dunia pembelajaran_mas dewantara
Pohon pahit yang berbuah sangat manis adalah kesabaran
Senin, 11 Juli 2016
Rabu, 06 Februari 2013
Pemertahanan Bahasa
PEMERTAHANAN KOSAKATA TANAMAN OBAT TRADISIONAL BALI DI KABUPATEN JEMBRANA
OLEH:
I PUTU MAS
DEWANTARA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA INDONESIA
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
Minggu, 06 Mei 2012
Prinsip Kesopanan
Prinsip Kesopanan
Oleh I Putu Mas Dewantara
Istilah
sopan santun atau kesantunan dapat menyesatkan kita. Istilah ini dapat saja
bersifat relatif karena apa yang
dikatakan santun di masyarakat A dapat menjadi tidak santun B. ( Sumarsono,
2007)
Dalam
konteks kesantunan berbahasa , dikaitkan dengan penggunaan bahasa sehari-hari
yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada pihak
pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana hubungan yang harmoni
antara penutur dan pendengar. Hubungan antara seseorang dengan orang lain akan
berjalan dengan baik, bahkan lebih erat
karena pemakaian bahasa yang tepat dan memiliki kesopanan. Sebaliknya, hubungan
akan berjalan tidak baik dan renggang karena pemakaian bahasa yang kurang tepat
dan tidak memiliki sopan santun berbahasa. Maka dari pada itu kesopanan berbahasa sangat penting dalam
pragmatik
Tidak
setiap orang dapat menyatakan maksudnya secara langsung atau terus terang. Hal
ini terutama terjadi pada kasus penolakan, ajakan, namun tidak menutup
kemungkinan terjadi pada kasus peristiwa lain. Sesuai dengan budaya orang timur
. Prinsip kesopanan dipegang teguh oleh masyarakat pemakai bahasa,baik penutur
maupun petutur, untuk menghindari ketersinggungan lawan tutur. Misalnya seseorang yang diajak temannya untuk
mengadiri acara ulang tahun tetapi ia tidak ingin ikut tentunya ia tidak akan
menjawab “ tidak mau,ah” melainkan dengan “ besok aku ada tes”. Hal ini terjadi
karena penutur atau petutur menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang ingin
dia ungkapkan dalam ujarannya dengan maksud agar tidak menyinggung perasaan.
Prinsip kesopanan
memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim
kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim
kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua
peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri
sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana,
1996)
Berbicara tidak
selamanya berkaitan dengan masalah yang
bersifat tekstual, tetapi seringpula berhubungan dengan persoalan yang
bersifat interpersonal yang harus memperhitungkan orang lain. Dalam hubungan
interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan.
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan ( menyatakan perasaan). Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran ( sesuatu yang bersifat objektif)
1.
Tuturan komisif : berjanji, menawarkan.
Contoh
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia
2.
Tuturan impositif (direktif) : menuruh,
memerintah, memohon. Contoh
Apakah
Anda bisa menolong saya.
3.
Tuturan ekspresif : menyatakan perasaan
(emosi). Contoh
Gedung
itu indah sekali.
Gadis
itu cantik sekali.
4.
Tuturan asertif : menyatakan sesuatu
(objektif). Contoh
Prof.
Dr. Nyoman Sudiana, M.Pd, sebagai rektor Undiksha.
Menurut
Leech ada 6 prinsip kesopanan
1.Maksim kebijaksanaan /kedermawanan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?
2. Maksim kemurahhatian. Pusatnya orang lain. Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
Misalnya:
Permainanmu sangat bagus.
3. Maksim penerimaan. Ditujukan pada orang lain, bukan pada orang lain. Jenis maksim ini untuk menawarkan dan berjanji. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Bolehkah saya bantu?
Apakah Anda bersedia membawakan?
Mari saya antarkan!
Tolong saya diantarkan!
4. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A
: Kau sangat pandai.
B
: Ah tidak, biasa-biasa saja.
A
: Mobilnya bagus!
B
: Ah, begini saja kok bagus.
5. Maksim
kecocokan atau kesetujuan. Pusatnya pada orang lain. Ditujukan untuk menyatakan
pendapat dan ekspresif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan
tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan
ketidakcocokan di antara mereka.
Misalnya
:
A : Bahasa Inggris sukar, ya?
B : Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu
sukar dipelajari.
A : Drama itu bagus, ya?
B : Ya, tetapi bloking pemainnya masih
banyak kekurangan
6. Maksim kesimpatian. Pusatnya orang lain. Ditujukan untuk menyatakan asertif dan
Ekspresif. Maksim kesimpatian
mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan
tuturnya.
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan
ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah
penutur layak
berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Misalnya :
A : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B : Selamat, ya.
A : Baru-baru ini dia telah
meninggal.
B : Oh, saya turut berduka cita.
Teori Penyelamatan Muka
Dasar teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah
gagasan tentang muka (wajah) dan rasionalitas, yang bersumber dari Erving
Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan maksud penutur untuk mengurangi ancaman
wajah yang dibawa oleh tindakan keterancaman wajah tertentu terhadap orang
lain. Teori ini berdasarkan asumsi yang memandang kegiatan komunikasi sebagai
kegiatan rasional yang mengandung dan sifat tertentu. Goffinan sendiri
mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan muka itu merupakan pencerminan
penghargaan atau penghormatan pada orang lain. Biasanya, seseorang penutur
mempunyai dua muka, yakni :
1. Muka
negatif (negative face) yang mengacu
pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2. Muka
positif (positive face) yang mengacu
kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu merasa terancam
mukanya dan karena itu patut diselamatkan.
Penyelamatan itu dengan cara menggunakan kesantunan melalui strategi
tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan konsep dalam teater yaitu
masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya sendiri, prilakunya
menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan (1994, 2004), wajah
positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa yang diasosiakan dengan
dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negative mengacu pada keinginan
seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Dan wajah negatif
mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain.
Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah positif disebut kesantunan
positif.
Dan kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah negative disebut
kesantunan negatif. Patut diingat bahwa pengertian negatif itu tidak berkonotasi buruk. Strategi bertutur
berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang yang rasional.
Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu muka positif dan
muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur dalam bertutur maaf
memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan negatif bila penutur
mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.
Daftar
Rujukan
Sumarsono. 2007. Buku
AjarPragmatik. Singaraja : Undiksha
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Konteks dan Situasi Tutur
Konteks dan Situasi Tutur
Oleh I Putu Mas Dewantara
Situasi Tutur dan Peristiwa Tutur sebagai Konteks
Pengunaan Tindak Tutur
Konteks Tutur
Konteks adalah seperangkat asumsi
yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan
pengetahuannya tentang dunia. Konteks
ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi
menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan,
hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang
kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya) dan kepercayaan
terhadap penutur atau sebaliknya (Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks ini
mempengaruhi interpretasi pendengar terhadap ujaran (wacana).
Konteks sebagai
Pengetahuan
Schiffrin
(1994:365) menjelaskan bahwa teori tindak tutur
dan pragmatik memandang konteks dalam kaitannya dengan pengetahuan, apa
yang dapat diasumsikan oleh para Pn dan
para Mt untuk mengetahui sesuatu
misalnya, tentang lembaga-lembaga sosial, keinginan dan kebutuhan orang
lain, sifat rasionalitas manusia, dan bagaimana pengetahuan itu dapat
memberikan panduan dalam penggunaan
bahasa dan interpretasi terhadap tuturan. Meskipun kaidah-kaidah
tersebut menetapkan kondisi-kondisi tekstual maupun kontekstual yang mendasari penggunaan bahasa, namun
tujuan utama teori tindak tutur adalah untuk karakterisasi pengetahuan kita tentang kaidah-kaidah
tersebut. Artinya, pengetahuan yang abstrak tentang teks dan konteks akan
memberikan panduan untuk mengidentifikasi berbagai tipe tindak tutur yang
berbeda pada tingkat umum maupun dalam tingkat yang khusus.
Konteks
bagi para ahli teori tindak tutur diartikan sebagai jenis khusus latar belakang pengetahuan yang
disebut “kaidah-kaidah konstitutif”, yakni, pe-ngetahuan tentang
kondisi-kondisi yang diperlukan oleh Pn dan Mt untuk memahami
sebuah tuturan yang selalu dipandang sebagai sesuatu yang khusus namun berbeda
dengan tuturan yang lain (Shiffrin, 1994: 367). Konteks adalah latar belakang
pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh Pn dan Mt yang memungkinkan Mt untuk
memperhitungkan implikasi (yang tersirat di dalam) tuturan untuk memaknai arti
tuturan Pn. Hal ini didasari adanya prinsip kerja sama yang menunjukkan bahwa
Pn dan Mt sudah saling mengetahui. Untuk memahami keberadaan suatu tuturan, Mt
harus mencuri data yang berupa makna konvensional kata-kata yang digunakan
beserta referensinya, prinsip kerja sama dan maksim-maksimnya, konteks
linguistik, hal-hal yang berkaitan dengan latar pengetahuan, dan kenyataan
adanya kesamaan dari keempat macam bentuk partisipan sehingga keduanya dapat
saling mengerti (Grice, 1975:50).
Konteks
adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan
pendengar tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran
saat ini dan ujaran sebelumnya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat
dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan
terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial,
norma sosial, dan sebagainya), dan kepercayaan terhadap penutur dan pendengar
(Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks mempengaruhi interpretasi penutur dan
pendengar terhadap ujaran (wacana).
Konteks
sebagai Suatu Situasi Interaksi Sosial
Konteks di sini
cenderung dimaksudkan sebagai sesuatu yang riil, bukan sebagi sesuatu yang ada
dalam pikiran atau pengetahuan. Duranti (1997)
menjelaskan bahwa bahasa dan
konteks saling mendukung satu sama lain.
Bahasa membutuhkan konteks dalam
pemakaiannya. Begitu pun sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di
dalamnya terdapat tindak bahasa sehingga
bahasa tidak hanya berfungsi dalam interaksi-interaksi yang diciptakan, tetapi
bahasa juga membentuk dan menyediakan interaksi-interaksi
yang sedang terjadi sebagai konteks.
Seorang pakar sosioliguistik,
Cooley (dalam Shiffrin, 1994) berpandangan bahwa jika seseorang mendefinisikan
situasi sebagai sesuatu yang riil, maka konsekuensinya situasi harus riil juga.
Salah satu ciri utama pendekatan sosiolinguitik interaksional adalah bahwa ia
dapat memberikan susunan pandangan tentang interaksi sosial dan situasi sosial,
termasuk di dalamnya kerangka kerja partisipasi yang dibangun dari interaksi
yang situasional (Eko Rusminto, 2005:85). Oleh karena itu, konteks-konteks
kognitif yang dibahas oleh para ahli sosiolinguistik interaksional (Goffman,
1974; Tannen, 1979) juga memiliki landasan sosial, pengetahuan tentang
keadaan-keadaan sosial atau harapan-harapan tentang perbuatan sosial. Seperti
yang dilakukan Goffman dalam salah satu penelitian sosiologisnya yang
memfokuskan perhatian pada tatanan
interaksi yang mendasari berbagai kesempatan sosial, situasi sosial, dan
pertemuan sosial.
Ada
dua peran penting konteks di dalam tindak tutur. Pertama, sebagai pengetahuan
abstrak yang mendasari bentuk tindak tutur. Kedua, suatu bentuk lingkungan
sosial di mana tuturan-tuturan dapat dihasilkan dan diinterpretasikan dalam
realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371). Pada sisi lain, Halliday dan Hasan
(1992: 16:62) membagi konteks situasi menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan
wacana, (2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana. Medan wacana
menunjuk pada sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan
sosial yang sedang berlangsung. Medan wacana menunjuk kepada orang yang
mengambil bagian dalam peristiwa tutur, sedangkan sarana tutur menunjuk kepada
bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan
fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.
Oleh karena itu, bahasa hanya memiliki makna jika berada dalam suatu
konteks situasi. Makna sebuah ujaran diinterpretasikan melalui sebuah ujaran
dengan memperhatikan konteks, sebab konteks yang akan menentukan makna sebuah
ujaran berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam
berinteraksi. Pilihan bahasa seseorang dapat berubah dari ragam baku menjadi
ragam tidak baku atau sebaliknya jika situasi yang melatarinya berubah.
Perubahan bentuk bahasa yang digunakan dalam interaksi dipengaruhi oleh
berubahnya konteks situasi akibat pengetahuan Pn akan keneradaan Mt.
Berdasarkan
uraian tersebut, peranan konteks sebagai situasi dan pengetahuan memiliki peran
tertentu. Konteks sebagai situasi sangat berperan bagi Pn dan Mt untuk memahami situasi sosial
budaya sebagai pengetahuan sehingga karakteristik
wujud tutur, prinsip penyampaian tutur, dan pemroduksian tutur mempunyai
peranan dalam mengidentifikasi ekspresi tutur .
Situasi Tutur
Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang berkaitan
langsung dengan peristiwa komunikasi, maka pragmatik tidak dapat dipisahkan
dari konsep situasi tutur. Dengan menggunakan analisis pragmatis, maksud atau
tujuan dari sebuah peristiwa tutur dapat diidentifikasikan dengan mengamati
situasi tutur yang menyertainya. Rustono (1999:26) menyatakan bahwa situasi
tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Hal tersebut berkaitan dengan adanya
pendapat yang menyatakan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi
merupakan penyebab terjadinya tuturan. Sebuah peristiwa tutur dapat terjadi
karena adanya situasi yang mendorong terjadinya peristiwa tutur tersebut.
Situasi tutur sangat penting dalam kajian pragmatik, karena dengan adanya
situasi tutur, maksud dari sebuah tuturan dapat diidentifikasikan dan dipahami
oleh mitra tuturnya. Sebuah tuturan dapat digunakan dengan tujuan untuk
menyampaikan beberapa maksud atau sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh
situasi yang melingkupi tuturan tersebut. Keanekaragaman maksud yang mungkin
disampaikan oleh penutur dalam sebuah peristiwa tutur, Leech (1993)
mengungkapkan sejumlah aspek yang harus dipertimbangkan, aspek tersebut antara
lain penutur dan mitra tutur, konteks, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai
bentuk aktivitas dan tuturan sebagai produk tindakan verbal.
Misal A adalah pembantu rumah
tangga pada keluarga B yang mempunyai kedudukan baik di pemerintahan daerah;
keduanya orang Jawa dan berbahasa asli bahasa Jawa. Karena itu mereka selalu
memakai bahasa Jawa. Sesuai dengan “kaidah sosial” masyarakat tutur Jawa,
karena A ialah pembantu, dan B majikan, maka A harus selalu menggunakan ragam
bahasa Jawa yang halus, ragam tinggi, yang disebut krama, atau lebih tinggi lagi krama
inngil, jika dia berbicara dengan B, sebaliknya B menggunakan ragam rendah,
ngoko, jika berbicara dengan A. Jika menerima tamu teman sekantor, misalnya
bawahannya, di rumah, maka dan tamunya menggunakan bahasa Indonesia. bahasa
Indonesia juga di pakai ketika B “berdiskusi” tentang matematika dengan
anak-anaknya, sedangkan di meja makan mereka biasanya menggunakan bahasa Jawa
ragam ngoko. B juga menggunakan
bahasa Indonesia dengan anak-anaknya, tentang apa saja, jika B sedang menemui
tamunya tadi. Jadi, bahasa atau ragam bahasa apa yang dipakai oleh B bergantung
kepada siapa penuturnya (pembantu, anak, tamu), atau topik pembicaraannya
(tentang apa saja, tentang matematika), atau siapa yang ikut mendengarkan
percakapan (B dan anak di depan tamu). Contoh tuturan tersebut terjadi dalam
suatu situasi tutur (penerimaan tamu).
Leech (1983) mengemukakan
sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi
pragmatik. aspek-aspek itu adalah:
1.
Penutur
dan Lawan Tutur
Konsep
penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan
bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan
dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi,
jenis kelamin, tingkat keakraban, dsb.
Penutur adalah orang yang
bertutur, sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan
penutur. Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, penutur
pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya
sehingga terwujud interaksi dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup
penulis dan pembaca apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk
tulisan. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut
antara lain aspek usia, latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut mempengaruhi daya
tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan
mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui
aspek-aspek tersebut. Berikut adalah contoh dalam percakapan.
(1) KONTEKS : ANDI BERTANYA KEPADA TATANG MENGENAI
HASIL
PERTANDINGAN SEPAK BOLA INDONESIA MELAWAN
KOREA SELATAN
Andi : “Hai, Tang, kemarin lihat bolanya gak, gimana
Indonesia
menang nggak?”
Tatang : “Wah,
kacau Ndi. Indonesia kalah 0-1.”
Andi dalam tuturan tersebut berlaku sebagai penutur
sedangkan Tatang sebagai orang yang diajak bicara oleh Andi sebagai mitra tutur
yang mendengarkan tuturan Andi, disamping itu Tatang dalam peristiwa tutur
tersebut juga berperan sebagai penutur, yaitu dengan mengungkapkan jawaban atas
pertanyaan Andi yang menanyakan hasil pertandingan sepak bola AFC, Indonesia
melawan Korea Selatan yang dimenangkan oleh Korea Selatan 1-0.
2.
Konteks
Tuturan
Konteks tuturan linguistic adalah
konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan
bersangkutan. Konteks tuturan mencakupi aspek fisik ataulatar social
yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang berupa bagian
ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks.
Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubunagn dengan suatu
kejadian disebut konteks. Pada hakikatnya konteks dalam pragmatic merupakan
semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami
bersama antara penutur dengan mitra tuturnya.
(2) KONTEKS : RINTAN BERTEMU
DENGAN RIZAL SAAT MENUNGGU ANGKUTAN
Rizal : “Hai, Rintan !, mau kemana nih, kok sendirian
aja?”
Rintan : ”Eh, Rizal, mau kuliah. Biasanya juga
sendirian.”(agak malu)
Konteks yang ditampilkan dalam peristiwa tutur yang
terjadi antara Rintan dan Rizal tersebut adalah Rizal bertanya kepada Rintan
sedangkan koteks ditunjukkan pada raut wajah Rintan yang agak malu menjawab
pertanyaan Rizal.
3.
Tujuan
Tuturan
Bentuk-
bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam
hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk
menyatakan maksud yang sama. Atau
sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Tujuan tuturan adalah apa yang
ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan
memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada tuturan yang tidak
mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur
selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan tersebut,
bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud
dan sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.
(3) KONTEKS : ADI DATANG
BERKUNJUNG KE RUMAH BU NORI UNTUK MEMINJAM BUKU CATATAN
Adi : “Kemarin aku gak sempat nyatet kuliahnya Pak Tomo nih.”
Bu Nori : “Nah, kamu pasti mau pinjam buku catatanku
lagi kan?”
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut dapat diungkapkan
bahwa penutur dalam
hal ini Adi memiliki tujuan dalam menuturkan tuturan “Kemarin
aku gak
sempat nyatet kuliahnya Pak Arifin nih.” Tujuan
dari tuturan tersebut adalah
bahwa Adi bermaksud meminjam buku catatan Bu Nori,
karena kemarin dia
tidak sempat mencatat materi kuliah yang disampaikan
Pak Arifin.
4.
Tuturan
sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. .
Tuturan sebagai tindakan
atau aktivitas memiliki maksud bahwa tindak tutur merupakan sebuah tindakan.
Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan
dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan atau aktivitas karena dalam peristiwa
tutur, tuturan dapat menimbulkan efek sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh
tangan atau bagian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau
mengekspresikan tindakan.
(4) KONTEKS : SEORANG IBU BERKATA KEPADA ANAKNYA
Ibu : “Wah, terasnya kotor sekali ya?.”
Anak : (segera mengambil sapu dan menyapu teras
tersebut)
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut tuturan yang
dilakukan oleh Ibu merupakan tindakan menyuruh atau mendorong Anak untuk
membersihkan teras yang terlihat kotor.
Tuturan tersebut menimbulkan efek pada mitra tutur yang mendengarkan tuturan
tersebut seperti halnya didorong atau dipukul dengan menggunakan tangan. Dalam
perilaku yang dilakukan oleh anak yang segera mengambil sapu dan menyapu teras merupakan
efek dari ucapan Ibu tersebut.
5.
Tuturan
sebagai bentuk tindak verbal
Tuturan merupakan hasil dari suatu tindakan. Tindakan
manusia ada dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Karena tercipta
melalui tindakan verbal, tuturan tersebut merupakan produk tindak verbal yang merupakan
tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai produk tindakan
verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara
penutur dan mitra tutur, seperti yang tampak pada tuturan berikut.
(5) KONTEKS : SEORANG IBU BERPESAN PADA ANAKNYA
Ibu : ”Ris, nanti kalau ada tamu bilang Ibu sedang
arisan ya!”
Risa : “Iya, Bu.”
Tuturan tersebut merupakan hasil dari tindakan verbal
bertutur kepada mitra tuturnya, dalam hal ini Risa yang diberi pesan Ibunya,
bahwa kalau ada tamu Risa harus mengatakan bahwa Ibunya sedang arisan. Kelima
aspek situasi tutur tersebut tentu tidak terlepas dari unsur waktu dan tempat
di mana tuturan tersebut diproduksi, karena tuturan yang sama apabila diucapkan
pada waktu dan tempat berbeda, tentu memiliki maksud yang berbeda pula.
Sehingga unsur waktu dan tempat tidak dapat dipisahkan dari situasi tutur
2.1.3 Peristiwa Tutur
Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud
dengan peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam pemakaian bahasanya, setiap
penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di mana,
mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat berbicara
akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur demikian pula pokok pembicaraan
dan situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yang sedang
berlangsung. Menurut Suwito (1991:35- 36) keseluruhan peristiwa pembicaraan
dengan segala komponen serta peranan komponen itu di dalam peristiwa tersebut
dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (speech event). Komponen tutur
tersebut di atas dalam rumusan lain tidak berbeda dengan yang diutarakan oleh
Fishman (dalam Chaer dan Agustina 2004:49), yang disebut sebagai pokok
pembicaraan dalam bidang Sosiolinguistik, yaitu “who speak (siapa yang
berbicara), what language (bahasa apa yang digunakan), to whom (kepada
siapa), when (kapan), and what end (apa tujuannya).” Dell Hymes
(dalam Chaer dan Agustina 2004:48) dan Baylon (2002:279) menyatakan bahwa suatu
peristiwa tutur memiliki delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya
dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. 8 komponen itu adalah :
S (= Setting and scene)
P (= Participants)
E (= Ends : purpose and goal)
A (= Act sequences)
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (= Norms of interaction and interpretatiori)
G (= Genres)
Sebelumnya
Hymes (dalam Sumarsono dan Partana 2002:326-335) menyatakan bahwa suatu
peristiwa tutur itu memiliki 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara
singkat sebagai berikut:
1. Bentuk Pesan (Message Form)
Bentuk
pesan merupakan hal yang mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur, di
samping isi pesan. Bentuk pesan menyangkut cara bagaimana sesuatu itu
(topik) dikatakan atau diberitakan.
2. Isi Pesan (Message Content)
Bentuk
pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur. Isi pesan berkaitan dengan
persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik. Untuk
membedakan bentuk pesan dan isi pesan, kita sebaiknya melihat contoh
kalimat langsung dan tak langsung. Kalau seseorang berujar, “Dia berdoa
agar Tuhan melindungi keluarganya”. Orang itu hanya melaporkan isi
pesan saja. Kalau orang itu mengatakan,
“Dia berdoa,Tuhan lindungilah keluarga saya!” Orang itu melaporkan isi pesan,
yaitu tentang dia yang berdoa, dan sekaligus mengutip bentuk pesan
yaitu bagian kalimat Tuhan lindungilah keluarga saya. Isi pesannya
adalah apa doanya itu. Bentuk pesannya adalah bagaimana ia berdoa.
3. Latar (Setting)
Latar
mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu kepada
keadaan fisik.
4. Suasana (Scene)
Berbeda
dengan latar, suasana mengacu kepada latar psikologis atau batasan budaya tentang
suatu kejadian sebagai suatu jenis usaha tertentu. Dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang dalam latar yang sama mungkin mengubah suasana,
misalnya dari formal menjadi informal,
dari serius menjadi santai.
5. Penutur ( Speaker, Sender)
Adalah
pihak yang menyampaikan tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.
6. Pengirim ( Addressor )
Adalah
pihak yang mengirimkan tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.
7. Pendengar ( Hearer,
Receiver, Audience )
Adalah
pihak yang menerima tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.
8. Penerima ( Addresse )
Adalah
pihak yang menerima tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.
9. Maksud-Hasil (Purpose-Outcome)
Mengacu
pada hasil yang diharapkan dengan cara menggunakan ragam bahasa yang tertentu.
10. Maksud-Tujuan (Purpose-Goal)
Sulit
membedakan komponen ini dengan komponen ke-9. Keduanya adalah aspek maksud, yang
membedakan justru istilah "outcome"dan "goal”. Hymes menyebut keduanya
menjadi "end", mencakup tujuan dalam angan dan sebagai
hasil.
ll.Kunci (Key)
Kunci
mengacu kepada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan.
12. Saluran (Channel)
Saluran
mengacu kepada medium penyampaian tutur : lisan, tertulis, telegram, telepon. Dalam
hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral)
misalnya dipakai untuk bernyanyi,
bersenandung, bersiul, mengujarkan tutur. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda
dengan untuk telepon. Ragam tulis telegram berbeda dengan ragam
tulis surat.
13. Bentuk Tutur (Form of
Speech)
Hymes
mengemukakan bentuk tutur lebih mengarah kepada tatanan perabot kebahasaan yang
berskala bahasa, dialek dan varietas yang dipakai secara luas. Bersama
dengan saluran bentuk bahasa membentuk komponen instrumentalitas.
14. Norma Interaksi (Norm of
Interaction)
Norma
interaksi mengacu kepada perilaku khas dan sopan santun tutur yang berlaku dalam
masyarakat tutur yang bersangkutan. Misalnya orang boleh menyela atau
dilarang menyela dalam percakapan, suara normal tidak boleh dipakai dalam
misa di Gereja atau sembahyang di Masjid,
giliran berbicara terbatas waktunya.
15. Norma Interpretasi (Norm
of Interpretation)
Norma
interpretasi mengacu kepada cara (misal : dalam pertuturan, antara penutur dan lawan
tutur saling bertatap muka, duduk lebih berdekatan, mata membelalak dan
suara keras ) dan saat yang tepat dalam
bertutur (misal : mengajukan permohonan, meminta).
16. Genre
Yang
dimaksud dengan genre adalah kategori-kategori seperti narasi, pepatah, puisi.
Menurut
penelitian psikolinguistik, ingatan manusia itu paling baik bekerja untuk
klasifikasi berjumlah tujuh, plus minus dua (jadi bisa 5, bisa 9). Berdasarkan hal
tersebut Hymes mencoba menyingkat 16 komponen tutur dengan cara
mengelompokkan dua, tiga komponen yang berdekatan menjadi satu istilah. Tiap istilah ini lalu
digabungkan, disusun menjadi
akronim dalam bahasa Inggris
SPEAKING:
S
(= Setting and scene),= Mencakup latar dan suasana hasil gabungan dari 3,4
P
(= Participants)=Mencakup penutur dan pendengar, hasil gabungan dari
5,6,7,8
E (= Ends : purpose and goal),=Mencakup
maksud dan hasil
hasil
gabungan dari 9,10
A (= Act sequences),=Mencakup
bentuk pesan dan isi kunci hasil gabungan dari 1,2
K
(= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities),=mencakup
saluran dan bentuk tutur
hasil
gabungan dari 12,13
N
(= Norms of interaction and interpretation), hasil gabungan dari 14,15
G
(= Genres)
Menurut
Hymes (dalam Sumarsono dan Partana 2002:334) dalam
bahasa
Prancis SPEAKING dikenal dengan sebutan PARLANT, dengan
penggolongan
yang agak berbeda, yaitu :
P
: Participant, hasil gabungan dari 5,6,7,8
A
: Actes, hasil gabungan dari 1,2
R
: Raison, hasil gabungan dari 9,10
L
: Locale, hasil gabungan dari 3,4
A
: Agents , hasil gabungan dari 12,13
N
: Normes, hasil gabungan dari 14,15
T
: Types, 16
Dari
beberapa pendapat tentang peristiwa tutur di atas, dalam penelitian ini digunakan
teori yang dikemukakan oleh Hymes, yaitu SPEAKING untuk menganalisis data.
Teori ini dipilih karena teori tersebut lebih rinci. Berikut uraian dari
tiap-tiap komponen secara lebih rinci:
1. Setting and scene.
Di
sini setting dan scene berkenaan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung.
Contoh:
-
Selamat malam, kata pangeran kecil asal saja.
-
Selamat malam, jawab si ular.
-
Aku mendarat di planet mana? Tanya pangeran kecil.
-
Bumi, di Afrika, jawab si ular.
-
Ah!...Jadi, tak ada manusia di bumi?
-
Ini gurun pasir. Tak ada manusia di gurun pasir.
Bumi
ini luas, kata si ular.
Dari
petikan tuturan di atas, terlihat bahwa peristiwa tutur tersebut terjadi pada malam hari
di planet bumi di gurun pasir Afrika.
2. Participants
Participant
adalah
pihak- pihak yang terlibat dalam pertuturan,
bisa penutur dan mitra tutur, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau
pengirim dan penerima pesan.
Contoh:
-
Tolong...gambarkan biri-biri untukku!
-
Apa!
-
Gambarkan biri-biri untukku...
Dari
petikan tuturan di atas terlihat bahwa peristiwa tutur tersebut
terdiri
dari dua orang yaitu penutur dan mitra tutur.
3. Ends
Ends
merujuk
pada maksud dan tujuan pertuturan. Maksud dan tujuan pertuturan adalah
apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur.
Contoh:
-
Tolong...gambarkan biri-biri untukku...
Dari
petikan tuturan (Tolong...gambarkan biri-biri untukku!). Memperlihatkan bahwa maksud dan tujuannya
adalah meminta mitra tutur untuk
menggambarkan
biri-biri.
4. Act sequence
Act
sequence mengacu
pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk
ujaran ini berkenaan dengan kata- kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya,
dan hubungan antara apa yang dikatakan
dengan topik pembicaraan.
Contoh:
-
Tolong...gambarkan biri-biri untukku...
Dalam
pertuturan di atas digunakan bentuk ujaran imperatif
(bersifat memerintah), yaitu:
(Tolong...gambarkan biri-biri untukku!).
5. Key
Key
mengacu
pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat,
dengan sombong, dengan mengejek. Hal ini dapat ditunjukkan dengan gerak
tubuh dan isyarat.
Contoh:
Dia
mengamatinya dengan teliti. Kemudian dia berkata:
-
Tidak! Biri-biri ini sudah sakit parah. Gambarkan yang lain.
Dan
aku menggambar ....
Pada
pertuturan di atas tidak secara langsung terlihat nada, cara dan semangat tetapi pada
ilustrasi petikan tuturan di atas terlihat bahwa peristiwa
tutur tersebut dilakukan dengan
teliti.
6. Instrumentalities
Instrumentalities
mengacu
pada jalur bahasa yang digunakan, yaitu
jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
Contoh:
-
Tolong...gambarkan biri-biri untukku!
-
Apa!
-
Gambarkan biri-biri untukku...
Pada
pertuturan di atas tidak ditemukan penggunaan bahasa melalui tulisan,
telepon, telegram. Semuanya menggunakan jalur lisan langsung.
7. Norm of Interaction and
Interpretation
Norm
of interaction interpretation mengacu
pada norma atau aturan
dalam berinteraksi, yaitu apakah antara penutur dan mitra tutur mematuhi atau melanggar aturan dalam
berinteraksi.
Contoh:
−
Itu persis seperti yang kuinginkan! Menurutmu apakah biri-biri
ini
akan membutuhkan banyak rumput?
−
Kenapa?
−
Karena di tempat asalku segalanya serba kecil.
−
Ini pasti cukup. Aku telah memberimu seekor biri-biri yang
sangat
kecil.
Dalam
pertuturan di atas antara penutur dan mitra tutur tidak melanggar aturan dalam
berinteraksi, karena tidak ditemukan pemotongan pembicaraan.
8. Genre
Genre
mengacu
pada jenis bentuk penyampaian, yaitu narasi, puisi, pepatah. Berikut
diuraikan tetang narasi, puisi, dan pepatah. Dari sudut pandang etnografi
komunikasi, menganalisis tutur berarti menganalisis tutur menjadi genre-genre
Langganan:
Postingan (Atom)