawaban (B) tersebut tidak berkaitan dengan (A): (A) berbicara tentang nonton tetapi (B) bicara ujian. Tetapi, ujaran (A) itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban (B) itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan (A). Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
Senada dengan pendapat Sumarsono, Grice (dalam Wijana, 1996:37) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversasion mengemukkan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Grice memberikan contoh berikut.
(2) A : “Ali sekarang memelihara kucing.”
B : “Hati-hati menyimpan daging.”
(3) A : “Ani di mana, Ton?”
B : “Tati di rumah Wawan.”
Tuturan (B) dalam (2) bukan bagian dari tuturan (A). Tutran (B) muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Demikian pula tuturan (B) pada percakapan (3) bukan merupakan bagian dari tuturan (A). Tuturan (B) muncul sebagai akibat adanya inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati ada di sana, tentu Ani ada pula di sana.
Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlamnya. Dalam contoh (4), (5), dan (6) berikut ini terlihat bahwa tuturan (A) Bambang datang memunculkan reaksi yang bermacam-macam.
(4) A : “Bambang datang.”
B : “Rokoknya disembunyikan.”
(5) A : “Bambang datang.”
B : “Aku akan pergi dulu.”
(6) A : “Bambang datang.”
B : “Kamarnya dibersihkan.”
Jawaban (B) dalam (4) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Jawaban (B) dalam (5) mungkin mengimplikasikan bahwa (B) tidak senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (B) dalam (6) mengimplikasikan bahwa Bambang mungkin adalah seorang yang tidak senang melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan atau implikasi yang melandasi kontribusi (B) dalam (4), (5), dan (6).
Berbeda halnya dengan implikatur, seperti tercermin dalam tuturan (B) dan (A) dalam (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), pertalian (A) dan (B) dalam (7) bersifat multak. Hubungan (A) dan (B) dalam hal ini disebut entailment.
(7) A : “Ali membunuh Jonny.”
B : “Jonny mati.”
Tuturan (B) dalam (7) merupakan bagian atau komponen dari konsekuensi multak dari tuturan (A) karena membunuh secara mutlak mengakibatkan mati. Selain entailment dikenal juga istilah praanggapan atau prasuposisi (presupposition). Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan atau diperkirakan oleh penutur atau penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Sumarsono (2010:64) memberikan contoh mengenai praanggapan sebagai berikut. Kalau A berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan (memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Karena asumsinya petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
2.4 Prinsip Kerja Sama
Melalui teori implikatur, Grice mengemukakan dua macam teori. Dalam teori yang pertama, Grice membedakan adanya dua macam makna di dalam komunkasi, makna alamiah (natural meaning), dan makna non-alamiah (nonnatural meaning).
Teori Grice yang kedua membimbing orang agar dapat memakai bahasa secara efektif dan efisien dalam melakukan percakapan untuk mentransaksikan berbagai jenis isi komunikasi. Menurut Grice (dalam Sumarsono, 2010), percakapan akan mengarah pada usaha penyamaan unsur-unsur pada transasksi kerja sama yang semula berbeda dengan jalan: (1) menyamakan tujuan jangka pendek, meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan sumbangan partisipan sehingga Pn dan Mt saling membutuhkan, dan (3) mengusahakan agar Pn dan Mt mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Untuk keperluan tersebut, Grice mengemukakan PK yang berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Prinsip yang digunakan dalam melakukan percakapan terdiri atas empat maksim. Keempat maksim beserta submaksimnya menurut Grice (1991:307) adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kuantitas
a. Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.
b. Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan.
2) Maksim Kualitas
a. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah.
b. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya.
3) Maksim Hubungan
Bicaralah yang relevan.
4) Maksim Cara
a. Hindarilah ungkapan yang membingungkan.
b. Hindarilah ambiguitas.
c. Bicaralah secara singkat.
d. Bicaralah secara teratur.

Leech (1989:8) mengomentari maksim itu sebagai kendala di dalam berbahasa. Maksim-maksim itu berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak, atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali. Maksim dapat berlawanan satu sama lain dan dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikan. Leech (1989:80) berkomentar bahwa justru karena hal itulah diperlukan adanya sosiopragmatik untuk menjelaskan bagaimana masyarakat yang berbeda menggunakan maksim tersebut.
Leech (1989:80) berpendapat bahwa PK dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggu-nakan pendekatan berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, PK itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. PK juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat nondeklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar PK, yang dikenal dengan Prinsip Sopan Santun (PS).
2.5 Prinsip Sopan Santun (PS)
Setelah mengemukakan keempat maksim kerjasama, Grice (dalam Sumarsono, 2010) juga menyebutkan adanya aturan lain yang bersifat sosial, estetis, dan moral yang biasanya diikuti orang dalam melakukan percakapan. Misalnya, ‘Anda harus sopan’ yang kemudian juga dapat melahirkan IP. Aturan kesopanan itu oleh Leech dinilai tidak setingkat dengan maksim PK dan dapat ditambahkan saja ke dalam empat maksim Grice. Aturan itu merupakan dasar pemakaian bahasa tersendiri, yang disebut prinsip Sopan Santun (PS).
Leech (1989:132) selanjutnya mengemukakan selengkapnya PS yang meliputi enam maksim. Keenam maksim beserta submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (tact maxim)
a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
2) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)
a. Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.
b. Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.
3) Maksim Pujian (approbation maxim)
a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
4) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)
a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
a. Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin.
b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin.
6) Maksim Simpati (sympathy maxim)
a. Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin.
b. Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin.

Terhadap setiap maksim, Leech memberikan keterangan bagaimana hubungan antara maksim dan ilokusi. Maksim kearifan dan kedermawanan berlaku dalam ilokusi impositif dan komisif, maksim pujian dan kerendahan hati dalam ilokusi ekspresif dan asertif, dan maksim kesepakatan dan simpati hanya dalam ilokusi asertif.
PS tidak hanya dianggap sebagai prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada PK, tetapi lebih jauh dari itu, PS diperlukan untuk melengkapi PK dalam mengatasi kesulitan. PS diperlukan karena PK tidak dapat menerangkan mengapa orang sering berbicara tidak langsung di dalam menyampaikan pesan. Selain itu, PK tidak dapat menerangkan bagaimana hubungan antara makna dan daya dalam kalimat-kalimat yang bukan pernyataan.






BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini diuraikan secara berturut-turut (1) temuan hasil penelitian yang menyangkut pelanggaran prinsip kerjasama dan implikatur yang ditimbulkan, pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur percakapan, serta pola pasangan berdampingan yang mengandung implikatur percakapan, dan juga (2) pembahasan hasil penelitian.

3.1 Temuan Hasil Penelitian
3.1.1 Pelanggaran Terhadap Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapannya
Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat memunculkan implikatur percakapan. Berikut ini adalah percakapan yang melanggar maksim relevansi yang terjadi ketika Mas gel gel bercakap dengan Komang Arystha.

Peristiwa Tutur 1
Mas : “Mang, di mana kamu beli baju Timnas?”
Komang : “Hardy’s banyak ada.”
Mas : “Anter nanti nyari ya?”
Komang : “Mau main bola nanti.”
Mas : “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”
Komang : “Jam berapa?”
Mas : “Habis makan saja langsung jalan.”
Komang : “Oke!” (sambil mengangguk)

Dalam percakapan tersebut tuturan Komang “Mau main bola” melanggar maksim relevansi. Dalam maksim relevansi, orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang relevan dengan topik pembicaraan. Tuturan Komang yang merupakan jawaban dari permintaan Mas untuk mengantar membeli baju terlihat tidak bersesuaian karena topik yang sedang dibicarakan oleh Mas, yaitu meminta mengantar membeli baju timnas. Seharusnya jawaban yang relevan atas pertanyaan Mas dalam tuturan itu berupa penerimaan atau penolakan yang disampaikan dengan memilih bentuk lingual “ya/tidak bisa” atau variasi bahasa yang semakna dengan itu. Pelanggaran maksim relevansi yang dilakukan Komang memunculkan implikatur percakapan “menolak permintaan”.
Selain tuturan tersebut, tuturan Komang “Jam berapa?” nampaknya juga melanggar prinsip kerja sama, yaitu melanggar maksim cara atau maksim pelaksanaan. Dalam prinsip kerja sama dengan maksim cara, seharusnya penutur berusaha untuk berbicara secara jelas atau menghindari ambiguitas. Respons tuturan yang diberikan Komang atas pernyataan Mas “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”, belum memberikan kepastian kepada lawan tuturnya mengenai penerimaan atau penolakan permintaan Mas. Jawaban Komang “Jam berapa?” sangat memungkinkan timbulnya pertanyaan dalam diri lawan tuturnya (Mas) tentang mau tidaknya Komang mengantar ke Hardy’s. Dengan kata lain, Komang memberikan sumbangan yang tidak jelas karena keambiguan tuturan dalam percakapan tersebut. pelanggaran maksim cara ini mengimplikasikan maksud Komang “belum pasti” bisa atau mau mengantar Mas ke Hardy’s.
Sebagai reaksi dari respons Komang “Jam berapa?” yang belum memberikan jawaban yang jelas tentang permintaan Mas, Mas pun berusaha agar Komang mau mengantar dengan mengatakan “Habis makan saja langsung jalan.” Pernyataan Mas tersebut juga melanggar salah satu prinsip kerja sama, yaitu melanggar maksim relevansi. Pertanyaan Komang seharusnya dijawab dengan menyebutkan waktu yang direncanakan untuk pergi ke Hardy’s, yaitu misalnya dengan mengatakan jam 1, jam 2, atau seterusnya. Tuturan yang tampaknya tidak relevan ini tentunya dapat ditelusuri maksud yang tersembunyi di balik tuturan tersebut dengan mengetahui jam makan siang ke dua pelaku tutur. Sepulang sekolah, biasanya kedua pelaku tutur tersebut melakukan aktivitas makan siang sekitar pukul 13.40. Sehingga dapat ditapsirkan maksud Mas mengatakan “Habis makan saja langsung jalan.” Paling lambat Mas mengajak Komang berangkat pukul 14.00. Jadi, tuturan Mas tersebut mengimplikasikan “waktu tertentu” yang telah dipahami oleh para pelaku tutur.

Peristiwa Tutur 2
Dewik : “Hai guys Ke mana tadi malam sama ibuk?”
Desi : “Beli bakso.”
Dewik : “Pasti sempet nyari baju ya? Soalnya Bawa bungkusan gede.”
Desi : “Habis beli bakso langsung pulang.”
Dewik : “Jadi ikut pulang sebentar?”
Desi : “Sebentar lagi ibuk selesai rapat.”
Dewik : “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!”
Desi : “Tadi Arista liat ibukku, katanya ibuk bisa jemput.”

Dalam peristiwa tutur 2 tersebut terdapat pelanggaran-pelanggaran prinsip kerja sama yang menimbulkan implikasi pragmatik tertentu, seperti tampak pada tuturan Desi “Habis beli bakso langsung pulang.”. Tuturan Desi tersebut muncul bukan disebabkan karena lawan tuturnya (Dewik) menanyakan kepergian Desi setelah membeli bakso. Karena itu, jawaban Desi tersebut tidak memberikan informasi yang relevan dengan pertanyaan Dewik yang menanyakan benar tidaknya Desi membeli baju karena membawa tas besar. Ujaran Desi ini melanggar prinsip kerja sama, yaitu maksim relevansi. Pelanggaran maksim relevansi ini mengimplikasikan maksud “penyanggahan” terhadap ujaran atau tebakan lawan bicaranya. Maksud “penyanggahan” inilah yang dijelaskan Desi dengan cara menunjukkan rentetan peristiwa saat ia dan ibuknya pergi tadi malam.
Pada Ujaran Desi, “Sebentar lagi ibuk selesai rapat” yang merupakan jawaban dari pertanyaan Dewik, “Jadi ikut pulang sebentar?” tampak tidak relevan. Dewik tidak menanyakan keadaan Ibuk Desi yang dari pagi mengikuti rapat, melainkan menanyakan kepastian Desi untuk ikut pulang bersamanya. Tuturan Desi tersebut tidak memberikan informasi yang sesuai dengan yang diharapkan oleh Dewik. Karena itu, ujaran Desi dapat dikategorikan melanggar maksim relevansi. Walaupun terlihat tidak relevan, maksud tuturan itu dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Tuturan Desi tersebut mengandung implikatur percakapan “pembatalan janji” untuk ikut pulang bersama Dewik karena Ibuk Desi ternyata sebentar lagi sudah selesai rapat. Karena itu, Ibuk Desi bisa menjemput Desi pada waktu pulang sekolah.
Pelanggaran maksim kuantitas juga terlihat dalam peristiwa tutur 2 tersebut, yaitu pada saat Desi berkata, “Tadi Arista liat ibuk, katanya ibuk bisa jemput.”. Disebut melanggar maksim kuantitas karena pertanyaan Dewik, “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!” hanya menuntut jawaban ‘yakin atau tidak yakin’ akan ketidak ikutannya untuk pulang. Pelanggagaran maksim kuantitas karena memberikan informasi yang berlebihan ini menunjukkan implikatur percakapan “keyakinan diri” sang penuturnya.
Peristiwa tutur 3
Kadek : “Buat PR Mat?”
Risna : “Aku tidur jam 8 tadi malam.”
Kadek : “Bagaimana ini? Pasti dihukum.”
Risna : “Gimana kalau sekarang kita buat”
Kadek : “Ok!”

Pada peristiwa tutur 3, tuturan Risna “Aku tidur jam 8 tadi malam.” melanggar maksim relevansi. Kadek yang menanyakan mengenai apakah Risma membuat PR tidak direspons dengan pernyataan membuat atau tidak membuat PR. Melainkan direspons dengan memberikan informasi kalau dirinya tidur jam 8 tadi malam. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pertanyaan Kadek. Tuturan Risma tersebut mengandung implikatur bahwa ia tidak membuat PR (tidak melakukan pekerjaan apapun) karena tidur jam 8.

Peristiwa tutur 4
Riski : “Hai Sumar, kemarin kamu ke mana? Kemarin pasti kamu mainan ya? Ditunggu buat PR tak datang-datang!”
Sumar : “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.”
Riski : “Oh begitu, nanti sore buat yuk?”
Sumar : “Ade film yang sangat bagus!”

Ujaran Sumar, “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.” adalah sebuah alasan yang diberikan karena ia tidak menepati janji membuat PR. Ujaran tersebut berangkat dari kebohongan Sumar agar Riski tidak kesal kepadanya yang telah tidak menepati janji. Apalagi ketidakdatangan Sumar disebabkan karena dia bermain dengan teman-temannya yang lain. Oleh karena itu, ujaran Sumar melanggar maksim kualitas dengan memberikan sumbangan percakapan yang diyakini tidak benar (menyatakan sesuatu yang tidak benar). Implikatur percakapan dari ujaran Sumar itu adalah “menyanggah tuduhan”.
Pelanggaran prinsip kerjasama juga terlihat pada ujaran Sumar selanjutnya yang merupakan respons dari ujaran Riski. Riski mengajak sumar untuk membuat tugas nanti sorenya, sebagai penolakan ajakan tersebut Sumar berkata, “Ada film yang sangat bagus”. Jika ditinjau dari segi bentuk, ujaran tersebut nampaknya tidak ada keterkaitannya dengan ujaran sebelumnya. Dengan kata lain Riski tidak menanyakan mengenai ada tidaknya film bagus nanti sore. Karena tidak adanya keterkaitan secara kohesi dari kedua ujaran tersebut, ujaran Sumar dapat dikatakan telah melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang timbul akibat pelanggaran maksim relevansi tersebut adalah “penolakan” akan ajakan lawan tuturnya.

Peristiwa tutur 5
Ayuk : “Malam minggu mainan yuk?”
Kadek : “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.”

Pada peristiwa tutur 5 tersebut ujaran Kadek “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.” yang merupakan respons dari tuturan Ayuk yang mengajaknya mainan malam minggu nampaknya tidak saling berhubungan. Oleh karena itu tuturan Kadek tersebut melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang hadir dari pelanggaran maksim relevansi tersebut adalah “penolakan” atas ajakan lawan tutur.

Peristiwa tutur 6
Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Agus : “Nanti jam istirahat.”
Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri.”
Dika : “Iya lah...!”

Pelanggaran maksim relevansi tampak pada ujaran Didi “Belikan es dulu”. Ujaran tersebut dikatakan melanggar maksim relevansi karena tidak memberikan kontribusi yang sesuai dengan pertanyaan Agus yang hendak meminjam PR. Bentuk yang secara kohesi tidak saling berhubungan tersebut tentunya disebabkan oleh maksud yang ingin disampaikan secara langsung. Implikatur percakapan yang ada dalam tuturan tersebut adalah “persetujuan bersyarat”. Artinya Didi menerima permintaan Agus dengan mengajukan syarat tertentu, yaitu dibelikan es terlebih dahulu.
Selain pelanggaran terhadap maksim relevansi yang mengakibatkan munculnya implikatur “penerimaan bersyarat”, dalam percakapan tersebut juga terdapat pelanggaran maksim cara. Pelanggaran maksim cara tampak pada ujaran Didi “2 ringgit”. Pelanggaran maksim cara disebabkan oleh ujaran Didi yang tidak memberikan kontribusi yang jelas bagi lawan tuturnya. Maksud dari ujaran “2 ringgit” dalam percakapan itu adalah dua ribu rupiah. Dengan kata lain implikasi yang muncul dari pelanggaran maksim cara pada ujaran tersebut adalah implikasi “menyatakan jumlah tertentu”.
Respons dari ujaran Didi “2 ringgit” adalah ujaran Agus “Nanti jam istirahat.” Tuturan Agus tersebut secara kohesi tidak bersesuaian dengan tuturan Didi. Karena itu, tuturan Agus dapat dikatakan melanggar maksim relevansi. Namun, jika dilihat konteks pembicaraan, dapat diperkirakan bahwa tuturan Agus mengandung implikatur “setuju”, yaitu setuju akan permintaan Didi untuk membelikan es.
Percakapan tersebut berlanjut dengan kehadiran Dika yang menyatakan diri untuk ikut serta membeli es. Sebagai respons dari permintaan tersebut Didi berujar “Bayar sendiri”. Jawaban Didi tampak tidak relevan dengan permintaan yang disampaikan oleh Dika, karena itu jawaban Didi dapat dikatakan melanggar maksim relevansi. Implikatur percakapan yang ada dalam ujaran tersebut adalah “persetujuan bersyarat”.

3.1.2 Pelanggaran Terhadap Prinsip Kesantunan dan Implikatur Percakapannya
Di dalam bertutur penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama. Pelanggagaran prinsip kesantunan yang ada dalam tuturan siswa kelas IX IPA 1 di SMP Negeri 1 Sawan tampak pada percakapan berikut.

Peristiwa tutur 7
Riski : “Di rumahku nonton sambil buat itu, gimana?”
Sumar : “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”
Riski : “Okelah kalau begitu!”

Peritiwa tutur ini merupakan kelanjutan dari peristiwa tutur 4 saat Riski mengajak Sumar untuk membuat PR di rumahnya. Ujaran yang melanggar prinsip kesantunan adalah ujaran Sumar “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”. Prinsip kesopanan yang dilanggar Sumar adalah maksim kedermawanan. Dalam maksim kedermawanan seorang penutur haruslah membuat keuntungan sekecil-kecilnya pada diri sendiri dan membuat kerugian sebesar-besarnya pada diri sendiri. Dalam percakapan tersebut, terlihat bahwa tuturan Sumar memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri. Jadi, tepatlah dikatakan bahwa ujaran tersebut melanggar maksim kedermawanan. Implikatur yang ada dalam tuturan Sumar tersebut adalah “persetujuan bersyarat”. Maksudnya, Sumar menerima ajakan Riski untuk membuat PR namun dengan syarat ada makanan (camilan) sewaktu membuat PR itu.
Pelanggaran prinsip kesantunan juga ditemukan pada data peristiwa tutur 6 yang juga melanggar prinsip kerja sama. Pelanggaran prinsip kesantunan pada peristiwa tutur 6 tersebut adalah sebagai berikut.

Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Data dari peristiwa tutur 6
Ujaran Didi memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri. Karena itu, ujaran Didi melanggar maksim kedermawanan. Implikatur percakapan tersebut seperti yang telah dijelaskan pada bagian pelanggaran prinsip kerja sama adalah “persediaan bersyarat”.

Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri”
Data dari peristiwa tutur 6
Pada maksim kearifan seseorang harus meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Ujaran Didi “Bayar sendiri” melanggar maksim kearifan karena bertujuan untuk meminimalkan keuntungan orang lain dan memaksimalkan kerugian orang lain. Implikatur yang ada dalam tuturan tersebut adalah “persetujuan bersyarat”.

3.1.3 Pola Pasangan Berdampingan Berimplikatur
Dari 7 peristiwa tutur tersebut, pola pasangan berdampingan yang ditemukan dalam percakapan yang mengandung implikatur percakapan adalah sebagai berikut.
1) Pola Pertanyaan-Jawaban
Dalam sebuah percakapan, pola pertanyaan-jawaban merupakan pola yang sering dijumpai. Salah satu partisipan mengajukan pertanyaan dan partisipan yang lain menjawab pertanyaan tersebut. Pola pertanyaan-jawaban yang mengandung implikatur percakapan tampak pada percakapan antara Agus dan Didi berikut ini.

Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Data dari peristiwa tutur 6

Pertanyaan ini terjadi ketika Agus hendak meminjam PR kepada Didi, didi yang menyetujui permintaan Agus mengajukan syarat agar dibelikan es terlebih dahulu. Sebagai feedback syarat yang diajukan tersebut, Agus bertanya mengenai harga es yang hendak dibeli kepada Didi seperti yang tampak pada kutipan tersebut. Didi pun meresponsnya dengan menyebutkan harga es tersebut. Hanya saja cara yang digunakan unuk memberikan jawaban bersifat tidak jelas atau kabur dan melanggar maksim cara. Ujaran yang kabur tersebutlah yang mengandung implikatur percakapan.

2) Pola Permintaan-Informasi
Pola permintaan-informasi juga sering dijumpai dalam percakapan. Pola ini terjadi saat seorang partisipan meminta tolong kepada lawan tuturnya untuk melakukan sesuatu. Partisipan yang lain kemudian memberikan respons dari permintaan tersebut secara tidak langsung apakah ia menyanggupi permintaan itu ataukah menolaknya. Pola tersebut tampak pada percakapan Mas dan Komang berikut ini.

Mas : “Anter nanti nyari ya?”
Komang : “Mau main bola nanti.”
Data dari peristiwa tutur 1

Percakapan tersebut terjadi ketika Mas dan Komang membahas topik mengenai baju timnas. Pada waktu itu, Mas meminta bantuan Komang untuk mengantarnya membeli baju Timnas karena Komang sudah sempat ke Hardy’s untuk membeli baju tersebut. Untuk menolak permintaan Mas, Komang memilih bentuk ujaran deklaratif dengan tujuan memberikan informasi berupa alasan kalau dia tidak bisa pergi mengantar Mas. Pengungkapan penolakan secara tidak langsung inilah yang menyebabkan ujaran Komang mengandung implikatur percakapan.

3) Pola Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Pola permintaan-persetujuan merupakan pola yang umum dalam percakapan. Sering dijumpai dalam percakapan, sebelum seorang partisipan menyetujui permintaan lawan tuturnya mengajukan pertanyaan. Mitra tuturpun kemudian akan memberikan informasi mengenai peranyaan tersebut. Setelah informasi yang diberikan sesuai dengan harapan, barulah ia menyepakati atau menyetujui permintaan tersebut. Pasangan berdampingan yang hadir di antara permintaan dan persetujuan inilah yang disebut pasangan sisipan seperti tampak pada percakapan berikut ini.

Mas : “Ya sebentar saja, habis beli, langsung pulang.”
Komang : “Jam berapa?”
Mas : “Habis makan saja langsung jalan.”
Komang : “Oke!” (sambil mengangguk)
Data dari peristiwa tutur 1

Pertanyaan Komang yang hadir setelah permintaan Mas tersebut menunjukkan keraguan akan bisa tidaknya penutur melayani permintaan mitra tuturnya, keraguan tersebut disampaiakan dengan kalimat tanya, feedback dari pertanyaan tersebut adalah jawaban yang berfungsi untuk meyakinkan partisipan bahwa ia bisa mengantar. Ujaran yang bertujuan meyakinkan lawan tutur itu disampaiakan dengan memberikan informasi. Pertanyaan Komang dan jawaban yang diberikan Komang secara tidak langsung itulah yang menyebabkan terjadinya implikatur percakapan.

4) Pola Permintaan-Syarat
Pola pasangan berdampingan permintaan-syarat terjadi dalam dua kutipan yang berasal dari peristiwa tutur 6. Pola ini memunculkan implikatur karena persetujuan akan permintaan lawan tutur disampaikan secara tidak langsung, yaitu dengan mengajukan sebuah syarat tertentu. Berikut adalah dua kutipan percakapan yang berasal dari peristiwa tutur 6.

Agus : “Didi pinjem PR-nya nanti ya?”
Didi : “Belikan es dulu.”
Data dari Peristiwa tutur 6
Dika : “Aku ikut ya?”
Didi : “Bayar sendiri.”
Data dari Peristiwa tutur 6

Sangat jelas pada dua percakapan tersebut kalau Didi mengajukan syarat atas permintaan Agus pada kutipan pertama dan pada Dika pada percakapan kedua. Syarat tersebut mengandung maksud persetujuan akan permintaan lawan tuturnya.

5) Pola Penawaran/ajakan-Informasi
Pola penawaran/ajakan-informasi terjadi ketika seseorang dalam percakapan menawarkan atau mengajak mintra tuturnya untuk melakukan sesuatu. Respons dari tawaran atau ajakan tersebut adalah penyampaian informasi yang di dalamnya terkandung maksud menerima atau menolak tawaran atau ajakan yang diajukan. Pola ini tampak empat percakapan berikut ini.

Dewik : “Jadi ikut pulang sebentar?”
Desi : “Sebentar lagi ibuk selesai rapat.”
Data dari Peristiwa tutur 2
Dalam percakapan tersebut terlihat bahwa Dewik memastikan tentang ikut tidaknya Desi pulang bersamanya. Tawaran yang sekaligus pengecekan keikutsertaan tersebut direspons Desi dengan pemberian informasi yang di dalamnya terkadung maksud dia tidak jadi ikut pulang. Pembatalan janji yang disampaiakan secara tidak langsung inilah yang memunculkan implikatur dalam tuturan Desi. Tuturan lain yang memiliki pola yang sama adalah tuturan berikut ini.

Dewik : “Yakin? Supaya tidak aku tinggal!”
Desi : “Tadi Arista liat ibukku, katanya ibuk bisa jemput.”
Data dari Peristiwa tutur 2
Perbincangan di atas merupakan kelanjutan dari perbincangan sebelumnya. Pada perbincangan ini, Dewik memastikan kayakinan untuk tidak ikut pulang bersamanya. Tawaran yang berupa permintaan kepastian tersebut direspons Desi dengan memberikan informasi yang mengandung implikatur menunjukkan kepastian ketidakikutsertaannya.
Percakapan selanjutnya yang memiliki pola penawaran/ajakan-informasi adalah percakapan antara Riski dan Sumar dari peristiwa tutur 4 berikut ini.

Riski : “Oh begitu, nanti sore buat yuk?”
Sumar : “Ade film yang sangat bagus!”
Data dari Peristiwa tutur 4

Perbincangan ini terjadi ketika Sumar tidak datang kemarin (waktu sebelum perbincangan ini terjadi) untuk membuat PR dengan Riski. Untuk itu, Riski mengajaknya membuat PR nanti sore. Renpons dari ajakan tersebut berupa informasi mengenai akan adanya film yang sangat bagus nanti sore. Respons tidak langsung ini melahirkan implikatur penolakan akan ajakan mitra tutur. Pola ajakan-informasi juga terlihat dalam percakapan berikut.

Ayuk : “Malam minggu mainan yuk?”
Kadek : “Motorku dibawa kakak ke Denpasar.”
Data dari Peristiwa tutur 5

Dalam perbincangan tersebut tampak Ayuk mengajak Kadek untuk pergi mainan pada malam minggu. Kadek merespons ajakan Ayuk dengan memberikan informasi kalu ia tidak ada motor untuk dibawa ke luar. Dalam penyampaian informasi tersebut terdapat penolakan atas ajakan yang dilakukan secara tidak langsung.

6) Pola Penawaran-Syarat
Selain penawaran-informasi terdapat juga pola penawaran-syarat yang ditemukan dari data percakapan antarsiswa. Pola ini terjadi ketika salah seorang partisipan percakapan menawarkan sesuatu kepada lawan bicaranan dan direspon dengan penerimaan atau penolakan ajakan yang disampaikan secara tidak langsung. Cara tidak langsung yang digunakan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan adalah dengan mengajukan syarat tertentu. Pola ini tampak pada percakapan berikut.

Riski : “Di rumahku nonton sambil buat itu, gimana?”
Sumar : “Asalkan ada makanan, semua pasti beres! he..he..he..”
Data dari Peristiwa tutur 7

Ujaran Sumar yang merupakan respons dari tawaran Riski disampaikan secara tidak langsung mengenai kesediaannya menerima atau menolak tawaran tersebut. Hal itu dilakukan Sumar dengan mengajukan syarat kepada Riski. Ujaran Sumar inilah yang menimbulkan implikatur percakapan dalam tuturan tersebut.

7) Pola Syarat (Pertanyaan-Jawaban) informasi
Ditemukan juga pola pasangan berdampingan syarat-informasi yang disisipi pasangan pertanyaan-jawaban seperti tampak pada percakapan berikut.

Didi : “Belikan es dulu.”
Agus : “Berapa harganya?”
Didi : “2 ringgit”
Agus : “Nanti jam istirahat.”
Data dari Peristiwa tutur 6

Percakapan tersebut terjadi sewaktu Agus ingin meminjam PR Didi, saat itulah Didi mengajukan syarat kepada Agus jika Agus ingin meminjam PR-nya. Syarat Didi ternyata tidak ditanggapi langsung oleh Agus. Agus bertanya mengenai harga es itu. Didi merespons pertanyaan Agus dengan memberikan jawaban mengenai harga es. Setelah Agus mempertimbangkannya ia menyatakan kesetujuannya secara tidak langsung, yaitu dengan menyebutkan waktu ia membelikan es. Karena ketidaklangsungan tersebutlah timbul implikatur persetujuan pada tuturan Agus.

8) Pola Pertanyaan-Informasi
Pertanyaan dalam suatu pembicaraan tidak selalu dijawab secara langsung oleh mitra tuturnya. Pertanyaan sangat mungkin dijawab dengan memberikan informasi mengenai apa yang dilakukan oleh penutur untuk menunjukkan jawaban pertanyaan tersebut. Hal tersebut tampak pada percakapan berikut ini.

Kadek : “Buat PR Mat?”
Risna : “Aku tidur jam 8 tadi malam.”
Data dari Peristiwa tutur 3

Pertanyaan Kadek yang sebenarnya hanya membutuhkan jawaban ‘membuat/tidak membuat’ disampaikan Risna dengan cara memberikan informasi megenai apa yang telah dia lakukan kemarin malamnya. Karena ia tidur jam 8 maka tidak mungkin dia bisa mengerjakkan PR. Itulah maksud yang disampikan Risna secara tidak langsung kepada Kadek.

9) Pola Dugaan-Informasi
Terkadang dalam suatu komunikasi, salah seorang partisipan menuduhkan sesuatu terhadap lawan bicaranya atas dugaan yang dibuat. Dugaan tersebut dibantah oleh lawan tuturnya dengan menyatakan suatu informasi yang mematahkan dugaan itu seperti yang terlihat dalam kedua percakapan berikut ini.

Dewik : “Pasti sempet nyari baju ya? Soalnya Bawa bungkusan gede.”
Desi : “Habis beli bakso langsung pulang.”
Data dari Peristiwa tutur 2

Riski : “Hai Sumar, kemarin kamu ke mana? Kemarin pasti kamu mainan ya? Ditunggu buat PR tak datang-datang!”
Sumar : “Sorry, kemarin bantu bapak ngecet pintu.”
Data dari Peristiwa tutur 4

Dalam dua percakapan tersebut terlihat Baik Dewik ataupun Riski sama-sama mebuat dugaan mengenai apa yang telah dilakukan oleh lawan tuturnya (Desi dan Sumar). Untuk menolak dugaan tersebut, Desi dan Sumar tidak memberikan jawaban ‘ya/tidak’ atas kebenaran dugaan. Namun, mereka memilih untuk menginformasikan sesuatu untuk membantah dugaan tersebut. Bantahan secara tidak langsung tersebut melahirkan implikatur dalam percakapan tersebut.

3.2 Pembahasan
Dari tujuh peristiwa tutur terdapat 15 ujaran yang mengandung implikatur percakapan. Dari 15 ujaran tersebut ada 12 ujaran melanggar prinsip kerja sama, 1 ujaran melanggar prinsip kesantunan, dan 2 ujaran melanggar prinsip kerja sama serta prisip kesantunan.
Dari 14 pelanggaran pada prinsip kerjasama terdapat pelanggaran terhadap maksim kualitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim kuantitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim relevansi sebanyak 10 (71,43) pelanggaran dan maksim cara 2 (14,26) pelanggaran. Dari data tersebut terlihat bahwa pelanggaran maksim relevansi paling banyak terjadi. Pelanggaran tersebut sering terjadi mungkin dikarenakan keinginan partisipan tutur untuk memberikan alasan atau informasi terhadap apa yang dilakukan dengan memilih bentuk tidak langsung dari maksud yang hendak disampaikan. Dari data terlihat hanya masing-masing satu ujaran yang melanggar mksim kualitas dan kuantitas serta dua ujaran pelanggaran maksim cara. Hal ini juga secara tidak langsung membuktikan bahwa pemilihan bentuk tidak langsung dengan tujuan memberikan alasan sangat sedikit dari partisipan yang melandasi tujuan itu dengan keinginan berbohong, berbicara secara panjang lebar, dan keinginan mengaburkan maksud tuturan. Sangat mungkin pemilihat bentuk tidak langsung ini dikarenakan penutur ingin menjaga perasaan lawan tuturnya dengan tidak langsung mengatakan penolakan, penyanggahan, dan lain sebagainya.
Implikatur percakapan yang muncul dari pelanggaran prinsip-prinsip kerja sama adalah implikatur ‘penyangkalan tuduhan’ yang muncul dari pelnggaran maksim kualitas. “menunjukkan keyakinan diri’ yang muncul akaibat pelanggaran maksim kuantitas. ‘menolak perintah’, ‘persetujuan bersyarat’, ‘persetujuan’, ‘penunjukkan waktu tertentu’, ‘penyanggahan’, ‘pembatalan janji’, dan ‘tidak melakukan kegiatan apapun’ yang muncul karena pelanggaran maksim relevansi, serta implikatur ‘ketidakpastian’, ‘menyatakan jumlah tertentu’ yang muncul akibat pelanggaran maksim cara.
Untuk pelanggaran prinsip kesantunan yang berjumlah 3 pelanggaran, pelanggaran yang ditemukan ada adalah pelanggaran terhadap maksim kedermawanan sebanyak 2 (66,67%) pelanggaran dan 1 (33,33%) pelanggaran maksim kearifan. Implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran maksim tersebut adalah implikatur ‘persetujuan bersyarat’. Persetujuan bersyarat inilah yang mengakibatkan kerugian sebesar-besarnya pada lawan tutur dan keungtungan yang sebesar-besarnya terhadap diri sendiri sehingga melanggar maksim kesopanan, khususnya maksim kedermawanan dan kearifan.
Pola pasangn berdampingan yang terdapat dalam percakapan yang mengandung implikatur sebanyak sembilan pola, yaitu 1) pola pertanyaan-jawaban, 2) pola permintaan-informasi, 3) pola permintaan (pertanyaan-informasi) persetujuan, 4) pol permintaan-syarat, 5) pola penawaran/ajakan-informasi, 6) pola penawaran-syarat, 7) pola syarat (pertanyaan-jawaban) informasi, 8) pola pertanyaan-informasi, dan 9) pola dugaan-informasi. Pola-pola ini berbeda dengan pola-pola yang diidentifikasi oleh Coulthard (dalam Maharani, 2007:21) yang ada dalam percakapan. Faktor penyebabnya adalah pola-pola yang diidentifikasi dalam temuan ini adalah pola pasangan perbandingan yang memunculkan implikatur percakapan sedangkan pola yang diidentifikasi oleh Coulthard berlaku untuk semua jenis percakapan tanpa mempertimbangkan ada tidaknya implikatur dalam ujaran penyusun percakapan tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara jenis pelanggaran prinsip kerja sama dan atau prinsip kesantunan, implikatur percakapan, dan pola pasangan berdampingan yang ada dalam sebuah percakapan berimplikatur dapat diperhatikan pada tabel berikut ini.

Tabel 01 Keterkaitan Antara Pelanggaran Prinsip Kerja Sama, Implikatur, dan Pola Pasangan Berdampingan

No Maksim yang Dilanggar Implikatur Percakapan Pola Pasangan Berdampingan
1. Maksim Kualitas Penyangkalan tuduhan Dugaan-Informasi
2. Maksim Kuantitas Menyatakan keyakinan diri Penawaran/ajakan-Informasi
3. Maksim Relevansi Menolak permintaan • Permintaan-Informasi
• Penawaran/ajakan-Informasi
Menunjukkan waktu tertentu Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Penyanggahan Dugaan-Informasi
Pembatalan Janji Penawaran/ajakan-Informasi
Tidak melakukan apapun Pertanyaan-Informasi
Persetujuan bersyarat • Permintaan-Syarat
• Syarat (Pertanyaan-Jawaban) Informasi
Persetujuan Syarat (Pertanyaan-Jawaban) Informasi
4. Maksim Cara Ketidakpastian Permintaan (Pertanyaan-Informasi) Persetujuan
Menyatakan jumlah tertentu Pertanyaan-Jawaban

Tabel 02 Keterkaitan Antara Pelanggaran Prinsip Kesopanan, Implikatur, dan Pola Pasangan Berdampingan

No Maksim yang Dilanggar Implikatur Percakapan Pola Pasangan Berdampingan
1. Maksim Kedermawanan Persetujuan bersyarat • Penawaran-Syarat
• Permintaan-Syarat
2. Maksim Kearifan Persetujuan bersyarat Permintaan-Syarat




















BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Dari hasil temuan dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut.
1) Dari 14 pelanggaran pada prinsip kerjasama terdapat pelanggaran terhadap maksim kualitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim kuantitas sebanyak 1 (7,14%) pelanggaran, maksim relevansi sebanyak 10 (71,43) pelanggaran dan maksim cara 2 (14,26) pelanggaran. Dengan implikatur percakapan ‘penyangkalan tuduhan’ yang muncul dari pelnggaran maksim kualitas. “menunjukkan keyakinan diri’ yang muncul akaibat pelanggaran maksim kuantitas. ‘menolak perintah’, ‘persetujuan bersyarat’, ‘persetujuan’, ‘penunjukkan waktu tertentu’, ‘penyanggahan’, ‘pembatalan janji’, dan ‘tidak melakukan kegiatan apapun’ yang muncul karena pelanggaran maksim relevansi, serta implikatur ‘ketidakpastian’, ‘menyatakan jumlah tertentu’ yang muncul akibat pelanggaran maksim cara.
2) Untuk pelanggaran prinsip kesantunan yang berjumlah 3 pelanggaran, pelanggaran yang ditemukan ada adalah pelanggaran terhadap maksim kedermawanan sebanyak 2 (66,67%) pelanggaran dan 1 (33,33%) pelanggaran maksim kearifan. Implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran maksim tersebut adalah implikatur ‘persetujuan bersyarat’.
3) Pola pasangn berdampingan yang terdapat dalam percakapan yang mengandung implikatur sebanyak sembilan pola, yaitu 1) pola pertanyaan-jawaban, 2) pola permintaan-informasi, 3) pola permintaan (pertanyaan-informasi) persetujuan, 4) pol permintaan-syarat, 5) pola penawaran/ajakan-informasi, 6) pola penawaran-syarat, 7) pola syarat (pertanyaan-jawaban) informasi, 8) pola pertanyaan-informasi, dan 9) pola dugaan-informasi.



4.2 Saran
Sesuai dengan temuan penelitian, hal yang dapat disarankan bagi mahasiswa jurusan bahasa Indonesia adalah sebaiknya dilakukan penelitian sejenis dengan objek penelitian yang lebih bervariatif sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan lebih kompleks mengenai teori pragmatik.

DAFTAR PUSTAKA


Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Persepektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadiati, Cusni. 2007. Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-laki dalam Film The Sound Of Music. Tesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana, Universitas Diponogoro.

http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-n-kesantunan.html\. Diakses 5 Desember 2010.

Leech. G. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D Oka. 1993. Jakaria : Penerbit UI.

Maharani. 2007. Tindak Tutur Percakapan dalam Komik Asterix Skripsi (tidak diterbitkan). Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: KANISIUS.

Sigian, Emsi. 2007. “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara ‘Jou-Jou Tano Batak’”. Skripsi (tidak diterbitkan). Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Sumarsono. 2010. Pragmatik. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar